Share

Kepergian

Author: Assyafa Isti
last update Last Updated: 2022-05-25 02:43:36

Kepalaku menunduk begitu melihat kondisi Mama yang memilukan. Bukan lagi luka lebam dan jahitan, seluruh tubuhnya kini sudah dipasang beberapa perangkat alat rumah sakit yang mampu menunjang hidup untuk sementara waktu. Dokter yang menangani sampai meminta para wali siaga karena kondisi selama satu sampai dua hari ke depan menjadi penentu. Semoga tidak akan terjadi perburukan, semoga Mama bisa menerima obat dan hasil operasi yang tadi dilakukan, dan yang pasti semoga tidak ada komplikasi.

Kamar pemulihan ini hanya menyediakan satu bangsal, hanya diisi seorang pasien saja, sehingga kami bisa fokus melihat dan berdoa dalam ruangan. Hatiku sudah tak karuan begitupun detak jantung yang terasa semakin tidak menenangkan. Bukan maksud tidak percaya, sekali melihat saja aku sudah bisa merasakan kalau Mama tak akan mampu bertahan hidup lebih lama.

Ponsel dalam genggaman sudah melancarkan aksinya berkali-kali. Tiada henti aku mengirim pesan kepada Bagas supaya segera datang ke lokasi. Entah apa yang menjadi penyebab dia slow respons. Tidak ada satu pun sahutan yang masuk, baik untuk menenangkan atau bahkan memberiku kepastian kapan ia akan datang.

"An,"

"Ya?" Buru-buru aku mengangkat kepala. Melihat Bapak yang memanggil tiba-tiba.

"Bapak mau minta tolong boleh?" tanya beliau sungkan. Tidak seperti biasanya.

"Minta tolong apa, Pak?"

"Tolong jaga mama sebentar. Bapak mau pergi ke musala—"

"Duh, Bapak di sini, aja. Jangan pergi-pergi. Kalau ada apa-apa susah karena gak akan ada yang cari." Aku tidak mungkin meninggalkan pasien demi mencari Bapak 'kan?

"Kalau ada apa-apa kamu bisa chat atau telepon 'kan? Bapak benaran mau di musala, aja. Mau zikir dan mengaji."

Perasaanku semakin campur aduk saja. Ingin menangis, tetapi tak bisa. Ingin ditemani, tetapi Bapak tetap memilih pergi. Alhasil, Bagas yang terkena imbasnya. Berkali-kali aku mengirim pesan supaya dia cepat-cepat datang. Aku butuh teman karena ingin dikuatkan.

Jeritan hatiku sepertinya didengar baik oleh Tuhan. Tak berapa lama berselang dari kepergian Bapak. Pintu ruangan diketuk dari luar. Aku beranjak, menyaksikan dengan mata telanjang kedatangan Bapak Arya Setiawan. Tentu saja napasku langsung tertahan. Kenapa akhir-akhir ini beliau selalu datang, padahal aku tidak mengundang?

"Bapak tahu dari mana rumah sakit ini?" Spontanitas saja, sebagai wujud formalitas juga aku melancarkan sebuah sapaan.

"Cuma asal pikir saja, cuma rumah sakit ini yang jaraknya deket sama rumah kamu."

Yes, jawaban yang memang tidak mengecewakan. Sudah aku batasi, tetapi jalan pikirnya yang menolong diri sendiri. Memang layak diacungi jempol untuk kecerdasan beliau.

"Kamu sendiri?" Pak Arya melangkah guna mengikis jarak di antara kami.

"Tadi ada Bapak. Cuma Bapak pergi ke musala."

Pak Arya hanya mengangguk dan langsung mengalihkan pandangan dariku. Kedua tangannya menyentuh pinggiran bangsal, melihat dengan seksama alat pasien monitor yang diletakkan di samping tubuh Mama.

"Seharusnya, sih, gak akan ada masalah. InsyaAllah."

Aku termangu. Nyatanya, ada orang yang berkenan menghibur meskipun aku tidak memintanya melakukan hal tersebut. Syukurlah. Alhamdulillah. Setelah mendengarnya, hatiku jadi selangkah lebih tenang.

"An?"

"Ya, Pak," jawabku cepat sambil memandang wajah beliau.

