"Nikmati harimu. Aku ada di sini. Kau bisa memanggilku kapan saja kau membutuhkanku. Nay. Terima kasih banyak.""Ya.""Aku tinggal dulu ya. Ingat ini malam pertamamu aku harap kamu bisa melakukannya."Naya terdiam."Suamiku sangat manis, Naya.""Terserah.""Jangan lupa. Aku pergi dulu."Naya sudah pernah merasakan sakit hati. Berhubungan dengan seseorang Galih yang ia pikir akan menikahinya, Ah rasanya semua itu hanya mimpi, tapi berbeda kini Naya malah terjebak di pernikahan konyol itu. Di tepi ranjang Naya menatap ke arah sekitar, kamar paling mewah yang pernah ia lihat. Dengan tirai halus dan mengkilat, sofa empuk dan meja kokoh dengan ukiran dari kayu jati yang terkesan begitu elegan, dan sebuah ranjang besar berukuran king size berpelitur mengagumkan dengan warna keemasan. Juga cermin rias yang begitu wah, lemari semua berbahan dari kayu jati. Naya duduk ditepi ranjang mengamati setiap ruangan yang begitu menakjubkan. Memang sangatlah berbeda antara dirinya dan Han bagaikan lan
Semua yang berada di dalam terlihat kebingungan, terdiam masih menatapa Naya. Raja bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Naya, Raja menatap Naya tanpa kedip, demi mengalihkan debaran hati karena tatapannya Naya menunduk. "Kau Naya?"Naya mengangguk dan menyodorkan file titipan dari Mama mertuanya. "File Anda ketinggalan. Mama menyuruhku mengantarkan." Jelasnya singkat. Raja mengambilnya dan Naya tak suka dengan tatapannya. Sekejap kemudian Naya teringat akan tujuannya kemari dan harus segera berangkat bekerja."Saya permisi, Tuan.""Terima kasih."Naya mengangguk. "Sama-sama, Tuan."Raja terus menatap Naya sampai tubuhnya menghilang dari pandangannya. Raja tersadar lalu berbalik berjalan dan memulai meeting. ***Sampai di Rumah Sakit buru-buru Naya sedikit berlari menuju tempatnya bekerja. "Maaf telat ya." Naya duduk seraya melepaskannya tas dan menaruhnya di atas meja. "Lima menit."Naya tersenyum. "Bagaimana keadaan, Daren?""Alhamdulillah sudah membaik, hari ini pulan
Seminggu sejak kejadian memalukan itu, Naya siap-siap mau berangkat kerja malam. Hari ini Naya bekerja di jam malam. Bersiap dengan memakai jaket dan mengambil tas juga flatshoes. Naya membuka pintu tinggi dan kokoh itu berjalan dengan pelan menuruni tangga. Terlihat mereka sedang berkumpul dan sedang mengobrol, mungkin saja soal perusahaannya. Tidak seperti Naya harus kedinginan menyongsong pergantian malam gelap bersama rintik-rintik gerimis, bersama udara malam menelisik kulit. "Nay." Naya tersenyum dan berhenti dan menatap dua lelaki beda usia itu. "Mau kemana?" tanya Papa Danuarta menatapnya curiga."Emm, saya masuk malam. Pa."Sekilas Naya menatap suaminya yang tak menghiraukan Naya, ia melihat ke arah lain. "Oh, masuk malam."Naya hanya mengangguk. "Kalau begitu diantar sama, Pak Edi saja."Naya menggeleng, "tidak, Pa. Biar saya naik motor saja. Permisi.""Ini sudah malam, Nay. Ngak bagus naik motor sendiri. Biar Raja yang antar."Raja menegakkan wajah. Bukan membalas perk
