Betapa terkejutnya Milova membaca nama Salsa yang tertera sebagai ibu yang baru saja melahirkan bayi tampan sekitar 30 tahun yang lalu. "Jadi?" Milova berusaha menebak. Milova menafsirkan sendiri bukti yang diserahkan Raju. Meskipun masih ragu, tapi bukti yang ada mengarah pada persepsi Milova. "Ya, kemungkinan Osa bukanlah anak kandung Ratna." jelas Raju, ia paham kemana arah pikiran Milova. Milova sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika memang wanita yang sangat dicintai Osa, ternyata bukan ibu kandungnya. Dan apa Osa tahu semua itu?, Milova sendiri tak tahu jawabannya. Karena selama ini, Milova selalu melihat ketulusan Osa untuk Ratna. Dan kebenaran ini adalah sebuah berita yang sangat membuat Milova syok. "Tolong selidiki lebih detail!" perintah Milova. Lelaki gemuk itu pun mengiyakan dan segera pergi meninggalkannya. Pikiran Milova mengarahkannya pada kejadian beberapa waktu lalu. Saat Ratna, calon mertuanya itu, memintanya berkerja sama agar bisa memindahkan semua
"Benarkah?" dari balik ponsel pintarnya, ia mendengar suara Osa. Lelaki yang akan dinikahinya itu memberi kabar tentang Rumi yang baru saja melahirkan bayinya. Meskipun melalui proses operasi sesar yang panjang, dan memupuskan keinginan Rumi untuk melahirkan normal, tapi tetap saja Milova bersyukur karena Rumi dan bayinya baik-baik saja. [Bayi perempuan] sahut Osa saat Milova bertanya jenis kelamin bayi tersebut. Menutup ponsel pintarnya,membuat Milova terduduk di sofa taman. Ia kembali mengenang saat-saat menegangkan ketika ia akan melahirkan satu tahun lalu. Perasaan kalut dan takut membuatnya tak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah pada kehendak-Nya. Dan ia masih berharap, jika bayinya masih hidup, pasti ia akan sangat bangga menjadi seorang ibu. Namun, mimpi itu akan pupus untuk selamanya, ia tak akan lagi bergelar ibu. Tapi, saat ini, sebisa mungkin Milova mencoba tenang dan menerima takdir hidup yang harus ia jalani. Hubungannya dengan Osa pun sudah membaik. Meski terk
"Justru seharusnya Mama yang harus khawatir. Jika terjadi sesuatu denganku, aku punya bukti kongkrit untuk membuat Mama menyesal seumur hidup" bisik Milova, sambil sedikit membungkuk, agar suaranya tidak didengar siapa pun. Rumah Milova memang dihuni sendirian olehnya. Tapi ia punya banyak asisten rumah tangga yang dikepalai oleh Rumi dan Maya. Belum lagi satpam dan tukang kebun yang berkerja di luar. Wajar saja, rumah mewah yang luasnya tak main-main itu tentunya membutuhkan banyak pekerja untuk merawatnya. Karena pun Milova adalah tipe wanita yang sangat rapi, ia tak suka rumah yang berantakan, apalagi terlihat kotor. Tak jarang juga ia ikut membersihkan rumah, membantu para asisten rumah tangganya, agar pekerjaan mereka cepat selesai. "Ups, sepertinya aku memang harus memanggilmu dengan sebutan 'Mama', agar orang-orang percaya bahwa kita adalah menantu dan mertua yang akur" sambung Milova sambil tertawa kecil. Mulai sekarang Milova pun akan mencoba akrab dengan mertuanya i
