Naya mengguyur tubuh rasanya sangat segar apalagi setelah aktivitas seharian yang melelahkan. Selesai ia mengikat rambut dengan handuk, keramas membuat lelahnya hilang. Saat Naya keluar kamar mandi, Mbak Nur sudah menungguku di sofa dan membawakan makanan. "Makan Non.""Ngak mau.""Non.""Ngak lapar.""Terus ini gimana makanannya?""Makan saja sendiri.""Non.""Aku capek mau tidur, Mbak Nur.""Terus ini kalau aku dimarahin Tuan bagaimana. Mbokya kalau pergi bilang to, Non. Kami semua dimarahi sama, Tuan Raja kemarin lo.""Dan aku tak peduli.""Non Naya.""Iya, Mbak Nur."Lama mereka dilingkupi sunyi, hanya suara sendok dan piring terdengar. Terpaksa Naya makan karena dipaksa, selesai makan Mbak Nur pun pergi, Naya merasa sangat capek sekali ia membaringkan tubuhdi atas ranjang.***Ketukan pintu membuat Naya terbangun, kepala masih terasa nyeri Naya mengusap mata yang masih lengket, kemudian berusaha bangkit dan berjalan mendekati pintu lalu membukanya. Ternyata Hani, sudah telihat s
"Ah bercanda kamu kelewatan Jeng, masa iya begitu.""Benar lo Jeng kayak yang lagi viral itu.""Mikirmu kejauhan Jeng Santi."Raja hanya diam. Sepertinya ia tak peduli dengan ucapan Tante Santi. Naya memaksakan senyum karena ucapan perempuan paruh baya itu begitu menusuk. "Nay, sini aku kenalkan dengan saudara, Papa yang punya acara ini."Naya menatap ke arah Raja, ia mengangguk. "Iya, Ma."Mereka berdua berjalan mendekati wanita cantik yang masih menjamu tamunya. Langkah semakin mendekat, tapi saat Naya berjalan ia melihat Ana namun sepertinya ia tak mengenali Naya, karena make up juga baju senada dengan keluarga yang punya pesta itu. Mungkin saja Ana tak ngeh jika Naya ada diantara mereka. Sesaat wanita itu menatap ke arah Naya dan Bu Diah dan tersenyum. "Diah apa kabar, makin cantik ya kamu.""Masa sih. Selamat ya atas pernikahan putramu. Akhirnya menikah juga."Wanita itu tersenyum. "Iya, terima kasih, wah cantik sekali ini siapa?" tanya wanita itu tersenyum ke arah . "Oya, k
Naya mencoba mengartikan perkataan suaminya. Ah, mungkinkah ia sedang sakit? Tapi tidak mendadak Naya bergidik ngeri. Naya menggigit bibir bawah. Bingung harus menjawab apa. "Aku suamimu, bukan?" Naya menatapnya. Bibir Naya mendadak kaku untuk berkata-kata."Aku berhak mendapatkan hakku sebagai seorang suami bukan?""Apa, Tuan?" tanyanya kaget. Ia masuk ke kamar dan melewati Naya hingga badan besarnya membuat tubuh Naya akan terjatuh saat ia menabraknya. Untung Naya bisa menjaga keseimbangan tubuh. Naya mengekori di belakangnya sesaat ia berhenti dan berdiri di depan jendela. "Bisa jelaskan, apa hubunganmu dengan, Mas Galih?" tanyanya. Naya tak sanggup menatap lelaki yang berada di depannya ini. Dengan wajah yang begitu garang sedari pulang di pesta pernikahan tadi, Raja hanya diam, sepertinya ia marah pada Naya. Apa mungkin tadi Raja mengetahui percakapan Naya dengan Dokter Seruni? "Maksud, Tuan?" Naya menjawab pelan. "Jujurlah ... aku tahu kau punya hubungan special dengan K