Tak seorang pun wanita di dunia ini menginginkan status menjadi istri kedua ataupun wanita kedua dalam hidupnya. Sayang, Naya tak diberi pilihan. Entah karena alasan ingin terlihat seperti lelaki tangguh, atau hanya menginginkan si wanita kedua menjadi simpanannya saja bahkan hanya karena nafsu semata. Namun berbeda dengan poligami yang Naya alami. Semua itu karena permintaan sang istri agar bisa istri kedua mengandung seorang bayi yang tak mereka dapatkan selama bertahun-tahun di pernikahan. Tak pernah mereka pikirkan soal hati Naya yang hancur, entah karena alasan apa. Dari situlah awal mula Naya hidup terlunta-lunta diantara pernikahan mereka. Jujur, ada rasa rindu pulang ke rumah. Harapan Naya saat itu suatu hari ingin mendapatkan seorang suami yang hanya miliknya seutuhnya, lalu mereka tinggal di rumah dan mempunyai banyak anak. Dalam hati Naya sempat berjanji akan setia. Juga tak akan menjadi perusak hubungan suami orang. Naya ingin marah, tapi tak tahu pada siapa. Jadi saat
Setelah selesai bekerja, Naya berjalan bersama ana dan Tari mereka bertiga berjalan ke arah parkir, ternyata disana Pak Edi sudah menungguku. "Tuh supir jemput kamu, Nay?" tanya Tari. "Hu um.""Wah sejak kapan kamu jadi tajir, Nay?" Sahut Ana. "Gak kebetulan itu sopir saudara aku, Ana.""Oh. Nay, Tar aku duluan, ya. Suamiku sudah jemput.""Iya hati-hati, An." "Siap."Tari dan Naya melambaikan tangan. "Enggak jadi nih main ke rumah aku, Nay. Padahal Mama kangen lo katanya sama kamu.""Titip salam saja dulu ya.""Oke deh. Terus kamu mau ngapain."Naya tersenyum. "Aku mau puas-puasin tidur seharian mumpung libur besok. Capek aku.""Ya deh. Aku duluan ya."Naya mengangguk mengiyakan, dan melangkah menemui Pak Edi. Ia membukakan pintu lalu Naya masuk. Sesaat mobil meninggalkan rumah sakit menuju rumah penjara itu lagi."Pak, harusnya enggak usah jemput, saya bisa pulang dengan taksi. Kasihan Mama jika mau pergi.""Tapi, Tuan Raja menyuruh saya buat jemput, Non Nay."Naya kehilangan ka
Naya berlari ke kamar lalu dengan cepat ia menutup pintu. Tubuhnya gemetar ia kesal dengan ulah laki-laki itu. Namun suara ponsel berdering membuat Naya tersentak kaget. Sepertinya nomor baru Naya enggan menjawabnya. Namun beberapa saat suara getaran itu kembali terdengar dari ponselnya lagi. "Nay, kumohon izinkan aku menemuimu sekali saja. Aku mau menyampaikan sesuatu. Aku ingin menjelaskan semuanya sama kamu. Bisa kita ketemu?" tulisnya dalam sebuah chat. Menjelaskan apa? Menjelaskan bahwa dia akan menikah? Semuanya sudah selesai. Naya tak akan bermain api jika tidak pekerjaan yang sangat Naya sukai akan dipertatuhkan, jika sampai dokter Seruni melihat pertemuan kami nanti. Setelahnya Naya memilih meletakkan ponsel ke atas nakas dan berbaring.Naya masih takut ia berharap sore hari nanti semua kesakitan itu akan menghilang. Entah apa rencana Tuhan, tapi begitulah hidup yang bisa terjadi kapan pun Tuhan mau. Meski jujur hatinya masih belum bisa melupa saat-saat bersama Galih kekas
Naya berjalan tergesa. Ketika ia mau masuk melihat seseorang yang tengah berdiri di beranda rumah. Ternyata Satpam. "Baru pulang, Non?" tanyanya seraya membukanya pintu gerbang. "Iya, Pak."Naya berjalan masuk, membuka pintu rumah terlihat sepi. Tanpa sadar Naya menggeleng membayangkan reaksi Raja tadi pagi. "Non.""Mbak Nur, ngapain sih disitu kaget tahu." Jelas Naya kaget saat melihatnya tiba-tiba mendekati. "Eh itu, Tuan Raja gak mau makan juga minum obat, Non.""Mirip anak kecil saja, sih. Dimana Non Hani?" tanya Naya. "Pergi sama, Nyonya. Non."Naya menyuruhnya membawakan belanjaannya. Naya langsung berjalan ke arah kamar Raja ditemani Darti. Saat mereka masuk laki-laki itu duduk di depan leptopnya. "Permisi, Tuan."Laki-laki itu tak menghiraukan. "Tuan." Panggil Naya lagi. "Aku ngak mau makan!" Naya memalingkan wajah. "Tapi, Tuan harus minum obat.""Ngak mau."Naya dan Bibi saling tatap. "Gini deh kita makan martabak ini ya sama-sama, Tuan? Biasanya sih saya habiskan s
