"Mel!" panggil Dasya. Ia mengoyak tubuh Melody dengan kuat, namun gadis itu masih sibuk dengan lamunanya yang entah ke mana. "Mel! Ayo balik ke bilik kerja," ajak Dasya dengan memaksa. Tangan kanannya sudah bersiap menarik tubuh Melody sekuat tenaga. "Apa sih, Sya!" serunya dengan ketus. "Belum balik kah kesadaranmu itu? Ati-ati loh kesambet," hardik Dasya keras. Alih-alih menanggapi Dasya, Melody kini berjalan mendahului sahabatnya. Langkahnya terburu-buru yang secara tiba-tiba terhenti. "Kita udah jam masuk 'kan?" tanya singkatnya dengan kikuk. "Udah, makanya kalau ada orang ngomong itu di denger. Ngelamun terus kaya gak ada kerjaan!" Dasya menggerutu sepanjang langkahnya ke bilik kerja. Sebagai seorang penjahit yang memiliki sifat individualis, berbeda dengan ke duanya yang selalu membutuhkan satu sama lain. "Kamu tau, Sya! Sotonya tadi keasinan seperti kisah cintamu," ledek Melody dengan berlari kebirit-birit. "Awas ya! Masih mending keasinan, dari pada kisah cintamu any
Melody terdiam mendengar pertanyaan Andrean, Tidak ada yang salah. Melody sejenak berpikir, siapa yang akan mencintainya dengan sangat dalam nantinya? Setelah tahu ia sudah pernah menikah siri dengan Andrean. "Memang benar, tapi terkadang setelah menikah perasaan seorang laki-laki itu akan berubah 'kan, Mas. Ini kata beberapa orang sih, aku tidak tahu menahu soal itu," jelas Melody dengan penuh ragu. "Lalu, apa yang membuatmu terdiam?" tanya Andrean secara tiba-tiba. "Aku bertanya-tanya siapa yang akan jatuh cinta padaku ...," ucap Melody dengan tatapan penuh kesenduan. "Oh ... Ya, nanti pasti ada, Mel." Singkat padat dan jelas, Andrean tidak merespon ucapan Melody dengan jelas. Hanya sebuah kalimat penenang. CIT! Setelah beberapa menit perjalanan dari butik ke bandara. Tibalah Melody pada bandara internasional terbesar di kota J."Wah, sangat besar ya, Mas," ucap Melody dengan mata yang takjub. Ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di bandara. "Ayo!" seru Andrean dengan me
Melody kini melipat wajahnya, harapannya langsung pupus begitu saja. Hanya senyum yang bisa ia ulas sebagai jawaban pada Andrean. "Nanti setelah pekerjaanku selesai, kita ke pantai terdekat untuk melihat senja," ucap Andrean lembut. "Mas suami serius?" Melody langsung antusias mendengar ucapan Andrean. Pria di hadapannya hanya menganggukkan kepalanya, setelah itu ia melenggang pergi. Membawa sebuah mobil itu sendiri tanpa sopir. "Mas suami, hati-hati ya!" seru Melody keras. Sepeninggalan Andrean, Melody hanya membaringkan tubuhnya di ranjang. Sampai bosan ia hanya diam tanpa ada kegiatan. "Oh ya, aku bisa memanggil Juminah untuk membuatkan makanan," gumam Melody lirih, ia berjalan meninggalkan kamar dengan riang. "Bu Jum!" serunya lirih. Sayup-sayup wanita paruh baya itu datang menemui Melody, dengan penuh semangat ia mengulas senyum. "Saya, Nona. Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Juminah lembut. "Bu Jum, biasa masak apa saja? Aku sangat lapar sekarang," keluh Melody. "N
