Seminggu sejak kejadian memalukan itu, Naya siap-siap mau berangkat kerja malam. Hari ini Naya bekerja di jam malam. Bersiap dengan memakai jaket dan mengambil tas juga flatshoes. Naya membuka pintu tinggi dan kokoh itu berjalan dengan pelan menuruni tangga. Terlihat mereka sedang berkumpul dan sedang mengobrol, mungkin saja soal perusahaannya. Tidak seperti Naya harus kedinginan menyongsong pergantian malam gelap bersama rintik-rintik gerimis, bersama udara malam menelisik kulit.
"Nay." Naya tersenyum dan berhenti dan menatap dua lelaki beda usia itu. "Mau kemana?" tanya Papa Danuarta menatapnya curiga. "Emm, saya masuk malam. Pa." Sekilas Naya menatap suaminya yang tak menghiraukan Naya, ia melihat ke arah lain. "Oh, masuk malam." Naya hanya mengangguk. "Kalau begitu diantar sama, Pak Edi saja." Naya menggeleng, "tidak, Pa. Biar saya naik motor saja. Permisi." "Ini sudah malam, Nay. Ngak bagus naik motor sendiri. Biar Raja yang antar." Raja menegakkan wajah. Bukan membalas perkataan sang Ayah, tapi pandangan Raja langsung mengarah pada Naya. Naya memalingkan muka. Naya tak sanggup melawan tatapan yang menyorot tajam itu. Kepala Naya mendadak berdenyut. Ada hancur dan sakit yang sulit untuk dijelaskan. "Ngak usah saya sudah biasa. Pa. Saya pamit. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Nay." "Iya, Pa." Naya berjalan menuju teras depan mengambil motorku, namun Pak Edi mendekatilalu menahannya. "Non, biar saya yang antar." "Tak usah, Pak." "Non. Jika saya tak mengantar Non Naya. Tuan Raja berpesan akan memecat saya." Naya menggeleng pelan. "Baiklah." Mobil akhirnya melaju di jalanan dengan kecepatan sedang. Tak ada yang berniat membuka suara sampai akhirnya kami tiba di tempat rumah sakit. Naya segera turun setelah itu mobil kembali melaju meninggalkan Naya. Pandangan Tari terpaku sejenak saat melihat Naya di hadapan. Senyum semringah terus terlukis indah di bibirnya. "Wah, siapa yang antar? Mobilnya bagus sekelas dengan mobil, Dokter Galih?" "Tau ah." "Nay." "Hm?" Dia memberi jeda. Dari ujung mata, Naya bisa melihat dia terus memandangnya. Menuntut penjelasan darinya. "Kenapa, Tari?" "Apa ada yang kau tutupi dariku?" tanyanya menghalangi langkah Naya. Spontan Naya menoleh menatap sahabat yang selalu ada untuknya itu sejak bekerja di rumah sakit mereka selalu bersama. Segera Naya berhenti dan duduk di salah satu kursi dekat parkiran mobil. "Sini duduk dulu." Naya menggeser posisi duduk setengah menghadapnya. Setelah lama menunggu, kalimat itu terucap juga dari lisan Naya juga. Naya menceritakan semuanya pada sahabatnya itu. Tari menggeleng samar diiringi air mata yang terus meluncur turun ke pipi. Dia menangis tanpa suara. "Astaghfirullah, ini serius?" Naya menatapnya dalam. Dia dengan cepat memeluk tubuhku. Aku tak boleh menangis karena kurasa aku harus kuat. Tari sontak menegakkan wajah. "Itu berarti kamu menderita selama ini?" Naya mendesis malas lalu menaikkan bahu. "Kau terlalu baik untuk diperlakukan seperti ini, Nay. Bahkan aku sempat ragu karena kebaikan Dokter Galih, ia tak akan meninggalkanmu. Tapi lepas dari lelaki baik itu malah kau masuk ke kandang srigala." Rahang Naya mengeras tangannya terkepal erat. "Lebih tepatnya penjara." Diraihnya tangan Naya lalu digenggam erat. " "Kenapa begini? Kenapa kau selalu menderita, Nay." Tari memeluk Naya. "Sudah ya. Kamu harus semangat." "Ya." Suara Tari serak. Wajahnya menyiratkan luka. Luka yang sama juga terpancar dari wajahnya. Kemudian ia menggenggam tangan Naya tanpa mengucap kata. Lalu kami segera beranjak dan melangkah ke dalam karena jam kerja telah mulai. *** Selesai pulang kerja aku di antar Pak Edi ke rumah Naya, membawakan dua kantong plastik besar, berbagai makanan juga buah. Udara dingin pagipun menghangat, Naya mengira inilah awal matahari kehidupannya bersinar terang benderang. Daren menyambut Naya dwngan senyuman. "Banyak banget, Mbak. Ini bisa buat makanan kita satu bulan lo." Naya tersenyum, "tak apa, hari ini aku gajian, kok." "Masuk yuk." Mak Tini membawakan Naya secangkir teh manis, juga nasi pecel buatannya yang selalu enak menurut Naya. "Makanlah, Nak." "Makasih, Mak." "Bagaimana, kamu sudah sehat." "Alhamdulillah, kata Dokter Angga saat aku cek kemarin. Katanya sudah sehat." "Syukurlah, tapi jangan kecapekan." "Tapi aku bosen. Pingin jualan lagi." "Enggak boleh. Tunggu beberapa bulan lagi baru boleh." Daren tertawa gembira. "Oya? Bagaimana kabar, Dokter Galih?" Naya menunduk lalu kembali mendongak, tak mungkin Naya menutupinya. "Ya seperti dugaan kamu dulu. Bahwa kita beda kasta." Daren mendekar mengelus kepalanya lembut. Dia lantas mengecup puncak kepala pelan. "Sabar, Mbak." "Iya." Hari itu berjalan sempurna. Akhirnya Naya pamit pulang, dengan alasan bekerja. Dan memberikan Daren uang untuk pegangan. Juga Mak Tini untuk kebutuhan sehari-hari. *** Naya terkejut baru saja dua langkah, Naya melihat dokter Wahyu berada di rumah itu ada apa? Siapa yang sakit? "Nay kamu disini?" "Eh, iya Dokter. Mau bertemu dengan Hani." Bohong ku. "Oh." "Siapa yang sakit, Dok?" "Rio, dia lambungnya kambuh, sepertinya akhir-akhir ini dia jarang tidur dan lupa makan." Oh bisa juga lelaki dingin itu sakit. "Bahaya enggak, Dok?" "Sudah agak parah sih. Saranku sih harus tidur yang cukup. Dan Tuan Danu berpesan agar kamu yang akan merawatnya, obat juga impusnya jangan lupa ya." Naya mengangguk mengiyakan. "Baiklah aku pulang ya, Naya." Sementara sebelah tangan lelaki itu menepuk pundak Naya. Kemudian dokter Wahyu berjalan keluar. "Baik, dok. Hati-hati." "Ya." Naya menggeleng pelan. Dan berjalan kembali menaiki tangga, sesaat ada seseorang yang menaggilku. "Nay." Naya mengernyit samar. Ada yang aneh dengan perubahan mimik wajah Mama meetuanya. Wanita itu mendadak terdiam dengan tatap entah ke arah Naya. Dari sini, bisa terlihat tangannya tiba-tiba bergetar. "Mama, kenapa?" Naya bertanya cemas. "Kondisi Raja sangat lemah, Nay." Naya memeluk Mamanya. "Istirahat lah dulu, nanti siang tolong jaga Raja ya, Nak." Naya mengangguk. "Baiklah, Ma." Rasanya nyaman setelah istirahat tertidur beberapa jam. Setelah Naya mandi ada suara masuk dari balik pintu. "Makan siang, Non." "Iya, Mbak." "Non, tadi pagi, Tuan Raja pingsan, lo." "Kenapa, Mbak?" tanyaku balik. "Entahlah, Non. Kulihat setiap malam, Tuan tak pernah tidur. Saat malam sekitar jam setengah tiga aku bangun mengantar Bibi Darti ke ruangan belakang. Saya melihat, Beliau ada di balkon kamarnya, Non." "Maksudnya kamar, Tuan dan Nyonya Hani?" "Em sepertinya kamar, Tuan sendiri, Non." Astaga ada apa ini? Apa hubungan Hani dan Raha baik-baik saja?" "Baiklah, siapkan makanan untuk, Tuan biar aku yang bawakan, Mbak." "Baik, Non. Saya permisi." Selesai makan Naya dan Bi Darti masuk ke ruangan kamar besar milik Raja. Sampai di sana terlihat pucat. Sementara lelaki itu terdiam di tempatnya menatap Naya sekilas. Dia masih tampak syok atas apa yang terlihat dan terjadi di hadapannya mungkin karena melihat Naya kemudian dia perlahan memalingkan wajahnya. Ruangan bersuhu dingin itu tiba-tiba berubah memanas. "Ikuti apa kata, Nay. Agar kau cepat pulih." Suara Mamanya dari belakang. Raja terdiam. "Mama harus pergi, tolong jaga, Raja ya. Pastikan ia minum obatnya." "Iya, Ma." Sekali lagi lelaki itu terdiam menatap Mamanya pergi, beberapa saat kami saling beradu tatap nyaris ia tak berkedip menatapku. Hingga akhirnya ia mulai bertanya. "Minumlah obatnya, Tuan." Naya mengambilkan beberapa butir pil ke atas telapak tangannya dan mengambilkan air mineral dalam gelas. "Kenapa harus minum obat?" "Biar Anda cepat pulih, Tuan." Raja hanya diam, mungkin mengiyakan. Ia lalu meminum obatnya lalu kembali berbaring. Matanya terpejam entah mungkin karena obat sudah beraksi. Naya menatap wajah polosnya perasaan aneh apa ini, kutekan dalam-dalam dadaku hingga terasa sesak. Naya menutupi tubuhnya dengan selimut sampai ke dada. Dan membersihkan bekas makanan juga bekas sampah obat tadi. Bibi masuk dan mengambil makanan yang hanya berkurang separuh saja. "Jangan pergi," cegahnya, dengan mata terpejam Naya duduk canggung di sofa. Ternyata semua tak sesulit yang Naya bayangkan, mengingat ini untuk kali pertama ia berbicara baik pada Naya. Naya bangkit memeriksa suhu badannya yang sudah tak demam lagi, dan menganti infus yang telah habis. Ia hanya diam dan sesekali menatap Naya penuh tanya. "Sampai kapan impusnya dilepas?" Lelaki itu memandang saat Naya terdiam. "Sampai Anda benar-benar sehat, Tuan." Lelaki itu mengangguk. Tanpa ada pertanyaan lagi. "Saya permisi, Tuan." Raja terdiam hanya menatap punggung Naya yang makin menghilang.Tak seorang pun wanita di dunia ini menginginkan status menjadi istri kedua ataupun wanita kedua dalam hidupnya. Sayang, Naya tak diberi pilihan. Entah karena alasan ingin terlihat seperti lelaki tangguh, atau hanya menginginkan si wanita kedua menjadi simpanannya saja bahkan hanya karena nafsu semata. Namun berbeda dengan poligami yang Naya alami. Semua itu karena permintaan sang istri agar bisa istri kedua mengandung seorang bayi yang tak mereka dapatkan selama bertahun-tahun di pernikahan. Tak pernah mereka pikirkan soal hati Naya yang hancur, entah karena alasan apa. Dari situlah awal mula Naya hidup terlunta-lunta diantara pernikahan mereka. Jujur, ada rasa rindu pulang ke rumah. Harapan Naya saat itu suatu hari ingin mendapatkan seorang suami yang hanya miliknya seutuhnya, lalu mereka tinggal di rumah dan mempunyai banyak anak. Dalam hati Naya sempat berjanji akan setia. Juga tak akan menjadi perusak hubungan suami orang. Naya ingin marah, tapi tak tahu pada siapa. Jadi saat
