Season IIIBree memotret lelaki yang tidak dia kenal itu. Lalu mengirimnya ke Wanda.Wanda menerima foto yang dikirim Bree seraya memaki-maki. Tangannya gemetar karena kecewa, marah, kesal.“SIAL!” katanya, saking kesalnya, dia melempar beberapa barang yang ada di dekatnya.“Sial sekali,” kata Wanda entah berapa kali, berteriak, mendesis dan juga menggumam. Dia telah dimanfaatkan oleh Eric. Apa-apaan? Bisa-bisanya aku terjebak oleh lelaki ingusan macam Eric? Umpat Wanda lagi.“Kau juga yang bodoh,” sahut mamanya saat melintas di depan kamar Wanda dengan kursi rodanya. “Kenapa secepat itu percaya dengan seorang lelaki?”Wanda mendengus, kesal sekali dengan mamanya. Lebih parah lagi, Wanda tinggal bersama wanita tua menyebalkan itu. Mengurangi rasa kesal, Wanda menutup pintu kamarnya.Blam!Mamanya yang masih ada di depan pintu hampir melonjak. “Astaga! Dasar, anak kurang ajar!” umpatnya, aku tidak pernah membesarkan anak sepertimu. Hah!”Tidak kalah kesal, mama Wanda berlalu dari depan
Season IIIWanda sebenarnya menyesal akan keputusannya mengencani Eric. Andai saja instingnya lebih tajam. Nalurinya lebih kuat, pasti hal semacam ini tidak akan terjadi.Wanita itu berdiam di kamarnya, harusnya Bree lebih tahu di mana Axel saat ini. Dasar, wanita bodoh! Makinya dalam hati, mengapa juga tempo hari yang menolong dirinya dan mengeluarkannya dari situasi yang membosankan itu adalah Bree.Namun, setelah kenal lebih dekat, Wanda menilai Bree lebih menjengkelkan! Dia seperti putri raja yang tidak bisa melakukan apa-apa. Minta makanan langsung dihidangkan di meja makan. Tanpa mau membereskan atau juga mencuci piring.Atau juga baju yang bekas dipakai, Bree tidak mau mencucinya sama sekali.“Tapi aku melakukan semua pekerjaan rumah saat di apartemen Robert,” sentak Bree, saat Wanda menegurnya malam itu.Wanda mengulum senyuman, maunya tertawa dengan keras.“Kalau kau mau tinggal di sini, berarti, kau juga harus melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan di apartemen Rob
Season III“Lalu? Kau hanya khilaf? Atau mungkin kau memberikan harapan kepada perempuan itu?” pertanyaan Lily begitu mendesak Axel—yang sedang menatapnya.“Aku tidak bermaksud begitu,” jawab Axel. “Aku hanya ….”“Hanya apa, Axel? Apa kau pernah tertarik kepadanya?”“Tidak sama sekali, Li.” Axel menarik napas, dia meraih tangan Lily yang mengepal. “Saat ini bagiku, wanita dalam hidupku hanya kamu. Dan anak-anak adalah orang-orang yang ada dalam prioritas utamaku. Kau pernah percaya padaku, sekarang, aku mau kau lebih mempercayaiku.”Lily menghela napas, menerka apakah omongan Axel bisa dipercaya?Ya, wanita tidak bisa marah kepada lelaki yang dia cinta. Kesalahan sebesar apa pun, pasti dimaafkan.Dan, Lily memaafkan Axel. Dia percaya akan semua perkataan Axel, dan tidak tahu bagaimana hidupnya kalau tanpa Axel di sisinya. Bagaimana nanti dengan anak-anaknya? Tidak, Lily tidak ingin itu terjadi pada dirinya.Jadi, Lily mengangguk, “Aku hanya tidak ingin kau lebih dekat dengan perempuan
Season III“Ah, sial!” maki Wanda dalam hati, tergesa dia kembali ke mobil.Menutup pintu dengan keras, hingga membangunkan Bree.“Ada apa ini?” Bree mengucek matanya, memaksakan diri agar bangun.“Dia tidak ada di sini, Bodoh!” maki Wanda mendengus, menahan amarah yang ada sedari tadi.Bree malah tertawa, “Jelas sekali kalau dia tidak ada di sini. Kau saja yang tidak sabaran.” Bree menguap sambil meregangkan badan. “Harusnya kita menunggu kabar dari mamamu.”“Dia tidak akan tahu. Dia tidak sadar kalau sekarang status dan keberadaannya dipantau oleh siapa pun. Jangan bodoh Bree!”Wanda menyalakan mesin mobil, “Ingat. Kita akan tinggalkan mobil ini di daerah ini.”“Terserah kau saja, bangunkan aku kalau kau perlu.”Wanda mencengkeram lingkaran kemudi. Kesal rasanya melihat kelakuan Bree yang santai begini. Apa dia tahu kalau semua harus dilakukan secepatnya.***Robert di apartemen sama gelisahnya seperti Wanda. Mencari Emily semalaman, tetapi perempuan itu tidak ada di mana pun. Di ka
