Season IIIBree membeku sesaat, apa yang Robert maksudkan?“Itu, kan alasanmu selalu pulang terlambat?” desak Robert. “Karena dia?” tunjuknya ke arah rumah Axel. Suaranya membuat siapa saja menoleh ke arah Robert dan Bree.Wanita itu akhinya mendekat ke arah Robert. “Kita bicarakan di dalam mobil,” ucap Bree pelan. Lalu membuka pintu depan. Dia menatap tajam Robert sebelum masuk ke mobil.Bree menarik napas, harusnya dia tidak perlu terlalu khawatir akan kelakuan Robert. Dan, tadi Bree cukup syok mendengar pengakuan Axel. Kalau Bree sedang diselidiki oleh Axel.Jadi, mau tidak mau, Bree mengalah dulu. Apa pun yang Robert saat ini minta, mungkin Bree akan menurutinya.Robert tetap tersenyum ketika melewati gerbang rumah Axel.Namun dalam seketika wajahnya beubah lagi menjadi datar.“Ada apa sebenarnya?” tanya Bree hati-hati. “Apa kau cemburu denganku?”Robert menoleh singkat ke arah Bree, mengapa Emily bisa mudahnya menebak apa yang Robert rasakan. “Ya.”Kabin mobil itu hening sejenak.
Season IIILily berpikir sejenak. “Um, keluarkan Emily dari kantormu.”Mata Axel memelotot, badannya membeku. Menatap Lily, tangannya mengambang di udara.Lily tahu kalau itu tidak akan Axel lakukan. “Apa kau selesai menyuapi aku?” tanyanya tanpa ada nada bersalah sedikit pun.Axel mengerjap, tangannya lalu bergerak kea rah mulut Lily. “Kau tahu, kan, tidak semudah itu memecat atau menerima karyawan?”Lily menelan makanannya dengan cepat, agar bisa membantah apa yang Axel ucapkan. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu, kau bisa mengambil keputusan yang terbaik.”Wanita itu bangkit dari terpian ranjang. Seperti tidak ada lagi yang bisa dibantah, atau keputusannya ini adalah mutlak. Lily mengambil air mineral yang ada di nakas.Axel mengikuti gerakan istrinya itu.Lily tidak berkata apa-apa lagi, dia melirik Axel dengan senyuman terpaksa sambil melewati suaminya.Axel diam seperti diintimidasi, “Apa dia baru saja mengintimidasiku?” tanyanya sendirian, Lily sudah tidak ada lagi di kamar ini. Lel
Season IIIMata Axel membesar begitu Bree masuk ke ruangan. “Biasanya Kevin yang antar makanan untukku.”“Oh, Pak Kevin sedang ada pekerjaan mendadak,” jawab Emily. Mendekat ke arah meja Axel tanpa memedulikan ekspresi Axel. Sejak di pintu masuk Bree memasang wajah murung, ini mungkin akan menarik perhatian Axel.Bree menyingkirkan beberapa barang yang ada d meja Axel, agar nampan makanannya bisa ada di sana.Dan jujur saja, Bree hari ini memakai pakaian yang cukup menggoda. Blus putih yang terlihat dalamannya. Rok kerja di atas lutut dan parfum yang Axel suka.Jadi, ketika Bree meletakkan nampan dekat Axel, bau badannya terendus.“Silakan, Pak,” kata Bree dengan ramah, meski wajahnya murung.Dan Axel benar tertarik. “Apa kau ada masalah?” tanyanya. “Sejak tadi datang aku lihat wajahmu murung?”Axel bertanya sekadar basa-basi, dia tidak ingin dinilai acuh kepada karyawannya.“Apakah ada masalah dengan Robert?”Bree bersorak dalam hatinya. Lalu mengangguk lemah, seperti memang ada masa
Season IIIKesokan harinya.Axel datang pagi ke perusahaan, sudah ada Kevin, karena mereka sudah ada janji pagi ini dengan bagian marketing.“Bagaimana dengan iklan?” tanya Axel. Setelah di bagian marketing menjelaskan masalah perencanaan penjualan. “Apa kalian suda memikirkan bagian ini juga? Produk kita adalah konsumsi untuk dua puluh tahun ke atas.”Manajer marketing di perusahaan itu mengambil napas. “Untuk iklan, rasanya tidak menggunakan kata harafiah. Dan kami menyarankan untuk soft selling. Ada beberapa artis yang akan kami bayar untuk itu.”Axel manggut-manggut, “Boleh juga, kalian bisa kasi tahu soal finalisasinya.”“Baik, Pak. Kami akan informasikan nanti.”“Bagaimana? Apakah ada lagi?” tanya Axel, lalu melirik ponselnya. Dia menunggu kabar dari Lily soal Aiden yang demam tadi malam.“Tidak ada,” jawab salah satu staf marketing.“Oke, kalau begitu, rapat ini sampai sini dulu,” ujar Axel, lalu merapikan kertas yang ada di depannya. Dia berikan kepada Kevin.Semua peserta rap
