Season IIIMendengar pembelaan Eric, Axel menggaruk pelipisnya.“Kalau begitu, kita sudahi saja semua. Kumpulkan semua bukti, dan serahkan ke pihak berwajib. Untuk sementara juga, aku akan tetap di sini,” ujar Axel tegas.“Baik, aku akan membereskan semuanya,” sambar Steven—langsung mengubungi Tom agar menyelesaikan tugasnya.Sedangkan Axel, berkoordinasi dengan Pak Andes untuk urusan kantor. “Kau dan Kevin bisa mengkoordinasi semua yang berurusan dengan perusahaan.”Axel lalu memutus sambungan telepon, menatap Steven. “Apa yang sebaiknya kita lakukan untuk melindungi keadaan di sini. Menilik percobaan pembunuhan Lily, rasanya kalau Wanda sudah tertangkap basah, bukannya tidak mungkin dia akan melakukan hal seperti itu lagi.”“Aku akan mengawasi di sini. Aku akan minta Tom juga ada di sini untuk membantuku. Dan tadi … siapa itu,” Steven mengerutkan keningnya.“Pemuda tadi? Eric kalau tidak salah,” jawab Axel.“Dia akan menjaga rumah Nyonya Margot, bagaimana menurutmu?”“Baiklah. Kau a
Season III“Emily?”Beberapa saat Lily terpaku, tidak bergerak, menatap layar ponsel Axel menampilkan nama Emily.Namun, Axel yang masih tertidur mendengar suara Lily meski hanya berbisik. Matanya membuka, memaksa tubuhnya bangkit dari rebah dan mengambil ponsel itu dari tangan Lily.Mata Lily makin besar ketika melihat Axel merebut ponsel itu dari tangannya.“Kenapa dia meneleponmu pagi begini? Dan untuk apa pesan singkat yang bertubi-tubi yang dia kirim?” tanya Lily, suasana yang ada dalam kamar itu menjadi tegang.Axel tersenyum, “Mungkin dia hanya menanyakan keadaanku dan kamu. Aku belum memberitahu orang kantor kalau kau sudah siuman,” jelas Axel kebingungan.“Kenapa kau terlihat kebingungan?” tanya Lily. “Apa yang kau sembunyikan dariku, Axel?” pertanyaan Lily kali ini terdengar sangat mendesak Axel.“Tidak … aku hanya baru ingat hari ini ada rapat penting perusahaan. Kita akan membuka distribusi untuk Asia.”“Jadi, hari ini kau akan ke kantor?” tanya Lily penuh dengan selidik.
Season III“Tapi kau merebut ponselmu, Axel! Itu mengatakan seolah kau tidak mempercayaiku!” Mata Lily berkaca-kaca menatap Axel.Axel diam tidak bisa membalas perkataan Lily, memang seharusnya bagaimana? Axel mendumel dalam hati. “Aku hanya pikir ada telepon yang penting dari Emily. Kau tahu, kan, dia ada di kantor saat ini.”“Apa kau ….” Lily tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Jadi, lebih baik dia pergi dari hadapan Axel.Kali ini, Axel tidak mencegah Lily. Mungkin dia perlu waktu untuk sendiri, pikir Axel.Saat menjauh dari Axel, Lily pikir bertanya kepada Kate lebih baik ketimbang dengan yang lain.“Sebenarnya, berapa lama aku tidak siuman, Kate?” tanya Lily. “Apa karena aku terlalu lama tidak banun, lantas Axel bermain cinta dengan yang lain?”Kate menatap Lily, “Dengan siapa?”“Dengan asistennya, contohnya. Aku tidak percaya suamiku lagi,” keluh Lily—gelas yang berisi jus jeruk dia sedot. Rasanya sudah lama sekali tenggorokannya tidak menenggak minuman segar seperti ini.“Apa
Season III“Memangnya kenapa kalau aku mengambil ponselnya?” tanya Axel pongah.Orang tempat dia bertanya adalah Kevin yang sore itu datang ke tempat Axel. Ada beberapa dokumen untuk ditanda tangan dan Kevin melaporkan pekerjaan yang dilimpahkan kepadanya.“Mungkin masalahnya Nyonya Lily lihat itu telepon dari Emily, itu yang membuat dia kesal,” jawab Kevin, dia juga hanya bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi.“Kesal?” ulang Axel. Dulu Bree tidak sebegininya memperlihatkan emosi yang dia punya. Paling tidak, Bree tidak mudah ngambek seperti ini. “Lalu aku harus bagaimana? Dan bagaimana keadaan Emily?”“Emily, saya sudah menyerahkan semua berkas yang berkaitan dengannya ke kepolisian, termasuk hasil tes DNA. Jadi, kita tinggal tunggu kepolisian untuk menangkapnya.”“Bagus,” jawab Axel. “Aku akan beberapa hari ada di sini, setelah itu tolong persiapkan kami untuk pulang kembali ke rumah Mama.”“Baik, Pak. Apa ada lagi yang bapak perlukan?”Axel menggeleng, “Kau boleh pulang.”Setela