Raja membawa Naya terbang ke langit, sakit Naya merasakan sakit yang luar biasa di bagian sensitivenya. Naya pun sudah iklas karena itu tujuannya ia dinikahi pun sudah berusaha dengan keras sejak kesepakatan meminjam rahim itu terjadi, memenuhi apa yang seharusnya Raja lakukan sebagai seorang suami. Memberikan benih di rahimnya. Naya meremas sprei dengan sekuat tenaga dengan segala rasa sakit pada tubuh. Namun sekarang aku berada di titik pasrah, setelah tak ada sehelai benangpun menghalangi mereka berdua. "Terima kasih." Raja bicara setelah dahaganya terpenuhi. Naya miring membelakangi tubuh suaminya memilih tak menjawab badannya gemetar, mugkin kelak Naya akan menyandag gelar sebagai janda setelah melahirkan anak darinya. Naya menarik selimut menutupi tubuh yang tak terlindung sehelai benang. Malam semakin larut. Detak jarum jam menjadi satu-satunya alunan merdu yang mengiringi malamku. Sesekali kutatap wajah sendu yang tak tertutup selimut itu, lalu kembali beralih pada langit-l
Beberapa bulan Sejak kejadian itu, Naya masih sama menjalani rutinitasnys bekerja, dan sesekali menjenguk adiknya Daren. Sejak kejadian malam itu Naya makin membeku. Tak pernah Naya menjawab setiap Raja menegurnya. Nyatanya semuanya akan berakhir dengan luka bukan. Naya terlihat egois, memang iya tapi tak mau terjebak dalam cinta segitiga ini. Karena tak ada dua Ratu dalam satu istana bukan? Kini tak lagi ada lengkung senyum yang Naya perlihatkan untuk mereka semua. Bahkan saat Dokter Seruni melabrak pun ia hanya diam, tak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Naya hanya seperti wanita yang hidup namun tak terlihat seperti hidup, mungkin saja jiwanya telah mati. Menelan pahit getirnya kehidupan. Naya menatap ke luar jendela kantin rumah sakit, sementara Tari sahabatnya itu masih menggenggam sebelah tangannya dengan erat."Jangan lakukan ini, sayangi dirimu, Naya" pintanya.Seperti ini terus dan berulang kali Naya mendengar permohonan yang sama dengan alasan yang sama pula. Tari sela
Tari dan Naya melangkah tertatih ke arah penjual rujak yang mangkal di simpang jalan tak jauh dari area parkir rumah sakit. Hari ini kebetulan cuaca sedang terik-teriknya. Entah kenapa, tiba-tiba ingin sekali rasanya Naya menikmati makanan yang berbahan dasar buah-buahan segar itu dengan sambal yang pedas. Kelihatannya segar. "Yakin mau beli, Naya biasanya kamu tak suka rujak deh? Bukannya kamu gak suka ya sama yang beginian?" tanya Tari. "Iya sih tapi hati ini pengen saja, Tari. Kelihatannya seger.""Ya deh."Mereka mendekat lalu memesan. "Sepuluh bungkus, Bang.""Eh busyet banyak amat, Naya?""Yang lima buat kamu, yang lima buat aku pas kan.""Naya, aku tak suka.""Aku beli buat Mama kamu, bukan buat kamu." Jelas Naya. Tari mengangguk. "Baiklah itu memang kesukaan Mama sih.""Makanya."Setelah memakan waktu dua menit motor hitam Naya mulai memasuki gerbang yang sudah terbuka. Sesaat jantung Naya mulai berdegup kencang. Mendadak gugup melihat area istana yang seperti penjara itu.
