Naya berjalan tergesa. Ketika ia mau masuk melihat seseorang yang tengah berdiri di beranda rumah. Ternyata Satpam. "Baru pulang, Non?" tanyanya seraya membukanya pintu gerbang. "Iya, Pak."Naya berjalan masuk, membuka pintu rumah terlihat sepi. Tanpa sadar Naya menggeleng membayangkan reaksi Raja tadi pagi. "Non.""Mbak Nur, ngapain sih disitu kaget tahu." Jelas Naya kaget saat melihatnya tiba-tiba mendekati. "Eh itu, Tuan Raja gak mau makan juga minum obat, Non.""Mirip anak kecil saja, sih. Dimana Non Hani?" tanya Naya. "Pergi sama, Nyonya. Non."Naya menyuruhnya membawakan belanjaannya. Naya langsung berjalan ke arah kamar Raja ditemani Darti. Saat mereka masuk laki-laki itu duduk di depan leptopnya. "Permisi, Tuan."Laki-laki itu tak menghiraukan. "Tuan." Panggil Naya lagi. "Aku ngak mau makan!" Naya memalingkan wajah. "Tapi, Tuan harus minum obat.""Ngak mau."Naya dan Bibi saling tatap. "Gini deh kita makan martabak ini ya sama-sama, Tuan? Biasanya sih saya habiskan s
Pagi selesai Naya mandi, ia tak tahu apa yang harus Naya lakukan. Semua dikerjakan sang asisten rimah tangga. Bahkan semua baju Naya sudah rapi dalam almari plus dengan setrikaan licin. Naya bangkit akan ke luar kamar. Namun keduluan Mbak Nur yang datang. "Pagi, Non." Naya tersentak. "Eh, Mbak Nur.""Malah melamun. Ini sarapan paginya, Non." Naya tersenyum. Mendekati Mbak Nur dan memeriksa sarapan Naya cepat-cepat menyelesaikan makan, setelah itu Naya ikut ke dapur membantu Mbak Nur membereskan piring kotor. "Mbak berapa lama kerja disini?" tanya Naya. "Sudah lama, Non. Sejak lima tahun terakhir."Naya mengangguk tanpa menjawab apa pun."Kenapa, Non?""Memangnya, Non Hani sama Tuan Raja tidurnya pisahan?" tanya Naya canggung, tapi Naya penasaran sekali. Terlihat Mbak Nur menghela napas. "Em, tidak kok Non.""Mbak Nur.""Iya, Non.""Bisa-bisanya aku tanya malah mengalihkan pertanyaan, gimana sih.""Itu, Non. Aduh gimana jelasinnya, ya."Naya menggeleng pelan. "Ya tinggal jawab sa
Naya kembali melangkah, masuk ke dalam kamar lalu mengambil tas juga flatshoes dan akan menemui Daren. Karena hanya dia yang bisa menenangkan hatinya saat ini. Sungguh banyak permasalahan hidup yang menghadirkan kesedihan. Namun iman mengajarkan bahwa perjalanan hidup tak akan sepi dari ujian dan cobaan. Naya kadang hanya bisa melihat orang terlihat bahagia padahal dalam jiwanya menyimpan duka derita. Bayangkan saja rumah sebesar itu tak bisa mendapatkan kebahagiaan, di rumah besar itu tak ada suara tangis bayi, juga tawa anak kecil. Miris sekali. Naya juga melihat seseorang penuh tawa bahagia tak pernah tahu bahwa hatinya menyimpan gurat luka. Semoga Naya bisa kuat berada disini. Naya berjalan ke arah luar saat Naya mau mengambil motornya namun tak ada. Kemana perginya motor Naya."Apa sepeda motorku kesayanganku itu hilang? Atau kemana ya.""Non, cari apa?""Mang, sepeda motorku ke mana ya? Kok ngak ada sih?"Mamang tersenyum seraya megaruk rambutnya yang tidak gatal. "Emm itu, Non
Naya mengguyur tubuh rasanya sangat segar apalagi setelah aktivitas seharian yang melelahkan. Selesai ia mengikat rambut dengan handuk, keramas membuat lelahnya hilang. Saat Naya keluar kamar mandi, Mbak Nur sudah menungguku di sofa dan membawakan makanan. "Makan Non.""Ngak mau.""Non.""Ngak lapar.""Terus ini gimana makanannya?""Makan saja sendiri.""Non.""Aku capek mau tidur, Mbak Nur.""Terus ini kalau aku dimarahin Tuan bagaimana. Mbokya kalau pergi bilang to, Non. Kami semua dimarahi sama, Tuan Raja kemarin lo.""Dan aku tak peduli.""Non Naya.""Iya, Mbak Nur."Lama mereka dilingkupi sunyi, hanya suara sendok dan piring terdengar. Terpaksa Naya makan karena dipaksa, selesai makan Mbak Nur pun pergi, Naya merasa sangat capek sekali ia membaringkan tubuhdi atas ranjang.***Ketukan pintu membuat Naya terbangun, kepala masih terasa nyeri Naya mengusap mata yang masih lengket, kemudian berusaha bangkit dan berjalan mendekati pintu lalu membukanya. Ternyata Hani, sudah telihat s
