Season III“Bagaimana? Apa kau dapat obat yang dimaksud oleh Pak Andes?” tanya Molly, yang repot-repot ke ruangan Bree untuk menanyakan kabar vitamin itu.Bree mendongak, menatap Molly. “Oh, sudah. Tadi juga sudah aku minta sopir antar ke rumah Pak Axel langsung.”“Bagus kalau begitu,” Molly menghela napas.Bree tersenyum begitu Molly melepaskan wajahnya yang cemas.“Kau tahu sendiri bagaimana Pak Andes. Baru kembali dari ruangan Pak Axel dia langsung menanyakan bagaimana obat untuk anak-anak Pak Axel. Hah … kenapa para bos itu selalu membuat kita cemas,” gerutu Molly.“Jelas saja, karena mereka membayar kita, kan?” hibur Bree.“Emily, bagaimana kalau nanti kita makan malam bersama di luar Aku yang traktir?”Bree melirik jam tangan, “Kalau itu aku tidak bisa,” jawabnya tanpa ragu. Dia melirik ke arah ruangan Axel. Apakah Kevin sudah kembali?“Ayolah, sebagai bentuk rasa terima kasihku kepadamu.”Bree memasang wajah menyesal, “Maaf, aku tidak bisa, nanti Robert pasti banyak bertanya ak
Beberapa hari kemudian, Lily merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Seperti tangan yang sering gemetar dan kepalanya sering sakit.“Mungkin ada baiknya kau periksa ke dokter,” anjur Nyonya Margot. Lily terlihat pucat, dia juga khawatir. Beberapa hari belakangan, Lily tidak terliat baik-baik saja.“Ya, aku akan minta sopir antar ke rumah sakit,” jawab Lily, makanan di piringnya masih utuh.Nyonya Margot melirik piring Lily, “Biar Meredith yang antar. Aku khawatir akan terjadi sesuatu denganmu.”Axel siang ini sibuk dengan jadwal di kantor. Namun, dia tetap menanyakan kemajuan penyelidikan Kevin soal Emily.“Bagaimana apa kau berhasil menemukan bukti yang bisa untuk dites DNA?” tanya Axel begitu selesai rapat mengenai hasil penjualan.Kevin mengangguk, “Saya mengambil sidik jari di gelas. Lalu, saya menemukan sisir yang biasa nyonya pakai. Saya pikir itu cukup. Kita akan tahu, apakah sampel itu bisa dites atau tidak dalam beberapa hari.”Axel manggut-manggut, “Bagus kalau begitu.”Tidak
Season III“Semua sekarang terungkap!” Steven langsung mencerocos. Axel menegakkan badan siap mendengarkan apa yang dikatakan Steven.“Cepat katakan!” titah Axel seolah dia tidak ingin menunggu walau hanya satu menit lagi. “Lily saat ini ada di rumah sakit, aku curiga ada yang mencoba meracuninya.”Steven menghela napas, “Aku turut bersedih. Baik, kembali ke permasalahan Emily. Aku tidak menemukan jejak Emily sama sekali di sini. Hanya saja aku menemukan jejak Wanda.”“Wanda?” ulang Axel tidak mengerti.“Dan, atas kerja samaku dengan teman yang ada di perusahaan telekomunikasi, Wanda sering menghubungi Emily. Dan kemarin aku berhasil menyadap pembicaraan mereka. Aku mengirimkannya lewat surel. Nanti kau bisa mendengarkannya.”Axel menghembuskan napas, lalu memijat pelipisnya. “Lily … Diduga menelan racun yang perlahan akan mengakibatkan kematian. Apakah itu ulah Wanda?”“Bisa jadi. Kalau kau mau aku akan menyelidiki lebih lanjut. Mungkin sebentar lagi mereka akan saling bertelepon, me
Season IIIBree tentu saja ingin menyampaikan kabar ini ke Wanda.“Apa kau yakin kalau Lily di rumah sakit?” tanya Wanda tidak percaya dengan apa yang diucapkan Bree. “Setelah beberapa kali gagal apa kau yakin kali ini akan berhasil?”Bree mendengus, terdengar di penyuara telepon, “Kenapa kau selalu meragukan aku? Aku yakin tadi meninggalkan kantor lebih cepat.”“Apa yang kau berikan sampai Lily masuk rumah sakit?” tanya Wanda penasaran dengan apa yang Bree lakukan.“Aku memberinya vitamin untuk ibu menyusui. Dan di dalamnya aku berikan zat yang akan memberikan efek kerusakan organ.”“Aku tidak menyangka idemu kali ini sangat brilian. Dan sekarang, apakah Lily sekarat?”“Aku berani taruan begitu, dosis yang aku berikan memang sedikit, tapi mampu merusak semua organnya.”“Itu baru kabar yang bagus, Bree. Sekarang aku bisa tersenyum sedikit mendengar kabar ini.”“Kau kan selalu tertawa-tawa, apa bedanya sekarang?” cibir Bree.Wanda jengkel, “Tapi kabar ini membuatku jauh lebih baik dari
