Season III“Tapi kau merebut ponselmu, Axel! Itu mengatakan seolah kau tidak mempercayaiku!” Mata Lily berkaca-kaca menatap Axel.Axel diam tidak bisa membalas perkataan Lily, memang seharusnya bagaimana? Axel mendumel dalam hati. “Aku hanya pikir ada telepon yang penting dari Emily. Kau tahu, kan, dia ada di kantor saat ini.”“Apa kau ….” Lily tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Jadi, lebih baik dia pergi dari hadapan Axel.Kali ini, Axel tidak mencegah Lily. Mungkin dia perlu waktu untuk sendiri, pikir Axel.Saat menjauh dari Axel, Lily pikir bertanya kepada Kate lebih baik ketimbang dengan yang lain.“Sebenarnya, berapa lama aku tidak siuman, Kate?” tanya Lily. “Apa karena aku terlalu lama tidak banun, lantas Axel bermain cinta dengan yang lain?”Kate menatap Lily, “Dengan siapa?”“Dengan asistennya, contohnya. Aku tidak percaya suamiku lagi,” keluh Lily—gelas yang berisi jus jeruk dia sedot. Rasanya sudah lama sekali tenggorokannya tidak menenggak minuman segar seperti ini.“Apa
Season III“Memangnya kenapa kalau aku mengambil ponselnya?” tanya Axel pongah.Orang tempat dia bertanya adalah Kevin yang sore itu datang ke tempat Axel. Ada beberapa dokumen untuk ditanda tangan dan Kevin melaporkan pekerjaan yang dilimpahkan kepadanya.“Mungkin masalahnya Nyonya Lily lihat itu telepon dari Emily, itu yang membuat dia kesal,” jawab Kevin, dia juga hanya bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi.“Kesal?” ulang Axel. Dulu Bree tidak sebegininya memperlihatkan emosi yang dia punya. Paling tidak, Bree tidak mudah ngambek seperti ini. “Lalu aku harus bagaimana? Dan bagaimana keadaan Emily?”“Emily, saya sudah menyerahkan semua berkas yang berkaitan dengannya ke kepolisian, termasuk hasil tes DNA. Jadi, kita tinggal tunggu kepolisian untuk menangkapnya.”“Bagus,” jawab Axel. “Aku akan beberapa hari ada di sini, setelah itu tolong persiapkan kami untuk pulang kembali ke rumah Mama.”“Baik, Pak. Apa ada lagi yang bapak perlukan?”Axel menggeleng, “Kau boleh pulang.”Setela
Season IIIBree memotret lelaki yang tidak dia kenal itu. Lalu mengirimnya ke Wanda.Wanda menerima foto yang dikirim Bree seraya memaki-maki. Tangannya gemetar karena kecewa, marah, kesal.“SIAL!” katanya, saking kesalnya, dia melempar beberapa barang yang ada di dekatnya.“Sial sekali,” kata Wanda entah berapa kali, berteriak, mendesis dan juga menggumam. Dia telah dimanfaatkan oleh Eric. Apa-apaan? Bisa-bisanya aku terjebak oleh lelaki ingusan macam Eric? Umpat Wanda lagi.“Kau juga yang bodoh,” sahut mamanya saat melintas di depan kamar Wanda dengan kursi rodanya. “Kenapa secepat itu percaya dengan seorang lelaki?”Wanda mendengus, kesal sekali dengan mamanya. Lebih parah lagi, Wanda tinggal bersama wanita tua menyebalkan itu. Mengurangi rasa kesal, Wanda menutup pintu kamarnya.Blam!Mamanya yang masih ada di depan pintu hampir melonjak. “Astaga! Dasar, anak kurang ajar!” umpatnya, aku tidak pernah membesarkan anak sepertimu. Hah!”Tidak kalah kesal, mama Wanda berlalu dari depan
Season IIIWanda sebenarnya menyesal akan keputusannya mengencani Eric. Andai saja instingnya lebih tajam. Nalurinya lebih kuat, pasti hal semacam ini tidak akan terjadi.Wanita itu berdiam di kamarnya, harusnya Bree lebih tahu di mana Axel saat ini. Dasar, wanita bodoh! Makinya dalam hati, mengapa juga tempo hari yang menolong dirinya dan mengeluarkannya dari situasi yang membosankan itu adalah Bree.Namun, setelah kenal lebih dekat, Wanda menilai Bree lebih menjengkelkan! Dia seperti putri raja yang tidak bisa melakukan apa-apa. Minta makanan langsung dihidangkan di meja makan. Tanpa mau membereskan atau juga mencuci piring.Atau juga baju yang bekas dipakai, Bree tidak mau mencucinya sama sekali.“Tapi aku melakukan semua pekerjaan rumah saat di apartemen Robert,” sentak Bree, saat Wanda menegurnya malam itu.Wanda mengulum senyuman, maunya tertawa dengan keras.“Kalau kau mau tinggal di sini, berarti, kau juga harus melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan di apartemen Rob