"Boleh saya ikutan duduk? Saya juga mau ikut pantau kondisi mama kamu."

Jika tidak diizinkan, aku bisa sendirian bukan? Sayangnya, sekarang aku tidak mau sendirian di dalam ruangan. Namun, sebelum setuju, aku ingin mempertanyakan kondisi apotek terlebih dulu.

"Kalau Bapak ikut jaga, apotek gimana?"

"Ya, gak gimana-gimana. Sekarang tutup, kalau datang anak sif siang dibuka."

Benar. Aku lupa kalau beliau pemilik. Berpikir simpel saja ya, kan? Ada waktu buka, tak ada waktu toko ditutup saja.

Aku tidak mengajaknya bicara lagi. Hanya memberi beliau sebuah kursi sebagai bentuk persetujuan atas permohonan izinnya tadi. Iya, aku mengizinkan. Tidak apa, jika dia ingin bergabung memantau kondisi Mama. Toh, lebih enak begini. Aku lebih merasa percaya diri karena Bapak memilih pergi.

Sejam, dua jam kami menjaga Mama dalam suasana hening. Sengaja tidak mengajak Pak Arya bicara karena aku tidak mau terlalu dekat apalagi sampai menaruh harapan besar padanya. Bagaimanapun, aku harus sadar posisi dan situasi. Beliau hanya sekadar atasan di mataku. Tidak lebih dan tidak kurang.

Keheningan itu seakan pecah karena pasien monitor yang terhubung dengan tubuh Mama berbunyi. Pak Arya dengan sigap berjalan mendekat, membaca angka-angka parameter yang tertera sebelum akhirnya berkata, "Telepon bapak kamu, An."

Nyaliku ciut, belum lagi karena beliau menekan bel emergency berkali-kali untuk memanggil tim medis. Tanganku gemetaran, berusaha menekan layar hingga buyar. Aku menyaksikan tubuh Mama menegang, menghentak-hentak bangsal sampai deritnya membuat telingaku peka disertai mata yang terpejam. Situasi seakan menjadi tidak terkendali karena kedatangan tim medis yang cekatan. Pak Arya buru-buru merangkul tubuhku supaya mau berjalan menjauhi mereka yang hendak memberikan pelayanan.

Ponselku lantas diambil alih beliau. Aku yang fokus memperhatikan penanganan Mama hampir tidak peduli dengan gerak-gerik Pak Arya yang mencoba menghubungi Bapak. Tepat di detik selanjutnya, aku mendengar monitor pasien berbunyi nyaring. Garis status detak jantung yang tadinya naik-turun seperti gunung berubah putus-putus hingga menjadi lurus sempurna. Dokter yang sudah memberikan penanganan darurat pun berujung menengok arloji. Beliau dengan napas terengah berkata, "Tanggal 14 Mei 2021, pukul 11.01. Pasien atas nama Anggita Pradana dinyatakan meninggal dunia."

Spontan aku menjerit, berlari ke bangsal Mama yang dijauhi beberapa tim medis.

"Ma ...," teriakku yang belum percaya tentang ini. Aku sampai menggoyangkan tubuh beliau, berharap dengan begitu matanya terbuka barang untuk sedikit saja.

Sebuah tangan kemudian terasa menggenggam erat lenganku. Perlahan-lahan menarik tubuhku hingga berbalik dan jatuh ke dalam pelukannya. Aku menangis, meraung sejadinya tanpa peduli sosok yang memberiku dekapan erat dan penuh penguatan. Pikiranku teramat kacau sekarang. Terlebih saat Bapak datang dan memasuki ruangan. Tangisku semakin pecah begitu mendengar Bapak memanggil nama istrinya yang telah tiada.

***

Kami duduk dan termenung. Melihat seonggok tubuh yang kini terbaring tidak bernyawa dengan hati pasrah. Ini terlalu mendadak untuk kami, terlampau mengejutkan sehingga kami membutuhkan waktu lama untuk tersadar dari alam bawah sadar.

Sebuah sentuhan perlahan aku rasakan. Bapak menepuk-nepuk punggung tanganku sambil berkata, "An, bapak mau minta tolong boleh?"

"Gak boleh," tolakku mantap karena tak ingin ditinggal untuk yang kedua kali. Tidak ada Pak Arya di sini, aku takut jika menjaga Mama sendiri.

