Pagi itu, di perusahaan Alura fashion Group.
Kegiatan kantor berjalan seperti biasa, kesibukan selalu terjadi. Bulan depan rencananya produk tas dan sepatu dari perusahaan itu akan mulai dipasarkan, Helena sudah memastikan semua berjalan seperti seharusnya. Seperti kegiatan tiap awal bulan, Helena akan datang ke pusat belanja untuk melihat langsung bagaimana jalannya proses penjualan produk AFG.Namun, matanya teralihkan secara tak sengaja. Helena berdiri di depan etalase toko, matanya terpaku pada lingerie berwarna merah muda yang menggantung dengan anggun.Warna dan desainnya yang elegan seketika membangkitkan ingatan akan Alexander yang pernah berkata bahwa warna tersebut sangat cocok dengannya.Dengan perasaan ragu, ia pun memutuskan untuk membelinya, sebuah langkah yang tidak biasa baginya yang selalu meminta pelayan untuk berbelanja keperluan pribadinya.“Sudahlah. Dulu sebelum kemDi kediaman Smith. Rumah itu terasa lebih sepi dari biasanya. Nyonya Rose sudah diusir keluar beberapa hari kemarin, bahkan tidak ada satupun barang yang berhubungan dengan Nyonya Rose, maupun tiga Nona Smith palsu itu. Seperti yang diinginkan Tuan Smith, Alexander datang untuk menemuinya. Ruang baca, ruangan yang membuat Tuan Smith nyaman, di sanalah mereka berada untuk bicara. “Sebelum membahas soal syarat yang ingin kau katakan, aku benar-benar ingin tahu alasan yang sesungguhnya, kenapa kau mendirikan perusahaan itu secara diam-diam, Alexander?” tanya Tuan Smith. Ada senyum yang penuh makna timbul di bibir Alexander. Mengingat situasi saat ini cukup meringankan dirinya, Alexander memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. Entah tindakan apa yang akan dilakukan Tuan Smith, cukup yakin Alexan
Malam yang hangat menyelimuti ruangan saat Alexander dan Helena saling berpelukan di sofa mereka. Cahaya lampu yang redup menambah suasana romantis saat Helena menyerahkan sebuah kotak kecil yang terbungkus rapi kepada Alexander. "m“Selamat ulang tahun, Alexander,” bisik Helena dengan senyum manis. Alexander membuka kotak itu dan matanya berbinar melihat sebuah jam tangan mewah dengan inisial ‘H’ dan ‘A’ terukir elegan di tali jam tangan tersebut. “Ini sangat indah, Helena. Aku berjanji akan memakainya setiap hari,” ucap Alexander, matanya tidak lepas dari jam tangan itu, lalu dia memeluk Helena dengan penuh kasih.Mereka menghabiskan malam itu dengan cerita dan tawa, mengulang kenangan indah yang telah mereka bagi bersama. Ketika jam menunjukkan waktu untuk tidur, mereka beranjak ke ranjang, masih dalam dekapan. Helena mematikan lampu dan mereka tidur dalam pelukan erat, simbol cinta yang tak tergoyahkan.
Pagi hari, di kediaman Smith. Tuan Beauvoir kembali datang, ada hal yang perlu dibicarakan dengan Tuan Smith. Sudah berbicara dengan asisten sekretarisnya Tuan Smith, pria itu siap membantu untuk bertemu. Tuan Smith menatap Beauvoir dengan pandangan yang dingin dan menusuk, sinar mata itu seolah-olah dapat membekukan udara di sekitar mereka. “Jangan buang waktu terlalu banyak, Samuel Beauvoir. Langsung saja, apa maksud kedatanganmu?” ucapnya dengan suara yang terkendali namun mengandung kekesalan yang terpendam. Tuan Beauvoir menghela napas berat, menatap lawan bicaranya dengan ekspresi yang serius. “William, selama ini kau terus mendendam kepada keluargaku tanpa alasan yang jelas,” katanya, suaranya mencoba tetap tenang meski ada getaran kecil yang menandakan kegelisahan. Kerutan di dahi Tuan Smith semakin dalam, tangannya terkepal di atas meja. “Aku memperingatkan mu, Samuel Beauvoir, jangan banyak bicar
Masih di ruang baca milik Tuan Smith, dalam penerangan yang cukup. Tipis-tipis Agatha mencoba untuk tersenyum meski matanya begitu sayu. “Hai, ini Agatha. Ini adalah tahun ke tiga setelah aku menghilang dari kehidupan bahagiaku sebelumnya. Sangat mengejutkan, aku bahkan bisa bertahan tiga tahun ini untuk melawan leukimia. Aku pikir, aku akan sembuh agar aku bisa mencarinya lalu menikah seperti yang sudah kami janjikan. Tapi,...” suara Agatha bergetar, menahan tangis, “aku rasa, aku tidak bisa memenuhi janjiku. Meski sudah melakukan semua prosedur pengobatan untuk membunuh sel cancer ini, nyatanya ini tidak berhasil, dan aku sangat lelah dengan semua rasa sakit serta harapan yang mulai terasa kosong.” Tuan Smith menggelengkan kepalanya, tidak menyangka kalau wanita yang begitu ia cintai diam-diam menyembunyikan kondisinya yang sekarat itu. “Agatha, jangan menipu! Kau tidak boleh melakukan ini, bukankah kau menikah dengan pria konglomerat dar
