Aliya mengepalkan kedua tangannya menahan amarah yang bergejolak dalam hatinya. Padahal dia sudah berusaha keras untuk membiarkan mereka berdua. Namun ia merasa sangat kecewa karena mereka melakukannya di dalam kamarnya. Padahal sudah jelas Ruby memiliki kamar sendiri di rumah ini, dengan tidak tahu malunya mereka seakan mengoloknya seperti ini.Tanpa mengatakan apa-apa, Aliya kemudian meninggalkan kamarnya tanpa suara. Dia memutuskan untuk membiarkannya kali ini. Meski tak bisa dipungkiri dia begitu terluka karena tingkah laku mereka saat ini.Ketika pintu tertutup pelan, Ruby sempat menyadari Aliya yang baru saja keluar dari kamar itu. Dia menatap Reza yang masih tidur terlelap. Kemudian memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu jika Aliya pulang malam itu.***Aliya terjaga sepanjang malam hingga pagi datang. Dia yang awalnya berniat untuk langsung tidur semalam mendadak rasa mabuknya hilang dan berganti kekesalan yang tak bisa ia lampiaskan. Beberapa botol bir kosong sudah memenuhi
TOK! TOK!“Ruby? Apa kamu di dalam?” tanya Reza yang mendengar suara kucuran di dalam kamar mandi luar. Dia berpikir jika itu adalah Ruby, karena Aliya jelas masuk ke dalam kamarnya.Ruby bergegas mematikan keran airnya dan mengusap mulutnya yang basah. Dia berusaha untuk tidak memperlihatkan kekhawatirannya agar Reza tak curiga. Yang perlu dia lakukan saat ini adalah tetap berpikir posisif. Belum tentu dia benar-benar hamil anak Satria. Ruby berpikir bisa jadi dia hanya masuk angin biasa.“Iya Za! Tunggu sebentar,” sahut Ruby dari dalam. Setelah ia mempersiapkan diri dia membuka pintu dan bersikap normal seperti biasa.“Ada apa?” tanya Ruby setelah ia keluar dan berhadapan dengan Ruby di depan pintu kamat mandi.“Tidak apa-apa. Apa kamu sakit?” tanya Reza cemas.“Tidak, aku hanya lapar saja,” kekeh wanita itu.“Kalau begitu mandilah biar aku yang siapkan sarapan.”Mendengar hal itu membuat ekspresi Ruby tiba-tiba melongo. Dia tak pernah membayangkan ada seseorang yang mau menyiapkan
“Apa maksudmu? Dia hanya rekan kerja,” tukas Aliya.“Hmm, jadi begitu cara memperlakukan rekan kerja.” Vanya manggut-manggut, namun tak ada keinginannya untuk mempercayai ucapan Aliya saat ini.“Bagaimana kalau seandainya laki-laki itu menyukaimu?” tanya Vanya iseng. Dia hanya ingin tahu reaksi dari temannya itu.“Apa kamu sudah gila?! Bisa-bisanya kamu berpikir hal sekonyol itu. Pergilah, aku mau tidur.” Aliya langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan menutupi dirinya dengan selimut Vanya.“Ya sudahlah. Aku juga mau ke kantor. Jangan lupa belikan AC baru untukku.” Vanya berdiri hendak meninggalkan temannya itu sendiri di kamarnya.“Hmm,” sahut Aliya singkat.“Jangan coba-coba membawa masuk Sean ke dalam kamarku ya!”“Pergilah, dasar gila!” Aliya melempar bantal yang dipakainya mengusir pemilik kamar yang dipakainya saat ini.***Ruby kembali ke meja makan setelah tak menemukan Aliya ada di dalam kamarnya.“Aliya tidak ada di kamarnya Za,” ucap wanita itu yang kembali menghampi
“Tidak. Maaf, aku sedikit tidak fokus tadi,” sahut Reza cepat. Dia mengembalikan remotenya ke dalam laci mejanya dan menyusul Ruby duduk di sofa ruangannya.“Apa yang kamu masak hari ini?” tanya Reza tak sabar. Dia akui sejak Ruby mengurus segala keperluannya termasuk makan siangnya, Reza menjadi lebih teratur pola makannya dan dia juga tak mudah sakit dan kelelahan seperti biasanya. Memiliki istri yang berada di rumah ternyata ada bagusnya juga.“Aku membuat nasi goreng seafood dan beberapa buah.” Ruby membuka satu persatu kotak makan yang dibawanya, dan menyiapkannya untuk Reza.“Ini makanlah.”Reza mengambil makanan yang diberikan oleh Ruby dan bersiap untuk menyantapnya. Namun ia urung ketika melihat Ruby hanya diam saja.“Kenapa kamu tidak makan?” tanya laki-laki itu. Dia meletakkan kembali makanannya di atas meja.“Ada sesuatu yang mau aku bicarakan padamu Za.” Ruby menunduk mengatakannya. Seolah dia sudah melakukan sebuah kesalahan yang sulit untuk dimaafkan.“Mengatakan apa?”
