"Eng-enggak, siapa itu Rena?" tanya Andrean tergagap.
"Oh, sepertinya aku salah dengar. Terima kasih ya, mas suami. Aku tidak menyangka akan mendapat perhatian seperti ini," ucap Airina dengan tersipu malu."Iya, sama-sama. Aku ingin kamu bisa menjaga diri agar program hamil kita berjalan lancar," ujar Andrean dengan menekan kalimat program hamil.Melody merasa tercengang!Lagi-lagi Andrean memperhatikannya hanya karena program hamil yang mereka jalani. Beberapa kali Andrean dan Melody membicarakan tentang ini, namun nihil ia tidak paham sama sekali."Iya, Mas. Jadi, kita kapan ke dokter kandungan?" todong tanya Melody."Mel, malam ini aku tidak bisa menemanimu pergi ke dokter. Aku harus menemani Nadea ke acara temannya, kamu keberatan gak berangkat ke dokter sama Baron?" jelas Andrean dengan senyum yang tidak beralih dari wajahnya yang jenjang itu."Mas, kita 'kan harus cek bersama, em maksud aku ... Bukan hanya aku yang trs keadaan rahimku, tapi kamu juga harus trs ...," ucap Melody mengelak penuturan Andrean dengan ragu.Andrean masih diam dengan mata yang menatap tajam ke arah jalanan. Ia sama sekali tidak memperhatikan Melody atau bahkan ucapannya sama sekali."Baiklah aku pergi sendiri saja dengan Baron."Pungkas Melody tanpa berpikir panjang. Mulut dan pikirannya bertolak belakang, mungkin mulutnya bisa berkata ia bisa berangkat sendiri. Akan tetapi, pikirannya nengelak ingin ditemani oleh Andrean selaku suaminya."Nah, gitu dong. Jadi aku tidak perlu pusing memikirkan kalian berdua. Oh iya, Mel, aku akan pergi ke luar kota lusa. Jadi tolong jaga dirimu baik-baik di sini," ucap Andrean tanpa ragu-ragu."Iya, Mas. Aku bisa jaga diri dan apa aku pulang saja ke rumah orang tuaku? Aku masih sungkan jika di rumahnya, Mas Andrean," pinta Melody lembut.Ketidaknyamanan Melody ada di rumah mertuanya apalagi dengan istri pertama Andrean."Jangan, kamu harus tetap di sana, agar aku bisa mengawasimu," tegur Arsen tegas."Baiklah kalau itu maumu, Mas," ucap Melody menekuk raut wajahnya."Kamu boleh berkunjung ke rumah orang tuamu, tapi kamu harus kembali ke rumahku setiap hari. Jangan asal pergi tanpa ijin!" gertak Andrean tegas.Melody hanya tertegun dengan penuh kejut dalam batinnya. Raut wajah tegas dan tubuh yang jenjang itu ternyata hanya ilusi untuk mengelabui sifat aslinya.'Sial, aku sudah terlanjur masuk dalam perangkapnya ... Lagi?' batin Melody memberontak."Mel, ayo turun!" seru Andrean keras.Sepasang mata Melody menggulir ke beberapa arah, sosok suami yang tadi duduk di sampingnya sudah hilang. Saat ia mendongakkan kepalanya ternyata sudah tiba di rumah megah milik Andrean."Ah, ya! Maaf, Mas Suami aku melamun!" seru Melody dengan melangkah ke luar mobil."Nona Melody ini kebiasaan, hati-hati nanti kesambet!" tegas Baron dengan kekehan ringan.Melody menggulirkan manik matanya pada laki-laki berperawakan cukup kekar itu."Mana ada setan yang mau merasuki aku, hahaha. Oh ya, Batin, nanti aku hubungi kamu ya," ujar Melody. Ia melenggang masuk ke dalam rumah dengan bersenandung ria.Deg!Sejengkal saja ia tidak fokus, sudah pasti tubuhnya itu menabrak Nadea. Tatapannya yang sangat sadis dan bengis. Membuat Melody hanya tersenyum lalu menundukkan pandangannya."Maaf, Nona muda. Saya pamit dulu!" pamit Melody dengan melenggang begitu saja."Tunggu!" seru Nadea keras.Tangan kanan Melody yang sengaja dicekal dengan kuat oleh Nadea. Tanpa ragu ia menarik lengan Melody agar ke duanya berdampingan."Mel, panggil saja namaku. Tidak usah memanggil nona muda, kita sama-sama istrinya Mas Andrean," ucapnya dengan ulasan senyum.Alih-alih merasa nyaman dan tenang, Melody malah terlihat kikuk di depan Nadea. Aneh! Orang yang terlihat sadis itu mengulas senyum di hadapannya?"Iya, Mbak Nadea. Saya- eh aku pamit dulu," ujar Melody dan berlari ke kamar."Mbak?"