Padahal tadinya Osa ingin memperbaiki bantal yang menopang kepala Milova. Tapi entah bagaimana, kakinya terpeleset dan membuatnya memeluk Milova. "Aduh, aku pura-pura gak lihat kali ya," Maya menutup matanya dengan telapak tangan kanannya, tapi celah-celah jarinya sengaja ia renggangkan agar bisa mengintip. "Sorry," ucap Osa sambil melepaskan pelukannya. Maya yang menyaksikannya ikut senyum-senyum sendiri, lantas ia berlalu pergi meninggalkan ruang rawat Milova. Beberapa saat Osa dan Milova kikuk. Seperti salah tingkah, dan merasa aneh. Tapi sebisa mungkin, Osa mencoba mencairkan suasana kembali. "Ayo makan" ucap Osa sambil menyodorkan sepiring nasi dengan lauk tempe dan sayur rebus. Tersedia juga ikan kakap goreng, lauk kesukaan Milova. Osa meminta Maya mencarikannya di warung nasi seputaran rumah sakit. Lelaki itu mendengar dari Maya, bahwa Milova sangat menyukai ikan kakap goreng. Milova mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi. Ia meraih sendok yang bertengger di atas
"Aku curiga, jangan-jangan kamu hanya pura-pura amnesia" ucap Osa saat sedang menuangkan secangkir air hangat untuk Milova. Sedari tadi ia belum minum, kerongkongannya pasti sangat kering, apalagi baru saja selesai makan. Milova lumayan kaget mendengar kalimat yang keluar dari mulut lelaki itu. Namun sebisa mungkin, ia berusaha tetap tenang, agar Osa tak curiga. "Terserah saja" balas Milova, lalu ia meneguk air hangat. Tatapannya datar saja. Tak menunjukkan sesuatu yang aneh. Sudah dua kali Osa mengatakan hal yang sama. Entah dari mana ia punya prasangka itu. "Walaupun kamu amnesia, karakter asli mu tetap tidak berubah ya?" tebak Osa. Osa mengenal Milova sebagai sosok yang keras dan tak mau mengalah. Persepsi itu ia dapat karena wanita itu selalu saja beradu mulut dengannya. Walaupun terakhir kali, Milova sudah tak peduli dan memilih cuek terhadap calon suaminya itu. "Mari bekerja sama dengan baik." Osa menyodorkan tangan kanannya pada wanita itu. Sejak Milova pura-p
Mengangguk nya Milova dianggap setuju atas semua yang dijelaskan Ratna padanya. Ia mencoba menerima dengan lapang dada perintah Ratna padanya, untuk melanjutkan perjanjian kerja sama mereka. Sudah dua hari wanita paruh baya itu merawat Milova. Ia rela menghabiskan waktunya, yang biasanya sangat dijaga produktifitasnya, untuk menjaga calon menantunya itu. "Akhirnya kamu bisa pulang ke rumah," ucap Ratna sambil tersenyum. Rumi tak henti mengucap syukur atas kepulangan majikannya itu. "Saya izin pamit, Bu. Insya Allah besok jadwal saya untuk operasi sesar" pinta Rumi. Rumi memang tidak dibolehkan melahirkan secara normal oleh dokter spesialis kandungan. Dokter tersebut adalah dokter terbaik yang dipilihkan Milova untuknya. Bahkan seluruh biaya sebelum dan sesudah persalinan Rumi, sudah dilunasi oleh Milova sebelum ia mengalami kecelakaan. Milova benar-benar menepati janjinya pada Rumi, meski sampai saat ini Rumi tak tahu siapa Milova sebenarnya. "Wah, kamu akan segera punya
Betapa terkejutnya Milova membaca nama Salsa yang tertera sebagai ibu yang baru saja melahirkan bayi tampan sekitar 30 tahun yang lalu. "Jadi?" Milova berusaha menebak. Milova menafsirkan sendiri bukti yang diserahkan Raju. Meskipun masih ragu, tapi bukti yang ada mengarah pada persepsi Milova. "Ya, kemungkinan Osa bukanlah anak kandung Ratna." jelas Raju, ia paham kemana arah pikiran Milova. Milova sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika memang wanita yang sangat dicintai Osa, ternyata bukan ibu kandungnya. Dan apa Osa tahu semua itu?, Milova sendiri tak tahu jawabannya. Karena selama ini, Milova selalu melihat ketulusan Osa untuk Ratna. Dan kebenaran ini adalah sebuah berita yang sangat membuat Milova syok. "Tolong selidiki lebih detail!" perintah Milova. Lelaki gemuk itu pun mengiyakan dan segera pergi meninggalkannya. Pikiran Milova mengarahkannya pada kejadian beberapa waktu lalu. Saat Ratna, calon mertuanya itu, memintanya berkerja sama agar bisa memindahkan semua