"Tolong bantu Arya urus surat-surat kepulangan Mama." Bapak tetap bersikukuh meminta tolong, padahal aku sudah menolaknya. "Kasihan dia. Pasti lama urus surat-surat karena gak tahu data-data Mama."

Mataku terpejam. Ada benarnya juga ucapan Bapak. Sudah terhitung dua puluh menit Pak Arya menghilang. Beliau pasti kesulitan mengisi data diri pasien sampai tidak bisa kembali secepatnya kemari.

"Sekarang biar bapak yang jaga, aja. Kamu boleh pergi cari angin sebentar."

Aku menurut, tidak lagi diam di kamar dan bergegas mencari atasan yang sedang mengurus ranah pribadi karyawannya. Pencarianku terhadap Pak Arya nyatanya tidak membutuhkan waktu lama. Beberapa detik melangkah, mataku sudah mendapati sosoknya tengah duduk di meja pengisian data. Dia terlihat bingung, tertekan, dan tak bisa menulis apa pun di sana. Wajahnya menunjukkan rasa penuh kekalutan, padahal hari ini yang meninggalkan dunia bukanlah ibunya. Tahu kesulitan yang sedang dialami beliau, aku lantas melanjutkan langkah untuk mendekatinya.

"Pak," tegurku karena beliau terlihat fokus membaca kertas tanpa menyadari kehadiranku di sini.

"An, kelamaan, ya? Maaf, saya bingung soalnya."

Aku tak bisa melewatkan diri untuk tersenyum. Bisa dibilang ini kali pertama aku mendengar beliau meminta maaf dan kebingungan karena tidak bisa menyelesaikan sesuatu. Tak mau menempatkan Pak Arya dalam posisi yang lebih sulit, aku bergegas menarik kursi, lalu duduk di sebelahnya.

"Sini, Pak. Saya pinjam pulpennya," kataku sambil mengulurkan tangan.

Pak Arya menggelengkan kepala. "Kamu cukup duduk dan sebutin, aja, data diri Mama Anggita. Urusan tulis menulis, biar saya yang wakili."

Entah kenapa telingaku merasa nyaman karena beliau menyebut mama dengan sebutan Mama Anggita. Mendadak terasa seperti tidak ada sekat di antara kami yang notabene berstatus sebagai atasan dan karyawan. Beliau seolah menunjukan perubahan sikap yang selama ini tidak pernah ia tunjukkan selama berada di tempat kerja. Sebuah hal yang mengganggu tiba-tiba melintas bertepatan dengan Pak Arya yang memberiku pertanyaan lanjutan.

"Tanggal lahir Mama, An?"

"Pak," panggilku tiba-tiba. Alih-alih menjawab dan melanjutkan pengisian data, aku malah tertarik untuk balik memberinya pertanyaan yang mengganggu benak. "Kalau posisinya yang meninggal itu orang tua Fuji atau Anisa, apa Bapak bakalan kayak gini juga?"

"Kayak gini, gimana maksudnya?" Pak Arya menolehkan kepala, membuat kami bersitatap dengan jarak yang sangat dekat.

"Kayak gini ... sepeduli ini," kataku tanpa mengedipkan mata. Aku yakin beliau paham arah pertanyaanku.

"An ...." Pak Arya tampak menimbang kata sebelum akhirnya melanjutkan ucapan. "Saya sepeduli ini karena kamu orangnya. Cukup kamu orangnya."

***

Related chapters

  • Rahim untuk Suamiku    Keputusan

    Kain tipis itu, nyatanya tidak menutupi luka lebam dan bekas robekan di wajah Mama. Aku yang memandangi beliau sedari tadi tidak berhenti bergidik sambil menggelengkan kepala sesekali. Masih terasa mimpi. Segala yang terjadi begitu cepat sampai aku merasa sulit menerima kalau Mama benaran tertabrak, di operasi, hingga dinyatakan meninggal hari ini. Aku mengingat-ingat lagi setiap ucap yang Mama lontarkan. Bukankah seseorang yang akan meninggal akan diberi tanda-tanda terlebih dulu? Kenapa aku tidak menyadari hal itu?Pelayat datang silih berganti. Selain mendoakan almarhumah, banyak juga dari mereka yang ingin mengetahui kronologis kecelakaan. Aku yang hanya mendengar kisah dari Bapak enggan untuk berkomentar. Beruntung karena seluruh anggota keluarga paham kalau aku tidak ingin menerima gangguan. Mereka senantiasa menjawab pertanyaan dari orang yang datang mewakiliku dan Bapak. Ya, Bapak pun sama. Beliau tak kalah terkejutnya denganku. Masih di posisi yang sama, kami menatapi wajah

    Last Updated : 2022-05-26
  • Rahim untuk Suamiku    Ayo, Nikah!

