“Kenapa kamu tidak bisa keluar?” tanya Sean penasaran.“Itu—ibu mertuaku mengunciku di kamar.”“Argh!” Hampir saja Sean mengumpat atas hal yang sebenarnya bukan masalahnya. Namun ibu mertuanya Aliya, benar-benar orang yang sangat buruk. Bagaimana bisa dia melakukan hal itu pada menantunya sendiri?“Pergilah. Lagipula kita akan bertemu di kantor besok,” kata Aliya. Anehnya dia tak ingin menyusahkan Sean. Hal sama sekali bukan sifatnya selama ini.“Nomor berapa kamarmu?” tanya Sean tiba-tiba.“Apa yang mau kamu lakukan? Jangan berbuat hal yang tidak-tidak. Aku tidak apa-apa!”“Tidak, kamu tidak baik-baik saja Aliya.”Mendengar namanya disebut seperti itu membaut Aliya tersentak. Dia tidak percaya Sean mengatakan hal seperti itu padanya. Bahkan memanggil hanya dengan namanya. Yang seharusnya itu membuatnya marah, namun tidak untuk saat ini.“7014,” jawab Aliya singkat.“Baiklah, aku hanya akan menghiburmu sebentar.”“Untuk apa kamu menghiburku? Sudah aku bilang—“TUT TUT TUT…Telepon ter
“Aliya! Apa-apaan kamu ini?” seru Yulia. Dia tidak terima Aliya melawannya seperti ini. Padahal tinggal mengatakan iya saja, apa sulitnya bagi menantunya itu?“Cukup bu, jangan salahkan Aliya terus. Reza kali ini kecewa karena ibu membohongi Reza seperti semalam.” Reza langsung meninggalkan kamar Aliya dan berjalan keluar seorang diri.“Ini semua karena kamu Aliya!” Yulia kemudian pergi menyusul Reza. Dia tak boleh membuat anaknya marah dulu. Karena dia berencana untuk tinggal di rumah Reza untuk memantau jika Reza dan Ruby akan melakukan hubungan suami istri tanpa terganggu oleh Aliya. Bagaimana pun juga dia tidak akan membiarkan Aliya merusak segalanya.Ruby menatap Aliya sesaat. Dia lalu pergi meninggalkan kamar itu juga menyusul yang lainnya. Hanya tinggal Aliya yang kini ditinggalkan seorang diri di sana.“Melelahkan,” desis Aliya. Dia menarik kopernya dan berjalan dengan santai. Kalaupun mereka semua meninggalkannya dia bisa pulang sendiri menggunakan taksi.Ketika keluar, Aliya
Damar yang melihat Aliya di mejanya terkejut dan langsung menghampiri wanita itu. Aliya tampak sedang menatap layar komputernya. Dia sedang bermain game!“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Damar berbisik.“Bekerja,” jawab Aliya singkat.“Tapi kamu masih cuti. Lagian kamu belum ada pekerjaan, jadi pulanglah,” perintah Damar. Dia ingin bersikap lebih tegas, namun dia sudah tahu dengan apa yang dialami Aliya saat ini. Suaminya menikah lagi kemarin.“Abaikan saja aku.” Aliya mengusir atasannya tersebut.“Baiklah, aku akan membiarkanmu hari ini.”“Lebih baik kamu mencarikan pekerjaan untukku. Aku sudah bosan seperti ini!”“Apa kamu belum menerima emailku?” tanya Damar yang kali ini membuat Aliya tertarik dan menoleh.“Email? Aku belum mengeceknya.” Aliya lantas menutup game nya dan membuka surelnya. Dan benar saja, di sana Damar mengatakan jika salah satu program yang dulu milik Aliya lusa akan kembali lagi padanya. Hal itu sontak membuat Aliya tersenyum lebar.“Kamu serius kan?” tanya