Season IIIBree memotret lelaki yang tidak dia kenal itu. Lalu mengirimnya ke Wanda.Wanda menerima foto yang dikirim Bree seraya memaki-maki. Tangannya gemetar karena kecewa, marah, kesal.“SIAL!” katanya, saking kesalnya, dia melempar beberapa barang yang ada di dekatnya.“Sial sekali,” kata Wanda entah berapa kali, berteriak, mendesis dan juga menggumam. Dia telah dimanfaatkan oleh Eric. Apa-apaan? Bisa-bisanya aku terjebak oleh lelaki ingusan macam Eric? Umpat Wanda lagi.“Kau juga yang bodoh,” sahut mamanya saat melintas di depan kamar Wanda dengan kursi rodanya. “Kenapa secepat itu percaya dengan seorang lelaki?”Wanda mendengus, kesal sekali dengan mamanya. Lebih parah lagi, Wanda tinggal bersama wanita tua menyebalkan itu. Mengurangi rasa kesal, Wanda menutup pintu kamarnya.Blam!Mamanya yang masih ada di depan pintu hampir melonjak. “Astaga! Dasar, anak kurang ajar!” umpatnya, aku tidak pernah membesarkan anak sepertimu. Hah!”Tidak kalah kesal, mama Wanda berlalu dari depan
Season IIIWanda sebenarnya menyesal akan keputusannya mengencani Eric. Andai saja instingnya lebih tajam. Nalurinya lebih kuat, pasti hal semacam ini tidak akan terjadi.Wanita itu berdiam di kamarnya, harusnya Bree lebih tahu di mana Axel saat ini. Dasar, wanita bodoh! Makinya dalam hati, mengapa juga tempo hari yang menolong dirinya dan mengeluarkannya dari situasi yang membosankan itu adalah Bree.Namun, setelah kenal lebih dekat, Wanda menilai Bree lebih menjengkelkan! Dia seperti putri raja yang tidak bisa melakukan apa-apa. Minta makanan langsung dihidangkan di meja makan. Tanpa mau membereskan atau juga mencuci piring.Atau juga baju yang bekas dipakai, Bree tidak mau mencucinya sama sekali.“Tapi aku melakukan semua pekerjaan rumah saat di apartemen Robert,” sentak Bree, saat Wanda menegurnya malam itu.Wanda mengulum senyuman, maunya tertawa dengan keras.“Kalau kau mau tinggal di sini, berarti, kau juga harus melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan di apartemen Rob
Season III“Lalu? Kau hanya khilaf? Atau mungkin kau memberikan harapan kepada perempuan itu?” pertanyaan Lily begitu mendesak Axel—yang sedang menatapnya.“Aku tidak bermaksud begitu,” jawab Axel. “Aku hanya ….”“Hanya apa, Axel? Apa kau pernah tertarik kepadanya?”“Tidak sama sekali, Li.” Axel menarik napas, dia meraih tangan Lily yang mengepal. “Saat ini bagiku, wanita dalam hidupku hanya kamu. Dan anak-anak adalah orang-orang yang ada dalam prioritas utamaku. Kau pernah percaya padaku, sekarang, aku mau kau lebih mempercayaiku.”Lily menghela napas, menerka apakah omongan Axel bisa dipercaya?Ya, wanita tidak bisa marah kepada lelaki yang dia cinta. Kesalahan sebesar apa pun, pasti dimaafkan.Dan, Lily memaafkan Axel. Dia percaya akan semua perkataan Axel, dan tidak tahu bagaimana hidupnya kalau tanpa Axel di sisinya. Bagaimana nanti dengan anak-anaknya? Tidak, Lily tidak ingin itu terjadi pada dirinya.Jadi, Lily mengangguk, “Aku hanya tidak ingin kau lebih dekat dengan perempuan
Season III“Ah, sial!” maki Wanda dalam hati, tergesa dia kembali ke mobil.Menutup pintu dengan keras, hingga membangunkan Bree.“Ada apa ini?” Bree mengucek matanya, memaksakan diri agar bangun.“Dia tidak ada di sini, Bodoh!” maki Wanda mendengus, menahan amarah yang ada sedari tadi.Bree malah tertawa, “Jelas sekali kalau dia tidak ada di sini. Kau saja yang tidak sabaran.” Bree menguap sambil meregangkan badan. “Harusnya kita menunggu kabar dari mamamu.”“Dia tidak akan tahu. Dia tidak sadar kalau sekarang status dan keberadaannya dipantau oleh siapa pun. Jangan bodoh Bree!”Wanda menyalakan mesin mobil, “Ingat. Kita akan tinggalkan mobil ini di daerah ini.”“Terserah kau saja, bangunkan aku kalau kau perlu.”Wanda mencengkeram lingkaran kemudi. Kesal rasanya melihat kelakuan Bree yang santai begini. Apa dia tahu kalau semua harus dilakukan secepatnya.***Robert di apartemen sama gelisahnya seperti Wanda. Mencari Emily semalaman, tetapi perempuan itu tidak ada di mana pun. Di ka
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a