"Ah bercanda kamu kelewatan Jeng, masa iya begitu.""Benar lo Jeng kayak yang lagi viral itu.""Mikirmu kejauhan Jeng Santi."Raja hanya diam. Sepertinya ia tak peduli dengan ucapan Tante Santi. Naya memaksakan senyum karena ucapan perempuan paruh baya itu begitu menusuk. "Nay, sini aku kenalkan dengan saudara, Papa yang punya acara ini."Naya menatap ke arah Raja, ia mengangguk. "Iya, Ma."Mereka berdua berjalan mendekati wanita cantik yang masih menjamu tamunya. Langkah semakin mendekat, tapi saat Naya berjalan ia melihat Ana namun sepertinya ia tak mengenali Naya, karena make up juga baju senada dengan keluarga yang punya pesta itu. Mungkin saja Ana tak ngeh jika Naya ada diantara mereka. Sesaat wanita itu menatap ke arah Naya dan Bu Diah dan tersenyum. "Diah apa kabar, makin cantik ya kamu.""Masa sih. Selamat ya atas pernikahan putramu. Akhirnya menikah juga."Wanita itu tersenyum. "Iya, terima kasih, wah cantik sekali ini siapa?" tanya wanita itu tersenyum ke arah . "Oya, k
Naya mencoba mengartikan perkataan suaminya. Ah, mungkinkah ia sedang sakit? Tapi tidak mendadak Naya bergidik ngeri. Naya menggigit bibir bawah. Bingung harus menjawab apa. "Aku suamimu, bukan?" Naya menatapnya. Bibir Naya mendadak kaku untuk berkata-kata."Aku berhak mendapatkan hakku sebagai seorang suami bukan?""Apa, Tuan?" tanyanya kaget. Ia masuk ke kamar dan melewati Naya hingga badan besarnya membuat tubuh Naya akan terjatuh saat ia menabraknya. Untung Naya bisa menjaga keseimbangan tubuh. Naya mengekori di belakangnya sesaat ia berhenti dan berdiri di depan jendela. "Bisa jelaskan, apa hubunganmu dengan, Mas Galih?" tanyanya. Naya tak sanggup menatap lelaki yang berada di depannya ini. Dengan wajah yang begitu garang sedari pulang di pesta pernikahan tadi, Raja hanya diam, sepertinya ia marah pada Naya. Apa mungkin tadi Raja mengetahui percakapan Naya dengan Dokter Seruni? "Maksud, Tuan?" Naya menjawab pelan. "Jujurlah ... aku tahu kau punya hubungan special dengan K
Raja membawa Naya terbang ke langit, sakit Naya merasakan sakit yang luar biasa di bagian sensitivenya. Naya pun sudah iklas karena itu tujuannya ia dinikahi pun sudah berusaha dengan keras sejak kesepakatan meminjam rahim itu terjadi, memenuhi apa yang seharusnya Raja lakukan sebagai seorang suami. Memberikan benih di rahimnya. Naya meremas sprei dengan sekuat tenaga dengan segala rasa sakit pada tubuh. Namun sekarang aku berada di titik pasrah, setelah tak ada sehelai benangpun menghalangi mereka berdua. "Terima kasih." Raja bicara setelah dahaganya terpenuhi. Naya miring membelakangi tubuh suaminya memilih tak menjawab badannya gemetar, mugkin kelak Naya akan menyandag gelar sebagai janda setelah melahirkan anak darinya. Naya menarik selimut menutupi tubuh yang tak terlindung sehelai benang. Malam semakin larut. Detak jarum jam menjadi satu-satunya alunan merdu yang mengiringi malamku. Sesekali kutatap wajah sendu yang tak tertutup selimut itu, lalu kembali beralih pada langit-l
Beberapa bulan Sejak kejadian itu, Naya masih sama menjalani rutinitasnys bekerja, dan sesekali menjenguk adiknya Daren. Sejak kejadian malam itu Naya makin membeku. Tak pernah Naya menjawab setiap Raja menegurnya. Nyatanya semuanya akan berakhir dengan luka bukan. Naya terlihat egois, memang iya tapi tak mau terjebak dalam cinta segitiga ini. Karena tak ada dua Ratu dalam satu istana bukan? Kini tak lagi ada lengkung senyum yang Naya perlihatkan untuk mereka semua. Bahkan saat Dokter Seruni melabrak pun ia hanya diam, tak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Naya hanya seperti wanita yang hidup namun tak terlihat seperti hidup, mungkin saja jiwanya telah mati. Menelan pahit getirnya kehidupan. Naya menatap ke luar jendela kantin rumah sakit, sementara Tari sahabatnya itu masih menggenggam sebelah tangannya dengan erat."Jangan lakukan ini, sayangi dirimu, Naya" pintanya.Seperti ini terus dan berulang kali Naya mendengar permohonan yang sama dengan alasan yang sama pula. Tari sela