Pagi selesai Naya mandi, ia tak tahu apa yang harus Naya lakukan. Semua dikerjakan sang asisten rimah tangga. Bahkan semua baju Naya sudah rapi dalam almari plus dengan setrikaan licin. Naya bangkit akan ke luar kamar. Namun keduluan Mbak Nur yang datang. "Pagi, Non." Naya tersentak. "Eh, Mbak Nur.""Malah melamun. Ini sarapan paginya, Non." Naya tersenyum. Mendekati Mbak Nur dan memeriksa sarapan Naya cepat-cepat menyelesaikan makan, setelah itu Naya ikut ke dapur membantu Mbak Nur membereskan piring kotor. "Mbak berapa lama kerja disini?" tanya Naya. "Sudah lama, Non. Sejak lima tahun terakhir."Naya mengangguk tanpa menjawab apa pun."Kenapa, Non?""Memangnya, Non Hani sama Tuan Raja tidurnya pisahan?" tanya Naya canggung, tapi Naya penasaran sekali. Terlihat Mbak Nur menghela napas. "Em, tidak kok Non.""Mbak Nur.""Iya, Non.""Bisa-bisanya aku tanya malah mengalihkan pertanyaan, gimana sih.""Itu, Non. Aduh gimana jelasinnya, ya."Naya menggeleng pelan. "Ya tinggal jawab sa
"Raja." Tiba-tiba suara sang Mama mengagetkan Raja."Ya, ada apa, Ma.""Harusnya pernikahan kalian di percepat?""Kenapa, Ma?" tanya balik Raja.""Ya lebih cepat lebih baik, kan."Raja mencerna setiap kata demi kata yang di lontarkan. "Maksudnya, Ma?""Mama khawatir saja, anak-anak kamu khawatir soal keadaan ini. Mama ngak mau lagi pisah sama Naya juga cucu-cucu, Mama."Mamanya benar bahwa Raja tak boleh membuang waktu. Dan akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Apalagi Naya sudah memberikan kesempatan kedua padanya. "Terus bagaimana baiknya, Ma?""Ya, tinggal datang ke rumah, Pak Kyai. Minta tolong buat di nikahin."Bibir Raja tak bisa menahan senyum. "Baiklah, Ma. Akan aku urus.""Biar, Mama yang ajak Nata, Innara dan anak-anak yang usrus soal baju juga catering.""Iya, Ma."Pada akhirnya kesepakatan kedua itu pun terjadi. Bahwa pernikahan mereka akan segera dilaksanakan lagi. Entah kata apa lagi yang bisa menggambarkan getaran hati Raja saat ini. Seperti ada yang berdetak kencang
Naya sadar ia langsung mendorong tubuh Raja menjauh. "Maaf Nay aku...."Naya diam. "Maaf." Ucap Raja lagi. Mereka saling diam. Tak lama Raja menjalankan mobilnya kembali. Kini mobil sudah berada di depan rumah Naya. Di depan teras sudah berkumpul ada si kembar juga mertuanya. Juga Mak Tini yang menyiapkan minuman. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Eh, Naya baru pulang kerja?" Mama mertuanya bertanya. "Iya, Ma.""Banyak pasien ya?Kelihatan capek banget. Sudah sana mandi dulu. Habis itu kita makan bersama ya."Naya melengkungkan senyum. "Iya, Ma." Naya menjawab singkat. Seraya menjabat tangan Mama juga Papa Danuarta. "Aku masuk dulu, Ma.""Iya Sayang."Tampak sekali kehangatan mereka berkumpul. Pemandangan yang selama ini Raja rindukan, anak-anaknya butuh sosoknya, Raja senang bisa bermanja dengan kesua anaknya. "Ih, Mara kok cantik begini, sih?" "Oma juga cantik." sahut Amara. Semua tertawa, sedangkan Zain berada dipangkuan Naya yang baru saja ikut bergabung. Raja merasak