"Ya, aku tahu." sahut Osa, spontan. Ekspresinya datar saja. Ia terlihat sama sekali tak terkejut dengan pertanyaan Milova. Bahkan ia masih asik membuka beberapa dokumen yang sedang ia telaah, berisi rincian persiapan acara resepsi pernikahannya. "Hah?" Milova terkejut. Lumayan kaget melihat sikap Osa yang biasa saja dan tak bergeming sama sekali. "Aku tuh gak habis pikir ya, jadi kamu udah tahu semuanya?" Milova kembali meyakinkan dugaannya. Ia mengerutkan keningnya dan melambaikan tangan agar Osa fokus pada apa yang tengah dibicarakannya. "Kamu ini kenapa sih?" Osa menutup dokumen yang sedang dibacanya dan menatap Milova, dengan raut wajahnya yang heran. "memangnya ada masalah apa?" tanyanya lagi. Jadi, jika ia sudah tahu tentang kebenarannya, mengapa masih berusaha keras untuk membahagiakan Ratna, sampai ia harus sekeras ini pada dirinya sendiri. Milova tak habis pikir. Sejenak ia menyeruput teh hangat yang dibuatkan Maya, lalu meletakkannya kembali, diiringi dengan he
"Mana orangnya?" tanya Milova terburu-buru. Ia hanya mengenakan baju tidur yang dibaluti jaket kulit dari luar. Jaket itu pun memang sudah ada di dalam mobilnya, sehingga Milova hanya tinggal mengenakannya saja, untuk menutupi baju tidur berwarna pink yang sedang dipakainya. "Ini dia, Bu" sahut Raju, ia melejitkan telunjuknya ke arah lelaki kekar berkulit hitam, seluruh tubuhnya dibaluti tato berwarna gelap. Kedua tangan lelaki itu sedang disekap oleh dua orang yang memeganginya, yang tak lain anak buah Milova. Jiwa kriminal yang dimiliki Milova tumbuh begitu saja. Entah dari mana ia mendapatkannya. Tapi, saat ini ia sama sekali tidak gentar atau takut jika polisi tahu aksinya. "Apa benar semua yang kamu katakan?" dengan sombongnya Milova bertanya pada lelaki kekar yang sedang disekap itu. Lelaki itu membalas dengan senyum mengejek, sambil mendengus, memancing emosi Milova. Milova menghela napas. "Aku paling malas menghadapi manusia sampah seperti ini!" kesal Milova, deng
"Dari ponsel mu!" tegas Osa sambil memandangi ponsel pintar yang ada di genggaman Milova. Ternyata Osa telah menyadap handphone Milova saat ia dirawat di rumah sakit. Dengan begitu, lelaki itu bisa mengetahui kemana pun calon istrinya pergi. Jaket kulit Osa ketinggalan di rumah Milova. Itulah sebabnya ia putar balik dan kembali ke rumah Milova. Sesampainya di sana, Maya mengatakan tak tahu kemana Milova pergi. Yang jelas, wanita itu meninggalkan rumah dengan tergesa-gesa, Maya mengisahkan. Osa memaksa diri untuk kembali mengambil jaket tersebut. Bukan hanya karena harganya yang fantastis. Tapi jaket tersebut juga unlimited. Hanya ada satu di seluruh dunia. Dipesan dari seorang designer ternama di Los Angeles. Jika sampai Maya mencucinya, tanpa pengetahuan yang expert, ia bisa melukai tekstur jaket tersebut. Tapi bukan hanya itu alasannya. Jaket kulit tersebut adalah hadiah ulang tahun dari Lusi, wanita yang sangat ia cintai. Jadi, apapun yang terjadi, ia tetap akan kembali ke
Tatapan Milova seketika berkaca. Ia bahkan belum mendengar apapun dari mulut calon suaminya itu, tapi jantungnya sudah berdegup kencang. "Maksudmu?" ia berharap lelaki kekar itu lekas menjelaskan. Tak bisa ia sembunyikan kekhawatiran yang tiba-tiba saja muncul ketika mendengar pernyataan Osa tadi. Tapi ia tak berharap lebih, sebisa mungkin ia mencoba untuk menerima apapun yang akan dikatakan calon suaminya itu. "Bayi yang kamu lahirkan satu tahun lalu tidak meninggal saat dilahirkan" jelas Osa. Milova yang berniat masuk ke mobilnya untuk pulang, mengurungkan niatnya. Apa yang dikatakan lelaki itu membuatnya terpaku. "Kamu tidak sedang membohongiku, kan?" Milova belum bisa mempercayai apa yang dikatakan Osa. Sakit sekali rasanya setiap sudut kehidupan yang harus ia jalani. Namun, sekuat mungkin, ia harus berusaha tabah. Milova tak lagi ingin mendengar penjelasan Osa lebih dalam. Ia bergegas meninggalkan lelaki itu. Pergi menggunakan mobilnya. Milova mencoba mengejar. Ia t