Sebuah cahaya menerangi Naya dengan tiba-tiba. Rasa sakit bertambah kuat. Sesuatu seolah-olah sedang menarik kehidupan dari tubuhnya. Sakit, jauh lebih sakit dari tipu daya sebuah perjanjian. Namun, ada sebuah kelegaan ketika Naya berhasil mengandung. Naya menutup mata kuat-kuat, berharap bisa menahan bulir air mata yang kian mendesak. Rasa takut itu semakin menjadi-jadi karena Naya hanya seorang wanita yang hanya bisa mengandung tanpa bisa merawat dan membesarkan anak itu nantinya. Perlahan, mata ini Nya terbuka. Sontak mulutnya berucap istigfar tatkala melihat sosok Hani sahabatnya yang tersenyum ke arahnya penuh bahagia. Juga semuanya keluarga Raja, mereka menaruh harapan besar kepada Naya. Naya bahkan tak tahu, bagaimana ia bisa setegar itu bertahan hingga saat ini. Naya masih bertanya-tanya, apa yang membuatnya bisa bertahan hingga sejauh ini? Apa yang sedang Naya cari? "Terima kasih, Nay. Kau sahabat terbaikku. Aku percaya bahwa kau akan memberikan anak untukku.''Naya hanya
Hampir setengah perjalanan, mereka hanya diam. Sampai akhirnya, Raja menoleh ke arah Naya yang ada di sampingnya."Apa kamu marah?" tanyanya tiba-tiba, sampai membuat Naya terkesiap."Mana mungkin saya berani marah kepada, Anda Tuan," ucap Naya dengan senyum yang sengaja ia paksakan.Hah yang sejujurnya Naya memang marah dan malas dengan semuanya. "Lalu kenapa kamu hanya diam saja, apa kamu tidak mau berterima kasih karena aku sudah menjemputmu.""A-apa, tepikan mobilnya dan berhenti saya bilang." "Naya, bercanda."Naya medelik tajam kearah Raja sembari berpangku tangan. Jika tidak terpaksa, Naya juga tidak mau duduk berdampingan di mobil itu, dasar aneh. "Sabar Naya, kamu hanya perlu meladeninya, jangan terbawa emosi." Bisiknya dalam hati. "Tapi lain kali, meskipun saya sedang berjalan di tengah derasnya hujan atau di bawah terik matahari, Anda tidak perlu repot-repot memberi tumpangan kepada saya, Tuan." "Kau mau anakku mati ya!" pekik Raja, membuat nyalinyamenciut seketika.Na
"Raja." Tiba-tiba suara sang Mama mengagetkan Raja."Ya, ada apa, Ma.""Harusnya pernikahan kalian di percepat?""Kenapa, Ma?" tanya balik Raja.""Ya lebih cepat lebih baik, kan."Raja mencerna setiap kata demi kata yang di lontarkan. "Maksudnya, Ma?""Mama khawatir saja, anak-anak kamu khawatir soal keadaan ini. Mama ngak mau lagi pisah sama Naya juga cucu-cucu, Mama."Mamanya benar bahwa Raja tak boleh membuang waktu. Dan akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Apalagi Naya sudah memberikan kesempatan kedua padanya. "Terus bagaimana baiknya, Ma?""Ya, tinggal datang ke rumah, Pak Kyai. Minta tolong buat di nikahin."Bibir Raja tak bisa menahan senyum. "Baiklah, Ma. Akan aku urus.""Biar, Mama yang ajak Nata, Innara dan anak-anak yang usrus soal baju juga catering.""Iya, Ma."Pada akhirnya kesepakatan kedua itu pun terjadi. Bahwa pernikahan mereka akan segera dilaksanakan lagi. Entah kata apa lagi yang bisa menggambarkan getaran hati Raja saat ini. Seperti ada yang berdetak kencang
Naya sadar ia langsung mendorong tubuh Raja menjauh. "Maaf Nay aku...."Naya diam. "Maaf." Ucap Raja lagi. Mereka saling diam. Tak lama Raja menjalankan mobilnya kembali. Kini mobil sudah berada di depan rumah Naya. Di depan teras sudah berkumpul ada si kembar juga mertuanya. Juga Mak Tini yang menyiapkan minuman. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Eh, Naya baru pulang kerja?" Mama mertuanya bertanya. "Iya, Ma.""Banyak pasien ya?Kelihatan capek banget. Sudah sana mandi dulu. Habis itu kita makan bersama ya."Naya melengkungkan senyum. "Iya, Ma." Naya menjawab singkat. Seraya menjabat tangan Mama juga Papa Danuarta. "Aku masuk dulu, Ma.""Iya Sayang."Tampak sekali kehangatan mereka berkumpul. Pemandangan yang selama ini Raja rindukan, anak-anaknya butuh sosoknya, Raja senang bisa bermanja dengan kesua anaknya. "Ih, Mara kok cantik begini, sih?" "Oma juga cantik." sahut Amara. Semua tertawa, sedangkan Zain berada dipangkuan Naya yang baru saja ikut bergabung. Raja merasak