"Benarkah?" dari balik ponsel pintarnya, ia mendengar suara Osa. Lelaki yang akan dinikahinya itu memberi kabar tentang Rumi yang baru saja melahirkan bayinya. Meskipun melalui proses operasi sesar yang panjang, dan memupuskan keinginan Rumi untuk melahirkan normal, tapi tetap saja Milova bersyukur karena Rumi dan bayinya baik-baik saja. [Bayi perempuan] sahut Osa saat Milova bertanya jenis kelamin bayi tersebut. Menutup ponsel pintarnya,membuat Milova terduduk di sofa taman. Ia kembali mengenang saat-saat menegangkan ketika ia akan melahirkan satu tahun lalu. Perasaan kalut dan takut membuatnya tak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah pada kehendak-Nya. Dan ia masih berharap, jika bayinya masih hidup, pasti ia akan sangat bangga menjadi seorang ibu. Namun, mimpi itu akan pupus untuk selamanya, ia tak akan lagi bergelar ibu. Tapi, saat ini, sebisa mungkin Milova mencoba tenang dan menerima takdir hidup yang harus ia jalani. Hubungannya dengan Osa pun sudah membaik. Meski terk
"Justru seharusnya Mama yang harus khawatir. Jika terjadi sesuatu denganku, aku punya bukti kongkrit untuk membuat Mama menyesal seumur hidup" bisik Milova, sambil sedikit membungkuk, agar suaranya tidak didengar siapa pun. Rumah Milova memang dihuni sendirian olehnya. Tapi ia punya banyak asisten rumah tangga yang dikepalai oleh Rumi dan Maya. Belum lagi satpam dan tukang kebun yang berkerja di luar. Wajar saja, rumah mewah yang luasnya tak main-main itu tentunya membutuhkan banyak pekerja untuk merawatnya. Karena pun Milova adalah tipe wanita yang sangat rapi, ia tak suka rumah yang berantakan, apalagi terlihat kotor. Tak jarang juga ia ikut membersihkan rumah, membantu para asisten rumah tangganya, agar pekerjaan mereka cepat selesai. "Ups, sepertinya aku memang harus memanggilmu dengan sebutan 'Mama', agar orang-orang percaya bahwa kita adalah menantu dan mertua yang akur" sambung Milova sambil tertawa kecil. Mulai sekarang Milova pun akan mencoba akrab dengan mertuanya i
"Ya, aku tahu." sahut Osa, spontan. Ekspresinya datar saja. Ia terlihat sama sekali tak terkejut dengan pertanyaan Milova. Bahkan ia masih asik membuka beberapa dokumen yang sedang ia telaah, berisi rincian persiapan acara resepsi pernikahannya. "Hah?" Milova terkejut. Lumayan kaget melihat sikap Osa yang biasa saja dan tak bergeming sama sekali. "Aku tuh gak habis pikir ya, jadi kamu udah tahu semuanya?" Milova kembali meyakinkan dugaannya. Ia mengerutkan keningnya dan melambaikan tangan agar Osa fokus pada apa yang tengah dibicarakannya. "Kamu ini kenapa sih?" Osa menutup dokumen yang sedang dibacanya dan menatap Milova, dengan raut wajahnya yang heran. "memangnya ada masalah apa?" tanyanya lagi. Jadi, jika ia sudah tahu tentang kebenarannya, mengapa masih berusaha keras untuk membahagiakan Ratna, sampai ia harus sekeras ini pada dirinya sendiri. Milova tak habis pikir. Sejenak ia menyeruput teh hangat yang dibuatkan Maya, lalu meletakkannya kembali, diiringi dengan he