Vanya bergegas menghampiri Aliya yang saat ini sedang beristirahat.“Aliya, Aliya!” panggil wanita tersebut.“Ada apa? Apa yang membuatmu berlari seperti itu?” tanya Aliya yang tak begitu penasaran.“Apa kamu sudah tahu soal itu?”Alis Aliya menukik mendengar kalimat tidak jelas yang dikatakan oleh Vanya saat ini. “Soal apa?” tanyanya tak mengerti.“Soal istri kedua yang hamil,” bisik Vanya sembari melihat keadaan sekitarnya yang kosong.Aliya tertegun mendengarnya. Secepat itukah? Pikir wanita tersebut. Namun ia langsung berubah pikiran ketika teringat dengan janji Reza sebelumnya. Aliya berpikir jika semua situasi rumit ini akan segera berakhir jika Ruby sudah melahirkan anaknya nanti. Meski ada sedikit rasa ragu dalam hati Aliya saat ini. Apalagi sikap Reza sepertinya sudah banyak berubah terhadap Ruby.“Lalu?” tanya Aliya. Dia berusaha untuk tampak sebiasa mungkin agar tidak terlihat menyedihkan di depan Vanya saat ini.Vanya menatap Aliya tak percaya. Mustahil temannya itu tak me
Malam ini Reza tidur di kamar Ruby seperti biasa. Dan hal itu membuat Ruby bertanya-tanya, mengapa ia tak memilih untuk tidur di kamar Aliya? Bukankah seharusnya Reza merindukan istri pertamanya tersebut?Ruby menatap Reza yang sudah memejamkan mata di sebelahnya. Rasanya sulit untuk dipercaya, apa dirinya sudah merebut Reza dari Aliya saat ini? Ruby ingin berbesar kepala, namun dia tak bisa. Ada rasa tak nyaman mengganjal di hatinya melihat perubahan ini. Meskipun begitu, akhirnya dia memutuskan untuk tidur saja.Sementara itu Aliya sedang berbaring di tempat tidurnya sembari menatap pintu. Pintu yang ia harap akan segera terbuka, dan Reza masuk untuk memeluknya. Rasa cemas itu datang kembali… Aliya takut jika Reza sudah benar-benar berubah. Dia takut jika Reza akan jatuh cinta pada Ruby dan tak bisa meninggalkan wanita itu nanti.Apakah rasa cemasnya ini berlebihan? Aliya sudah mencoba untuk menahan keegoisannya. Dia memahami situasi rumit yang ia ciptakan ini. Tapi, kenapa kini sem
Setelah cukup lama berkendara, mobil Aliya akhirnya memasuki sebuah pekarangan luas dengan pemandangan hijau yang cukup rimbun. Bangunan yang berada di tengah pekarangan itu perlahan membangkitkan kembali kenangan lama Ruby.“Panti Asuhan?” tanya Ruby ketika Ruby mematikan mesin mobilnya dan membuka sabuk pengaman miliknya.“Hmm, kenapa? Apa kamu terlalu malu untuk kembali ke sini?”“Tidak.” Ruby membuang wajahnya. Ruby memang sudah sangat lama tidak kembali ke tempat asalnya tersebut. Tepatnya semenjak ia terjebak ke dalam pekerjaan hinanya. Ia terlalu malu dan merasa tidak pantas untuk pergi ke sana dengan membawa tubuh dan uangnya yang kotor.“Tidak turun?” Aliya mengejutkan lamunan Ruby. Wanita itu ternyata sudah lebih dulu keluar sementara Ruby masih mematung di dalam mobil. Mau tak mau dia pun ikut turun meski langkah kakinya terasa begitu berat.Aliya dan Ruby memasuki panti asuhan yang sudah menampung mereka ketika keduanya dibuang dulu. Aliya dan Ruby sama-sama datang dalam k
Di tengah malam.“Ruby, apa kamu tidur?” bisik Aliya sembari menggoyangkan bahu Ruby pelan.“Hmm, sedikit,” jawab gadis itu pelan.“Kita harus pergi sekarang. Sepertinya semua sudah tidur,” lanjut Aliya lagi. Sementara Ruby menoleh menatap jam dinding kamar mereka. Saat ini waktu menunjukkan hampir jam dua pagi. Dan rasanya keadaan di luar cukup mencekam karena mereka berada jauh di pelosok desa.“Apa tidak apa-apa kita pergi sekarang? Aku—sedikit takut.” Lagi-lagi Ruby merasakan adanya perasaan buruk yang akan mennimpanya dengan Aliya, jika mereka tetap keluar di pagi buta seperti ini.“Apa yang kamu takutkan? Hantu?”“Salah satunya iya. Bisakah kita pergi baik-baik saja?” Untuk kesekian kalinya Ruby mencoba membujuk Aliya agar berpamitan dengan orang-orang panti dan pergi jika hari sudah terang. Namun karena sifat Aliya yang keras kepala dan ambisius, membuat gadis itu tak bisa dengan mudah tergoyahkan hanya karena rasa khawatir sahabatnya itu.“Kalau begitu aku akan pergi sendiri.”