Yulia dan Ruby langsung meburai pelukan mereka. “Ibu hanya terharu karena akhirnya kamu dan Ruby menikah Za,” jawab Yulia asal. “Ibu tidak melakukannya dulu saat Reza menikah dengan Aliya,” sahut laki-laki itu. “Aduh, sudahlah Za. Jangan menyebut nama Aliya terus-terusan. Ibu masih kesal dengan apa yang diucapkan Aliya tadi pagi.” “Seharusnya Aliya yang lebih kesal dari ibu.” “Sstt, sekarang yang ada di sini Ruby bukan Aliya. Jadi lebih baik kamu jangan menyebut nama Aliya di depan Ruby. Kamu tidak kasihan padanya?” Reza menatap Ruby canggung. Apa yang dikatakan ibunya memang tak ada salahnya, karena Ruby memang tampak tak suka dirinya selalu menyebut nama Aliya di depannya. “Maaf,” kata Reza pada Ruby. Sebuah perkataan yang sama sekali tak disangka Ruby akan keluar dari mulut Reza. “Tidak apa-apa,” sahut Ruby merasa sedikit senang. “Lebih baik kalian jalan-jalan ke luar. Ajak Ruby mencari udara segar Za.” “Ibu tidak mau ikut?” tanya Reza kemudian. Dia memang sedikit penat be
“Sepertinya kamu harus mengenali Aliya lebih dalam. Kadang yang dia perlihatkan bukanlah dirinya yang sebenarnya,” kata Sean. Dia kemudian meninggalkan Vanya dan kembali masuk ke dalam kantornya. Dan ketika dia melewati tempat kerja Aliya, Sean masih merasa penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu?“Benar kan, kalau aku tidak menyukainya?” batin Sean masih sambil menatap Aliya dari kejauhan. Dia masih mencoba menyangkal apa yang dituduhkan Vanya pada dirinya sebelumnya. Kalaupun benar ia sudah terlanjur menyukai Aliya, Sean harus segera selesai dengan perasaan yang salah besar itu.Selama ini Sean hanya merasa kasihan pada Aliya. Tanpa sengaja dia mengetahui terlalu banyak tentang wanita itu dan membuatnya jadi seperti ini. Sean yang pada dasarnya adalah laki-laki yang baik dan peduli tak bisa meninggalkan Aliya sendirian. Dia selalu merasa khawatir karena tahu jika Aliya hanya memiliki dirinya sendiri di dunia ini.“Tidak Sean! Sadarlah, kamu tidak boleh menyukainya.” S
Aliya mengangkat wajahnya. Entah apa yang ia harapkan, terkadang apa yangia ucapkan berbanding balik dengan apa yang ia inginkan. Dia tak melihat Sean lagi berada di sana. Membuat dirinya sedikit kecewa.“Dia benar-benar pergi,” gumam Aliya.“Bukankah kamu yang menyuruhnya pergi?”Sebuah suara mengejutkan Aliya. Dia memutar kembali wajahnya dan melihat Sean yang duduk di depan meja yang ada di hadapannya.“Kamu? Bukannya kamu sudah pergi tadi?” tanya Aliya yang tidak menyangka ternyata Sean masih berada di sana.“Iya, seharusnya aku pergi karena kamu menyuruhku tadi. Tapi kalau aku pergi aku tidak akan tahu kalau kamu sekecewa itu jika aku meninggalkanmu.”“Dasar,” desis Aliya. Dia bersikap sewajar mungkin untuk menyembunyikan kesedihannya.“Kenapa kamu belum pulang?” tanya Sean lagi setelah yang sebelumnya belum terjawab oleh Aliya.“Aku lembur,” jawab Aliya asal.“Aku tahu kamu seharian hanya duduk. Apa yang kamu lemburkan?”“Sial!” umpat Aliya dalam hati.“Ada masalah?” Kali ini Se
“Aku tidak tahu kenapa aku bisa sampai terjebak di sini. Dan bersama dengan laki-laki seperti dia.” Aliya menoleh ke arah Sean yang menatap hujan yang hampir reda. Masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Sean tampak santai dengan hidupnya dan seperti tak memiliki beban apa-apa. Seolah apapun masalah yang terjadi masih ada alasan untuk dia tetap tersenyum.“Kamu… apa kamu tidak berniat punya pacar? Wajahmu tidak jelek, dan kamu dari keluarga kaya. Apa tidak ada wanita yang menyukaimu?” tanya Aliya tiba-tiba. Pertanyaan acak baru saja terlontar dengan begitu ringan dari bibirnya.Sean menoleh dan tertawa mendengar pertanyaan aneh itu. Sangat aneh, karena itu terucap dari mulut Aliya saat ini.“Yang menyukaiku tentu saja ada. Aku tidak mau sombong tapi memang benar-benar ada lebih dari satu. Mungkin tiga atau empat tapi semuanya tidak menarik perhatianku,” jawab Sean, dia tersenyum pahit sembari menekuri sepatu kets putihnya. Mendengar hal itu membuat Aliya tampak shock dan menutup mulut