Season III“Lalu? Kau hanya khilaf? Atau mungkin kau memberikan harapan kepada perempuan itu?” pertanyaan Lily begitu mendesak Axel—yang sedang menatapnya.“Aku tidak bermaksud begitu,” jawab Axel. “Aku hanya ….”“Hanya apa, Axel? Apa kau pernah tertarik kepadanya?”“Tidak sama sekali, Li.” Axel menarik napas, dia meraih tangan Lily yang mengepal. “Saat ini bagiku, wanita dalam hidupku hanya kamu. Dan anak-anak adalah orang-orang yang ada dalam prioritas utamaku. Kau pernah percaya padaku, sekarang, aku mau kau lebih mempercayaiku.”Lily menghela napas, menerka apakah omongan Axel bisa dipercaya?Ya, wanita tidak bisa marah kepada lelaki yang dia cinta. Kesalahan sebesar apa pun, pasti dimaafkan.Dan, Lily memaafkan Axel. Dia percaya akan semua perkataan Axel, dan tidak tahu bagaimana hidupnya kalau tanpa Axel di sisinya. Bagaimana nanti dengan anak-anaknya? Tidak, Lily tidak ingin itu terjadi pada dirinya.Jadi, Lily mengangguk, “Aku hanya tidak ingin kau lebih dekat dengan perempuan
Season III“Ah, sial!” maki Wanda dalam hati, tergesa dia kembali ke mobil.Menutup pintu dengan keras, hingga membangunkan Bree.“Ada apa ini?” Bree mengucek matanya, memaksakan diri agar bangun.“Dia tidak ada di sini, Bodoh!” maki Wanda mendengus, menahan amarah yang ada sedari tadi.Bree malah tertawa, “Jelas sekali kalau dia tidak ada di sini. Kau saja yang tidak sabaran.” Bree menguap sambil meregangkan badan. “Harusnya kita menunggu kabar dari mamamu.”“Dia tidak akan tahu. Dia tidak sadar kalau sekarang status dan keberadaannya dipantau oleh siapa pun. Jangan bodoh Bree!”Wanda menyalakan mesin mobil, “Ingat. Kita akan tinggalkan mobil ini di daerah ini.”“Terserah kau saja, bangunkan aku kalau kau perlu.”Wanda mencengkeram lingkaran kemudi. Kesal rasanya melihat kelakuan Bree yang santai begini. Apa dia tahu kalau semua harus dilakukan secepatnya.***Robert di apartemen sama gelisahnya seperti Wanda. Mencari Emily semalaman, tetapi perempuan itu tidak ada di mana pun. Di ka
Season IIIBeberapa hari setelah lapor polisi, Robert masih sabar menunggu kabar dari Emily.“Dia tak pantas kau tunggu,” kata kakeknya setelah selesai rapat dengan para pemegang saham. Robert tidak bisa meyembunyikan kegelisahannya, sebentar-sebentar melihat ke ponselnya. Mungkin ada pesan atau telepon dari Emily, satu saja, Robert membatin sendiri.Satu pesan atau telepon, mungkin dia akan mencari Emily gila-gilaan.Perkataan kakeknya tidak Robert ambil pusing, dia hanya menaikkan alisnya. Dan diam, melirik menggerakkan tetikus laptopnya.“Dia memang cantik, aku akui itu,” timpal kakeknya. “Tapi, tidak semua wanita cantik patut untuk kau kencani. Ingat, Rob kau ini pewaris tunggal perusahaan yang aku miliki. Jadi, kau juga harus berhati-hati.”Robert menggerakkan pupilnya ke arah kakek. “Mereka kan, manusia juga, sama seperti kita. Patut atau tidak patut rasanya kita tidak bisa menilai seseorang karena itu.”“Robert, Robert, kau ini, kan, tampan, mapan. Perempuan mana pun mau kalau
Season III“Tampaknya, Emily dari kabin lama kita, Ma,” timpal Axel. “Mobilnya diketemukan di jalur sekitar kabin.”“Apa?” Nyonya Margot tentu saja tidak percaya. “Artinya, kita tidak bisa kembali dulu ke rumah,” usulnya cemas duluan.Beberapa saat kemudian, Steven masuk ke dalam ruangan keluarga, “Axel, Nyonya,” sapanya sambil menundukkan kepala. “Bisa kita bicara?” tanyanya lagi, khawatir, Steven juga tidak mau kali ini Axel dan keluarganya akan terluka dalam pengawalannya.“Ini pasti karena Emily?”“Ya. Aku sarankan, kita jangan kembali ke rumah dulu. Tapi … polisi perlu bukti yang kuat untuk menjebloskan Emily ke penjara.”Axel menatap mamanya dan Steve bergantian, lalu menghembuskan napas. Bertolak pinggang.“Yang jelas, aku tidak mau membahayakan anak dan istriku. Lagi pula, aakah bukti yang kita punya masih kurang lengkap?”“Polisi ingin menangkap basah Bree dulu. Dan, tindakan ini harus dilakukan, Axe,” saran Steven membuat jantung Axel berdebar lebih kencang.Axel menggigit b