"Naya." Sang Mama berdiri dengan cemas. "Kami, izin pulang, Ma, Pa."Mereka semua tertegun sesaat. "Pulang?"Naya mengangguk. "Injih, Ma. Pa.""Tapi, Naya?" tanya Raja tak rela. Naya memandangi Raja, tak berkedip. Lalu menggelengkan kepala. Berharap agar Raja berhenti mencegah mereka. Mamanya menangis. "Boleh, aku peluk kamu lagi." Pintanya. Amara mundur beberapa langkah dan berada di belakang Naya. "Aku mohon. Beri Amara waktu, Ma." Dengan ragu Naya menjawab pertanyaan sang Mama.Wanita paruh baya itu tersenyum. "Iya, baiklah. "Permisi."Diantarkan sopir mereka meninggalkan Villa. Satu jam kemudian, mereka sudah sampai. Keluar dari mobil Amara berlari ke arah kamar. Diikuti oleh Zain. "Mbak, apa ini jadi Mas Raja Ayah Amara?''"Ya.""Lalu Zain?"Naya menunduk tak menjawab. "Mbak."Naya mengembuskan napas kasar, seolah ingin mengurangi beban di dada. "Pasangan yang baik itu, saling mendukung. Dan aku perhatikan Mas Raha itu masih sangat mencintaimu, Mbak.""Lalu, Amara?" ta
"Naya."Panggilnya sesaat Naya berbalik. "Emmm.""Jangan dijawab sekarang kamu juga belom ketemu kan sama Zain?""Zain?""Ya. Maaf, karena memisahkan kamu dari Zain."Naya berkaca-kaca, lalu berpaling. "Kamu tak rindu dengannya."Bicara apa dia mana ada seorang Ibu yang tak rindu anaknya.""Segera aku akan pertemukan kamu dengannya."Naya mendongak, kembali menatap wajah sayunya. "Aku tahu aku salah, maaf. Ada surat untukmu dari Hani.""Surat, Hani.""Ya."Naya mengambil surat itu dwngan tangan gemetar. "Aku tak ingin kehilangan kamu lagi."Naya menatap dingin. Naya bisa melihat mata lelaki itu semakin memerah. Tak sanggup melihatnya lebih lama, ia memilih memalingkan wajah. Bersamaan dengan dua butir air yang mencuri kesempatan turun dan meninggalkan jejak basah di pipi Naya. "Aku benar-benar ngak bisa menahan jauh darimu lagi, aku ingin kau tetap berada di sisiku?" Naya menggeleng. "Mas akan kembali ke Jakarta kan. Jangan menambah luka itu lagi. Apalagi pada Mara.""Aku akan
"Dia hanya memanfaatkan kamu, Nay. Bagaimana jika Hani tahu ada Amara adalah kembaran putramu?"Naya bingung benar juga apa kata Tari. "Aku hanya tak mau mereka merebut Mara darimu." Kata Tari lagi. Naya mengiyakan, meski tak yakin jika Raja tega akan mengambil putrinya. Setelah Naya bersusah payah bersekongkol dengan Dokter Fadil untuk merahasiakan putrinya dari keluarga Danuarta. "Aku juga ngak bisa kasih saran, ini terlalu rumit.""Kau benar tapi aku takut, Tari."Tari mendekati lalu memeluk sahabatnya erat. "Bismillah dan sabar, Nay. Karena Allah tidak akan membiarkanmu sakit lagi."Naya mengangguk mengiyakan. "Ya, bismillah.""Semangat ya.""Ya."***Sore harinya sekitar pukul setengah tiga, mereka satu di jemput sopir Raja, kata sopirnya Raja masih ada meeting dan menyuruhnya menjemput. Naya duduk di belakang dengan Amara, sementara Daren di depan dengan Pak sopir. Satu jam kemudian mereka sampai di Villa. Saat turun sudah disambut oleh Raja. "Hei, Amara." "Om tampan!'' Am