Setelah selesai bekerja, Naya berjalan bersama ana dan Tari mereka bertiga berjalan ke arah parkir, ternyata disana Pak Edi sudah menungguku. "Tuh supir jemput kamu, Nay?" tanya Tari. "Hu um.""Wah sejak kapan kamu jadi tajir, Nay?" Sahut Ana. "Gak kebetulan itu sopir saudara aku, Ana.""Oh. Nay, Tar aku duluan, ya. Suamiku sudah jemput.""Iya hati-hati, An." "Siap."Tari dan Naya melambaikan tangan. "Enggak jadi nih main ke rumah aku, Nay. Padahal Mama kangen lo katanya sama kamu.""Titip salam saja dulu ya.""Oke deh. Terus kamu mau ngapain."Naya tersenyum. "Aku mau puas-puasin tidur seharian mumpung libur besok. Capek aku.""Ya deh. Aku duluan ya."Naya mengangguk mengiyakan, dan melangkah menemui Pak Edi. Ia membukakan pintu lalu Naya masuk. Sesaat mobil meninggalkan rumah sakit menuju rumah penjara itu lagi."Pak, harusnya enggak usah jemput, saya bisa pulang dengan taksi. Kasihan Mama jika mau pergi.""Tapi, Tuan Raja menyuruh saya buat jemput, Non Nay."Naya kehilangan ka
Naya berlari ke kamar lalu dengan cepat ia menutup pintu. Tubuhnya gemetar ia kesal dengan ulah laki-laki itu. Namun suara ponsel berdering membuat Naya tersentak kaget. Sepertinya nomor baru Naya enggan menjawabnya. Namun beberapa saat suara getaran itu kembali terdengar dari ponselnya lagi. "Nay, kumohon izinkan aku menemuimu sekali saja. Aku mau menyampaikan sesuatu. Aku ingin menjelaskan semuanya sama kamu. Bisa kita ketemu?" tulisnya dalam sebuah chat. Menjelaskan apa? Menjelaskan bahwa dia akan menikah? Semuanya sudah selesai. Naya tak akan bermain api jika tidak pekerjaan yang sangat Naya sukai akan dipertatuhkan, jika sampai dokter Seruni melihat pertemuan kami nanti. Setelahnya Naya memilih meletakkan ponsel ke atas nakas dan berbaring.Naya masih takut ia berharap sore hari nanti semua kesakitan itu akan menghilang. Entah apa rencana Tuhan, tapi begitulah hidup yang bisa terjadi kapan pun Tuhan mau. Meski jujur hatinya masih belum bisa melupa saat-saat bersama Galih kekas
Naya berjalan tergesa. Ketika ia mau masuk melihat seseorang yang tengah berdiri di beranda rumah. Ternyata Satpam. "Baru pulang, Non?" tanyanya seraya membukanya pintu gerbang. "Iya, Pak."Naya berjalan masuk, membuka pintu rumah terlihat sepi. Tanpa sadar Naya menggeleng membayangkan reaksi Raja tadi pagi. "Non.""Mbak Nur, ngapain sih disitu kaget tahu." Jelas Naya kaget saat melihatnya tiba-tiba mendekati. "Eh itu, Tuan Raja gak mau makan juga minum obat, Non.""Mirip anak kecil saja, sih. Dimana Non Hani?" tanya Naya. "Pergi sama, Nyonya. Non."Naya menyuruhnya membawakan belanjaannya. Naya langsung berjalan ke arah kamar Raja ditemani Darti. Saat mereka masuk laki-laki itu duduk di depan leptopnya. "Permisi, Tuan."Laki-laki itu tak menghiraukan. "Tuan." Panggil Naya lagi. "Aku ngak mau makan!" Naya memalingkan wajah. "Tapi, Tuan harus minum obat.""Ngak mau."Naya dan Bibi saling tatap. "Gini deh kita makan martabak ini ya sama-sama, Tuan? Biasanya sih saya habiskan s
