"Kapan nih undangannya tersebar?" tanya Husna sambil berjalan pelan, masuk ke ruang kerja Milova. Senyumnya terlihat tak tulus, ia sedang memancing emosi temannya. "Pagi-pagi jangan bikin kesel, ya!" ancam Milova tanpa menoleh ke arah wanita cantik itu. Husna melaju menuju sofa. Ia merebahkan tubuhnya tanpa segan-segan. Kakinya pun ikut ia angkat lurus ke atas sofa, terasa seperti di rumah sendiri. Dan hanya ia yang berani seperti itu. Bukan karena Milova terkesan kaku. Tapi karena status wakil kurikulum membuatnya disegani oleh para guru, kecuali Husna, si gadis periang dengan segala dramanya. "Ya, Cinderella bisa kesel juga?" Husna tersenyum ke arah Milova. "Hah?" "Kan cuma Cinderella yang berani menikahi sang pangeran?" Husna semakin menjadi-jadi. Membuat Milova menghela napas dan tak lagi peduli. "eh aku serius nih, kapan undangannya akan disebar? atau mau aku bantu?" tawarnya. Milova terdiam. Ia tahu Husna hanya penonton dalam pertunjukkan drama yang tengah ia mainka
"Syukurlah Anda datang di waktu yang tepat!" ujar Raka seraya menyentuh lengan Osa. "terima kasih, Pak!" bubuhnya lagi. Raka menarik kembali uang yang telah ia berikan kepada Husna secara paksa, dan membuat Husna sedikit kaget. Tentu saja ia pikir tidak perlu membayar untuk sebuah informasi yang telah ia dapatkan secara gratis, yaitu dari mulut Osa sendiri. "Tunggu dulu!" Osa menahan langkah Raka yang sudah beberapa langkah beranjak meninggalkan ruang kerja Milova. "memangnya untuk apa kamu tahu tentang rencana pernikahanku dan Milova?" akhirnya osa sadar ada sesuatu yang aneh dengan Raka. Husna tak ingin melewati kesempatan ini. Ia secara teratur menjelaskan kepada Osa tentang niat Raka, yang akan menjual informasi yang ia dapat secara gratis kepada Pak Chandra. Raka yang mendengarnya, mencoba menapik. Tapi percuma, karena seluruh guru juga sudah tahu bagaimana watak Raka. "Mengenai Pak Chandra, memang benar beliau baru saja kehilangan istrinya. Tapi kan itu istri pertamanya
"Ra? Ra apa?" Milova menyerang Osa dengan rasa penasarannya. Osa pun terdiam, ia sedang berpikir keras. "kenapa diam?" tanyanya lagi. Bukan luka di hati Milova yang dipikirkan Osa sehingga ia menutupi semuanya. Tapi ia lebih takut jika rencana yang telah ia susun secara apik, buyar karena Milova larut dalam kesedihannya. Tentu Osa tidak ingin rencana pernikahan kontraknya bersama Milova gagal hanya karena informasi yang selama ini ia tutupi. Jelas di sini Osa mencari keuntungan pribadi tanpa memikirkan masa depan Milova. "Maksudku daripada tidak punya rasa malu sepertimu, ra-sa ma-lu!" jawab Osa, sambil menjelaskan kata "Ra" yang tak selesai ia ucapkan. Milova menangkap sebuah kejanggalan dari Osa. Karena sebelumnya ia tidak pernah bersikap seperti itu. Osa tipe lelaki yang tegas dan tak mudah basa-basi apalagi terlihat bingung dengan apa yang akan ia katakan. Ini sungguh ambigu bagi Milova. Tetapi Milova tak ingin melanjutkan perdebatan tersebut. Karena menurutnya, percuma sa
Milova sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Osa. Matanya ikut berbinar ketika membayangkan akan kembali bertemu dengan Rama, lelaki yang ia yakini akan melindunginya. "Dimana Mas Rama?" Milova tidak sabar menanti penjelasan lelaki yang ada di hadapannya itu. Bagi Osa ini terdengar sangat menjijikan, di mana seorang mantan istri sangat menunggu kehadiran mantan suaminya. Dan pikiran Osa juga mulai menguliti masa lalu Milova, terpikir olehnya jika Milova adalah gadis melankolis dan bucin di masa lalu. Berbeda dengan Milova di masa sekarang, ia terlihat lebih cuek dan tak peduli dengan apapun yang terjadi. "Sebelumnya, aku ingin tahu sesuatu!" Osa memberi persyaratan. "dimana dan kapan kamu terakhir bertemu lelaki tidak bertanggung jawab itu?" Osa begitu sinis. "Apa urusannya dengan Osa? Milova tak habis pikir dengan sikap lelaki arogan itu. Ia yang terlihat begitu cuek dan kasar tapi begitu ingin tahu tentang urusan orang lain. Ya, memang Milova belum pernah meliha
Ternyata tergopoh-gopohnya Milova tak lain dengan tujuan untuk menyelinap ke ruang kerja Osa. Ia berharap ada sesuatu bukti yang dapat ia temukan atau mungkin informasi yang dapat mengarahkannya untuk mengetahui di mana keberadaan Rama. Ia memberanikan diri untuk menutup rapat ruang kerja Osa. Lalu mulai memeriksa meja kerja Osa. Berkas-berkas yang berserakan ikut ia kuliti, sambil tetap berhati-hati jikalau ada orang yang melihat atau mungkin Osa yang kembali ke sekolah. "Ah sial!'" celetuk Milova, kesal. Ia ikut membanting beberapa berkas yang sudah terletak di meja Osa sebelumnya. Beberapa detik ia terdiam sambil tetap melirik ke kiri dan kanan, memastikan ada sesuatu yang bisa ia curigai. Pandangannya teralih pada sebuah laci yang ada di lemari ruang tersebut. Ia tak tahu pasti fungsi laci tersebut, tapi menurutnya mungkin dokumen-dokumen penting Osa disimpan di sana. Bergegas ia membuka laci tersebut dan mendapati beberapa dokumen penting seperti surat izin sekolah dan
"Mau kemana?" hampir saja Milova berteriak mendengar pertanyaan dari lelaki kekar yang sudah terpatri di hadapannya. Wajar saja jika terkejut, bukan hanya karena Milova melakukan kesalahan, tapi karena Osa tiba-tiba saja muncul saat ia membuka pintu. Ia yang awalnya sudah ingin ke rumah sakit untuk menemui dokter, justru harus tertunda dan tentunya tidak mudah lolos dari seorang Osa. "Bukan urusanmu!" sahu Milova, cetus, sambil merapikan tali tasnya yang sedikit terjatuh dari bahu. Tapi bukan Osa namanya jika tidak bisa menemukan apa yang ia cari. Osa melangkahkan kakinya, mendekati Milova perlahan. Wajahnya terlihat serius dan mencurigai wanita itu. Kali ini, jas hitam yang dikenakannya kembali menjadikan Osa sebagai seorang kepala sekolah yang tampan. Bahkan tak hanya itu, ia juga terlihat lebih elegan dari biasanya. Tapi bukan itu yang membuat wajah Milova memerah. Ia sedang memikirkan jalan keluar untuk pergi dari incaran lelaki itu. Perlahan langkah Osa maju, dan Milo
"Oh mengenai hal tersebut, memang benar Pak Osa mendonorkan darahnya!" jelas dokter. Milova menyesal mendengarnya. Bagaimana bisa seorang penderita HIV seperti Osa dengan bebas mendonorkan darahnya kepada orang lain. Ini benar-benar di luar nalar. Masa iya tim medis tidak mendeteksi kejanggalan tersebut? Dan tidak mungkin juga Milova menjelaskan kepada dokter bahwa Osa adalah seorang pengidap HIV, tidak etis sekali rasanya. Lagi pula kejadiannya sudah berlalu, pikir Milova. "Ada yang bisa kami bantu lagi, Bu?" dokter bertanya, memecahkan lamunan Milova. "Hhmm, berapa kantong darah yang didonorkan Pak Osa kepada saya, Dok?" Milova kembali bertanya. Sebenarnya mengetahui lebih jauh justru akan membuat Milova semakin gelisah. Tapi saat ini, lebih baik ia mengetahui semuanya, toh semua juga sudah terlanjur terjadi. "Satu kantong, Bu." jawab dokter. Satu atau dua kantong ya sama saja, tetap saja darahnya telah mengalir di tubuh Milova. "tapi darah tersebut tidak didonorkan ke ib
Meski terkesan sangat tabu. Tapi rasanya menyenangkan melihat sikap Osa saat ini. Ya, memang terasa sangat aneh, tidak seperti sebelumnya, Osa yang jutek dan sombong, lantas apa yang terjadi dengan lelaki itu? "Sepakat?" Osa menjulurkan tangannya, meminta Milova menyetujui apa yang baru saja ia minta. Lelaki itu memintanya untuk berdamai dan mulai melaksanakan misi mereka dengan baik. Memang, selama ini sebisa mungkin Milova berusaha melakukan setiap perintah Osa meski tidak menyenangkan baginya. Tapi kali ini, Osa ingin agar Milova lebih nyaman dan tenang dalam menjalankan tugasnya. Tanpa paksaan seperti sebelumnya. Milova sendiri masih tercengang, ia belum percaya lelaki yang ada di hadapannya itu bisa sesantai ini. Osa yang arogan dan tak mau mengalah, apa benar telah berubah menjadi lelaki baik dan sopan? Ah, mustahil, pikir Milova. "Ada apa denganmu?" Milova tidak langsung menyambut uluran tangan Osa. Hingga lelaki itu kembali menarik ulur telapak tangannya. "Aku hanya i