Malam itu berakhir dengan permainan panas ke duanya, kini dekapan hangat Andrean mampu membuat Melody terlelap hingga pagi tiba. Sinar mentari yang pagi itu sudah muncul, membuat sepasang kekasih itu terbangun. "Hoaammm, aku masih sangat mengantuk," keluh Melody dengan menguap. Matanya menatap ke sampingnya, pria yang masih terlelap dengan mata yang tertutup rapat. "Mas, bangun sudah jam 8 pagi, apa hari ini kamu ada kerjaan di luar?" bisik Melody lirih hingga pria itu menggeliat. "Hm ... Aku tidak ada pekerjaan hari ini, eh ... Nanti sore aku harus menemui seseorang," jawabnya. "Mel, kamu baik-baik saja 'kan?" tanya Andrean dengan mata yang masih terpejam. "Aku baik-baik saja, Mas. Kalau mas suami gak ada agenda hari ini, bisa temani aku ke pantai ... Tetapi, kalau mas tidak berkenan aku bisa berangkat sendiri," pungkasnya. Melody menghela nafasnya gusar, tidak ada jawaban dari Andrean. Ia harus mengurungkan niatnya untuk pergi ke pantai. "Ya sudah kalau mas suami tidak mau,
Lagi-lagi Melody dibuat melayang setinggi langit, kali ini ia tidak ingin berharap banyak pada Andrean. Setelah beberapa kali ia merasa dikecewakan. "Sudah ... Ayo kita berangkat ke pantai saja," Melody mengalihkan perhatian pria itu. Ke duanya memasuki mobil Pajero hitam yang sudah disewa Andrean. Sepanjang perjalanan Melody hanya menikmati pemandangan sekitar. "Mel," panggil lirih Andrean. Dengan menolehkan sedikit kepalanya, ia mampu melihat sosok Andrean dengan jelas. Betapa terkejutnya ia saat melihat tangan kiri Andrean menggenggam erat tangannya. "M ... Mas," pelan, suara itu memecah keheningan. "Ada apa, Mel?" Andrean sempat melirik ke arah Melody, wanita di sampingnya itu salah tingkah. "Ti-tidak apa-apa. I-ini tangan ...," Ia tidak mampu melanjutkan ucapannya. Lembut kecupan melayang pada punggung tangan Melody. Matanya membuka lebar hingga pria di hadapannya terlihat kaget. "Mel, aku pertama kali membawa wanita ke villa itu," ucapnya lirih. Deg! Ucapan Juminah b
Melody terperanjat mendengar suara Andrean, beberapa waktu lalu ia masih sibuk dengan isi kepalanya. "Aku?" beo Melody dengan menatap Andrean penuh tanya. "Kamu baik-baik saja, Mel? Beberapa kali kamu senyum-senyum sendiri, aku khawatir kamu kesambet," jelas Andrean dengan raut wajah cemas yang tercetak. "Aku baik-baik saja, Mas. Kita pulang saja yuk, sudah sangat panas seperti ini," ajaknya sekali lagi. Pria yang kini duduk di samping Melody hanya mengangguk setuju. Terik matahari di kota B memang sangat panas. Pelan langkah Melody beriringan dengan Andrean. 'Jika aku diberi kesempatan untuk lebih lama bersamamu di sini. Aku enggan pulang ke kota tempat kita lahir, Mas! Sikapmu bahkan tata cara bicaramu lebih bisa aku terima, namun, apakah kenyataannya akan seperti itu juga?' gumam Melody dalam batinnya. Selama di kota B, Melody merasa cinta Andrean hanya untuknya. Hal-hal kecil yang menunjukkan pria itu memiliki love language act of service. "Silakan masuk, Nona muda," ucap A
Andrean terdiam tanpa menjawab pertanyaan Anjela, ia hanya ingin memberikan kabar dengan gembira."Andrean, maksudmu apa menetap di sana? Aduh ..., Nak!" gerutu Anjela membuat Andrean terdiam. "Nanti ibu pasti tahu jawabannya setelah aku menjelaskan berita baik, dengarkan aku terlebih dahulu!" tegas Andrean dengan menekankan kata dengar."Baiklah, apa kabar baiknya?" tanya Anjela sudah kepalang kepo. "M ... Melody mengandung anakku, Bu," Andrean sempat tergagap karena gugup. Tidak ada respon dari ibunya di seberang, kini ingin sekali Andrean menutup telepon itu secara paksa. Namun, tidak mungkin ia mengakhiri percakapan begitu saja. "Andre, apa kamu tidak bohong kali ini? I-ini bukan hanya kalimat penenang saat ibu ingin memiliki cucu 'kan?" todong tanya Anjela dengan tegas. "Aku serius, Ibu. Mana mungkin aku berbohong tentang ini," tutur Andrean lirih. "Ayah ...!" teriakan Anjela yang memekakkan telinga Andrean. "Bu, teleponnya aku tutup ya, Melody bangun," pungkas Andrean. S
