Season IIIBeberapa hari kemudian, Bree dan Wanda ditangkap. Penangkapan mereka sedikit banyak karena informasi yang diberikan Nyonya Margot.“Jadi, kapan mereka disidang?” tanya Nyonya Margot kepada Meredith yang ada di ruang kerja.“Belum ada informasi, Nyonya,” jawab Meredith. Sambil menyodorkan beberapa dokumen untuk ditandatangan.Nyonya Margot menatap Meredith, “Apa kau bisa cari tahu siapa jaksa penuntut dan hakimnya? Aku ingin bicara kepada mereka.” Nada suara Nyonya Margot dingin dan datar.Meredith tahu sekali kalau atasannya sudah berkata seperti ini, berarti ada niat yang lain dalam hatinya.“Baik, Nyonya,” jawab Meredith sambil menunduk. “Saya permisi dulu.”Nyonya Margot hanya mengangguk satu kali. Wajahnya terlihat kaku dan tegang. Jadi, Meredith tidak mau menganggu lagi, dan bertanya.Meredith dengan cepat menjalankan apa yang Nyonya Margot minta, yaitu, mencari tahu siapa hakim dan jaksa penuntut yang akan menyidang Wanda dan Bree.“Jadi begitu?” Meredith mulai melaku
Season IIINyonya Margot merasa ada yang tidak beres. Tidak biasa-biasanya Meredith seperti ini. Wanita itu berjalan ke kamar Meredith—yang katanya sedang berbaring. “Biasanya tidak dikunci,” katanya pelan sambil mendorong pintu kamar. Meredith ada di ranjang, matanya terpejam, Nyonya Margot masuk begitu saja.“Mer,” panggil Nyonya Margot pelan, sambil mendekat ke arah ranjang. Ada beberapa barang berserak dekat Meredith berbaring. Ponsel, beberapa butir pil dan … alat praktis tes kehamilan. Yang terakhir kali dilihat membuat Nyona Margot membeliak.Apa mungkin asistennya saat ini sedang mengandung?“Mer?” Nyonya Margot makin gelisah, bagaimana kalau nanti Meredith tidak bisa bekerja untuknya lagi?“Mer? Apa kau baik-baik saja?” tanyanya lalu duduk di tepian ranjang. Tangannya terulur mengguncang pelan tangan Meredith. “Mer?” panggilnya sekali lagi. Suara Nyonya Margot pelan, namun bisa membuat siapa saja merinding mendengarnya. Atau langsung terpaku mendengar suaranya.“Nyonya?”
“Apa?” Lily memekik, matanya membulat, menatap Meredith. “Astaga! Meredith,” Lily bangkit dari kursinya, mendekat ke arah Meredith sambil membuka kedua tangan. “Selamat untukmu,” ucapnya, lalu memeluk wanita itu dengan tulus. “Astaga, aku tidak menangka akan pua keponakan secepat ini.”Meredith serba salah, tapi dia menerima juga pelukan dari Lily.“Axel, apa kau tidak akan memberi Meredith selamat?” tanya Lily begitu melepaskan pelukan dari Meredith.“Selamat,” ucap Axel datar dan acuh tak acuh. “Aku akan menunggu di kamar, sebelumnya akan menengok si kembar dulu. Memastikan kalau mereka sudah tidur dengan nyenyakempat atau.”“Mungkin aku akan menyusul,” ucap Lily tak kalah datar. Lalu mengedikkan bahu.“Aku juga sudah selesai,” ucap Nyonya Margot, lalu meletakkan garpu dan sendoknya.Mata Lily mengikuti gerakan Nyonya Margot, lalu dia menatap Meredith. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Lily simpatik karena selama ini wajah Meredith pucat tak karuan.Meredith berpura-pura mengambil past
“Siapa yang meneleponmu pagi-pagi?” tanya Axel selesai mandi. Dia dan Lily sedang siap-siap berkatifitas.“Dosenku,” jawab Lily, acuh tak acuh.“Perempuan?” tanya Axel tegas kepada Lily.Kali ini Lily gelagapan, “Lelaki. Dia menyuruh aku datang pagi, karena ada bahan membuat makalah yang tertinggal.”Dahi Axel mengerut, “Bahan apa? Kenapa dia sampai meneleponmu secara pribadi?”Lily mengedikkan bahu. “Mungkin aku mahasiswa yang potensial cerdas di kampus,” jawabnya asal. Dan mengerling ke arah Axel—yang pagi ini dipenuhi rasa cemburu. “Aku ke kamar kembar dulu. Berangkat ke kampus jam sembilan nanti. Bye.” Lily langsung menutup pintu kamar.Sementara, Axel melongo, “Hei. Kau harus jelaskan siapa dosen itu,” pekiknya. Namun, sayang tidak ada yang mendengarnya. Lily keburu menutup pintu dan pergi ke kamar si kembar.Sarapan di meja makan serasa lebih tegang dari pada biasanya.“Kenapa kalian saling diam?” tanya Nyonya Margot, melirik ke arah Meredith biasa duduk. Tempatnya kosong, Meredi
Axel membuat Lily menghela napas panjang kebingungan, mengapa suaminya jadi kekanak-kanakan begini?Wajah Sabrina beubah menjadi marah menatap Lily. Mana sangka selama ini sahabatnya ternyata begini.“Aku pikir urusan kita sudah selesai,” cetus Sabrina. Lalu menginggalkan Lily dan Axel.Lily tidak ingin berkonflik dengan sahabatnya sendiri. Jadi, dia mengejarnya.“Sabrina, dengarkan penjelasanku,” kata Lily mengejar wanita itu.Namun, Sabrina tidak menghiraukan panggilan Lily. Dia berjalan cepat ke area parkir.Lily menghela napas lelah. Sial sekali hari ini.Axel menyusul Lily, dan ada di sebelahnya. “Sudahlah, nanti juga kalian berbaikan,” katanya.Lily memendam marah kepada suaminya sendiri, dia mendengus sambil menatap Axel. Lalu meninggalkannya seorang diri.“Hei, mau ke mana kau? Li!?”***“Ya, sebenarnya persiapa ulang tahun hampir selesai. Kalau dia tidak mengacau di kampusku, mungkin mala mini aku tidak akan begadang!” umpat Lily kesal sekali dengan kelakuan Axel hari ini.“J
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem