Tari dan Naya melangkah tertatih ke arah penjual rujak yang mangkal di simpang jalan tak jauh dari area parkir rumah sakit. Hari ini kebetulan cuaca sedang terik-teriknya. Entah kenapa, tiba-tiba ingin sekali rasanya Naya menikmati makanan yang berbahan dasar buah-buahan segar itu dengan sambal yang pedas. Kelihatannya segar. "Yakin mau beli, Naya biasanya kamu tak suka rujak deh? Bukannya kamu gak suka ya sama yang beginian?" tanya Tari. "Iya sih tapi hati ini pengen saja, Tari. Kelihatannya seger.""Ya deh."Mereka mendekat lalu memesan. "Sepuluh bungkus, Bang.""Eh busyet banyak amat, Naya?""Yang lima buat kamu, yang lima buat aku pas kan.""Naya, aku tak suka.""Aku beli buat Mama kamu, bukan buat kamu." Jelas Naya. Tari mengangguk. "Baiklah itu memang kesukaan Mama sih.""Makanya."Setelah memakan waktu dua menit motor hitam Naya mulai memasuki gerbang yang sudah terbuka. Sesaat jantung Naya mulai berdegup kencang. Mendadak gugup melihat area istana yang seperti penjara itu.
Sebuah cahaya menerangi Naya dengan tiba-tiba. Rasa sakit bertambah kuat. Sesuatu seolah-olah sedang menarik kehidupan dari tubuhnya. Sakit, jauh lebih sakit dari tipu daya sebuah perjanjian. Namun, ada sebuah kelegaan ketika Naya berhasil mengandung. Naya menutup mata kuat-kuat, berharap bisa menahan bulir air mata yang kian mendesak. Rasa takut itu semakin menjadi-jadi karena Naya hanya seorang wanita yang hanya bisa mengandung tanpa bisa merawat dan membesarkan anak itu nantinya. Perlahan, mata ini Nya terbuka. Sontak mulutnya berucap istigfar tatkala melihat sosok Hani sahabatnya yang tersenyum ke arahnya penuh bahagia. Juga semuanya keluarga Raja, mereka menaruh harapan besar kepada Naya. Naya bahkan tak tahu, bagaimana ia bisa setegar itu bertahan hingga saat ini. Naya masih bertanya-tanya, apa yang membuatnya bisa bertahan hingga sejauh ini? Apa yang sedang Naya cari? "Terima kasih, Nay. Kau sahabat terbaikku. Aku percaya bahwa kau akan memberikan anak untukku.''Naya hanya
Hampir setengah perjalanan, mereka hanya diam. Sampai akhirnya, Raja menoleh ke arah Naya yang ada di sampingnya."Apa kamu marah?" tanyanya tiba-tiba, sampai membuat Naya terkesiap."Mana mungkin saya berani marah kepada, Anda Tuan," ucap Naya dengan senyum yang sengaja ia paksakan.Hah yang sejujurnya Naya memang marah dan malas dengan semuanya. "Lalu kenapa kamu hanya diam saja, apa kamu tidak mau berterima kasih karena aku sudah menjemputmu.""A-apa, tepikan mobilnya dan berhenti saya bilang." "Naya, bercanda."Naya medelik tajam kearah Raja sembari berpangku tangan. Jika tidak terpaksa, Naya juga tidak mau duduk berdampingan di mobil itu, dasar aneh. "Sabar Naya, kamu hanya perlu meladeninya, jangan terbawa emosi." Bisiknya dalam hati. "Tapi lain kali, meskipun saya sedang berjalan di tengah derasnya hujan atau di bawah terik matahari, Anda tidak perlu repot-repot memberi tumpangan kepada saya, Tuan." "Kau mau anakku mati ya!" pekik Raja, membuat nyalinyamenciut seketika.Na
Naya bagaikan patung kayu tak bergerak sedikitpun, meskipun Raja membawanya terbang menuju ke langit yang tinggi. Justru Raja terlihat nyaman dengan suasana yang ia ciptakan sendiri. Menyirami benih yang sudah bersemi dalam rahim Naya, saat ini adalah giliran Naya untuk berbakti, memenuhi kewajiban sebagai seorang istri. Semoga hubungan halal itu menjadi ibadah. "Terima kasih." Ucapannya setelah selesai menuntaskan hasratnya. Naya memiringkan tubuh menutupi tubuhnya dengan selimut. Pelan Raja memmbalikkan badan Naya yang membelakanginya. "Hei, jagoan ayah baik-baik ya di dalam sana."Raja mengecup perut Naya yang sudah terlihat sedikit membuncit. Naya hanya diam. "Jaga Mama ya sampai kamu lahir. Baik-baik disana jangan sakiti Mama ya."Naya terdiam ia pura-pura tertidur. Terus Raja membelai perut Naya. "Capek ya?''Naya tak menjawab. Menit berikutnya Naya tatap wajah sayu suaminya saat tertidur, bagaimanapun ia adalah ayah dari anak yang ia kandung. Dalam hal ini Naya sesungguh
"Akan aku beri kau uang, asal kau mau menikah dengan suamiku." Jelasnya membuat kedua netra Naya melotot kaget. "Apa? mana ada seorang istri meminta wanita lain untuk dijadikan istri Hana jangan ngada-ngada deh." Hani terdiam dan Naya tak percaya dengan apa yang di ucapakan sahabatnya itu. "Naya please." "Kamu gila Han. Sudahlah aku kerja lagi saja." Naya menyunggingkan senyum, tangannya menarik tas dari atas meja lalu meninggalkan wanita yang aneh menurut Naya. "Naya Maharani, kumohon. Apa menurutmu, persahabatan kita ini persahabatan biasa? Tidak kan, bahkan aku sangat menyayangimu." Naya tersenyum miring dan berbalik kembali duduk. Mungkin saja langit akan tertawa mendengar ucapan Hani saat itu. "Salah sudah pasti ini salah. Karena tak seharusnya kamu menyimpan nama lain untuk suamimu, dan itu adalah namamu sendiri bukan nama orang lain, Han." "Nay, kumohon. Setidaknya biarkan aku bahagia." Naya mendapati Hani begitu tertekan, Naya melihat dan merasakan kepahitan dala
"Naya, Deren butuh dioperasi secepatnya, sudahlah kasihan dia."Naya pasrah keluar melihat adiknya. Mesin ventilator memompa oksigen, menggantikan fungsi pernapasan yang terhenti, karena pengaruh penyakitnya telah membuatnya tidak sadar dan lumpuh seluruh otot pernapasan. Suara dari layar monitor meramaikan suasana yang cukup tegang. Deren baru berhenti kejangnya setelah ditangani oleh Dokter Angga.Sepuluh menit kemudian, Naya hanya duduk di depan ruang operasi. "Ya Allah, berikan aku kekuatan!"Naya melangkah cepat ke depan kamar operasi. Melihat meja resusitasi sudah dihangatkan dengan lampu yang menyala terang di atasnya. Meja itu ditutupi dua lembar kain berbahan. Cemas dan tegang saat melihat wajah Daren benar-benar nyata terlihat. Kemudian Naya keluar karena operasi akan; segera dimulai. "Naya."Tangis yang bisa Naya redam, nyatanya tak mampu ia tahan. Naya tersedu, mengeluarkan sakit yang teramat pedih di dalam dada. Dan memeluk tubuh wanita yang selama ini ada untuknya, Ha
"Nikmati harimu. Aku ada di sini. Kau bisa memanggilku kapan saja kau membutuhkanku. Nay. Terima kasih banyak.""Ya.""Aku tinggal dulu ya. Ingat ini malam pertamamu aku harap kamu bisa melakukannya."Naya terdiam."Suamiku sangat manis, Naya.""Terserah.""Jangan lupa. Aku pergi dulu."Naya sudah pernah merasakan sakit hati. Berhubungan dengan seseorang Galih yang ia pikir akan menikahinya, Ah rasanya semua itu hanya mimpi, tapi berbeda kini Naya malah terjebak di pernikahan konyol itu. Di tepi ranjang Naya menatap ke arah sekitar, kamar paling mewah yang pernah ia lihat. Dengan tirai halus dan mengkilat, sofa empuk dan meja kokoh dengan ukiran dari kayu jati yang terkesan begitu elegan, dan sebuah ranjang besar berukuran king size berpelitur mengagumkan dengan warna keemasan. Juga cermin rias yang begitu wah, lemari semua berbahan dari kayu jati. Naya duduk ditepi ranjang mengamati setiap ruangan yang begitu menakjubkan. Memang sangatlah berbeda antara dirinya dan Han bagaikan lan
Semua yang berada di dalam terlihat kebingungan, terdiam masih menatapa Naya. Raja bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Naya, Raja menatap Naya tanpa kedip, demi mengalihkan debaran hati karena tatapannya Naya menunduk. "Kau Naya?"Naya mengangguk dan menyodorkan file titipan dari Mama mertuanya. "File Anda ketinggalan. Mama menyuruhku mengantarkan." Jelasnya singkat. Raja mengambilnya dan Naya tak suka dengan tatapannya. Sekejap kemudian Naya teringat akan tujuannya kemari dan harus segera berangkat bekerja."Saya permisi, Tuan.""Terima kasih."Naya mengangguk. "Sama-sama, Tuan."Raja terus menatap Naya sampai tubuhnya menghilang dari pandangannya. Raja tersadar lalu berbalik berjalan dan memulai meeting. ***Sampai di Rumah Sakit buru-buru Naya sedikit berlari menuju tempatnya bekerja. "Maaf telat ya." Naya duduk seraya melepaskannya tas dan menaruhnya di atas meja. "Lima menit."Naya tersenyum. "Bagaimana keadaan, Daren?""Alhamdulillah sudah membaik, hari ini pulan