Season IIIBeberapa hari setelah lapor polisi, Robert masih sabar menunggu kabar dari Emily.“Dia tak pantas kau tunggu,” kata kakeknya setelah selesai rapat dengan para pemegang saham. Robert tidak bisa meyembunyikan kegelisahannya, sebentar-sebentar melihat ke ponselnya. Mungkin ada pesan atau telepon dari Emily, satu saja, Robert membatin sendiri.Satu pesan atau telepon, mungkin dia akan mencari Emily gila-gilaan.Perkataan kakeknya tidak Robert ambil pusing, dia hanya menaikkan alisnya. Dan diam, melirik menggerakkan tetikus laptopnya.“Dia memang cantik, aku akui itu,” timpal kakeknya. “Tapi, tidak semua wanita cantik patut untuk kau kencani. Ingat, Rob kau ini pewaris tunggal perusahaan yang aku miliki. Jadi, kau juga harus berhati-hati.”Robert menggerakkan pupilnya ke arah kakek. “Mereka kan, manusia juga, sama seperti kita. Patut atau tidak patut rasanya kita tidak bisa menilai seseorang karena itu.”“Robert, Robert, kau ini, kan, tampan, mapan. Perempuan mana pun mau kalau
Season III“Tampaknya, Emily dari kabin lama kita, Ma,” timpal Axel. “Mobilnya diketemukan di jalur sekitar kabin.”“Apa?” Nyonya Margot tentu saja tidak percaya. “Artinya, kita tidak bisa kembali dulu ke rumah,” usulnya cemas duluan.Beberapa saat kemudian, Steven masuk ke dalam ruangan keluarga, “Axel, Nyonya,” sapanya sambil menundukkan kepala. “Bisa kita bicara?” tanyanya lagi, khawatir, Steven juga tidak mau kali ini Axel dan keluarganya akan terluka dalam pengawalannya.“Ini pasti karena Emily?”“Ya. Aku sarankan, kita jangan kembali ke rumah dulu. Tapi … polisi perlu bukti yang kuat untuk menjebloskan Emily ke penjara.”Axel menatap mamanya dan Steve bergantian, lalu menghembuskan napas. Bertolak pinggang.“Yang jelas, aku tidak mau membahayakan anak dan istriku. Lagi pula, aakah bukti yang kita punya masih kurang lengkap?”“Polisi ingin menangkap basah Bree dulu. Dan, tindakan ini harus dilakukan, Axe,” saran Steven membuat jantung Axel berdebar lebih kencang.Axel menggigit b
Season III“Menunggu itu membosankan, kau tau?” ujar Wanda, setelah beberapa hari mengintai dirumah Axel.“Ya. Aku tahu. Aku pikir makan donat sambil mengintai adalah hal yang menyenangkan, tapi nyatanya tidak,” Bree melempar donat yang dia sudah gigit.Wanda mendelik ke arah Bree, “Dasar jorok!” tudingnya.Namun, Bree tidak menjawab apa pun, dia hanya menghela napas. Lalu tersenyum jail ke arah Wanda.Dihari keberapa, Wanda dan Bree tidak menghitungnya, mata Bree lalu melihat ada pergerakan dari dalam rumah.“Nah, apa itu?” mata Bree memelotot.Mobil putih melintas, melewati mobil mereka.“Itu mobil biasanya untuk pesuruh di rumah ini. Pasti itu dia,” kata Bree—langsung menoleh ke arah Wanda, “Cepat nyalakan mesin mobil, kita akan ikuti dia!”***Beberapa jam menunggu, Bree dan Wanda tidak berai mengintai terlalu dekat. Jadi ketika mobil itu masuk ke dalam rumah berpagar besi tinggi, mereka berhenti dekat pagar itu.“Aku tidak menyangka kalau mereka membeli rumah di sini,” ujar Bree.
Season III“Kita berpisah di sini saja,” ujar Bree ketika Wanda menepikan mobilnya di stasiun kereta api.“Kau mau ke mana?” tanya Wanda dingin.“Ke mana saja, aku tidak peduli. Ke mana pun kakiku melangkah.”“Baik. Tapi ingat, kau masih punya pekerjaan. Aku akan menghubungimu melalui nomor sekali pakai.”Dahi Bree mengerut, “Apalagi yang harus aku kerjakan?”“Memastikan kalau perempuan-perempuan itu mati. Aku tidak ingin kasus Lily terulang lagi. Pastikan mereka mati.”Bree membanting pintu mobil, dan berlari ke arah stasiun. Dia harus mengejar kereta yang akan datang lima menit lagi.Permintaan Wanda mengiang-ngiang dalam pikiran Bree. Dia berhasil naik kereta, tapi entah mau ke mana. Pindah kota atau bahkan pindah negara. Yang jelas, jauh dari kota dan negara ini.***Dor!Entah berapa kali suara tembakan itu terdengar memekakkan telinga.Steve yang selalu berjaga di basemen langsung berlari ke asal suara. Eric yang ada di lokasi siap siaga mencari siapa yang melepaskan tembakan.T