"Naya." Sang Mama berdiri dengan cemas. "Kami, izin pulang, Ma, Pa."Mereka semua tertegun sesaat. "Pulang?"Naya mengangguk. "Injih, Ma. Pa.""Tapi, Naya?" tanya Raja tak rela. Naya memandangi Raja, tak berkedip. Lalu menggelengkan kepala. Berharap agar Raja berhenti mencegah mereka. Mamanya menangis. "Boleh, aku peluk kamu lagi." Pintanya. Amara mundur beberapa langkah dan berada di belakang Naya. "Aku mohon. Beri Amara waktu, Ma." Dengan ragu Naya menjawab pertanyaan sang Mama.Wanita paruh baya itu tersenyum. "Iya, baiklah. "Permisi."Diantarkan sopir mereka meninggalkan Villa. Satu jam kemudian, mereka sudah sampai. Keluar dari mobil Amara berlari ke arah kamar. Diikuti oleh Zain. "Mbak, apa ini jadi Mas Raja Ayah Amara?''"Ya.""Lalu Zain?"Naya menunduk tak menjawab. "Mbak."Naya mengembuskan napas kasar, seolah ingin mengurangi beban di dada. "Pasangan yang baik itu, saling mendukung. Dan aku perhatikan Mas Raha itu masih sangat mencintaimu, Mbak.""Lalu, Amara?" ta
"Naya."Panggilnya sesaat Naya berbalik. "Emmm.""Jangan dijawab sekarang kamu juga belom ketemu kan sama Zain?""Zain?""Ya. Maaf, karena memisahkan kamu dari Zain."Naya berkaca-kaca, lalu berpaling. "Kamu tak rindu dengannya."Bicara apa dia mana ada seorang Ibu yang tak rindu anaknya.""Segera aku akan pertemukan kamu dengannya."Naya mendongak, kembali menatap wajah sayunya. "Aku tahu aku salah, maaf. Ada surat untukmu dari Hani.""Surat, Hani.""Ya."Naya mengambil surat itu dwngan tangan gemetar. "Aku tak ingin kehilangan kamu lagi."Naya menatap dingin. Naya bisa melihat mata lelaki itu semakin memerah. Tak sanggup melihatnya lebih lama, ia memilih memalingkan wajah. Bersamaan dengan dua butir air yang mencuri kesempatan turun dan meninggalkan jejak basah di pipi Naya. "Aku benar-benar ngak bisa menahan jauh darimu lagi, aku ingin kau tetap berada di sisiku?" Naya menggeleng. "Mas akan kembali ke Jakarta kan. Jangan menambah luka itu lagi. Apalagi pada Mara.""Aku akan
"Dia hanya memanfaatkan kamu, Nay. Bagaimana jika Hani tahu ada Amara adalah kembaran putramu?"Naya bingung benar juga apa kata Tari. "Aku hanya tak mau mereka merebut Mara darimu." Kata Tari lagi. Naya mengiyakan, meski tak yakin jika Raja tega akan mengambil putrinya. Setelah Naya bersusah payah bersekongkol dengan Dokter Fadil untuk merahasiakan putrinya dari keluarga Danuarta. "Aku juga ngak bisa kasih saran, ini terlalu rumit.""Kau benar tapi aku takut, Tari."Tari mendekati lalu memeluk sahabatnya erat. "Bismillah dan sabar, Nay. Karena Allah tidak akan membiarkanmu sakit lagi."Naya mengangguk mengiyakan. "Ya, bismillah.""Semangat ya.""Ya."***Sore harinya sekitar pukul setengah tiga, mereka satu di jemput sopir Raja, kata sopirnya Raja masih ada meeting dan menyuruhnya menjemput. Naya duduk di belakang dengan Amara, sementara Daren di depan dengan Pak sopir. Satu jam kemudian mereka sampai di Villa. Saat turun sudah disambut oleh Raja. "Hei, Amara." "Om tampan!'' Am
Pria yang berdiri sambil memegang tangan, menatap Naya terperangah. Sorot terkejut tampak jelas dari matanya. Namun, bibirnya tertutup. Tak menyuarakan satu pertanyaan apa pun. Wajah yang selama ini Naya rindukan berada tepat di depannya. Tubuh Naya terasa kaku dan sulit untuk ia gerakkan. Naya tertegun saat wajah saling berhadapan. Kembali Naya menengadah dan merasakan hangat napasnya menyapu wajah. Pertemuan swtelah dua belas tahun lamanya, mereka masih berada di atas pijakan yang sama. Naya menunduk untuk menghindari kontak mata langsung dengannya. Menyembunyikan tangan yang gemetar dengan berpura-pura melpaskan genggaman tangannya dan mundur beberapa langkah.Setelah tersadar Naya duduk memungut kertasnya yang berhampuran jatuh dilantai saat ia tabrak. "Naya!"Naya gemeter lalu menggigit bibir. Sekuat tenaga menahan air mata itu tetap meluncur dari mata yang terpejam sesaat. Naya terdiam terus memungut kertas itu, selesai berdiri dan memberikannya. "Maaf."Dengan berat hati Nay