Milova terduduk di taman rumah sakit. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi besi yang ada di sana. Ia tak lagi bisa bicara. Bahkan kerongkongannya terasa sakit saat sesekali ia menelan ludah. Sejak tadi pagi, sebutir nasi pun belum menyelinap ke perutnya. Jangan kan nasi, minum saja tidak. Bibirnya yang merah natural terlihat pucat pasi. Milova memang sedang sakit. Ia yang mengalami kecelakaan, belum benar-benar pulih. Ditambah lagi dengan kasus pertikaian antara Rama dan Osa hingga membuat Milova terluka. Tapi saat ini, kondisi tubuhnya juga sedang menurun, seperti akan demam. Mungkin karena pola makan yang tidak teratur. Atau mungkin juga karena pikirannya yang sedang kacau. "Kak, tolong lemparkan bolanya" ucap seorang ibu muda yang sedang bermain bersama putri kecilnya di taman tersebut. Milova tak bergeming. Ia hanya menatap datar sebuah bola kecil yang tak sengaja terlempar ke kursi panjang yang sedang ia duduki, tepat di sebelahnya. Ibu muda tadi terpaksa mengamb
Milova memeluk tubuh Osa dengan deraian air mata. Osa yang masih lemah bisa menyadari kehadiran wanita yang dicintainya. "Kamu tidak perlu mencari keberadaan bayi mu lagi," ucap Osa dengan nada suaranya yang masih terbata-bata. Milova mengerutkan keningnya. Sedikit kekecewaan menyelinap dari tatapannya pada Osa. Ia pikir, dengan melihat wajah lelaki kekar itu, ia akan sedikit tenang. Ternyata Osa justru membuatnya semakin kalut. "Bayi mu sudah meninggal satu tahun yang lalu, bersama istri pertama suami mu dan juga mertua mu." jelas Osa. Entah dari mana ia tahu segalanya. Milova berpikir bahwa suaminya sedang bermimpi. Atau mungkin alam mimpi membawanya menerjemahkan banyak hal selama ia koma. "Kamu bermimpi, ya?" tanya Milova, mencoba membenarkan isi pikirannya. "Aku tidak sedang bermimpi, ini benar adanya." sahut Osa, meyakinkan Milova. Pikiran Milova begitu kacau ketika mendengar apa yang dikisahkan suaminya, tepat sebelum kecelakaan itu terjadi. Osa sudah tahu tentang
Raju melaju dengan kecepatan tinggi. Pajero sport yang ia kendarai adalah milik Osa. Demi mengejar seseorang yang ia curigai sebagai salah satu tokoh penculikan bayi Milova, ia hampir saja mempertaruhkan nyawanya sendiri. "Hati-hati Raju!" pekik Milova yang duduk di sebelahnya. Milova yang trauma dengan kecepatan tinggi memaksa diri untuk ikut bersama Raju. Ia tak ingin lagi kehilangan jejak bayinya. Ternyata, orang-orang yang membawa bayi Milova, tepat di hari Osa mengalami kecelakaan, sengaja mengecoh Raju dengan mengarahkan kemudian mereka menuju bandara. Padahal, sebagian dari mereka berputar arah dan terbagi menjadi dua kelompok, salah satunya menuju tujuan yang lain. Licik sekali mereka, pikir Milova. Tapi, jika tidak licik, tak mungkin Rama mempercayai para preman suruhannya. "Bagaimana Rama bisa mengendalikan semua ini, sedangkan ia sedang mendekam di penjara?" Milova tak habis pikir dengan kelakuan mantan suaminya itu yang sudah sangat keterlaluan. Dan bayi yang seda
Milova terlihat lunglai di sebuah sofa empuk, tepat di kamar mewah dimana Osa dirawat. Ia sama sekali tidak tidur dan hanya sekadar minum dan makan beberapa suap. Kekhawatirannya semakin memuncak ketika melihat kondisi suaminya yang sama sekali tak menunjukkan perubahan. Osa masih koma dengan semua alat medis yang melekat pada tubuh kekarnya. "Kamu gak pulang saja dulu? Ya, istirahat sehari. Lagi pula, di sini ada Raju dan Raka yang menjaga Pak Osa." Husna memberi saran. Benar apa yang dikatakan Husna. Milova butuh waktu untuk istirahat dan menenangkan dirinya. Lagi pula, jika pun ia memaksa untuk menjaga Osa, dikhawatirkan justru kondisinya sendiri yang memburuk dan tentunya akan menjadi masalah baru. "Aku ingin menemaninya sampai ia sadar." sahut Milova. Husna dapat melihat betapa sedihnya perasaan Milova. Wajah cantiknya sudah berubah pucat, tubuhnya pun terlihat sangat lemah karena kekurangan energi. Jarang makan dan tidak tidur menjadi penyebabnya. "Kalau kamu mau te