Yulia dan Ruby langsung meburai pelukan mereka. “Ibu hanya terharu karena akhirnya kamu dan Ruby menikah Za,” jawab Yulia asal. “Ibu tidak melakukannya dulu saat Reza menikah dengan Aliya,” sahut laki-laki itu. “Aduh, sudahlah Za. Jangan menyebut nama Aliya terus-terusan. Ibu masih kesal dengan apa yang diucapkan Aliya tadi pagi.” “Seharusnya Aliya yang lebih kesal dari ibu.” “Sstt, sekarang yang ada di sini Ruby bukan Aliya. Jadi lebih baik kamu jangan menyebut nama Aliya di depan Ruby. Kamu tidak kasihan padanya?” Reza menatap Ruby canggung. Apa yang dikatakan ibunya memang tak ada salahnya, karena Ruby memang tampak tak suka dirinya selalu menyebut nama Aliya di depannya. “Maaf,” kata Reza pada Ruby. Sebuah perkataan yang sama sekali tak disangka Ruby akan keluar dari mulut Reza. “Tidak apa-apa,” sahut Ruby merasa sedikit senang. “Lebih baik kalian jalan-jalan ke luar. Ajak Ruby mencari udara segar Za.” “Ibu tidak mau ikut?” tanya Reza kemudian. Dia memang sedikit penat be
“Sepertinya kamu harus mengenali Aliya lebih dalam. Kadang yang dia perlihatkan bukanlah dirinya yang sebenarnya,” kata Sean. Dia kemudian meninggalkan Vanya dan kembali masuk ke dalam kantornya. Dan ketika dia melewati tempat kerja Aliya, Sean masih merasa penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu?“Benar kan, kalau aku tidak menyukainya?” batin Sean masih sambil menatap Aliya dari kejauhan. Dia masih mencoba menyangkal apa yang dituduhkan Vanya pada dirinya sebelumnya. Kalaupun benar ia sudah terlanjur menyukai Aliya, Sean harus segera selesai dengan perasaan yang salah besar itu.Selama ini Sean hanya merasa kasihan pada Aliya. Tanpa sengaja dia mengetahui terlalu banyak tentang wanita itu dan membuatnya jadi seperti ini. Sean yang pada dasarnya adalah laki-laki yang baik dan peduli tak bisa meninggalkan Aliya sendirian. Dia selalu merasa khawatir karena tahu jika Aliya hanya memiliki dirinya sendiri di dunia ini.“Tidak Sean! Sadarlah, kamu tidak boleh menyukainya.” S
Aliya mengangkat wajahnya. Entah apa yang ia harapkan, terkadang apa yangia ucapkan berbanding balik dengan apa yang ia inginkan. Dia tak melihat Sean lagi berada di sana. Membuat dirinya sedikit kecewa.“Dia benar-benar pergi,” gumam Aliya.“Bukankah kamu yang menyuruhnya pergi?”Sebuah suara mengejutkan Aliya. Dia memutar kembali wajahnya dan melihat Sean yang duduk di depan meja yang ada di hadapannya.“Kamu? Bukannya kamu sudah pergi tadi?” tanya Aliya yang tidak menyangka ternyata Sean masih berada di sana.“Iya, seharusnya aku pergi karena kamu menyuruhku tadi. Tapi kalau aku pergi aku tidak akan tahu kalau kamu sekecewa itu jika aku meninggalkanmu.”“Dasar,” desis Aliya. Dia bersikap sewajar mungkin untuk menyembunyikan kesedihannya.“Kenapa kamu belum pulang?” tanya Sean lagi setelah yang sebelumnya belum terjawab oleh Aliya.“Aku lembur,” jawab Aliya asal.“Aku tahu kamu seharian hanya duduk. Apa yang kamu lemburkan?”“Sial!” umpat Aliya dalam hati.“Ada masalah?” Kali ini Se
“Aku tidak tahu kenapa aku bisa sampai terjebak di sini. Dan bersama dengan laki-laki seperti dia.” Aliya menoleh ke arah Sean yang menatap hujan yang hampir reda. Masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Sean tampak santai dengan hidupnya dan seperti tak memiliki beban apa-apa. Seolah apapun masalah yang terjadi masih ada alasan untuk dia tetap tersenyum.“Kamu… apa kamu tidak berniat punya pacar? Wajahmu tidak jelek, dan kamu dari keluarga kaya. Apa tidak ada wanita yang menyukaimu?” tanya Aliya tiba-tiba. Pertanyaan acak baru saja terlontar dengan begitu ringan dari bibirnya.Sean menoleh dan tertawa mendengar pertanyaan aneh itu. Sangat aneh, karena itu terucap dari mulut Aliya saat ini.“Yang menyukaiku tentu saja ada. Aku tidak mau sombong tapi memang benar-benar ada lebih dari satu. Mungkin tiga atau empat tapi semuanya tidak menarik perhatianku,” jawab Sean, dia tersenyum pahit sembari menekuri sepatu kets putihnya. Mendengar hal itu membuat Aliya tampak shock dan menutup mulut
Aliya mengepalkan kedua tangannya menahan amarah yang bergejolak dalam hatinya. Padahal dia sudah berusaha keras untuk membiarkan mereka berdua. Namun ia merasa sangat kecewa karena mereka melakukannya di dalam kamarnya. Padahal sudah jelas Ruby memiliki kamar sendiri di rumah ini, dengan tidak tahu malunya mereka seakan mengoloknya seperti ini.Tanpa mengatakan apa-apa, Aliya kemudian meninggalkan kamarnya tanpa suara. Dia memutuskan untuk membiarkannya kali ini. Meski tak bisa dipungkiri dia begitu terluka karena tingkah laku mereka saat ini.Ketika pintu tertutup pelan, Ruby sempat menyadari Aliya yang baru saja keluar dari kamar itu. Dia menatap Reza yang masih tidur terlelap. Kemudian memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu jika Aliya pulang malam itu.***Aliya terjaga sepanjang malam hingga pagi datang. Dia yang awalnya berniat untuk langsung tidur semalam mendadak rasa mabuknya hilang dan berganti kekesalan yang tak bisa ia lampiaskan. Beberapa botol bir kosong sudah memenuhi
Esok harinya, Sean baru saja sampai di kota K tempat kerja barunya selama satu tahun ke depan. Dia menatap pintu masuk studio yang tak begitu besar, namun tak juga terbilang kecil. Setelah menarik napas panjang, lelaki itu mendorong pintu berfilter hitam itu dan masuk untuk menyapa penyiar yang akan bekerja dengannya hari ini.Sean masuk dan melihat studio radio yang menyala. Seorang wanita duduk di sana dan sedang membicarakan sesuatu dengan salah satu staff. Rasanya tak percaya, Sean membeku di tempatnya dan menatap lama Aliya yang belum menyadari kehadiran Sean di sana. Aliya sendiri tidak tahu jika Sean lah yang akan menjadi kameramennya selama di sana.Aliya tanpa sengaja menatap ke depan dan melihat Sean yang masih berdiri di tempatnya. Wanita itu tersenyum dan melambaikan tangannya, membuat jantung Sean tiba-tiba berdesir. Dia salah tingkah hingga tak membalas sapaan dari Aliya.“Takdir macam apa ini?” gumam Sean seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Entah har
“Baiklah, aku akan mencarikan rumah sakit lain. Bagaimanapun juga kenyamanmu lebih penting dari apapun saat ini.” Untungnya jawaban dari Reza membuat Ruby bernapas lega. Dia sudah berpikir jika Reza akan berpikir yang tidak-tidak padanya. Yang terpenting dia bisa terbebas dari Satria untuk sementara waktu.Sesampainya di rumah Reza tak mendapati Aliya berada di rumah. Dia tak mengerti kenapa istrinya itu begitu sibuk dan semakin sulit untuk ditemui. Dan hal itu membuatnya sedikit kesal pada Aliya.“Ada apa?” tanya Ruby ketika dia melihat Reza yang terlihat gusar ketika baru sampai di rumah.“Aliya tidak ada di rumah. Dan dia sering begini sekarang. Pergi tanpa bilang, dan sekarang tidak jelas dia ada di mana.”“Mungkin masalah pekerjaan. Bukankah Aliya memang selalu sibuk?”“Tidak. Dia jadi semakin parah akhir-akhir ini.”Melihat Ruby yang tampak ikut cemas, membuat Reza tak tega. Sepertinya sudah cukup bagi Ruby dengan masalah kehamilannya. Reza tak ingin menambah beban wanita itu de