Season IIILily menaruh sarapan di nakas, napas Axel masi teratur, “Apa dia masih tidur dengan pulas?” batinny bertanya.Untuk memastikan Axel masih tidur atau tidak, Lily mendekatkan kepalanya ke arah Axel.Namun, reaksi Axel di luar dugann Lily. Tangan lelaki itu dengan cepat menarik Lily, hingga terjatuh tepat di depan Axel.“Axel!” protes Lily pura-pura kaget dan kesal. “Kau mengagetkan aku.”“Aku merindukan kamu,” ujar Axel dengan suara yang berat sambil mengendus rambut Lily yang wangi semerbak.“Charlotte rewel semalaman?” tanya Lily.“Ya. Mungkin dia mau tumbuh gigi juga seperti Aiden. Tapi setelah aku gendong dia tenang.”“Kenapa kau tidak membangunkan aku?” protes Lily sambil menatap mata Axel yang bening.“Tidak masalah, aku bisa mengatasinya. Kau juga kelelahan, kan?”“Apa bedanya Kau juga lela harus bekerja seharian.”Axel berpikir sejenak. “Ya, memang lelah. Tapi untuk mengendong gadis kecilku, semangat dan energiku terisi lagi.”Lily hanya tersenyum, “Di mana aku bisa d
Season III“Bagaimana? Apa kau dapat obat yang dimaksud oleh Pak Andes?” tanya Molly, yang repot-repot ke ruangan Bree untuk menanyakan kabar vitamin itu.Bree mendongak, menatap Molly. “Oh, sudah. Tadi juga sudah aku minta sopir antar ke rumah Pak Axel langsung.”“Bagus kalau begitu,” Molly menghela napas.Bree tersenyum begitu Molly melepaskan wajahnya yang cemas.“Kau tahu sendiri bagaimana Pak Andes. Baru kembali dari ruangan Pak Axel dia langsung menanyakan bagaimana obat untuk anak-anak Pak Axel. Hah … kenapa para bos itu selalu membuat kita cemas,” gerutu Molly.“Jelas saja, karena mereka membayar kita, kan?” hibur Bree.“Emily, bagaimana kalau nanti kita makan malam bersama di luar Aku yang traktir?”Bree melirik jam tangan, “Kalau itu aku tidak bisa,” jawabnya tanpa ragu. Dia melirik ke arah ruangan Axel. Apakah Kevin sudah kembali?“Ayolah, sebagai bentuk rasa terima kasihku kepadamu.”Bree memasang wajah menyesal, “Maaf, aku tidak bisa, nanti Robert pasti banyak bertanya ak
Beberapa hari kemudian, Lily merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Seperti tangan yang sering gemetar dan kepalanya sering sakit.“Mungkin ada baiknya kau periksa ke dokter,” anjur Nyonya Margot. Lily terlihat pucat, dia juga khawatir. Beberapa hari belakangan, Lily tidak terliat baik-baik saja.“Ya, aku akan minta sopir antar ke rumah sakit,” jawab Lily, makanan di piringnya masih utuh.Nyonya Margot melirik piring Lily, “Biar Meredith yang antar. Aku khawatir akan terjadi sesuatu denganmu.”Axel siang ini sibuk dengan jadwal di kantor. Namun, dia tetap menanyakan kemajuan penyelidikan Kevin soal Emily.“Bagaimana apa kau berhasil menemukan bukti yang bisa untuk dites DNA?” tanya Axel begitu selesai rapat mengenai hasil penjualan.Kevin mengangguk, “Saya mengambil sidik jari di gelas. Lalu, saya menemukan sisir yang biasa nyonya pakai. Saya pikir itu cukup. Kita akan tahu, apakah sampel itu bisa dites atau tidak dalam beberapa hari.”Axel manggut-manggut, “Bagus kalau begitu.”Tidak
Season III“Semua sekarang terungkap!” Steven langsung mencerocos. Axel menegakkan badan siap mendengarkan apa yang dikatakan Steven.“Cepat katakan!” titah Axel seolah dia tidak ingin menunggu walau hanya satu menit lagi. “Lily saat ini ada di rumah sakit, aku curiga ada yang mencoba meracuninya.”Steven menghela napas, “Aku turut bersedih. Baik, kembali ke permasalahan Emily. Aku tidak menemukan jejak Emily sama sekali di sini. Hanya saja aku menemukan jejak Wanda.”“Wanda?” ulang Axel tidak mengerti.“Dan, atas kerja samaku dengan teman yang ada di perusahaan telekomunikasi, Wanda sering menghubungi Emily. Dan kemarin aku berhasil menyadap pembicaraan mereka. Aku mengirimkannya lewat surel. Nanti kau bisa mendengarkannya.”Axel menghembuskan napas, lalu memijat pelipisnya. “Lily … Diduga menelan racun yang perlahan akan mengakibatkan kematian. Apakah itu ulah Wanda?”“Bisa jadi. Kalau kau mau aku akan menyelidiki lebih lanjut. Mungkin sebentar lagi mereka akan saling bertelepon, me
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a