    Masa cuti aku pergunakan dengan baik. Sengaja mengajak tubuh bermalas-malasan karena ingin meregangkan otot dan urat syaraf. Kapan lagi coba aku melakukannya? Mungkin untuk tiga hari mendatang, aku tidak akan bisa menjadi manusia malas karena harus dipertemukan dengan rutinitas pekerjaan.Ponsel sedari tadi sudah seperti aku musuhi. Sengaja tidak dimainkan karena terlalu kesal menunggu pesan masuk dari seseorang. Bagas belum bisa dihubungi, belum membaca bahkan membalas pesan terakhir yang aku kirimkan padanya.Kesal karena tak kunjung menyala, aku lantas membawa ponsel itu ke pangkuan. Layarnya yang kini menyala tidak sedikitpun menunjukkan perubahan. Ibu jari kembali menekan layar, memilih icon pesan online untuk melihat perkembangan yang ada. Mataku sontak membulat. Tanda checklist dalam pesan yang kukirim sudah berubah warnanya. Bagas terpantau membaca pesan. Hah! Ke mana saja dia?Bertepatan dengan pertanyaan itu, deru motor yang tak asing dalam pendengaran pun terdengar. Aku ber

    Last Updated : 2022-05-27
  • Rahim untuk Suamiku    Sebar Undangan

    Akibat teleponku tempo lalu, Pak Arya jadi tidak tanggung-tanggung lagi. Tanpa ba-bi-bu dia datang ke rumah, meminta kejelasan hubungan sampai ingin disaksikan Bapak. Dia takut aku berubah pikiran, takut cuma omong kosong sehingga membutuhkan kesaksian orang tua. Sayangnya, pernikahan itu tidak bisa dilakukan secepat yang aku inginkan. Perlu ada jeda, kata Bapak. Jeda berkabung karena kepergian Mama. Bapak juga menyarankan supaya Pak Arya membawa kedua orang tuanya lebih dulu untuk membahas penentuan tanggal pernikahan.Dasar memang sudah siap lahir batin. Tidak perlu menunggu seminggu-dua minggu, keluarga inti Pak Arya pun datang setelah Bapak persilakan. Mereka benaran membahas persiapan pernikahan hingga rekomendasi yang disiapkan Pak Arya untuk vendor pernikahan. Alhasil, sebulan menuju hari H benaran dilakoni dengan baik untuk kami.Persiapan tanpa hadirnya seorang Mama, jadi tidak terasa karena Pak Arya terlihat begitu berpengalaman. Beliau yang sat-set-sat-set, berhasil mengaj

    Last Updated : 2022-06-01
  • Rahim untuk Suamiku    Sah, Alhamdulillah

    Kebaya panjang berekor, kain songket yang cantik, dan mahkota siger yang ternyata berat dan membuat pusing membalut serta tubuhku yang berjalan menuju meja akad. Dari kejauhan sudah aku saksikan sosok Pak Arya yang berdiri menunggu. Masih dalam mode bergandengan tangan, aku dibantu Fuji dan Anisa supaya selamat sampai ke depan sana.Pak Arya kelihatan sigap. Dia yang tahu calonnya mulai mendekat lantas menarik kursi dan membantuku duduk dengan sempurna. Sebelum pergi, kedua pager ayu tadi membantu memasangkan tudung kebaya di kepalaku dan Pak Arya. Bapak penghulu yang melihat kami sudah berada diposisi siap mengambil mikrofon dan mengucap beberapa bait kata untuk membuka acara pembacaan ijab kabul.Kini, tiba waktu bagi Bapak dan Pak Arya untuk berjabat tangan. Sebuah kertas yang bisa dijadikan penunjang pembacaan akad pun disajikan Bapak Penghulu kehadapan Pak Arya."Bismillahirrahmanirrahim. Wali nikah, apakah sudah siap?" tanya Bapak Penghulu terlebih dulu."Siap, Pak," jawab bapak