“Aku akan cepat kembali.” Setelah mengatakan itu, Ruby bergegas meninggalkan Reza yang masih membeku di tempatnya berdiri. Dia sangat penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh istri keduanya itu saat ini. Namun, ia kemudian langsung membuang jauh-jauh pikiran tak pentingnya tersebut. Lagipula, tak ada alasan juga untuk ia curiga terhadap Ruby.Sementara itu, Ruby mulai mencari sosok yang ia pikir sebagai Satria sebelumnya. Dia yakin jika laki-laki itu mengarah tangga menuju loby. Tanpa memedulikan hal lain, Ruby pun menuruni tangga yang menuju ke loby di lantai bawah tersebut.Dan benar saja, ketika ia baru menuruni beberapa anak tangga, dia melihat Satria yang berdiri bersandar pada tembok di dekat tangga yang dituruninya. Laki-laki itu menoleh saat ia menyadari kehadiran Ruby yang memang sudah ditunggunya sejak tadi. Dia tersenyum miring, seolah tahu apa maksud Ruby mengejarnya saat ini.“Ternyata benar kamu Satria. Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kamu terus
“Jangan bertindak bodoh!” teriak Sean sembari membuka pintu atap gedung kantornya.Aliya yang sedang berdiri di atap tersebut menoleh ketika ia mendengar teriakan Sean. “Apa kamu bilang?” tanyanya sedikit bingung.Dengan langkah lebar-lebar, Sean berjalan menghampiri Aliya dan meraih tangan wanita itu. Membuat wajah Alia menjadi terlihat semakin bingung.“Kamu tidak sendirian. Masih ada aku di sini,” kata Sean kembali tanpa ragu. Dia tak peduli dengan apa kata Alia nanti. Yang Sean inginkan hanyalah Alia tidak bertindak bodoh dengan cara mengakhiri hidupnya seperti ini.Alia terdiam untuk beberapa saat. Dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi, karena sikap Sean saat ini sangatlah aneh.“Emm, baiklah aku tersanjung,” sahut wanita itu pada akhirnya. Membuat situasi mendadak menjadi canggung. Apalagi ketika Sean menyadari kesalahpahamannya.“Huh?”“Huh?”Melihat reaksi Alia yang kebingungan, dengan cepat Sean melepaskan tangan wanita itu. Dia lalu memalingkan wajahnya yang memerah karena
Hari minggu pagi.Aliya bangun dari tidurnya dan melihat selimut dan bantal yang berada di sisinya sudah rapi. Dia tak menemukan Reza berada di sebelahnya lagi. Entah sudah kesekian kalinya Reza melakukan hal ini padanya.Padahal semalam Aliya memastikan jika suaminya itu berada di dalam kamarnya. Namun sepertinya hal itu bahkan tak berlangsung sampai pagi datang. Reza sudah pergi ke kamar Ruby ketika Aliya sudah lelap dalam tidurnya.Dengan malas Aliya bangkit dari tempat tidurnya untuk menyiapkan sarapan untuk Reza. Setidaknya dia tak boleh membiarkan Ruby merebut rutinitasnya selama ia menjadi istri Reza selama ini. Namun ketika dia sampai di dapur, dia sudah melihat Ruby telah selesai melakukan semua hal yang biasa ia lakukan.“Eh, Alia. Aku sudah selesai menyiapkan sarapan. Kamu mau makan bersama? Reza sebentar lagi turun,” ucap wanita itu tanpa merasa bersalah sama sekali.“Tidak. Aku ada urusan pekerjaan,” jawab Aliya singkat.“Kenapa?”“Tidak apa-apa.” Aliya lantas kembali ma
“Haruskah kamu berkata seperti itu? Sekarang? Di depan Ruby?” Wajah Aliya tampak serius saat ini. Sepertinya dia lebih sensitif dari Ruby yang sedang hamil.“Aliya, aku tidak bermaksud begitu…”“Alah, kamu memang sengaja mau mempermalukan aku kan di depan Ruby?” Aliya yang merasa malu lantas keluar dari ruangan Reza saat itu juga. Dia mengabaikan beberapa karyawan yang dengan sopan menyapanya, membuat orang-orang itu semakin berbicara buruk di belakangnya.“Pantas saja pak Reza menikah lagi, ternyata sifat istri pertamanya memang buruk.” Samar terdengar ucapan seperti itu di belakangnya. Jika saja Aliya tak sedang merasa buruk hari ini, dia akan membuat para karyawan itu bungkam saat itu juga.“Menyebalkan!” Aliya memukul setir mobilnya setelah ia berhasil keluar dari kantor Reza. Dia lantas meninggalkan perusahaan itu dengan emosi yang ia tahan. Sampai sekarang dia tak habis pikir, mengapa Reza berkata seperti itu di hadapan Ruby.“Apa hanya Ruby istrinya? Apa hanya dia yang boleh ke