Raja melihat ke arah kanan dan kiri namun tak ia dapati pemuda itu. "Mana Omnya?""Itu." Tunjuk gadis kecil itu ke arah pemuda yang masih telepon. Raja hanya mengangguk. Saat melihat ke arah wajah lelaki itu ternyata, dia lelaki yang kemarin juga sedang menerima panggilan telepon. "Jadi ngak sekolah nih?" tanya Raja gemas. Anak itu menggeleng, "kan hari minggu libur." "Oh iya."Gadis itu menggeleng lagi, sambil mencipratkan air ke arah Raja. "Mau aku temani main?''Gadis itu tersenyum. "Mau, Om!"Raja tersenyum memegang bahunya. "Yuk."Teriakan histeris manja ketika ia berlari saat ombak datang dan kembali saat ombak menjauh. Entah mereka melepas rindu atau tak sengaja dengan saling memeluk satu sama lain."Kenapa sedih begitu?" Raja bertanya setelah mereka duduk menjauh dari pantai. "Coba Mama bisa ikut, pasti seru Om." Dia menunduk karena sedih.Raja berdecak. "Mama?"Gadis itu mengangguk pelan. "Memangnya Mama kemana ngak ikut?" Raja kembali bertanya. Seketika, raut wajahn
Dua belas tahun kemudian. Sarapan belum habis seluruhnya, namun sesaat ponsel Raja berdering. Dengan malas ia meraihnya. Melirik jam di tangan dan tahu bahwa masih pukul tujuh pagi. Siapa yang menelpon sepagi ini?"Pak, kita akan keluar kota." Kata Han diseberang sana Astaghfirullah Raja lupa kalau ada kunjungan ke luar kota. "Baik urus semuanya, beli tiket kereta api saja.""Semua sudah siap, Pak. Sesuai perintah.""Ok."Tak lupa aku mentransfer uang dalam jumlah yang banyak untuk Naya. Selama beberapa tahun tak pernah Raja melupakan kewajibannya apalagi ia masih sah sebagai istri tak pernah Raja menalak atau menceraikan Naya. "Pagi, Papa." Sapa anak kecil yang baru saja bergabung. "Pagi, Sayang.""Papa baik?""Baik, Sayang, baru itu Papa antar sekolah ya.""Siap, Pa.""Jangan nakal, Papa akan keluar kota beberapa hari, nurut sama Oma ya.""Yah gak seru, Papa." Kilahnya kesal. "Zain kan Papa kerja." Jelas Raja.Zain masih saja cemberut. "Kenapa, Nak?" tanya sang Mama yang baru
Hani begitu bersemangat. Tidak pernah Naya melihat dia begitu bahagia seperti ini. Senyumnya semakin mengembang saat berjalan mendekati Naya. "Nay." Naya mengangguk, tersenyum dan memeluknya. "Mau kemana?" "Kerja lah," jawab Naya santai. "Kok kerja sih? Harusnya jangan kerja?" tanya Hani lagi penasaran kok bisa kandungan sebesar itu Naya masih bekerja di rumah sakit. Naya menatap Raja yang baru saja ikut bergabung. "Biarkan dia, Hani.""Mas, kok gitu sih bahaya kerja dengan perut besar seperti itu lo."Raja hanya diam. "Nay kamu harus hati-hati kalau bekerja atau kamu cuti saja.""Jangan, Han. Aku akan stres kalau di rumah terus." Jelas Naya. "Takutnya kamu kecapekan. Kandungan kamu juga sudah besar. Dua bulan lagi kan HPLnya?""Eumm."Tulang-tulang Naya seperti terlepas satu-satu. Naya tidak bisa bergerak, bahkan ia tak tahu akan nasibnya nanti seperti apa jika di rumah terus. "Biarkan dia, Han. Lagian kerjanya gak berat kok." Sahut Raja "Mas tapi aku cemas sama bayinya. B