Matahari terbenam perlahan, memberikan cahaya keemasan pada taman yang tenang di samping rumah besar milik Alexander itu. Tuan Smith dan Tuan Beauvoir, duduk di bangku taman sambil meminum teh yang masih mengepul. Di kejauhan, kedua cucu mereka tampak asyik bermain, tertawa riang tanpa beban. Tuan Beauvoir memperhatikan wajah Tuan Smith yang tampak lebih damai dibandingkan beberapa hari terakhir. “Apakah suasana hati Anda sudah membaik, Tuan Smith?” tanyanya dengan suara lembut. Tuan Smith mengangguk pelan, “Meski merasa kecewa karena Agatha sudah tiada, aku merasa lega karena tahu dia mencintai ku sampai akhir hayatnya,” ucapnya, suaranya bergetar sedikit karena emosi. Mengambil napas dalam, Tuan Smith melanjutkan, “Samuel, tolong bantu aku untuk membooking tempat di samping makam Agatha untukku nanti. Aku ingin beristirahat di sampingnya saat tiba waktunya. Asisten sekretaris
Pagi itu, Elizabeth mengemudi dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, dia bernapas lega karena akhirnya tiba di gedung Smith Corporation, tapi di sisi lain, hatinya dipenuhi dengan kemarahan dan keputusasaan. Dia menggenggam erat pisau di dalam tasnya, pisau yang telah dia siapkan untuk mengakhiri hidup Alexander, pewaris utama Smith Corporation yang telah menyita segala kebencian di dalam hatinya. Setibanya di tempat parkir, Elizabeth melihat sosok Alexander yang baru saja keluar dari mobil mewahnya. “Alexander, karena tidak ada dari Kami bertiga yang bisa memiliki setiap Corporation, maka kau juga tidak boleh memilikinya!” Dengan langkah mantap, dia berjalan mendekat, menyembunyikan pisau itu di dalam jaket tebalnya. Semua persiapan tampak sempurna, sampai mata tajam Han menangkap gerak-gerik mencurigakan dari Elizabeth. Han segera memberi isyarat kepada pengawal lainnya, dan d
“Mereka berempat sungguh sudah dikirim jauh?” Sinar mata Alexander terpaku pada wajah Tuan Smith, yang dengan tenang menjelaskan pengiriman Nyonya Rose dan ketiga anaknya ke luar negeri. Bibir Alexander bergetar tak percaya mendengar kata-kata itu, rasa bingung dan kecewa berkecamuk dalam hatinya. “Bagaimana mungkin, Ayah? Hukuman untuk mereka sangat ringan, ini sangat tidak sesuai!” desahnya dengan suara serak, mencoba mencerna informasi tersebut.Tuan Smith hanya menatapnya dengan ekspresi datar. “Berhentilah untuk memprotes, itu yang terbaik untuk kita semua, Alexander,” jawabnya tegas, tanpa sedikit pun emosi.Alexander berdiri, tangannya terkepal di samping tubuh. “Dan, bagaimana dengan Ibuku? Mengapa Ibuku harus menderita begitu banyak padahal kesalahannya tak seberapa? Hanya karena ingin bertemu denganku, Ayah menghukum dengan sangat keterlaluan,” suaranya meninggi, penuh dengan emosi yang telah terpendam begitu lama. Matanya be
Malam itu, di kediaman Alexander. “Alexander, aku mengerti bagaimana perasaan mu saat ini. Kau boleh sedih, tidak apa-apa.” ucap Helena, perhatian. “Sayang, bagaimana ini, aku jadi benar-benar kesal. Aku ingin melampiaskan kemarahan ku, tapi orangnya sudah tidak ada lagi di dunia ini.” ungkap Alexander, lesu. Alexander lemas, duduk bersandar di sofa dengan mata yang sembab. Helena mengeratkan pelukannya, menyelimuti pria itu dengan pelukan hangatnya. “Sudahlah, Alexander,” bisik Helena lembut, lagi-lagi mencoba menghibur. “Seburuk apapun, dia adalah seorang Ibu, dia pasti mencintai mu juga.”Alexander menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku tidak bisa percaya, Sayang... selama ini aku membenci Ayah karena cerita-cerita yang orang di dekat Ibuku berikan. Ternyata, dia bukanlah monster yang mereka gambarkan,” ucapnya dengan suara yang serak, berusaha keras menelan kekecewaan yang menggumpal di dadan