“Aku tidak bermaksud melakukannya,” sahut Aliya.“Kamu hanya ingin menyelamatkan hidupmu sendiri,” lanjut Ruby lagi. Jika ia mengingat saat itu, sungguh membuat hatinya kembali terluka. Padahal dulu ia sangat mempercayai Aliya lebih dari apapun. Namun wanita itu benar-benar tak datang untuknya. Bahkan rasa sakit Ruby semakin besar ketika ia melihat Aliya berada di layar televisi. Wanita itu berhasil sukses dengan mengorbakan sahabatnya sendiri.“Lalu apa lagi yang kamu inginkan? Aku membuat hidupmu lebih baik saat ini. Apa lagi yang kurang?”“Jadi menurutmu ini sudah cukup Al? Baiklah, anggap saja begitu.” Ruby berlalu meninggalkan Aliya. Dia tak ada niat untuk mengenang masa persahabatan mereka di sana. Baginya Aliya melakukan hal untuk menunjukkan padanya jika ia tak melupakannya.Ruby berjalan keluar untuk kembali ke mobil. Tak ada kenangan yang ingin ia ingat di sana. Ruby yang dulu bukanlah dirinya yang sekarang. Tempat itu dipenuhi dengan kenangannya dengan Aliya dulu. Dan itu m
“Tentu saja, aku selalu percaya padamu.” Ruby berdiri dan meraih kedua tangan Aliya. Berharap lebih pada sahabatnya yang telah lama dikenalnya itu.Aliya memperhatikan sekitar kamar itu. Dan jendela di sebelah kanannya sepertinya langsung mengarah ke halaman yang dekat dengan pintu mereka masuk tadi.“Kamu bertahanlah di sini, dan aku akan pergi lewat jendela untuk memanggil polisi atau bantuan siapapun.”Ruby diam untuk beberapa saat. Berada di tempat itu bersama dengan Aliya saja sudah terasa mengerikan, bagaimana bisa ia bertahan seorang diri?“Tapi Al… aku takut,” lirih Ruby. Dia semakin erat mengenggam kedua tangan Aliya.“Aku akan berlari secepatya. Kamu tahu kan? Aku ini jaura satu lomva lari marathon selama sekolah. Jadi aku akan segera menyelamatkanmu. Atau kalau tidak, kamu saja yang pergi. Panggil siapa saja untuk bantuan?”Ruby tampak ragu-ragu. Dia terlalu penakut untuk melakukan semua itu. Dan ia pun tahu sendiri jika Aliya orang yang sangat berani dan kuat. Dan mungkin
“Duduklah,” ucap Dani. Dia memberikan jalan untuk Aliya dan juga Ruby untuk duduk dan menunggu proses perekrutan.“Ini surat lamaran kami. Sudah ada berkas-berkasnya di dalam.” Aliya memberikan dua amplop cokelat berisi lamaran kerjanya dan juga Ruby pada Dani.“Oh iya.” Dani membukanya sekilas lalu menumpukknya bersama kertas-kertas lamaran lainnya.“Jadi pekerjaan macam apa yang akan kami berdua dapatkan?” tanya Aliya penasaran. Keduanya sama-sama masih polos dan tak tahu jika laki-laki yang ada di depannya adalah penipu yang sudah banyak menipu gadis-gadis yang baru lulus sekolah, dengan kedok penyalur kerja.“Ada berita bagus. Karena perusahaan ini sedang mencari karyawan baru yang mau cepat bekerja, jadi aku akan mengantar kalian langsung ke sana.”Senyum Aliya merekah mendengarnya. Dia berpikir jika inilah keberuntungan mereka saat ini.“Mari ikut denganku ke mobil.” Dani mengambil kunci mobilnya dan berjalan keluar. Aliya dengan perasaan yang baik bangkit dari duduknya untuk me