***Melody merebahkan tubuhnya di ranjang empuk kamarnya. Tangan kanannya mencubit pipinya berulang kali, memastikan ia tidak bermimpi kali ini."Aw, sakit, Mel!" gerutu Melody pada dirinya sendiri."Dia memintaku memanggilnya dengan nama? Sebentar aku mau napas!"Wanita yang masih terkejut itu beranjak dari ranjang, langkahnya malas ke arah kamar mandi. Membasuh tubuhnya dengan air yang cukup dingin."Hari ini aku harus ke dokter kandungan, sendiri?" tanya Melody pada dirinya sendiri."Ternyata setelah menikah aku sangat mandiri ya?"Beberapa kalimat tanya itu berlalu-lalang dalam pikirannya. Yang benar saja perencanaan program hamil dilakukan sendiri dan mandiri?"Jujur aku tidak siap saat ditanya dokter, suaminya mana, mbak?" pekik Melody dengan kekehan ringan. Alih-alih menertawakan pertanyaan itu, ia malah merasa malu pada dirinya sendiri."Aku harus cepat menemui Mas Andrean," ucapnya yakin.Melody melanjutkan aktivitas mandinya sampai selesai. Dengan memakai daster Manohara yang menyatu dengan tubuhnya. Ia berjalan mencari keberadaan suaminya."Mel, mau ke mana?" tanya Zahari ayah mertuanya."A-ayah mertua, hehehe. Aku mencari Mas Suami eh maksudnya Mas Andrean," jawab Melody tergagap. Ia terlihat sangat gugup dan pemalu."Dia ada di dapur," singkat, padat dan jelas.Ayah mertuanya memang terkenal dingin dan tidak banyak kata. Tanpa basa-basi ia pergi begitu saja setelah mengulas satu senyum paling tulus."Mas s-" panggilannya terhenti saat melihat Nadea di samping Andrean."Ada apa, Mel?" tanya Nadea dengan menatap tajam ke arah Melody."Emm, anu, mbak. Aku ada urusan sebentar saja dengan Mas Andrean," jawab Melody dengan ragu.Nadea hanya mengangguk, sedikit mengobrol dengan Andrean. Setelahnya lelaki itu berjalan mendekati Melody."Ada urusan apa, Mel? Apa itu sangat penting sampai kamu mencariku seperti saat ini?" sebuah tanya yang jelas menunjukkan ketidaksukaan.Melody sempat menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Jadi, begini, Mas. Aduh gimana jelasinnya!" gerutu Melody, pada dirinya sendiri yang sangat belibet saat bicara."Apa, katakan saja!" seru Andrean dengan tegas.Tangannya menarik pinggang Melody untuk menjauh dari dapur. Ke duanya kini ada di ruang belakang, manik mata Andrean masih menatap tajam ke Melody."Anu ... mas, maaf sebelumnya. Aku cuma mau bilang tentang ... Pergi ke dokter kandungan. Kalau aku sendirian pasti nanti ditanya suaminya mana?" jelas Melody dengan penuh keraguan dalam dirinya."Memangnya kenapa? Kamu tinggal menjawab suaminya sibuk, simple 'kan? Apa yang jadi masalah?" todong tanya Andrean dengan ketus.Deg!Jantung Melody seolah mencelos dan penuh kejut. Di luar perkiraan Melody dalam benaknya."Mas, maksud aku tuh ... Harusnya kamu ikut dan kita trs bersama, kalau aku pergi sendiri sama saja hanya aku yang menginginkan anak. Sedangkan-" ucapan Melody terhenti saat Andrean sudah menyela."Hust, jangan banyak basa-basi.""Mas, aku tidak basa-basi kali ini, aku serius dengan ucapanku. Perkara program hamil itu kita bukan aku saja!" pekik Melody tanpa ragu. Tapapan Andrean yang berubah, dengan bibir yang terkatup rapi tanpa celah. Manik matanya hanya fokus pada sosok Melody di hadapannya. "Batalkan saja ke dokter hari ini, besok sebelum aku ke luar kota kita ke dokter dulu. Puas?" hardik Andrean keras. Deg! Sontak Melody menatap nanar ke arah Andrean, sebuah bentakan yang melayang pada dirinya membuat ia terdiam pasi. "Kenapa diam? Katanya harus kita berdua kan?" todong tanya Andrean yang terdengar seperti sindiran. "Ya sudah, kembalilah ke kamarmu. Aku malam ini tidak akan datang, tidak perlu menunggu," ujarnya menambahkan. "Baik, Mas. Terima kasih," Melody melangkahkan kakinya ke kamar. Dengan perasaan yang cukup hancur, ia memasuki kamar dengan penuh kekesalan. Air mata yang sempat ia tahan itu luruh, membasahi pipinya yang ranum. "Jika bukan untuk ibu dan adikku, aku tidak mau menjadi seora
"Mas, hentikan! Aku tidak suka kamu seperti saat ini," gerutu Melody keras. "Apa yang tidak kamu suka, Mel? Ini atau ... Ini? Padahal malam itu kamu seperti menikmati sekali," ucap Andrean dengan tangan yang tidak bisa diam, apalagi tangan besarnya itu menjamah setiap lekuk tubuh Melody dengan asal. "Mas, aku mohon hentikan!" pekik Melody keras. Malam itu berhasil terlalui dengan tangis pecah Melody, entah apa yang dilakukan Andrean saat itu. Setiap tindakannya seolah membuat Melody merasa sakit. 'Kamu benar-benar pria gila, mas!' hardik Melody dalam batinnya. Manik matanya menggulir pada sosok pria di sampingnya, ia terlelap dengan sangat pulang. Setelah permainan malam itu selesai, entah apa yang terjadi padanya. "Aku merasa ternodai, tapi ... Ini sudah masuk dalam perjanjian itu, bagaimana aku bisa menolaknya!" gerutu Melody dengan penuh penyesalan. "Aku butuh uang, jadi aku harus melakuka. Apa pun meskipun ini menyangkut harga diriku sebagai wanita," gumam Airina lirih. "
Deg! Suara bariton dari pria di sampingnya itu terdengar memekakkan telinga. Seorang pria yang berani mengancam orang lain dengan kehilangan pekerjaannya? "Sombong sekali anak tunggal Pak Zahari ini, ayo kita pergi saja!" celetuk salah satu wanita pengunjung rumah sakit itu. "Mas, tidak perlu berlebihan seperti itu, lagian ...." Andrean tidak mendengarkan ucapan Melody, ia menggandeng tangan Melody ke receptionis. "Selamat pagi, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita cantik bernama Angel itu. Na yang cantik tertera pada sisi kanan dadanya "Aku ingin tes dan konsultasi tentang program hamil dengan dokter. Apa ada dokter yang bisa pagi ini?" Andrean mulai memasang wajah masamnya lagi, di hadapannya resepsionis itu mulai mengulas senyum tipis. "Ada, Tuan. Silakan Anda menunggu antrian terlebih dahulu," ucap ramah Angel pada Andrean. "Aku tidak bisa menunggu, tolong berikan aku pada dokter VVIP yang ada di sini. Katakan saja Andrean putra Zahari yang ingin berkonsultasi!" uj
"Hah? Mel, kamu ...?" Dasya masih menerka-nerka apa yang ia dengar. Apa telinganya yang salah atau memang Melody yang salah dengan kalimatnya? "Hahaha, serius banget, neng! Aku hanya bercanda ... Emm, tadi pagi aku mendengar orang membahas program hamil. Aku jadi penasaran itu seperti apa?" Melody terkekeh dengan ekspresi sahabatnya yang sangat lucu.Meskipun ia berbohong pada Dasya, itu sudah menjadi hal yang lebih baik. "Aku hampir serangan jantung kamu bilang bercanda?" tegur Dasya dengan raut wajah yang terlihat menyimpan emosinya mendalam. "Mel, sumpah ya! Aku gak suka kamu bercanda tentang hal seperti ini! Bayangkan saja secara tiba-tiba kamu sudah menikah dengan seseorang lalu ... Aku Sabahat karibmu ini tidak tahu?" Gadis cantik di depan Melody itus udah menggerutu tanpa henti. "Memangnya kenapa kalau aku tiba-tiba sudah dipinang oleh seorang pria? Harusnya kamu senang!" seru Melody antusias. "Apa kau gila?!" Suara Dasya yang menggelegar cempreng itu menyita perhatian ba
"Mel!" panggil Dasya. Ia mengoyak tubuh Melody dengan kuat, namun gadis itu masih sibuk dengan lamunanya yang entah ke mana. "Mel! Ayo balik ke bilik kerja," ajak Dasya dengan memaksa. Tangan kanannya sudah bersiap menarik tubuh Melody sekuat tenaga. "Apa sih, Sya!" serunya dengan ketus. "Belum balik kah kesadaranmu itu? Ati-ati loh kesambet," hardik Dasya keras. Alih-alih menanggapi Dasya, Melody kini berjalan mendahului sahabatnya. Langkahnya terburu-buru yang secara tiba-tiba terhenti. "Kita udah jam masuk 'kan?" tanya singkatnya dengan kikuk. "Udah, makanya kalau ada orang ngomong itu di denger. Ngelamun terus kaya gak ada kerjaan!" Dasya menggerutu sepanjang langkahnya ke bilik kerja. Sebagai seorang penjahit yang memiliki sifat individualis, berbeda dengan ke duanya yang selalu membutuhkan satu sama lain. "Kamu tau, Sya! Sotonya tadi keasinan seperti kisah cintamu," ledek Melody dengan berlari kebirit-birit. "Awas ya! Masih mending keasinan, dari pada kisah cintamu any
Melody terdiam mendengar pertanyaan Andrean, Tidak ada yang salah. Melody sejenak berpikir, siapa yang akan mencintainya dengan sangat dalam nantinya? Setelah tahu ia sudah pernah menikah siri dengan Andrean. "Memang benar, tapi terkadang setelah menikah perasaan seorang laki-laki itu akan berubah 'kan, Mas. Ini kata beberapa orang sih, aku tidak tahu menahu soal itu," jelas Melody dengan penuh ragu. "Lalu, apa yang membuatmu terdiam?" tanya Andrean secara tiba-tiba. "Aku bertanya-tanya siapa yang akan jatuh cinta padaku ...," ucap Melody dengan tatapan penuh kesenduan. "Oh ... Ya, nanti pasti ada, Mel." Singkat padat dan jelas, Andrean tidak merespon ucapan Melody dengan jelas. Hanya sebuah kalimat penenang. CIT! Setelah beberapa menit perjalanan dari butik ke bandara. Tibalah Melody pada bandara internasional terbesar di kota J."Wah, sangat besar ya, Mas," ucap Melody dengan mata yang takjub. Ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di bandara. "Ayo!" seru Andrean dengan me
Melody kini melipat wajahnya, harapannya langsung pupus begitu saja. Hanya senyum yang bisa ia ulas sebagai jawaban pada Andrean. "Nanti setelah pekerjaanku selesai, kita ke pantai terdekat untuk melihat senja," ucap Andrean lembut. "Mas suami serius?" Melody langsung antusias mendengar ucapan Andrean. Pria di hadapannya hanya menganggukkan kepalanya, setelah itu ia melenggang pergi. Membawa sebuah mobil itu sendiri tanpa sopir. "Mas suami, hati-hati ya!" seru Melody keras. Sepeninggalan Andrean, Melody hanya membaringkan tubuhnya di ranjang. Sampai bosan ia hanya diam tanpa ada kegiatan. "Oh ya, aku bisa memanggil Juminah untuk membuatkan makanan," gumam Melody lirih, ia berjalan meninggalkan kamar dengan riang. "Bu Jum!" serunya lirih. Sayup-sayup wanita paruh baya itu datang menemui Melody, dengan penuh semangat ia mengulas senyum. "Saya, Nona. Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Juminah lembut. "Bu Jum, biasa masak apa saja? Aku sangat lapar sekarang," keluh Melody. "N
Malam itu berakhir dengan permainan panas ke duanya, kini dekapan hangat Andrean mampu membuat Melody terlelap hingga pagi tiba. Sinar mentari yang pagi itu sudah muncul, membuat sepasang kekasih itu terbangun. "Hoaammm, aku masih sangat mengantuk," keluh Melody dengan menguap. Matanya menatap ke sampingnya, pria yang masih terlelap dengan mata yang tertutup rapat. "Mas, bangun sudah jam 8 pagi, apa hari ini kamu ada kerjaan di luar?" bisik Melody lirih hingga pria itu menggeliat. "Hm ... Aku tidak ada pekerjaan hari ini, eh ... Nanti sore aku harus menemui seseorang," jawabnya. "Mel, kamu baik-baik saja 'kan?" tanya Andrean dengan mata yang masih terpejam. "Aku baik-baik saja, Mas. Kalau mas suami gak ada agenda hari ini, bisa temani aku ke pantai ... Tetapi, kalau mas tidak berkenan aku bisa berangkat sendiri," pungkasnya. Melody menghela nafasnya gusar, tidak ada jawaban dari Andrean. Ia harus mengurungkan niatnya untuk pergi ke pantai. "Ya sudah kalau mas suami tidak mau,
"Dokter! Bagaimana keadaan menantu dan cucu saya?" seru Anjela tatkala dokter yang menangani Melody keluar dari ruangan. "Syukurlah, Nona Melody dan bayi laki-lakinya selamat. Setelah ini akan dipindahkan ke ruang rawat untuk nona Melody. Untuk bayi laki-lakinya akan dibawa ke ruangan khusus dulu, sampai kondisinya membaik," papar Dokter yang menangani itu. "Baik, lakukan yang terbaik! Terima kasih banyak." Anjela menangis dengan tersedu-sedu, Andrean yang kini masih belum siuman. Membuat dirinya sangat rapuh. "Bagaimana semua ini terjadi begitu saja," keluhnya. "Halo, Bu. Bagaimana keadaan suamiku?" dengan histeris Nadea bertanya-tanya. "Ke mana saja kamu?" pekik Anjela keras. Dengan penuh emosi ia tidak dapat menahan diri. Jika saja tidak ada perawat yang menahannya, sudah pasti Nadea tidak selamat dari serangan Anjela. "Aku baru saja bertemu temanku, Bu," elak Nadea. "Sialan ya kamu, bisa-bisanya mau meracuni menantuku!" pekiknya keras. Tidak berselang
[Nona Nadea, saya ingin bertemu.] Lasmi. Nadea terpaku menatap layar ponselnya, pesan dari Lasmi berhasil membuatnya mengulas senyum. "Akhirnya, rasakan kau, Melody!" gumamnya dengan penuh kekesalan. "Senyum-senyum sendiri, gila ya, Nad?" tanya seorang wanita di samping Nadea. "Lihat, pasti dia berhasil!" tunjuknnya. Teman Nadea hanya bisa mengulas senyum dengan memberikan tepuk tangan kecil. "Wanita kalau udah licik emang beda ya, lagian ada aja suamimu itu. Dimintai nikah siri malah mau nikahin sah," timpalnya. "Udahlah, yang penting udah berhasil sekarang. Aku duluan ya!" pamitnya. Segera Nadea meninggalkan cafe itu, melangkahkan kakinya untuk bertemu dengan Lasmi. 30 menit berlalu, langkah Nadea dengan segera menemui Lasmi di sebuah restoran. Wanita yang kini menunduk dalam membuat Nadea bertanya-tanya. Prok prok prok! "Kerja bagus, Lasmi," ucap Nadea dengan sumringah."B-Bu ... E ... Maaf," lirih dengan terbata, Lasmi semakin tidak tahu harus berkata apa."Maksudmu? Me
[Aku akan mengikuti perintah ibu, Nad.] Andrean.Pesan itu terkirim, setelahnya Andrean mengusap pelan wajah Melody yang masih terlelap. Perutnya kian membuncit, lembut ia mengulas senyum. "Sayang, bangun yuk," bisiknya. "Hm, Mas. Adek masih sangat mengantuk," keluhnya. "Iya." Andrean mengeratkan pelukannya pada Melody, membiarkan rasa nyaman itu ada untuk istrinya. Niatnya sudah cukup yakin, hanya menunggu waktu untuk meresmikan pernikahan mereka. Cup! Ke duanya kembali terlelap sejenak, hingga suara nyaring dari notifikasi Andrean membuatnya terbangun. "Halo," sapanya tanpa melihat siapa penelepon. "Halo, maaf, Tuan. Saya pembantu yang disewa ibu Anjela, kalau boleh tahu nomor berapa ya apartemennya?" dengan sopan suara wanita itu terdengar. "No 55, saya akan ke sana." Sigap Andrean keluar kamar, membukakan pintu apartemen untuk pembantu yang akan datang. 'Bukannya kemarin bukan ini ya?' batin Andrean lirih bertanya-tanya. "Selamat pagi, Tuan. Saya Lasmi," sapanya dengan
"Mas, aku takut," lirih Melody. "Kita banyak berdoa ya, jika hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kita berusaha lagi," terang Andrean lembut. Kini, keduanya turun dari mobil, memasuki rumah sakit dengan langkah pelan. Keyakinan demi keyakinan seolah sengaja ia kuatkan. Tapi, apa daya dirinya yang hanya seorang manusia biasa. "Selamat pagi, Pak, Bu," sapa dokter itu. "Baik, Dok." Setelah mengobrol beberapa hal, Melody diminta berbaring di atas brankar periksa. Beberapa waktu berlalu, benar saja Melody sedang mengandung. Rona bahagia yang tercetak jelas di wajah Andrean, "Adek, terima kasih banyak ya," bisiknya. *** Hari-hari berlalu dengan baik, kandungan Melody yang cukup lemah membuatnya hanya bisa terbaring di apartemen Andrean. "Adek, ibu datang," ucap Andrean lirih. Seraya dengan pintu yang terbuka, sosok Anjela datang dengan membawa buah. "Mel, bagaimana kabarmu sekarang, Nak?" tanyanya lembut. "Melody baik, Bu. Hanya saja lemas sekali, mungkin karena
"Ja-jalang?" desis Melody lirih. Pria yang kini berdiri di ambang pintu kamar mandi itu terdiam. Manik matanya menelisik pada wanita yang ada di hadapannya. "Mel, kenapa menangis?" tanya Andrean. Tangannya gemetar hebat, tidak hentinya matanya menatap layar ponsel yang ia genggam. "Apa sih, Mel?" Masih dengan tanya yang sama, akhirnya Andrean meraih ponsel miliknya. Alih-alih memesan makanan, ia melihat pesan Nadea. "CK!" decih Andrean keras. Kesal bukan kepalang, ingin sekali memaki Nadea saat itu juga. "Aku memang tidak pantas untuk kamu, Mas," lirih Melody. Bulir bening yang tidak berhenti mengaliri pipi Melody, membuat Andrean segera mendekapnya."Melody, lupakan pesan itu ya. Kita pesan makan saja," ucap Andrean. "Aku sudah tidak lapar, Mas. Melody tidur saja," elaknya. Segera ia meraih selimut, membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Sekilas manik matanya bertemu dengan manik mata Andrean. Tapi tidak berselang lama, ia segera memalingkan pandangan. "Aku sudah cukup m
Malam itu, Melody dan Andrean tengah sibuk mengobrol. Menunggu kedatangan Anjela. Suara dering telepon membuat Andrean segera mengangkatnya. "Halo," sapanya. "Ibu sudah di depan pintu," ucapnya. Tanpa ragu Andrean berlari menemui Anjela, senyumnya merekah dengan beberapa bingkisan di tangannya. "Ibu terjebak macet, Ndre. Capek sekali di jalan kalau macet," keluhnya. "Tidak apa, Bu. Ayo masuk," ajaknya. Anjela masuk dengan mengikuti langkah Andrean, di sana Melody sudah merasa gugup. Ia hanya bisa diam sembari menatap nanar wajah Anjela. "Mel," sapa Anjela. "Ibu, apa kabar?" tanya Melody. Senyum yang pertama kali terulas sebelum wanita paruh baya menjawab tanya Melody. "Ibu baik, senang bisa bertemu denganmu lagi, Mel," tutur Anjela. "Melody juga senang bertemu dengan ibu mertua lagi, maaf ya Bu saya gagal," ucap Melody penuh keraguan. "Tidak apa, Melody. Itu sebuah kecelakaan di luar kendali kita, tapi bolehkah saya meminta?" tanya Anjela. Andrean sempat memberikan isyar
"Maksudmu apa, Nad!" hardik Andrean keras.Amarahnya meluap tatkala ia mendengar gumaman Andrean. Lagi-lagi nama Melody yang mulai diagung-agungkan. "Kenapa nama wanita itu yang selalu kau sebut-sebut, Mas! Tidak hanya kau, tapi ibu juga ... Semenjak ada wanita itu, aku selalu dinokor dua kan!" pekik Nadea keras. Andrean hanya memijat pelipisnya lembut, begitu lelah rasanya. Tapi apa dayanya? "Nad, maafkan aku. A-aku tidak bermaksud melakukan itu, tapi ...," ia menghentikan ucapannya. "Tapi, apa? Kamu mulai mencintainya 'kan?" hardik tanya Nadea. "Nad ...," lirih Andrean memanggil istrinya itu lembut. "Udahlah, Mas. Aku muak dengan semua ini," keluh Nadea kasar. Tangannya ditarik paksa oleh Andrean, membuatnya terperanjat kaget. Ia memberontak hebat tatkala Andrean memaksa mendekapnya. Tapi apa? Ia kembali luluh atas pelukan suaminya. "Nadea, aku sangat mencintaimu. Tidak mungkin aku menduakanmu ... Perkara aku pulang terlambat lalu kamu merasa aku sudah jatuh cinta pada Me
Lily mendongakkan kepalanya penuh keraguan, ditatapnya wajah Melody dengan penuh tanya. "Gak apa-apa kalau kamu mau, Ly. Biar sekalian Mas Andrean pulang ke rumah," ucap Melody. "Loh, Mel. Aku hanya akan mengantar Lily ke sekolah dan ke sini lagi," elaknya. "Tidak, Mas. Nona Nadea lebih membutuhkan kamu, tolong ya!" pinta Melody lembut. "Ya, oke." Setelahnya, Lily dan Andrean meninggalkan rumah sakit. Menyisakan Melody sendirian, lama ia menatap nanar wajah Larasati yang terlihat memar. "Bagaimana bisa ayah sekejam itu pada ibu? Padahal dulu hubungan ke duanya juga didasari cinta," lirih Melody penuh tanya. "Mel ...," panggil Larasati. Melody terperanjat, suara Larasati membuatnya tersadar dari lamunan singkatnya. "Iya, Bu. Ada apa?" tanya Melody tergagap. "Lily di mana?" Larasati menatap sekeliling, namun tidak ia temukan anak bungsunya itu. Hanya ada Melody dan seorang perawat yang mengecek dirinya. "Lily pergi ke sekolah," jawab singkat Melody. Ia hanya mengangguk paha
"I-ibu sedang sakit, Kak," ragu Lily menjawab tanya kakak sulungnya. Matanya membelalak lebar, kenapa Larasati diam saja? "Sakit apa, Ly?" todong tanya melody keras. Tanpa menunggu jawaban, Melody melenggang masuk ke dalam rumah. Mencari keberadaan ibunya yang ternyata tidak ada di kamar. "Ly, ibu di mana?" tanya Melody keras. "Di rumah sakit, Kak. I-ibu di rawat," jawabnya. Deg! "Dirawat?" degup jantungnya mulai tidak karuan. Lily hanya mengangguk pelan, ada apa dengan keluarganya ini? Beberapa waktu lalu, Larasati meneleponnya dengan biasa saja. Seolah tidak ada yang terjadi, tapi ini? "Ly, antar kakak ke rumah sakit sekarang!" tegasnya. Gontai langkah Lily mengantar Melody, sebuah taxi yang ia pesan akhirnya tiba. Dengan perasaan penuh kecemasan, Melody hanya bisa meremas roknya. 'Sial, kenapa selalu seperti ini sih!' gerutu Melody dalam batinnya. [Mas, adek ke rumah sakit ya. Ibu sakit ternyata, nanti adek kabarin lagi.] Melody. Pesan itu terkirim pada Andrean. Sepan