"Mana orangnya?" tanya Milova terburu-buru. Ia hanya mengenakan baju tidur yang dibaluti jaket kulit dari luar. Jaket itu pun memang sudah ada di dalam mobilnya, sehingga Milova hanya tinggal mengenakannya saja, untuk menutupi baju tidur berwarna pink yang sedang dipakainya. "Ini dia, Bu" sahut Raju, ia melejitkan telunjuknya ke arah lelaki kekar berkulit hitam, seluruh tubuhnya dibaluti tato berwarna gelap. Kedua tangan lelaki itu sedang disekap oleh dua orang yang memeganginya, yang tak lain anak buah Milova. Jiwa kriminal yang dimiliki Milova tumbuh begitu saja. Entah dari mana ia mendapatkannya. Tapi, saat ini ia sama sekali tidak gentar atau takut jika polisi tahu aksinya. "Apa benar semua yang kamu katakan?" dengan sombongnya Milova bertanya pada lelaki kekar yang sedang disekap itu. Lelaki itu membalas dengan senyum mengejek, sambil mendengus, memancing emosi Milova. Milova menghela napas. "Aku paling malas menghadapi manusia sampah seperti ini!" kesal Milova, deng
Milova memeluk tubuh Osa dengan deraian air mata. Osa yang masih lemah bisa menyadari kehadiran wanita yang dicintainya. "Kamu tidak perlu mencari keberadaan bayi mu lagi," ucap Osa dengan nada suaranya yang masih terbata-bata. Milova mengerutkan keningnya. Sedikit kekecewaan menyelinap dari tatapannya pada Osa. Ia pikir, dengan melihat wajah lelaki kekar itu, ia akan sedikit tenang. Ternyata Osa justru membuatnya semakin kalut. "Bayi mu sudah meninggal satu tahun yang lalu, bersama istri pertama suami mu dan juga mertua mu." jelas Osa. Entah dari mana ia tahu segalanya. Milova berpikir bahwa suaminya sedang bermimpi. Atau mungkin alam mimpi membawanya menerjemahkan banyak hal selama ia koma. "Kamu bermimpi, ya?" tanya Milova, mencoba membenarkan isi pikirannya. "Aku tidak sedang bermimpi, ini benar adanya." sahut Osa, meyakinkan Milova. Pikiran Milova begitu kacau ketika mendengar apa yang dikisahkan suaminya, tepat sebelum kecelakaan itu terjadi. Osa sudah tahu tentang
Raju melaju dengan kecepatan tinggi. Pajero sport yang ia kendarai adalah milik Osa. Demi mengejar seseorang yang ia curigai sebagai salah satu tokoh penculikan bayi Milova, ia hampir saja mempertaruhkan nyawanya sendiri. "Hati-hati Raju!" pekik Milova yang duduk di sebelahnya. Milova yang trauma dengan kecepatan tinggi memaksa diri untuk ikut bersama Raju. Ia tak ingin lagi kehilangan jejak bayinya. Ternyata, orang-orang yang membawa bayi Milova, tepat di hari Osa mengalami kecelakaan, sengaja mengecoh Raju dengan mengarahkan kemudian mereka menuju bandara. Padahal, sebagian dari mereka berputar arah dan terbagi menjadi dua kelompok, salah satunya menuju tujuan yang lain. Licik sekali mereka, pikir Milova. Tapi, jika tidak licik, tak mungkin Rama mempercayai para preman suruhannya. "Bagaimana Rama bisa mengendalikan semua ini, sedangkan ia sedang mendekam di penjara?" Milova tak habis pikir dengan kelakuan mantan suaminya itu yang sudah sangat keterlaluan. Dan bayi yang seda
Milova terlihat lunglai di sebuah sofa empuk, tepat di kamar mewah dimana Osa dirawat. Ia sama sekali tidak tidur dan hanya sekadar minum dan makan beberapa suap. Kekhawatirannya semakin memuncak ketika melihat kondisi suaminya yang sama sekali tak menunjukkan perubahan. Osa masih koma dengan semua alat medis yang melekat pada tubuh kekarnya. "Kamu gak pulang saja dulu? Ya, istirahat sehari. Lagi pula, di sini ada Raju dan Raka yang menjaga Pak Osa." Husna memberi saran. Benar apa yang dikatakan Husna. Milova butuh waktu untuk istirahat dan menenangkan dirinya. Lagi pula, jika pun ia memaksa untuk menjaga Osa, dikhawatirkan justru kondisinya sendiri yang memburuk dan tentunya akan menjadi masalah baru. "Aku ingin menemaninya sampai ia sadar." sahut Milova. Husna dapat melihat betapa sedihnya perasaan Milova. Wajah cantiknya sudah berubah pucat, tubuhnya pun terlihat sangat lemah karena kekurangan energi. Jarang makan dan tidak tidur menjadi penyebabnya. "Kalau kamu mau te