    Last Updated : 2022-06-06
  • Rahim untuk Suamiku    Malam Pertama (18+)

    Aku memasuki ruangan yang katanya akan menjadi kamar tidur kami. Hanya berbalutkan kimono, aku melewati Mas Arya yang hendak bergantian mandi. Dua ransel yang berisi pakaian pun sudah dipindahkan olehnya, tugasku malam ini mungkin hanya menata baju ke lemari. Namun sebelum bergerak, aku harus menunggu instruksi dari suami. Bagaimanapun, ini rumahnya. Aku tidak boleh berlagak hanya karena status sudah menjadi istrinya.Mas Arya datang bertepatan denganku yang sudah berpakaian. Dari jarak dekat, wajah segarnya terlihat memukau dan membuatku tak mau lepas dari pandangan. Aku bahkan bisa menghirup wangi sabun yang sama dengan tubuhnya.“Salat Isya dulu,” ajaknya yang langsung aku indahkan.Bersiap salat berjamaah, mukena yang tadi kukemas dalam ransel pun dikeluarkan. Aku menyusul Mas Arya yang sudah menata sajadah dengan rapi di pojok ruangan. Bersamaan dengannya yang memakai sarung, aku juga tak kalah mempersiapkan diri dengan memakai seperangkat mukena.“An,”“Ya?” Aku sampai memekik k

    Last Updated : 2022-06-06
  • Rahim untuk Suamiku    Rencana Bulan Madu

    Pagi hari setelah ajang mandi bersama. Ketika Mas Arya pergi ke masjid untuk salat berjamaah, aku lebih memfokuskan diri menyiapkan sarapan setelah salat dan zikir pagi. Tidak memasak menu yang ribet karena aku ingin makanan tersaji begitu Mas Arya datang.Tentu saja telur dadar dan roti panggang yang menjadi andalan. Unsur pemanisnya, aku membentuk telur yang sudah matang tersebut hingga bentuk bulatnya berubah menjadi hati. Ya, biar terlihat ada kerjaan saja.Dua porsi benaran tersedia di meja makan. Tak perlu menunggu makanan dingin, orang yang kunanti sudah datang. Aku berlarian kecil menyambut kedatangan suami sambil tak melupakan jati diri sebagai seorang istri. Sajadahnya aku ambil alih, punggung tangannya aku kecup penuh rasa patuh. Dia yang menerima sambutan hangat itu lantas mendaratkan sebuah kecupan hangat sebagai bentuk balasan."Ke kamar, yuk!" ajaknya sebelum aku mengajak ke ruang makan."Mau apa?" tanyaku apa adanya."Lanjutin yang semalam."Keningku berkerut, bukan ta

    Last Updated : 2022-06-16
  • Rahim untuk Suamiku    Terobos Bulan Madu (18+)

    Kami sampai di Yogyakarta pukul 22.10. Sempat menempuh perjalanan satu jam menaiki pesawat. Mas Arya sudah meminta maaf habis-habisan. Rencana menaiki kelas bisnis terpaksa batal karena kursi yang tersedia hanya ada di kelas ekonomi. Aku yang belum pernah naik pesawat sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Asalkan bersama suami, berkendara ke mana pun, naik apa pun akan tetap aku ikuti.Perjalanan belum cukup sampai di bandara. Kami tetap harus menaiki mobil kiriman destinasi, supaya cepat sampai di lokasi bulan madu. Mas Arya ada bercerita tadi, sudah menyewa sebuah kamar dengan pemandangan menarik di sana. Sekilas hanya kulihat saja foto-foto yang terpajang dalam laman internet. Langsung setuju-setuju saja karena pemandangan yang ada tidak terlalu buruk juga.Kondisi malam memang cukup lengang, membuat perjalanan mulus tanpa hambatan kemacetan jalan. Tidak berlama-lama, akhirnya kami sampai di penginapan. Panorama Resort and Spa, namanya. Baru turun di area parkir saja aku suda