Melody terperanjat saat mendapati sebuah pesan dari Nadea. Begitu kasar dan kata yang ia ucapkan seolah doa buruk untuk dirinya. Tanpa sengaja air mata itu luruh membasahi pipinya. "Apa aku memiliki kesalahan padamu, Nona Nadea?" tanya Melody dengan menggenggam erat ponsel di tangannya. Isak tangisnya semakin menjadi saat isi pesan itu terngiang-ngiang di kepalanya. Begitu buruk penilaian Nadea pada Melody, sampai ia mengatakan kalimat itu di sebuah pesan. "Arghhh!"pekiknya seorang diri. Tok tok tok! "Nona, ada apa?" suara Juminah sayup-sayup terdengar di telinga Melody. "Jum ... Aku tidak apa-apa," jawab Melody dengan berbohong. Susah payah ia menahan tangisnya agar tidak terdengar sampai luar kamar. Hingga sebuah notifikasi telepon masuk ada pada ponselnya. "Halo, Ibu mertua," sapa Melody dengan suara sendu. "Mel, selamat ya. Ibu turut senang dengan kabar baik dari Andre, jaga dirimu baik-baik di sana. Kamu sudah makan, Mel?" ucap Anjela dengan lembut dan penuh kasih. "Sud
"Dokter! Bagaimana keadaan menantu dan cucu saya?" seru Anjela tatkala dokter yang menangani Melody keluar dari ruangan. "Syukurlah, Nona Melody dan bayi laki-lakinya selamat. Setelah ini akan dipindahkan ke ruang rawat untuk nona Melody. Untuk bayi laki-lakinya akan dibawa ke ruangan khusus dulu, sampai kondisinya membaik," papar Dokter yang menangani itu. "Baik, lakukan yang terbaik! Terima kasih banyak." Anjela menangis dengan tersedu-sedu, Andrean yang kini masih belum siuman. Membuat dirinya sangat rapuh. "Bagaimana semua ini terjadi begitu saja," keluhnya. "Halo, Bu. Bagaimana keadaan suamiku?" dengan histeris Nadea bertanya-tanya. "Ke mana saja kamu?" pekik Anjela keras. Dengan penuh emosi ia tidak dapat menahan diri. Jika saja tidak ada perawat yang menahannya, sudah pasti Nadea tidak selamat dari serangan Anjela. "Aku baru saja bertemu temanku, Bu," elak Nadea. "Sialan ya kamu, bisa-bisanya mau meracuni menantuku!" pekiknya keras. Tidak berselang
[Nona Nadea, saya ingin bertemu.] Lasmi. Nadea terpaku menatap layar ponselnya, pesan dari Lasmi berhasil membuatnya mengulas senyum. "Akhirnya, rasakan kau, Melody!" gumamnya dengan penuh kekesalan. "Senyum-senyum sendiri, gila ya, Nad?" tanya seorang wanita di samping Nadea. "Lihat, pasti dia berhasil!" tunjuknnya. Teman Nadea hanya bisa mengulas senyum dengan memberikan tepuk tangan kecil. "Wanita kalau udah licik emang beda ya, lagian ada aja suamimu itu. Dimintai nikah siri malah mau nikahin sah," timpalnya. "Udahlah, yang penting udah berhasil sekarang. Aku duluan ya!" pamitnya. Segera Nadea meninggalkan cafe itu, melangkahkan kakinya untuk bertemu dengan Lasmi. 30 menit berlalu, langkah Nadea dengan segera menemui Lasmi di sebuah restoran. Wanita yang kini menunduk dalam membuat Nadea bertanya-tanya. Prok prok prok! "Kerja bagus, Lasmi," ucap Nadea dengan sumringah."B-Bu ... E ... Maaf," lirih dengan terbata, Lasmi semakin tidak tahu harus berkata apa."Maksudmu? Me