Season III“Apa kau yakin dengan rencanamu ini?” tanya Nyonya Margot, “Bagaimana kalau nanti gagal? Atau, dia tahu rencanamu?” tanyanya panik. “Lily memang belum siuman. Tapi, kalau dia siuman, apakah dia akan setuju akan rencanamu?”Axel dan Steven saling menatap, bergantian, mereka menatap Meredith yang tampak tenang.“Kami akan mengusahakan semuanya agar Axel bisa menjebak Bree dan Wanda. Karena untuk menjerat mereka dan melaporkan ke pohak kepolisian, kita memerlukan bukti yang akurat, Nyonya. Dari rekaman Steven, tidak akan cukup.”Nyonya Margot ketakutan setengah mati, “Aku tidak pandai bersandiwara,” tangannya gemetar. “Aku takut, nanti malah bocor ketika aku bertemu dengan siapa itu namanya?”“Emily,” sambar Axel sambil menghela napas. “Mama tidak perlu khawatir, kita juga ada Kevin yang akan ada di sini selama sandiwara ini berlangsung.”“Aku kan, asisten nyonya,” kata Meredith pelan.“Ya, maksudku selain kamu,” timpal Axel. “Ini sudah menjadi tekadku, Ma. Dan harus ada yang
Season IIIBeberapa hari berselang, Nyonya Margot mengumumkan kalau peti mati Lily akan dimakamkan.Bree yang sejak hari pertama sibuk, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Dia terus melancarkan serangan kepada Nyonya Margot.“Nyonya, apa mau kuambilkan minum?” tanya Bree saat di rumah duka. Ada beberapa pelayat yang datang. Dan karena ini adalah doa bersama sebelum pemakaman, jadi ada pendeta yang mendampingi Margot. Dan ada relasi yang datang.Nyonya Margot melirik Axel yang ada di sampingnya.Axel tidak merespon apa pun. Dia hanya diam, matanya berkaca-kaca.“Boleh, sekalian kau panggilkan Meredith,” tambah Nyonya Margot.“Baik, Nyonya,” jawab Bree, sambil menggerutu dalam hatinya. Coba saja, sebentar lagi nyonya tua itu akan mati di tangannya.Bree mengambilkan teh hangat untuk Nyonya Margot. “Ini, Nyonya, silakan,” ujar Bree sambil memberikan cangkir dengan tatakan.“Terima kasih, kau baik sekali, Emily. Kau mengingatkanku atas menantuku yang …” Nyonya Margot menangis tersedu-s
Season IIISelesai pemakaman, Axel dan keluarganya langsung kembali ke rumah. Kali ini ditemani oleh Pak Andes. Yang merasa bersalah dengan kejadian yang menimpa Lily.“Lantas, bagaimana rencana selanjutnya?” tanya Pak Andes. “Aku ini lulusan hukum, jadi, sedikit mengerti tentang hukum.”Kevin yang entah dari mana datang tergesa-gesa, menghadap Axel. Napasnya terengah-engah. “Maaf, Pak,” katanya putus-putus.“Ada apa?”“Kenapa kamu tidak sopan begitu? Datang-datang keringat seluruh badan,” tegur Nyonya Margot.“Maaf, semuanya. Hasil uji racun dari rumah sakit sudah ada. Dan hasilnya positif ada unsur racun dalam vitamin itu.”Semua yang mendengar membeliak. Tidak percaya, tapi semuanya nyata.“Jadi, rekaman suara itu memang benar membuktikan kalau Bree bersalah,” ucap Axel, masih kaget dengan kabar yang dibawa oleh Kevin.“Ah, akan kupecat Molly. Sudah pernah aku bilang semua tugasnya harus dikerjakan sendiri!”“Sudah. Bukan salah dia juga, Emily manipulatif,” sambar Kevin, suaranya b
Season IIIKate bergantian menjaga Lily dengan Steven. Kate lega, karena ternyata Lily tidak mati. Hanya saja masih ada ganjalan dalam hatinya, kapan Lily bangun?Kate menggenggam tangan Lily, menangis, sahabatnya yang baik hati, mengapa sampai begini?Axel dan Nyonya Margot sepakat menyembunyikan Lily disuatu rumah yang di pedesaan jauh dari kota. Paling tidak perlu waktu sampai lima belas menit untuk ke kota.Harapannya, tidak ada yang tahu di mana Lily, hingga semua sandiwara ini berakhir.“Kapan kau akan membuka mata, Li?” suara Kate terdengar lirih, setelah menangis beberapa lama, Kate pikirakan mudah memanggil Lily untuk kembali sadar.Namun, siapa sangka jari Lily perlahan bergerak dan samar, Kate mendengar gumaman dari sahabatnya itu.Entah berapa kali mengerjap, rasanya Lily bisa merasakan hangatnya sinar matahari di sekujur tubuhnya—yang terasa lemas.Lily perlahan membuka matanya, yang dia lihat pertama kali adalah Kate.“K—Kate?” ucapnya terbata-bata.Kate menggerakkan kep
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a