Pagi selesai Naya mandi, ia tak tahu apa yang harus Naya lakukan. Semua dikerjakan sang asisten rimah tangga. Bahkan semua baju Naya sudah rapi dalam almari plus dengan setrikaan licin. Naya bangkit akan ke luar kamar. Namun keduluan Mbak Nur yang datang. "Pagi, Non." Naya tersentak. "Eh, Mbak Nur.""Malah melamun. Ini sarapan paginya, Non." Naya tersenyum. Mendekati Mbak Nur dan memeriksa sarapan Naya cepat-cepat menyelesaikan makan, setelah itu Naya ikut ke dapur membantu Mbak Nur membereskan piring kotor. "Mbak berapa lama kerja disini?" tanya Naya. "Sudah lama, Non. Sejak lima tahun terakhir."Naya mengangguk tanpa menjawab apa pun."Kenapa, Non?""Memangnya, Non Hani sama Tuan Raja tidurnya pisahan?" tanya Naya canggung, tapi Naya penasaran sekali. Terlihat Mbak Nur menghela napas. "Em, tidak kok Non.""Mbak Nur.""Iya, Non.""Bisa-bisanya aku tanya malah mengalihkan pertanyaan, gimana sih.""Itu, Non. Aduh gimana jelasinnya, ya."Naya menggeleng pelan. "Ya tinggal jawab sa
Naya kembali melangkah, masuk ke dalam kamar lalu mengambil tas juga flatshoes dan akan menemui Daren. Karena hanya dia yang bisa menenangkan hatinya saat ini. Sungguh banyak permasalahan hidup yang menghadirkan kesedihan. Namun iman mengajarkan bahwa perjalanan hidup tak akan sepi dari ujian dan cobaan. Naya kadang hanya bisa melihat orang terlihat bahagia padahal dalam jiwanya menyimpan duka derita. Bayangkan saja rumah sebesar itu tak bisa mendapatkan kebahagiaan, di rumah besar itu tak ada suara tangis bayi, juga tawa anak kecil. Miris sekali. Naya juga melihat seseorang penuh tawa bahagia tak pernah tahu bahwa hatinya menyimpan gurat luka. Semoga Naya bisa kuat berada disini. Naya berjalan ke arah luar saat Naya mau mengambil motornya namun tak ada. Kemana perginya motor Naya."Apa sepeda motorku kesayanganku itu hilang? Atau kemana ya.""Non, cari apa?""Mang, sepeda motorku ke mana ya? Kok ngak ada sih?"Mamang tersenyum seraya megaruk rambutnya yang tidak gatal. "Emm itu, Non
Naya mengguyur tubuh rasanya sangat segar apalagi setelah aktivitas seharian yang melelahkan. Selesai ia mengikat rambut dengan handuk, keramas membuat lelahnya hilang. Saat Naya keluar kamar mandi, Mbak Nur sudah menungguku di sofa dan membawakan makanan. "Makan Non.""Ngak mau.""Non.""Ngak lapar.""Terus ini gimana makanannya?""Makan saja sendiri.""Non.""Aku capek mau tidur, Mbak Nur.""Terus ini kalau aku dimarahin Tuan bagaimana. Mbokya kalau pergi bilang to, Non. Kami semua dimarahi sama, Tuan Raja kemarin lo.""Dan aku tak peduli.""Non Naya.""Iya, Mbak Nur."Lama mereka dilingkupi sunyi, hanya suara sendok dan piring terdengar. Terpaksa Naya makan karena dipaksa, selesai makan Mbak Nur pun pergi, Naya merasa sangat capek sekali ia membaringkan tubuhdi atas ranjang.***Ketukan pintu membuat Naya terbangun, kepala masih terasa nyeri Naya mengusap mata yang masih lengket, kemudian berusaha bangkit dan berjalan mendekati pintu lalu membukanya. Ternyata Hani, sudah telihat s
"Ah bercanda kamu kelewatan Jeng, masa iya begitu.""Benar lo Jeng kayak yang lagi viral itu.""Mikirmu kejauhan Jeng Santi."Raja hanya diam. Sepertinya ia tak peduli dengan ucapan Tante Santi. Naya memaksakan senyum karena ucapan perempuan paruh baya itu begitu menusuk. "Nay, sini aku kenalkan dengan saudara, Papa yang punya acara ini."Naya menatap ke arah Raja, ia mengangguk. "Iya, Ma."Mereka berdua berjalan mendekati wanita cantik yang masih menjamu tamunya. Langkah semakin mendekat, tapi saat Naya berjalan ia melihat Ana namun sepertinya ia tak mengenali Naya, karena make up juga baju senada dengan keluarga yang punya pesta itu. Mungkin saja Ana tak ngeh jika Naya ada diantara mereka. Sesaat wanita itu menatap ke arah Naya dan Bu Diah dan tersenyum. "Diah apa kabar, makin cantik ya kamu.""Masa sih. Selamat ya atas pernikahan putramu. Akhirnya menikah juga."Wanita itu tersenyum. "Iya, terima kasih, wah cantik sekali ini siapa?" tanya wanita itu tersenyum ke arah . "Oya, k
"Raja." Tiba-tiba suara sang Mama mengagetkan Raja."Ya, ada apa, Ma.""Harusnya pernikahan kalian di percepat?""Kenapa, Ma?" tanya balik Raja.""Ya lebih cepat lebih baik, kan."Raja mencerna setiap kata demi kata yang di lontarkan. "Maksudnya, Ma?""Mama khawatir saja, anak-anak kamu khawatir soal keadaan ini. Mama ngak mau lagi pisah sama Naya juga cucu-cucu, Mama."Mamanya benar bahwa Raja tak boleh membuang waktu. Dan akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Apalagi Naya sudah memberikan kesempatan kedua padanya. "Terus bagaimana baiknya, Ma?""Ya, tinggal datang ke rumah, Pak Kyai. Minta tolong buat di nikahin."Bibir Raja tak bisa menahan senyum. "Baiklah, Ma. Akan aku urus.""Biar, Mama yang ajak Nata, Innara dan anak-anak yang usrus soal baju juga catering.""Iya, Ma."Pada akhirnya kesepakatan kedua itu pun terjadi. Bahwa pernikahan mereka akan segera dilaksanakan lagi. Entah kata apa lagi yang bisa menggambarkan getaran hati Raja saat ini. Seperti ada yang berdetak kencang
Naya sadar ia langsung mendorong tubuh Raja menjauh. "Maaf Nay aku...."Naya diam. "Maaf." Ucap Raja lagi. Mereka saling diam. Tak lama Raja menjalankan mobilnya kembali. Kini mobil sudah berada di depan rumah Naya. Di depan teras sudah berkumpul ada si kembar juga mertuanya. Juga Mak Tini yang menyiapkan minuman. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Eh, Naya baru pulang kerja?" Mama mertuanya bertanya. "Iya, Ma.""Banyak pasien ya?Kelihatan capek banget. Sudah sana mandi dulu. Habis itu kita makan bersama ya."Naya melengkungkan senyum. "Iya, Ma." Naya menjawab singkat. Seraya menjabat tangan Mama juga Papa Danuarta. "Aku masuk dulu, Ma.""Iya Sayang."Tampak sekali kehangatan mereka berkumpul. Pemandangan yang selama ini Raja rindukan, anak-anaknya butuh sosoknya, Raja senang bisa bermanja dengan kesua anaknya. "Ih, Mara kok cantik begini, sih?" "Oma juga cantik." sahut Amara. Semua tertawa, sedangkan Zain berada dipangkuan Naya yang baru saja ikut bergabung. Raja merasak
"Naya." Sang Mama berdiri dengan cemas. "Kami, izin pulang, Ma, Pa."Mereka semua tertegun sesaat. "Pulang?"Naya mengangguk. "Injih, Ma. Pa.""Tapi, Naya?" tanya Raja tak rela. Naya memandangi Raja, tak berkedip. Lalu menggelengkan kepala. Berharap agar Raja berhenti mencegah mereka. Mamanya menangis. "Boleh, aku peluk kamu lagi." Pintanya. Amara mundur beberapa langkah dan berada di belakang Naya. "Aku mohon. Beri Amara waktu, Ma." Dengan ragu Naya menjawab pertanyaan sang Mama.Wanita paruh baya itu tersenyum. "Iya, baiklah. "Permisi."Diantarkan sopir mereka meninggalkan Villa. Satu jam kemudian, mereka sudah sampai. Keluar dari mobil Amara berlari ke arah kamar. Diikuti oleh Zain. "Mbak, apa ini jadi Mas Raja Ayah Amara?''"Ya.""Lalu Zain?"Naya menunduk tak menjawab. "Mbak."Naya mengembuskan napas kasar, seolah ingin mengurangi beban di dada. "Pasangan yang baik itu, saling mendukung. Dan aku perhatikan Mas Raha itu masih sangat mencintaimu, Mbak.""Lalu, Amara?" ta
"Naya."Panggilnya sesaat Naya berbalik. "Emmm.""Jangan dijawab sekarang kamu juga belom ketemu kan sama Zain?""Zain?""Ya. Maaf, karena memisahkan kamu dari Zain."Naya berkaca-kaca, lalu berpaling. "Kamu tak rindu dengannya."Bicara apa dia mana ada seorang Ibu yang tak rindu anaknya.""Segera aku akan pertemukan kamu dengannya."Naya mendongak, kembali menatap wajah sayunya. "Aku tahu aku salah, maaf. Ada surat untukmu dari Hani.""Surat, Hani.""Ya."Naya mengambil surat itu dwngan tangan gemetar. "Aku tak ingin kehilangan kamu lagi."Naya menatap dingin. Naya bisa melihat mata lelaki itu semakin memerah. Tak sanggup melihatnya lebih lama, ia memilih memalingkan wajah. Bersamaan dengan dua butir air yang mencuri kesempatan turun dan meninggalkan jejak basah di pipi Naya. "Aku benar-benar ngak bisa menahan jauh darimu lagi, aku ingin kau tetap berada di sisiku?" Naya menggeleng. "Mas akan kembali ke Jakarta kan. Jangan menambah luka itu lagi. Apalagi pada Mara.""Aku akan
"Dia hanya memanfaatkan kamu, Nay. Bagaimana jika Hani tahu ada Amara adalah kembaran putramu?"Naya bingung benar juga apa kata Tari. "Aku hanya tak mau mereka merebut Mara darimu." Kata Tari lagi. Naya mengiyakan, meski tak yakin jika Raja tega akan mengambil putrinya. Setelah Naya bersusah payah bersekongkol dengan Dokter Fadil untuk merahasiakan putrinya dari keluarga Danuarta. "Aku juga ngak bisa kasih saran, ini terlalu rumit.""Kau benar tapi aku takut, Tari."Tari mendekati lalu memeluk sahabatnya erat. "Bismillah dan sabar, Nay. Karena Allah tidak akan membiarkanmu sakit lagi."Naya mengangguk mengiyakan. "Ya, bismillah.""Semangat ya.""Ya."***Sore harinya sekitar pukul setengah tiga, mereka satu di jemput sopir Raja, kata sopirnya Raja masih ada meeting dan menyuruhnya menjemput. Naya duduk di belakang dengan Amara, sementara Daren di depan dengan Pak sopir. Satu jam kemudian mereka sampai di Villa. Saat turun sudah disambut oleh Raja. "Hei, Amara." "Om tampan!'' Am
Pria yang berdiri sambil memegang tangan, menatap Naya terperangah. Sorot terkejut tampak jelas dari matanya. Namun, bibirnya tertutup. Tak menyuarakan satu pertanyaan apa pun. Wajah yang selama ini Naya rindukan berada tepat di depannya. Tubuh Naya terasa kaku dan sulit untuk ia gerakkan. Naya tertegun saat wajah saling berhadapan. Kembali Naya menengadah dan merasakan hangat napasnya menyapu wajah. Pertemuan swtelah dua belas tahun lamanya, mereka masih berada di atas pijakan yang sama. Naya menunduk untuk menghindari kontak mata langsung dengannya. Menyembunyikan tangan yang gemetar dengan berpura-pura melpaskan genggaman tangannya dan mundur beberapa langkah.Setelah tersadar Naya duduk memungut kertasnya yang berhampuran jatuh dilantai saat ia tabrak. "Naya!"Naya gemeter lalu menggigit bibir. Sekuat tenaga menahan air mata itu tetap meluncur dari mata yang terpejam sesaat. Naya terdiam terus memungut kertas itu, selesai berdiri dan memberikannya. "Maaf."Dengan berat hati Nay