[Aku akan mengikuti perintah ibu, Nad.] Andrean.Pesan itu terkirim, setelahnya Andrean mengusap pelan wajah Melody yang masih terlelap. Perutnya kian membuncit, lembut ia mengulas senyum. "Sayang, bangun yuk," bisiknya. "Hm, Mas. Adek masih sangat mengantuk," keluhnya. "Iya." Andrean mengeratkan pelukannya pada Melody, membiarkan rasa nyaman itu ada untuk istrinya. Niatnya sudah cukup yakin, hanya menunggu waktu untuk meresmikan pernikahan mereka. Cup! Ke duanya kembali terlelap sejenak, hingga suara nyaring dari notifikasi Andrean membuatnya terbangun. "Halo," sapanya tanpa melihat siapa penelepon. "Halo, maaf, Tuan. Saya pembantu yang disewa ibu Anjela, kalau boleh tahu nomor berapa ya apartemennya?" dengan sopan suara wanita itu terdengar. "No 55, saya akan ke sana." Sigap Andrean keluar kamar, membukakan pintu apartemen untuk pembantu yang akan datang. 'Bukannya kemarin bukan ini ya?' batin Andrean lirih bertanya-tanya. "Selamat pagi, Tuan. Saya Lasmi," sapanya dengan
"Mas, aku takut," lirih Melody. "Kita banyak berdoa ya, jika hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kita berusaha lagi," terang Andrean lembut. Kini, keduanya turun dari mobil, memasuki rumah sakit dengan langkah pelan. Keyakinan demi keyakinan seolah sengaja ia kuatkan. Tapi, apa daya dirinya yang hanya seorang manusia biasa. "Selamat pagi, Pak, Bu," sapa dokter itu. "Baik, Dok." Setelah mengobrol beberapa hal, Melody diminta berbaring di atas brankar periksa. Beberapa waktu berlalu, benar saja Melody sedang mengandung. Rona bahagia yang tercetak jelas di wajah Andrean, "Adek, terima kasih banyak ya," bisiknya. *** Hari-hari berlalu dengan baik, kandungan Melody yang cukup lemah membuatnya hanya bisa terbaring di apartemen Andrean. "Adek, ibu datang," ucap Andrean lirih. Seraya dengan pintu yang terbuka, sosok Anjela datang dengan membawa buah. "Mel, bagaimana kabarmu sekarang, Nak?" tanyanya lembut. "Melody baik, Bu. Hanya saja lemas sekali, mungkin karena
"Ja-jalang?" desis Melody lirih. Pria yang kini berdiri di ambang pintu kamar mandi itu terdiam. Manik matanya menelisik pada wanita yang ada di hadapannya. "Mel, kenapa menangis?" tanya Andrean. Tangannya gemetar hebat, tidak hentinya matanya menatap layar ponsel yang ia genggam. "Apa sih, Mel?" Masih dengan tanya yang sama, akhirnya Andrean meraih ponsel miliknya. Alih-alih memesan makanan, ia melihat pesan Nadea. "CK!" decih Andrean keras. Kesal bukan kepalang, ingin sekali memaki Nadea saat itu juga. "Aku memang tidak pantas untuk kamu, Mas," lirih Melody. Bulir bening yang tidak berhenti mengaliri pipi Melody, membuat Andrean segera mendekapnya."Melody, lupakan pesan itu ya. Kita pesan makan saja," ucap Andrean. "Aku sudah tidak lapar, Mas. Melody tidur saja," elaknya. Segera ia meraih selimut, membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Sekilas manik matanya bertemu dengan manik mata Andrean. Tapi tidak berselang lama, ia segera memalingkan pandangan. "Aku sudah cukup m
Malam itu, Melody dan Andrean tengah sibuk mengobrol. Menunggu kedatangan Anjela. Suara dering telepon membuat Andrean segera mengangkatnya. "Halo," sapanya. "Ibu sudah di depan pintu," ucapnya. Tanpa ragu Andrean berlari menemui Anjela, senyumnya merekah dengan beberapa bingkisan di tangannya. "Ibu terjebak macet, Ndre. Capek sekali di jalan kalau macet," keluhnya. "Tidak apa, Bu. Ayo masuk," ajaknya. Anjela masuk dengan mengikuti langkah Andrean, di sana Melody sudah merasa gugup. Ia hanya bisa diam sembari menatap nanar wajah Anjela. "Mel," sapa Anjela. "Ibu, apa kabar?" tanya Melody. Senyum yang pertama kali terulas sebelum wanita paruh baya menjawab tanya Melody. "Ibu baik, senang bisa bertemu denganmu lagi, Mel," tutur Anjela. "Melody juga senang bertemu dengan ibu mertua lagi, maaf ya Bu saya gagal," ucap Melody penuh keraguan. "Tidak apa, Melody. Itu sebuah kecelakaan di luar kendali kita, tapi bolehkah saya meminta?" tanya Anjela. Andrean sempat memberikan isyar