Milova sadar dan membuka kedua matanya. Ia melihat Raju yang terlihat panik dan memijat kepalanya. Samar-samar Milova bisa membaca raut wajah Raju. "Ibu sudah sadar?" tanya Raju. Milova baru sadar kalau ternyata sedari tadi ia pingsan. Ia memang tidak punya keberanian untuk mendonorkan darahnya, namun tetap ia lakukan demi menyelamatkan Osa. "Bagaimana keadaan Osa?" tanya Milova spontan. Yang ia khawatirkan bukan dirinya sendiri, tapi Osa. Milova khawatir jika terjadi sesuatu dengan lelaki yang dicintainya itu. "Aku harus melihatnya." Milova berusaha untuk beranjak dari salah satu ranjang rumah sakit, dimana para perawat menidurkannya yang pingsan di depan ruang operasi. Milova mengerang, kepalanya sangat sakit, membuatnya tak mampu bangkit, bahkan hanya untuk duduk. "Jangan dipaksakan, Bu." Raju memberi saran. "Bagaimana keadaan mu?" tanya Husna yang tiba-tiba datang bersama Raka. "Pak Osa bagaimana?" Raka yang baru saja datang menodong Raju dengan pertanyaannya.
Milova tergesa-gesa menyusuri setiap ranjang di ruang IGD rumah sakit yang jaraknya cukup jauh dari SMAS Tunas Bangsa. Perasaannya sangat gundah. Ada ketakutan yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tapi pastinya, ia sangat khawatir. Raka memberitahunya bahwa Osa mengalami kecelakaan dan mobilnya menabrak sebuah truk dari arah belakang. Saat ditemukan, kondisi Osa kritis dan mengalami pendarahan di otaknya. Milova sendiri tak tahu kemana Osa akan pergi, sampai pagi-pagi tadi ia sudah menghilang tanpa pamit. Menurut kabar yang beredar juga, Osa bertujuan ke bandara. Karena tempat dimana ia mengalami kecelakaan searah dengan arah bandara. Tapi, untuk apa ia ke bandara? Siapa yang ingin ia jemput?, pikiran Milova ikut bertanya-tanya. Tapi saat ini, yang terpenting baginya adalah keselamatan Osa, lelaki yang saat ini menjadi satu-satunya tempat ia berlabuh. "Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" tanya Milova pada seorang dokter yang sedang memeriksa kondisi Osa. Terlihat je
Matahari yang menghempas wajah Milova secara perkasa membangunkannya dari tidur panjangnya. Gorden yang sudah tersibak, membuatnya mencari-cari kemana Osa pergi. Padahal pagi ini, Milova sudah berjanji akan diantar oleh suaminya itu ke sekolah. Tapi pagi ini, sarapan yang sudah rapi di atas meja, hanya disantapnya sendirian. "Kamu tahu kemana Bapak?" tanya Milova pada Maya yang sedang meletakkan roti bakar di atas meja makan. "Tadi Bapak sudah pergi duluan, Bu. Katanya ada urusan mendadak." jelas Maya. Milova tahu apa yang menjadi alasan Osa pergi begitu saja, tak lain karena ia kecewa atas apa yang dilakukannya semalam. Tapi semua sudah terjadi, dan sebagai sepasang suami istri yang saling mencintai, Milova dan Osa sama sekali tak terpaksa melakukannya. Mengendarai mobilnya, Milova melaju menuju ke sekolah. Jam menunjukkan pukul 07.35 WIB. Cuaca pagi ini lumayan panas, terlihat jelas dari beberapa bunga di teras rumahnya yang sudah tak lagi berembun, tidak seperti biasanya.