Raja melihat ke arah kanan dan kiri namun tak ia dapati pemuda itu. "Mana Omnya?""Itu." Tunjuk gadis kecil itu ke arah pemuda yang masih telepon. Raja hanya mengangguk. Saat melihat ke arah wajah lelaki itu ternyata, dia lelaki yang kemarin juga sedang menerima panggilan telepon. "Jadi ngak sekolah nih?" tanya Raja gemas. Anak itu menggeleng, "kan hari minggu libur." "Oh iya."Gadis itu menggeleng lagi, sambil mencipratkan air ke arah Raja. "Mau aku temani main?''Gadis itu tersenyum. "Mau, Om!"Raja tersenyum memegang bahunya. "Yuk."Teriakan histeris manja ketika ia berlari saat ombak datang dan kembali saat ombak menjauh. Entah mereka melepas rindu atau tak sengaja dengan saling memeluk satu sama lain."Kenapa sedih begitu?" Raja bertanya setelah mereka duduk menjauh dari pantai. "Coba Mama bisa ikut, pasti seru Om." Dia menunduk karena sedih.Raja berdecak. "Mama?"Gadis itu mengangguk pelan. "Memangnya Mama kemana ngak ikut?" Raja kembali bertanya. Seketika, raut wajahn
Dua belas tahun kemudian. Sarapan belum habis seluruhnya, namun sesaat ponsel Raja berdering. Dengan malas ia meraihnya. Melirik jam di tangan dan tahu bahwa masih pukul tujuh pagi. Siapa yang menelpon sepagi ini?"Pak, kita akan keluar kota." Kata Han diseberang sana Astaghfirullah Raja lupa kalau ada kunjungan ke luar kota. "Baik urus semuanya, beli tiket kereta api saja.""Semua sudah siap, Pak. Sesuai perintah.""Ok."Tak lupa aku mentransfer uang dalam jumlah yang banyak untuk Naya. Selama beberapa tahun tak pernah Raja melupakan kewajibannya apalagi ia masih sah sebagai istri tak pernah Raja menalak atau menceraikan Naya. "Pagi, Papa." Sapa anak kecil yang baru saja bergabung. "Pagi, Sayang.""Papa baik?""Baik, Sayang, baru itu Papa antar sekolah ya.""Siap, Pa.""Jangan nakal, Papa akan keluar kota beberapa hari, nurut sama Oma ya.""Yah gak seru, Papa." Kilahnya kesal. "Zain kan Papa kerja." Jelas Raja.Zain masih saja cemberut. "Kenapa, Nak?" tanya sang Mama yang baru
Hani begitu bersemangat. Tidak pernah Naya melihat dia begitu bahagia seperti ini. Senyumnya semakin mengembang saat berjalan mendekati Naya. "Nay." Naya mengangguk, tersenyum dan memeluknya. "Mau kemana?" "Kerja lah," jawab Naya santai. "Kok kerja sih? Harusnya jangan kerja?" tanya Hani lagi penasaran kok bisa kandungan sebesar itu Naya masih bekerja di rumah sakit. Naya menatap Raja yang baru saja ikut bergabung. "Biarkan dia, Hani.""Mas, kok gitu sih bahaya kerja dengan perut besar seperti itu lo."Raja hanya diam. "Nay kamu harus hati-hati kalau bekerja atau kamu cuti saja.""Jangan, Han. Aku akan stres kalau di rumah terus." Jelas Naya. "Takutnya kamu kecapekan. Kandungan kamu juga sudah besar. Dua bulan lagi kan HPLnya?""Eumm."Tulang-tulang Naya seperti terlepas satu-satu. Naya tidak bisa bergerak, bahkan ia tak tahu akan nasibnya nanti seperti apa jika di rumah terus. "Biarkan dia, Han. Lagian kerjanya gak berat kok." Sahut Raja "Mas tapi aku cemas sama bayinya. B