Pria yang berdiri sambil memegang tangan, menatap Naya terperangah. Sorot terkejut tampak jelas dari matanya. Namun, bibirnya tertutup. Tak menyuarakan satu pertanyaan apa pun. Wajah yang selama ini Naya rindukan berada tepat di depannya. Tubuh Naya terasa kaku dan sulit untuk ia gerakkan. Naya tertegun saat wajah saling berhadapan. Kembali Naya menengadah dan merasakan hangat napasnya menyapu wajah. Pertemuan swtelah dua belas tahun lamanya, mereka masih berada di atas pijakan yang sama. Naya menunduk untuk menghindari kontak mata langsung dengannya. Menyembunyikan tangan yang gemetar dengan berpura-pura melpaskan genggaman tangannya dan mundur beberapa langkah.Setelah tersadar Naya duduk memungut kertasnya yang berhampuran jatuh dilantai saat ia tabrak. "Naya!"Naya gemeter lalu menggigit bibir. Sekuat tenaga menahan air mata itu tetap meluncur dari mata yang terpejam sesaat. Naya terdiam terus memungut kertas itu, selesai berdiri dan memberikannya. "Maaf."Dengan berat hati Nay
Raja melihat ke arah kanan dan kiri namun tak ia dapati pemuda itu. "Mana Omnya?""Itu." Tunjuk gadis kecil itu ke arah pemuda yang masih telepon. Raja hanya mengangguk. Saat melihat ke arah wajah lelaki itu ternyata, dia lelaki yang kemarin juga sedang menerima panggilan telepon. "Jadi ngak sekolah nih?" tanya Raja gemas. Anak itu menggeleng, "kan hari minggu libur." "Oh iya."Gadis itu menggeleng lagi, sambil mencipratkan air ke arah Raja. "Mau aku temani main?''Gadis itu tersenyum. "Mau, Om!"Raja tersenyum memegang bahunya. "Yuk."Teriakan histeris manja ketika ia berlari saat ombak datang dan kembali saat ombak menjauh. Entah mereka melepas rindu atau tak sengaja dengan saling memeluk satu sama lain."Kenapa sedih begitu?" Raja bertanya setelah mereka duduk menjauh dari pantai. "Coba Mama bisa ikut, pasti seru Om." Dia menunduk karena sedih.Raja berdecak. "Mama?"Gadis itu mengangguk pelan. "Memangnya Mama kemana ngak ikut?" Raja kembali bertanya. Seketika, raut wajahn
Dua belas tahun kemudian. Sarapan belum habis seluruhnya, namun sesaat ponsel Raja berdering. Dengan malas ia meraihnya. Melirik jam di tangan dan tahu bahwa masih pukul tujuh pagi. Siapa yang menelpon sepagi ini?"Pak, kita akan keluar kota." Kata Han diseberang sana Astaghfirullah Raja lupa kalau ada kunjungan ke luar kota. "Baik urus semuanya, beli tiket kereta api saja.""Semua sudah siap, Pak. Sesuai perintah.""Ok."Tak lupa aku mentransfer uang dalam jumlah yang banyak untuk Naya. Selama beberapa tahun tak pernah Raja melupakan kewajibannya apalagi ia masih sah sebagai istri tak pernah Raja menalak atau menceraikan Naya. "Pagi, Papa." Sapa anak kecil yang baru saja bergabung. "Pagi, Sayang.""Papa baik?""Baik, Sayang, baru itu Papa antar sekolah ya.""Siap, Pa.""Jangan nakal, Papa akan keluar kota beberapa hari, nurut sama Oma ya.""Yah gak seru, Papa." Kilahnya kesal. "Zain kan Papa kerja." Jelas Raja.Zain masih saja cemberut. "Kenapa, Nak?" tanya sang Mama yang baru
Hani begitu bersemangat. Tidak pernah Naya melihat dia begitu bahagia seperti ini. Senyumnya semakin mengembang saat berjalan mendekati Naya. "Nay." Naya mengangguk, tersenyum dan memeluknya. "Mau kemana?" "Kerja lah," jawab Naya santai. "Kok kerja sih? Harusnya jangan kerja?" tanya Hani lagi penasaran kok bisa kandungan sebesar itu Naya masih bekerja di rumah sakit. Naya menatap Raja yang baru saja ikut bergabung. "Biarkan dia, Hani.""Mas, kok gitu sih bahaya kerja dengan perut besar seperti itu lo."Raja hanya diam. "Nay kamu harus hati-hati kalau bekerja atau kamu cuti saja.""Jangan, Han. Aku akan stres kalau di rumah terus." Jelas Naya. "Takutnya kamu kecapekan. Kandungan kamu juga sudah besar. Dua bulan lagi kan HPLnya?""Eumm."Tulang-tulang Naya seperti terlepas satu-satu. Naya tidak bisa bergerak, bahkan ia tak tahu akan nasibnya nanti seperti apa jika di rumah terus. "Biarkan dia, Han. Lagian kerjanya gak berat kok." Sahut Raja "Mas tapi aku cemas sama bayinya. B