    Last Updated : 2022-06-18
  • Rahim untuk Suamiku    Hari Pertama

    Tidur pagi setelah salat Subuh terhenti karena denting bel vila yang berbunyi. Mas Arya yang pertama kali mendengarnya. Secara perlahan, dia melepaskan pelukan. Berjalan ke dekat pintu secara diam-diam. Aku memang tidak bergerak, masih diposisi sama dengan mata terpejam, tetapi gendang pendengaran tetap aktif memantau kunjungan. Tidak ada suara apa pun setelah beberapa saat. Penasaran dengan suasana yang terjadi, aku mengusahakan diri supaya mata yang berat ini terjaga. Tidak ada siapa pun termasuk suamiku. Aku tidak mungkin salah dengar dan terka, jelas-jelas tadi aku mendengar pintu ditutup dan dikunci dari dalam. Kakiku mulai menuruni ranjang, berjalan pelan menuju ruangan depan guna memastikan keberadaan Mas Arya. Napasku berembus lega begitu mendapati sosoknya berdiri di samping televisi. Sebelah tangannya disimpan di pinggang, sedangkan tangan yang satunya memegang kendali atas ponsel. Terbersit rasa ingin mendekati dengan langkah mengendap, membuat kejutan dengan memeluk tubu

    Last Updated : 2022-06-30

Latest chapter

  • Rahim untuk Suamiku    Kembali Bekerja

    Seminggu berlalu dengan cepat. Acara leha-leha pun terpaksa harus berakhir. Ada rutinitas wajib yang harus kami jalani, yakni membuka apotek demi menghasilkan semangkuk rezeki.Jam delapan tepat kami menggeser pintu rolling door. Saling berjibaku membersihkan toko demi terciptanya ruang kerja yang nyaman. Tentunya, status suami istri membuatku menang banyak. Jika biasanya aku membersihkan toko seorang diri, kali ini Mas Arya juga kerap membantu. Senangnya bukan main. Kapan lagi coba melihat bos turun tangan dalam membantu pekerjaan?Aktivitasku dalam mengelap etalase kaca selesai, mendahului pekerjaan Mas Arya yang mengepel lantai. Merasa tidak ada yang perlu dikerjakan lagi, aku beralih ke ruangan dalam. Saatnya menyiapkan kopi untuk berterima kasih karena dia berkenan membantuku bersih-bersih.Bubuk kopi kemasan yang selalu disimpan di salah satu laci pantri menjadi sasaran. Tidak memakan waktu lama dalam proses penyeduhan. Segalanya sudah praktis berkat mesin air otomatis. Dispense

  • Rahim untuk Suamiku    Kamar Mandi Panas

    Kami tidak bisa berhenti. Sepulang dari goyangan mobil, bukannya bosan malah semakin brutal. Tiada henti Mas Arya memberikan godaan, memaksaku terjerat sampai berkali-kali memohon untuk dipuaskan. Pelayanan sarapan sudah kami abaikan berhari-hari. Sama sekali tidak ada waktu untuk melahap nasi karena kami memiliki jadwal tersendiri setiap pagi. Apalagi kalau bukan berendam bersama?"Kayak kemarin lagi, yuk!" Ajakan yang biasa aku terima setiap selesai melipat mukena.Ingin menolak. Lelahnya bukan main kalau sudah masuk dalam belaian suami, tapi mengingat nikmat yang tiada batas, aku selalu berakhir setuju.Mas Arya menggendongku ke kamar mandi. Membiarkanku melepaskan pakaian sendiri selagi ia mengisi bath tub dengan air hangat. Tangannya terulur begitu tugas mengisi air dan membuka pakaiannya selesai. Kami tidak mengenakan apa pun sekarang. Bersama-sama memasuki bath tub."Posisi kemarin, ya," katanya membuatku mengangguk paham.Kami langsung mengambil posisi seperti kemarin. Mas Ar