Milova sadar dan membuka kedua matanya. Ia melihat Raju yang terlihat panik dan memijat kepalanya. Samar-samar Milova bisa membaca raut wajah Raju. "Ibu sudah sadar?" tanya Raju. Milova baru sadar kalau ternyata sedari tadi ia pingsan. Ia memang tidak punya keberanian untuk mendonorkan darahnya, namun tetap ia lakukan demi menyelamatkan Osa. "Bagaimana keadaan Osa?" tanya Milova spontan. Yang ia khawatirkan bukan dirinya sendiri, tapi Osa. Milova khawatir jika terjadi sesuatu dengan lelaki yang dicintainya itu. "Aku harus melihatnya." Milova berusaha untuk beranjak dari salah satu ranjang rumah sakit, dimana para perawat menidurkannya yang pingsan di depan ruang operasi. Milova mengerang, kepalanya sangat sakit, membuatnya tak mampu bangkit, bahkan hanya untuk duduk. "Jangan dipaksakan, Bu." Raju memberi saran. "Bagaimana keadaan mu?" tanya Husna yang tiba-tiba datang bersama Raka. "Pak Osa bagaimana?" Raka yang baru saja datang menodong Raju dengan pertanyaannya.
Milova tergesa-gesa menyusuri setiap ranjang di ruang IGD rumah sakit yang jaraknya cukup jauh dari SMAS Tunas Bangsa. Perasaannya sangat gundah. Ada ketakutan yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tapi pastinya, ia sangat khawatir. Raka memberitahunya bahwa Osa mengalami kecelakaan dan mobilnya menabrak sebuah truk dari arah belakang. Saat ditemukan, kondisi Osa kritis dan mengalami pendarahan di otaknya. Milova sendiri tak tahu kemana Osa akan pergi, sampai pagi-pagi tadi ia sudah menghilang tanpa pamit. Menurut kabar yang beredar juga, Osa bertujuan ke bandara. Karena tempat dimana ia mengalami kecelakaan searah dengan arah bandara. Tapi, untuk apa ia ke bandara? Siapa yang ingin ia jemput?, pikiran Milova ikut bertanya-tanya. Tapi saat ini, yang terpenting baginya adalah keselamatan Osa, lelaki yang saat ini menjadi satu-satunya tempat ia berlabuh. "Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" tanya Milova pada seorang dokter yang sedang memeriksa kondisi Osa. Terlihat je
Matahari yang menghempas wajah Milova secara perkasa membangunkannya dari tidur panjangnya. Gorden yang sudah tersibak, membuatnya mencari-cari kemana Osa pergi. Padahal pagi ini, Milova sudah berjanji akan diantar oleh suaminya itu ke sekolah. Tapi pagi ini, sarapan yang sudah rapi di atas meja, hanya disantapnya sendirian. "Kamu tahu kemana Bapak?" tanya Milova pada Maya yang sedang meletakkan roti bakar di atas meja makan. "Tadi Bapak sudah pergi duluan, Bu. Katanya ada urusan mendadak." jelas Maya. Milova tahu apa yang menjadi alasan Osa pergi begitu saja, tak lain karena ia kecewa atas apa yang dilakukannya semalam. Tapi semua sudah terjadi, dan sebagai sepasang suami istri yang saling mencintai, Milova dan Osa sama sekali tak terpaksa melakukannya. Mengendarai mobilnya, Milova melaju menuju ke sekolah. Jam menunjukkan pukul 07.35 WIB. Cuaca pagi ini lumayan panas, terlihat jelas dari beberapa bunga di teras rumahnya yang sudah tak lagi berembun, tidak seperti biasanya.
