“Kenapa?” tanya Aliya tak mengerti. “Bukankah kamu mengatakan ingin menanyakan soal pekerjaan?” lanjutnya lagi.Lidah Sean tiba-tiba menjadi kelu. Mendadak situasi menjadi sangat canggung. Tidak mungkin juga dia dengan terang-terangan mengatakan jika ia sebenarnya mengkhawatirkan Aliya saat ini.“Sean?” panggil Aliya ketika Sean tak juga mengatakan apa-apa.“Kenapa kamu belum tidur? Apa ada yang sedang kamu pikirkan?” tanya Sean mengubah topik pembicaraan.“Tidak. Aku hanya tidak bisa tidur di tempat baru.”“Kamu masih ada di hotel?”“Hmm.”“Bolehkan aku menanyakan hal yang sedikit pribadi?”“Tidak.”Untuk sesaat keduanya lalu terdiam. Tidak ada yang saling mengatakan, namun mereka cukup tahu perasaan masing-masing.“Haruskah aku ke sana?” tanya Sean tiba-tiba.***Beberapa jam yang lalu, setelah acara pernikahan selesai.Reza dan Ruby masuk ke dalam kamar hotel yang sudah disiapkan khusus untuk mereka. Keduanya tampak canggung hingga tak ada kata yang terucap di antara mereka berdua.
“Kenapa kamu tidak bisa keluar?” tanya Sean penasaran.“Itu—ibu mertuaku mengunciku di kamar.”“Argh!” Hampir saja Sean mengumpat atas hal yang sebenarnya bukan masalahnya. Namun ibu mertuanya Aliya, benar-benar orang yang sangat buruk. Bagaimana bisa dia melakukan hal itu pada menantunya sendiri?“Pergilah. Lagipula kita akan bertemu di kantor besok,” kata Aliya. Anehnya dia tak ingin menyusahkan Sean. Hal sama sekali bukan sifatnya selama ini.“Nomor berapa kamarmu?” tanya Sean tiba-tiba.“Apa yang mau kamu lakukan? Jangan berbuat hal yang tidak-tidak. Aku tidak apa-apa!”“Tidak, kamu tidak baik-baik saja Aliya.”Mendengar namanya disebut seperti itu membaut Aliya tersentak. Dia tidak percaya Sean mengatakan hal seperti itu padanya. Bahkan memanggil hanya dengan namanya. Yang seharusnya itu membuatnya marah, namun tidak untuk saat ini.“7014,” jawab Aliya singkat.“Baiklah, aku hanya akan menghiburmu sebentar.”“Untuk apa kamu menghiburku? Sudah aku bilang—“TUT TUT TUT…Telepon ter
“Aliya! Apa-apaan kamu ini?” seru Yulia. Dia tidak terima Aliya melawannya seperti ini. Padahal tinggal mengatakan iya saja, apa sulitnya bagi menantunya itu?“Cukup bu, jangan salahkan Aliya terus. Reza kali ini kecewa karena ibu membohongi Reza seperti semalam.” Reza langsung meninggalkan kamar Aliya dan berjalan keluar seorang diri.“Ini semua karena kamu Aliya!” Yulia kemudian pergi menyusul Reza. Dia tak boleh membuat anaknya marah dulu. Karena dia berencana untuk tinggal di rumah Reza untuk memantau jika Reza dan Ruby akan melakukan hubungan suami istri tanpa terganggu oleh Aliya. Bagaimana pun juga dia tidak akan membiarkan Aliya merusak segalanya.Ruby menatap Aliya sesaat. Dia lalu pergi meninggalkan kamar itu juga menyusul yang lainnya. Hanya tinggal Aliya yang kini ditinggalkan seorang diri di sana.“Melelahkan,” desis Aliya. Dia menarik kopernya dan berjalan dengan santai. Kalaupun mereka semua meninggalkannya dia bisa pulang sendiri menggunakan taksi.Ketika keluar, Aliya
Damar yang melihat Aliya di mejanya terkejut dan langsung menghampiri wanita itu. Aliya tampak sedang menatap layar komputernya. Dia sedang bermain game!“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Damar berbisik.“Bekerja,” jawab Aliya singkat.“Tapi kamu masih cuti. Lagian kamu belum ada pekerjaan, jadi pulanglah,” perintah Damar. Dia ingin bersikap lebih tegas, namun dia sudah tahu dengan apa yang dialami Aliya saat ini. Suaminya menikah lagi kemarin.“Abaikan saja aku.” Aliya mengusir atasannya tersebut.“Baiklah, aku akan membiarkanmu hari ini.”“Lebih baik kamu mencarikan pekerjaan untukku. Aku sudah bosan seperti ini!”“Apa kamu belum menerima emailku?” tanya Damar yang kali ini membuat Aliya tertarik dan menoleh.“Email? Aku belum mengeceknya.” Aliya lantas menutup game nya dan membuka surelnya. Dan benar saja, di sana Damar mengatakan jika salah satu program yang dulu milik Aliya lusa akan kembali lagi padanya. Hal itu sontak membuat Aliya tersenyum lebar.“Kamu serius kan?” tanya
Yulia dan Ruby langsung meburai pelukan mereka. “Ibu hanya terharu karena akhirnya kamu dan Ruby menikah Za,” jawab Yulia asal. “Ibu tidak melakukannya dulu saat Reza menikah dengan Aliya,” sahut laki-laki itu. “Aduh, sudahlah Za. Jangan menyebut nama Aliya terus-terusan. Ibu masih kesal dengan apa yang diucapkan Aliya tadi pagi.” “Seharusnya Aliya yang lebih kesal dari ibu.” “Sstt, sekarang yang ada di sini Ruby bukan Aliya. Jadi lebih baik kamu jangan menyebut nama Aliya di depan Ruby. Kamu tidak kasihan padanya?” Reza menatap Ruby canggung. Apa yang dikatakan ibunya memang tak ada salahnya, karena Ruby memang tampak tak suka dirinya selalu menyebut nama Aliya di depannya. “Maaf,” kata Reza pada Ruby. Sebuah perkataan yang sama sekali tak disangka Ruby akan keluar dari mulut Reza. “Tidak apa-apa,” sahut Ruby merasa sedikit senang. “Lebih baik kalian jalan-jalan ke luar. Ajak Ruby mencari udara segar Za.” “Ibu tidak mau ikut?” tanya Reza kemudian. Dia memang sedikit penat be
“Sepertinya kamu harus mengenali Aliya lebih dalam. Kadang yang dia perlihatkan bukanlah dirinya yang sebenarnya,” kata Sean. Dia kemudian meninggalkan Vanya dan kembali masuk ke dalam kantornya. Dan ketika dia melewati tempat kerja Aliya, Sean masih merasa penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu?“Benar kan, kalau aku tidak menyukainya?” batin Sean masih sambil menatap Aliya dari kejauhan. Dia masih mencoba menyangkal apa yang dituduhkan Vanya pada dirinya sebelumnya. Kalaupun benar ia sudah terlanjur menyukai Aliya, Sean harus segera selesai dengan perasaan yang salah besar itu.Selama ini Sean hanya merasa kasihan pada Aliya. Tanpa sengaja dia mengetahui terlalu banyak tentang wanita itu dan membuatnya jadi seperti ini. Sean yang pada dasarnya adalah laki-laki yang baik dan peduli tak bisa meninggalkan Aliya sendirian. Dia selalu merasa khawatir karena tahu jika Aliya hanya memiliki dirinya sendiri di dunia ini.“Tidak Sean! Sadarlah, kamu tidak boleh menyukainya.” S
Aliya mengangkat wajahnya. Entah apa yang ia harapkan, terkadang apa yangia ucapkan berbanding balik dengan apa yang ia inginkan. Dia tak melihat Sean lagi berada di sana. Membuat dirinya sedikit kecewa.“Dia benar-benar pergi,” gumam Aliya.“Bukankah kamu yang menyuruhnya pergi?”Sebuah suara mengejutkan Aliya. Dia memutar kembali wajahnya dan melihat Sean yang duduk di depan meja yang ada di hadapannya.“Kamu? Bukannya kamu sudah pergi tadi?” tanya Aliya yang tidak menyangka ternyata Sean masih berada di sana.“Iya, seharusnya aku pergi karena kamu menyuruhku tadi. Tapi kalau aku pergi aku tidak akan tahu kalau kamu sekecewa itu jika aku meninggalkanmu.”“Dasar,” desis Aliya. Dia bersikap sewajar mungkin untuk menyembunyikan kesedihannya.“Kenapa kamu belum pulang?” tanya Sean lagi setelah yang sebelumnya belum terjawab oleh Aliya.“Aku lembur,” jawab Aliya asal.“Aku tahu kamu seharian hanya duduk. Apa yang kamu lemburkan?”“Sial!” umpat Aliya dalam hati.“Ada masalah?” Kali ini Se
“Aku tidak tahu kenapa aku bisa sampai terjebak di sini. Dan bersama dengan laki-laki seperti dia.” Aliya menoleh ke arah Sean yang menatap hujan yang hampir reda. Masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Sean tampak santai dengan hidupnya dan seperti tak memiliki beban apa-apa. Seolah apapun masalah yang terjadi masih ada alasan untuk dia tetap tersenyum.“Kamu… apa kamu tidak berniat punya pacar? Wajahmu tidak jelek, dan kamu dari keluarga kaya. Apa tidak ada wanita yang menyukaimu?” tanya Aliya tiba-tiba. Pertanyaan acak baru saja terlontar dengan begitu ringan dari bibirnya.Sean menoleh dan tertawa mendengar pertanyaan aneh itu. Sangat aneh, karena itu terucap dari mulut Aliya saat ini.“Yang menyukaiku tentu saja ada. Aku tidak mau sombong tapi memang benar-benar ada lebih dari satu. Mungkin tiga atau empat tapi semuanya tidak menarik perhatianku,” jawab Sean, dia tersenyum pahit sembari menekuri sepatu kets putihnya. Mendengar hal itu membuat Aliya tampak shock dan menutup mulut