  • Rahim untuk Suamiku    Hujan dan Parkiran

    Kami memandangi langit Yogya yang mengguyur daratan. Tidak tampak tanda-tanda akan mereda karena curah hujan semakin tinggi intensitasnya. Semilir angin malam yang bercampur dengan derasnya air sukses menggigilkan tubuh masing-masing pengunjung. Kondisi sekacau ini serta merta membuat mereka berhamburan mencari stan yang kosong untuk dijadikan tempat berteduh sementara waktu.Mas Arya merapatkan tubuhnya. Merangkul bahuku dengan sebelah tangan sambil membisikkan sesuatu. "Kayaknya bakal lama."Aku mengangguk. Terhitung setengah jam kami berdiri. Tanah yang kami pijaki pun sudah berubah basah sepenuhnya."Masih mau nunggu atau terobos aja?"Bisikan ini membuatku menoleh. "Serius mau terobos, Mas?" Melihat dari sorot matanya, Mas Arya kelihatan tidak betah berjejalan dengan banyak pengunjung yang ikut berteduh."Mas terserah kamu, Sayang."Lah, Mas Arya malah melimpahkan keputusan padaku. Tidak jauh berbeda dengannya, aku juga galau untuk menentukan pilihan. Inginnya itu berjalan-jalan,

  • Rahim untuk Suamiku    Jalan-jalan Malam

    Lampion yang dibentuk setengah lingkaran menjadi area pembuka bagi para wisatawan yang datang. Cahaya dari bulatan benda tersebut berhasil menarik perhatianku dan Mas Arya sampai kami tergugu di ambang pintu timur. Seketika terpesona, meskipun di bawah gapura dijejali banyak pengunjung yang sibuk berfoto ria. Lambat laun, rasa kagumku pada bagian pembuka taman terhenti. Pergerakan Mas Arya yang tiba-tiba menggenggam tanganku, memancing kami bersitatap selama beberapa menit. Mulutnya sontak terbuka, bermaksud mengucap beberapa patah kata. “Mau foto kayak mereka?”Tentu saja tawaran itu mendapat anggukan bahagia dariku. Kami belum pernah berfoto. Sekalinya foto pun kemarin ketika jadi pengantin. Mumpung dia menawarkan, aku harus segera mengiyakan, supaya tidak ada acara berubah pikiran. Proses pengambilan foto pertama dimulai. Mula-mulai kami mencari sedikit ruang di antara kerumunan orang. Tidak perlu luas-luas amat karena yang terpenting foto didapat.“Mau pakai HP Mas?” Dia kembali me

  • Rahim untuk Suamiku    Hari Pertama

    Tidur pagi setelah salat Subuh terhenti karena denting bel vila yang berbunyi. Mas Arya yang pertama kali mendengarnya. Secara perlahan, dia melepaskan pelukan. Berjalan ke dekat pintu secara diam-diam. Aku memang tidak bergerak, masih diposisi sama dengan mata terpejam, tetapi gendang pendengaran tetap aktif memantau kunjungan. Tidak ada suara apa pun setelah beberapa saat. Penasaran dengan suasana yang terjadi, aku mengusahakan diri supaya mata yang berat ini terjaga. Tidak ada siapa pun termasuk suamiku. Aku tidak mungkin salah dengar dan terka, jelas-jelas tadi aku mendengar pintu ditutup dan dikunci dari dalam. Kakiku mulai menuruni ranjang, berjalan pelan menuju ruangan depan guna memastikan keberadaan Mas Arya. Napasku berembus lega begitu mendapati sosoknya berdiri di samping televisi. Sebelah tangannya disimpan di pinggang, sedangkan tangan yang satunya memegang kendali atas ponsel. Terbersit rasa ingin mendekati dengan langkah mengendap, membuat kejutan dengan memeluk tubu

  • Rahim untuk Suamiku    Terobos Bulan Madu (18+)

    Kami sampai di Yogyakarta pukul 22.10. Sempat menempuh perjalanan satu jam menaiki pesawat. Mas Arya sudah meminta maaf habis-habisan. Rencana menaiki kelas bisnis terpaksa batal karena kursi yang tersedia hanya ada di kelas ekonomi. Aku yang belum pernah naik pesawat sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Asalkan bersama suami, berkendara ke mana pun, naik apa pun akan tetap aku ikuti.Perjalanan belum cukup sampai di bandara. Kami tetap harus menaiki mobil kiriman destinasi, supaya cepat sampai di lokasi bulan madu. Mas Arya ada bercerita tadi, sudah menyewa sebuah kamar dengan pemandangan menarik di sana. Sekilas hanya kulihat saja foto-foto yang terpajang dalam laman internet. Langsung setuju-setuju saja karena pemandangan yang ada tidak terlalu buruk juga.Kondisi malam memang cukup lengang, membuat perjalanan mulus tanpa hambatan kemacetan jalan. Tidak berlama-lama, akhirnya kami sampai di penginapan. Panorama Resort and Spa, namanya. Baru turun di area parkir saja aku suda