"Terima kasih, ya?" ucap Osa pada Milova, sesaat setelah kedua guru itu pulang. Milova memberi pilihan jika Bu Sarah dan Bu Cantika masih ingin mengajar di SMAS Tunas Bangsa, maka mereka harus mencari peserta didik yang akan masuk ke SMAS Tunas Bangsa dengan jumlah yang sama dengan jumlah peserta didik yang sudah keluar dari sekolah tersebut. Milova juga memberi waktu selama tiga bulan untuk mereka menyelesaikan misi tersebut. Selama tiga bulan tersebut juga Milova masih mengizinkan kedua guru itu untuk bekerja di SMAS Tunas Bangsa. Syarat tersebut sengaja Milova berlakukan sebagai salah satu strategi untuk mengembalikan nama baik nama SMAS Tunas Bangsa. Dengan begitu, tanpa disadari, nama sekolah akan kembali membaik dengan sendirinya. Dan tentunya, Bu Sarah dan Bu Cantika akan mempelopori misi Milova demi terpenuhinya jumlah peserta didik yang diinginkan sebelum waktu tiga bulan tersebut berlalu. "Sama-sama." ucap Milova seraya menyentuh pipi kiri Osa. Tindakan wanita itu me
"Jadi itu tujuan Bu Cantikan dan Bu Sarah sampai harus datang ke rumah saya?" tanya Milova sesaat setelah menyeruput kopi khas Gayo. Kualitas Kopi Gayo (Aceh) sudah diakui oleh dunia sebagai kopi terbaik melalui sertifikat resmi akan kualitasnya yang keluar pada tahun 2010 lalu. Selain itu, sekarang ini juga para petani sedang mengembangkan tiga varietas Kopi Gayo yang sedang dibudidayakan, yaitu Gayo 1, Gayo 2, dan P88 yang juga sudah diakui oleh dunia sebagai kopi terbaik. Kenikmatan Kopi Gayo dimulai dari rasanya yang kuat dan berkarakter. Kopi Gayo memiliki rasa yang tidak pahit dan memiliki keasaman yang rendah, serta memiliki sedikit sentuhan rasa manis. Makanya, Kopi Gayo ini seringkali dijadikan sebagai bahan campuran berbagai house blend coffee. Kopi Gayo paling cocok ditanam di ketinggian 1000 mdpl. Namun, kopi Gayo ini juga memiliki keunikan tersendiri, yaitu ketinggian perkebunan yang menentukan cita rasanya. Perbedaan ketinggian perkebunan ini ternyata juga bisa mem
"Kok tiba-tiba rapat, sih?" para guru saling bertanya. Rapat ini tidak seperti biasanya, pemberitahuannya hanya satu jam sebelumnya. Sehingga menimbulkan banyak persepsi dari guru-guru. Apalagi, para internal SMAS Tunas Bangsa sedang dihebohkan dengan rencana Osa menjual sekolah ini. Dan kabar tersebut bukan lagi kabar burung, bahkan pembeli sekolah ini juga sudah bertemu langsung dengan Osa. "Acara serah terima, mungkin." tebak salah seorang guru. Osa dan Milova masuk dari pintu utama ruang guru. Berhubung dilakukan secara dadakan, maka saran dari Raka, rapat dilaksanakan di ruang guru saja. Lagi pula, ruang guru cukup luas dan nyaman, juga sejuk karena dilengkapi oleh pendingin ruangan. Dan yang terpenting, Raka sudah memastikan, semua guru mengikuti rapat ini, seperti perintah Osa. "Ada yang tahu, untuk apa rapat ini diadakan secara mendadak?" tanya Milova, membuka pembicaraan setelah Osa memberi sambutan dan mempersilakan Milova untuk bicara. "Untuk pengalihan kepal