"Maksudmu apa, Nad!" hardik Andrean keras.Amarahnya meluap tatkala ia mendengar gumaman Andrean. Lagi-lagi nama Melody yang mulai diagung-agungkan. "Kenapa nama wanita itu yang selalu kau sebut-sebut, Mas! Tidak hanya kau, tapi ibu juga ... Semenjak ada wanita itu, aku selalu dinokor dua kan!" pekik Nadea keras. Andrean hanya memijat pelipisnya lembut, begitu lelah rasanya. Tapi apa dayanya? "Nad, maafkan aku. A-aku tidak bermaksud melakukan itu, tapi ...," ia menghentikan ucapannya. "Tapi, apa? Kamu mulai mencintainya 'kan?" hardik tanya Nadea. "Nad ...," lirih Andrean memanggil istrinya itu lembut. "Udahlah, Mas. Aku muak dengan semua ini," keluh Nadea kasar. Tangannya ditarik paksa oleh Andrean, membuatnya terperanjat kaget. Ia memberontak hebat tatkala Andrean memaksa mendekapnya. Tapi apa? Ia kembali luluh atas pelukan suaminya. "Nadea, aku sangat mencintaimu. Tidak mungkin aku menduakanmu ... Perkara aku pulang terlambat lalu kamu merasa aku sudah jatuh cinta pada Me
Lily mendongakkan kepalanya penuh keraguan, ditatapnya wajah Melody dengan penuh tanya. "Gak apa-apa kalau kamu mau, Ly. Biar sekalian Mas Andrean pulang ke rumah," ucap Melody. "Loh, Mel. Aku hanya akan mengantar Lily ke sekolah dan ke sini lagi," elaknya. "Tidak, Mas. Nona Nadea lebih membutuhkan kamu, tolong ya!" pinta Melody lembut. "Ya, oke." Setelahnya, Lily dan Andrean meninggalkan rumah sakit. Menyisakan Melody sendirian, lama ia menatap nanar wajah Larasati yang terlihat memar. "Bagaimana bisa ayah sekejam itu pada ibu? Padahal dulu hubungan ke duanya juga didasari cinta," lirih Melody penuh tanya. "Mel ...," panggil Larasati. Melody terperanjat, suara Larasati membuatnya tersadar dari lamunan singkatnya. "Iya, Bu. Ada apa?" tanya Melody tergagap. "Lily di mana?" Larasati menatap sekeliling, namun tidak ia temukan anak bungsunya itu. Hanya ada Melody dan seorang perawat yang mengecek dirinya. "Lily pergi ke sekolah," jawab singkat Melody. Ia hanya mengangguk paha
"I-ibu sedang sakit, Kak," ragu Lily menjawab tanya kakak sulungnya. Matanya membelalak lebar, kenapa Larasati diam saja? "Sakit apa, Ly?" todong tanya melody keras. Tanpa menunggu jawaban, Melody melenggang masuk ke dalam rumah. Mencari keberadaan ibunya yang ternyata tidak ada di kamar. "Ly, ibu di mana?" tanya Melody keras. "Di rumah sakit, Kak. I-ibu di rawat," jawabnya. Deg! "Dirawat?" degup jantungnya mulai tidak karuan. Lily hanya mengangguk pelan, ada apa dengan keluarganya ini? Beberapa waktu lalu, Larasati meneleponnya dengan biasa saja. Seolah tidak ada yang terjadi, tapi ini? "Ly, antar kakak ke rumah sakit sekarang!" tegasnya. Gontai langkah Lily mengantar Melody, sebuah taxi yang ia pesan akhirnya tiba. Dengan perasaan penuh kecemasan, Melody hanya bisa meremas roknya. 'Sial, kenapa selalu seperti ini sih!' gerutu Melody dalam batinnya. [Mas, adek ke rumah sakit ya. Ibu sakit ternyata, nanti adek kabarin lagi.] Melody. Pesan itu terkirim pada Andrean. Sepan