  • Rahim untuk Suamiku    Rencana Bulan Madu

    Pagi hari setelah ajang mandi bersama. Ketika Mas Arya pergi ke masjid untuk salat berjamaah, aku lebih memfokuskan diri menyiapkan sarapan setelah salat dan zikir pagi. Tidak memasak menu yang ribet karena aku ingin makanan tersaji begitu Mas Arya datang.Tentu saja telur dadar dan roti panggang yang menjadi andalan. Unsur pemanisnya, aku membentuk telur yang sudah matang tersebut hingga bentuk bulatnya berubah menjadi hati. Ya, biar terlihat ada kerjaan saja.Dua porsi benaran tersedia di meja makan. Tak perlu menunggu makanan dingin, orang yang kunanti sudah datang. Aku berlarian kecil menyambut kedatangan suami sambil tak melupakan jati diri sebagai seorang istri. Sajadahnya aku ambil alih, punggung tangannya aku kecup penuh rasa patuh. Dia yang menerima sambutan hangat itu lantas mendaratkan sebuah kecupan hangat sebagai bentuk balasan."Ke kamar, yuk!" ajaknya sebelum aku mengajak ke ruang makan."Mau apa?" tanyaku apa adanya."Lanjutin yang semalam."Keningku berkerut, bukan ta

  • Rahim untuk Suamiku    Malam Pertama (18+)

    Aku memasuki ruangan yang katanya akan menjadi kamar tidur kami. Hanya berbalutkan kimono, aku melewati Mas Arya yang hendak bergantian mandi. Dua ransel yang berisi pakaian pun sudah dipindahkan olehnya, tugasku malam ini mungkin hanya menata baju ke lemari. Namun sebelum bergerak, aku harus menunggu instruksi dari suami. Bagaimanapun, ini rumahnya. Aku tidak boleh berlagak hanya karena status sudah menjadi istrinya.Mas Arya datang bertepatan denganku yang sudah berpakaian. Dari jarak dekat, wajah segarnya terlihat memukau dan membuatku tak mau lepas dari pandangan. Aku bahkan bisa menghirup wangi sabun yang sama dengan tubuhnya.“Salat Isya dulu,” ajaknya yang langsung aku indahkan.Bersiap salat berjamaah, mukena yang tadi kukemas dalam ransel pun dikeluarkan. Aku menyusul Mas Arya yang sudah menata sajadah dengan rapi di pojok ruangan. Bersamaan dengannya yang memakai sarung, aku juga tak kalah mempersiapkan diri dengan memakai seperangkat mukena.“An,”“Ya?” Aku sampai memekik k

  • Rahim untuk Suamiku    Sah, Alhamdulillah

    Kebaya panjang berekor, kain songket yang cantik, dan mahkota siger yang ternyata berat dan membuat pusing membalut serta tubuhku yang berjalan menuju meja akad. Dari kejauhan sudah aku saksikan sosok Pak Arya yang berdiri menunggu. Masih dalam mode bergandengan tangan, aku dibantu Fuji dan Anisa supaya selamat sampai ke depan sana.Pak Arya kelihatan sigap. Dia yang tahu calonnya mulai mendekat lantas menarik kursi dan membantuku duduk dengan sempurna. Sebelum pergi, kedua pager ayu tadi membantu memasangkan tudung kebaya di kepalaku dan Pak Arya. Bapak penghulu yang melihat kami sudah berada diposisi siap mengambil mikrofon dan mengucap beberapa bait kata untuk membuka acara pembacaan ijab kabul.Kini, tiba waktu bagi Bapak dan Pak Arya untuk berjabat tangan. Sebuah kertas yang bisa dijadikan penunjang pembacaan akad pun disajikan Bapak Penghulu kehadapan Pak Arya."Bismillahirrahmanirrahim. Wali nikah, apakah sudah siap?" tanya Bapak Penghulu terlebih dulu."Siap, Pak," jawab bapak

DMCA.com Protection Status