"Terima kasih, ya?" ucap Osa pada Milova, sesaat setelah kedua guru itu pulang. Milova memberi pilihan jika Bu Sarah dan Bu Cantika masih ingin mengajar di SMAS Tunas Bangsa, maka mereka harus mencari peserta didik yang akan masuk ke SMAS Tunas Bangsa dengan jumlah yang sama dengan jumlah peserta didik yang sudah keluar dari sekolah tersebut. Milova juga memberi waktu selama tiga bulan untuk mereka menyelesaikan misi tersebut. Selama tiga bulan tersebut juga Milova masih mengizinkan kedua guru itu untuk bekerja di SMAS Tunas Bangsa. Syarat tersebut sengaja Milova berlakukan sebagai salah satu strategi untuk mengembalikan nama baik nama SMAS Tunas Bangsa. Dengan begitu, tanpa disadari, nama sekolah akan kembali membaik dengan sendirinya. Dan tentunya, Bu Sarah dan Bu Cantika akan mempelopori misi Milova demi terpenuhinya jumlah peserta didik yang diinginkan sebelum waktu tiga bulan tersebut berlalu. "Sama-sama." ucap Milova seraya menyentuh pipi kiri Osa. Tindakan wanita itu me
"Jadi itu tujuan Bu Cantikan dan Bu Sarah sampai harus datang ke rumah saya?" tanya Milova sesaat setelah menyeruput kopi khas Gayo. Kualitas Kopi Gayo (Aceh) sudah diakui oleh dunia sebagai kopi terbaik melalui sertifikat resmi akan kualitasnya yang keluar pada tahun 2010 lalu. Selain itu, sekarang ini juga para petani sedang mengembangkan tiga varietas Kopi Gayo yang sedang dibudidayakan, yaitu Gayo 1, Gayo 2, dan P88 yang juga sudah diakui oleh dunia sebagai kopi terbaik. Kenikmatan Kopi Gayo dimulai dari rasanya yang kuat dan berkarakter. Kopi Gayo memiliki rasa yang tidak pahit dan memiliki keasaman yang rendah, serta memiliki sedikit sentuhan rasa manis. Makanya, Kopi Gayo ini seringkali dijadikan sebagai bahan campuran berbagai house blend coffee. Kopi Gayo paling cocok ditanam di ketinggian 1000 mdpl. Namun, kopi Gayo ini juga memiliki keunikan tersendiri, yaitu ketinggian perkebunan yang menentukan cita rasanya. Perbedaan ketinggian perkebunan ini ternyata juga bisa mem
"Kok tiba-tiba rapat, sih?" para guru saling bertanya. Rapat ini tidak seperti biasanya, pemberitahuannya hanya satu jam sebelumnya. Sehingga menimbulkan banyak persepsi dari guru-guru. Apalagi, para internal SMAS Tunas Bangsa sedang dihebohkan dengan rencana Osa menjual sekolah ini. Dan kabar tersebut bukan lagi kabar burung, bahkan pembeli sekolah ini juga sudah bertemu langsung dengan Osa. "Acara serah terima, mungkin." tebak salah seorang guru. Osa dan Milova masuk dari pintu utama ruang guru. Berhubung dilakukan secara dadakan, maka saran dari Raka, rapat dilaksanakan di ruang guru saja. Lagi pula, ruang guru cukup luas dan nyaman, juga sejuk karena dilengkapi oleh pendingin ruangan. Dan yang terpenting, Raka sudah memastikan, semua guru mengikuti rapat ini, seperti perintah Osa. "Ada yang tahu, untuk apa rapat ini diadakan secara mendadak?" tanya Milova, membuka pembicaraan setelah Osa memberi sambutan dan mempersilakan Milova untuk bicara. "Untuk pengalihan kepal