Aliya mengepalkan kedua tangannya menahan amarah yang bergejolak dalam hatinya. Padahal dia sudah berusaha keras untuk membiarkan mereka berdua. Namun ia merasa sangat kecewa karena mereka melakukannya di dalam kamarnya. Padahal sudah jelas Ruby memiliki kamar sendiri di rumah ini, dengan tidak tahu malunya mereka seakan mengoloknya seperti ini.Tanpa mengatakan apa-apa, Aliya kemudian meninggalkan kamarnya tanpa suara. Dia memutuskan untuk membiarkannya kali ini. Meski tak bisa dipungkiri dia begitu terluka karena tingkah laku mereka saat ini.Ketika pintu tertutup pelan, Ruby sempat menyadari Aliya yang baru saja keluar dari kamar itu. Dia menatap Reza yang masih tidur terlelap. Kemudian memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu jika Aliya pulang malam itu.***Aliya terjaga sepanjang malam hingga pagi datang. Dia yang awalnya berniat untuk langsung tidur semalam mendadak rasa mabuknya hilang dan berganti kekesalan yang tak bisa ia lampiaskan. Beberapa botol bir kosong sudah memenuhi
TOK! TOK!“Ruby? Apa kamu di dalam?” tanya Reza yang mendengar suara kucuran di dalam kamar mandi luar. Dia berpikir jika itu adalah Ruby, karena Aliya jelas masuk ke dalam kamarnya.Ruby bergegas mematikan keran airnya dan mengusap mulutnya yang basah. Dia berusaha untuk tidak memperlihatkan kekhawatirannya agar Reza tak curiga. Yang perlu dia lakukan saat ini adalah tetap berpikir posisif. Belum tentu dia benar-benar hamil anak Satria. Ruby berpikir bisa jadi dia hanya masuk angin biasa.“Iya Za! Tunggu sebentar,” sahut Ruby dari dalam. Setelah ia mempersiapkan diri dia membuka pintu dan bersikap normal seperti biasa.“Ada apa?” tanya Ruby setelah ia keluar dan berhadapan dengan Ruby di depan pintu kamat mandi.“Tidak apa-apa. Apa kamu sakit?” tanya Reza cemas.“Tidak, aku hanya lapar saja,” kekeh wanita itu.“Kalau begitu mandilah biar aku yang siapkan sarapan.”Mendengar hal itu membuat ekspresi Ruby tiba-tiba melongo. Dia tak pernah membayangkan ada seseorang yang mau menyiapkan
“Apa maksudmu? Dia hanya rekan kerja,” tukas Aliya.“Hmm, jadi begitu cara memperlakukan rekan kerja.” Vanya manggut-manggut, namun tak ada keinginannya untuk mempercayai ucapan Aliya saat ini.“Bagaimana kalau seandainya laki-laki itu menyukaimu?” tanya Vanya iseng. Dia hanya ingin tahu reaksi dari temannya itu.“Apa kamu sudah gila?! Bisa-bisanya kamu berpikir hal sekonyol itu. Pergilah, aku mau tidur.” Aliya langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan menutupi dirinya dengan selimut Vanya.“Ya sudahlah. Aku juga mau ke kantor. Jangan lupa belikan AC baru untukku.” Vanya berdiri hendak meninggalkan temannya itu sendiri di kamarnya.“Hmm,” sahut Aliya singkat.“Jangan coba-coba membawa masuk Sean ke dalam kamarku ya!”“Pergilah, dasar gila!” Aliya melempar bantal yang dipakainya mengusir pemilik kamar yang dipakainya saat ini.***Ruby kembali ke meja makan setelah tak menemukan Aliya ada di dalam kamarnya.“Aliya tidak ada di kamarnya Za,” ucap wanita itu yang kembali menghampi
“Tidak. Maaf, aku sedikit tidak fokus tadi,” sahut Reza cepat. Dia mengembalikan remotenya ke dalam laci mejanya dan menyusul Ruby duduk di sofa ruangannya.“Apa yang kamu masak hari ini?” tanya Reza tak sabar. Dia akui sejak Ruby mengurus segala keperluannya termasuk makan siangnya, Reza menjadi lebih teratur pola makannya dan dia juga tak mudah sakit dan kelelahan seperti biasanya. Memiliki istri yang berada di rumah ternyata ada bagusnya juga.“Aku membuat nasi goreng seafood dan beberapa buah.” Ruby membuka satu persatu kotak makan yang dibawanya, dan menyiapkannya untuk Reza.“Ini makanlah.”Reza mengambil makanan yang diberikan oleh Ruby dan bersiap untuk menyantapnya. Namun ia urung ketika melihat Ruby hanya diam saja.“Kenapa kamu tidak makan?” tanya laki-laki itu. Dia meletakkan kembali makanannya di atas meja.“Ada sesuatu yang mau aku bicarakan padamu Za.” Ruby menunduk mengatakannya. Seolah dia sudah melakukan sebuah kesalahan yang sulit untuk dimaafkan.“Mengatakan apa?”