Akibat Ami yang mengamuk di rumahku pagi-pagi, sekarang aku harus terlibat sidang keluarga yang sama sekali tidak penting.
Wanita itu memang tidak tahu malu, menjadi sahabatnya bertahun-tahun. Bagaimana bisa aku sampai tidak mengenalinya.
"Ada apa Ami? Kenapa kamu mengamuk di rumah Hayati?" ibu mertuaku bertanya.
Ami diam, tidak menjawab.
"Hayati, jelaskan pada kami duduk perkaranya. Kalian berdua sama-sama istri mendiang putraku, Farhan. Seharusnya kalian sibuk mendoakan suami yang baru dua hari berpulang." Ibu menatapku tajam. Seolah ini adalah salahku.
"Sebaiknya, Ibu tanyakan saja pada Aminah. Apa maksudnya datang pagi-pagi, dan mengatakan bahwa akulah penyebab kematian Mas Farhan," kataku.
"Memang benar, kan. Yang ada di sini juga tahu. Kalau kamu yang nyumpahin Mas Farhan hari itu!" seru Ami.
"Diam, Aminah!" Ibu membentak Ami, sukses membuat wanita itu mengkerut.
"Hayati, kamu adalah istri pertama Farhan. Seharusnya kamu bisa lebih mengerti perasaan Aminah. Bukanya malah meladeni dia. Kamu tahu, kan. Dia itu sedang berkabung. Baru seumur jagung pernikahannya, ia sudah menjanda." Ibu menyalahkanku, posisiku di sidang ini memang tidak aman.
Tidak ada satu orang pun yang mendukungku. Ibu jelas lebih mencintai Ami, apalagi dari rumor yang kudengar. Ami mengaku mengandung anak laki-laki. Entah darimana dia tahu, hamil juga baru tiga bulan.
Bu Indah tentu saja membela Ami, secara dia itu ibunya. Sedangkan Paman Atong juga tentu membela Ami, ia mencari nafkah di peternakan milik Ami.
Sedangkan ayah mertua yang sedang stroke tidak akan bisa melakukan apa-apa. Berjalan saja, dia harus di dorong pakai kursi roda.
Jika melawan aku jelas kalah, tidak melawan berarti direndahkan. Aku memilih diam, setidaknya sampai kesabaranku di ambang batas.
"Hayati, kamu dengar yang Ibu katakan?"
"Iya, Bu. Tapi sebaiknya Ibu juga menasihati mantu Ibu itu, supaya menjaga mulutnya. Lagipula dia juga perlu tahu, merampas milik orang lain tidak akan membuatnya bahagia. Kematian Mas Farhan adalah buktinya," ucapku membuat semua orang menatap garang ke arahku. Biarkan saja, aku hanya sedang mengatakan kebenaran.
"Apa maksudmu, Hayati? Apa ini artinya kamu senang dengan kematian Farhan?" Ibu naik pitam.
"Tentu saja tidak, Bu. Aku tidak harus menunjukkan air mataku di depan umum, hanya agar diakui bahwa aku sedang sedih. Aku juga tidak perlu mengamuk di rumah Ami, karena itu hanya akan menunjukkan mental yang lemah. Orang justru bakal mengira, selama hidup Mas Farhan tidak becus mendidik sang istri," ucapku sambil melirik Aminah.
Wajah Aminah memerah. Dia bangkit meninggalkan kami semua. Ibu mertuaku menatapku tajam.
"Hayati! Sudah Ibu bilang untuk tidak membuatnya marah."
"Memangnya kenapa, Bu? Aku hanya bicara kenyataan."
"Dia sedang berkabung. Apa kamu tidak mengerti juga?"
"Hahaha. Apa di mata Ibu, hanya Aminah seorang menantu Ibu? Ingat Bu, aku masih istri Mas Farhan. Aku juga berkabung, bukan hanya dia. Pernikahanku dengan Mas Farhan juga belum genap dua tahun. Aku juga menjanda, putriku yatim. Kami juga sama terlukanya, Bu."
"Cukup Hayati, cukup!" teriak Ibu.
"Kenapa, Bu? Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku bahkan kehilangan Mas Farhan dua kali. Pertama saat dia menikah lagi. Dia menikah saat aku sedang sekarat di rumah sakit. Bukannya peduli padaku, ia malah asik meneguk madu Pernikahan, dengan sahabatku sendiri."
"Hayati, cukup. Farhan baru meninggal, kenapa kamu malah sibuk membicarakan keburukannya?"
"Kenapa, Bu? Kenapa! Ibu hanya peduli pada Aminah. Tidak denganku, harusnya aku menggugat cerai Mas Farhan jauh sebelum hari ini."
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipiku.
Bukan dari ibu, melainkan pamanku. Aku tidak terkejut.
"Cukup Hayati!
"Paman," ucapku lirih sambil mengusap wajahku.
Rasa perih di sudut bibirku, bibirku berdarah.
'Darah.' batinku.
"Kalian akan membalas untuk semua penghinaan ini," ucapku meninggalkan rumah mertuaku.
Aku berjalan menjauh dari rumah itu. Tidak kuhiraukan ibu yang masih memanggilku. Terus melangkah menjauh, tidak ada tempat lagi untukku di rumah itu.
Kakiku terus melangkah, tidak tentu arah. Namun yang pasti, aku tidak menuju rumah.
Entah apa yang membuatku datang ke tempat ini. Tepat di ambang gapura pemakaman umum aku berdiri mematung.
Mataku berembun, langkah gontaiku berjalan masuk. Menelusuri jalanan paving menuju pemakaman. Wangi Kamboja, mawar, dan melati langsung menyambut indera penciumanku.
Kakiku berhenti tepat di samping pusara Mas Farhan. Tanah makamnya masih basah, bunga yang ditaburkan di atasnya juga belum mengering.
Kuamati gundukan tanah pemakaman ini dengan tatapan kosong.
Rasanya aku masih tidak percaya, bahwa di dalam sana Mas Farhan sedang terbujur kaku.
Hatiku belum terima, bahwa dia pergi secepat ini.
***
Next?
***
Bulir hangat meluncur begitu saja, menetes di atas pusara Mas Farhan."Mas Farhan, apa kabar? Maaf aku baru berkunjung hari ini. Kamu pergi terlalu cepat, dengan cara yang tidak pernah aku duga." Aku menghela napas berat."Mas, selama ini aku tahu Mas bukanlah seorang pemabuk. Lalu kenapa, setelah menikah dengan Ami, kamu berubah drastis. Bukankah pernikahan itu adalah keinginanmu. Bukankah harusnya kamu bahagia, tapi kenapa yang terlihat kamu justru tertekan?" Kuusap air mata yang mengalir."Sejujurnya, luka penghianattanmu masih belum kering. Tapi bagaimana pun, aku masih istri sah mu. Aku berhak bersedih atas kematianmu. Bagaimana nasib putri kita, Aliya?"Aku terisak di samping pusara Mas Farhan. Sejak pernikahannya dengan Ami, ia berubah menjadi orang asing.Ingatanku berputar pada saat aku terbangun di rumah sakit.Setelah mengam
"Bayu?"Aku segera melepaskan tubuhku dari rengkuhannya. Tadi aku hampir terjatuh saat menabraknya, kemudian dia menangkapku."Maaf," ucapku menunduk."Tidak apa-apa," jawabnya dingin, sedingin es di kutub utara."Bayu, apa yang kamu lakukan di sini," tanyaku memenuhi rasa penasaran yang mendesak."Kenapa?" Ia justru bertanya padaku."Aku hanya bertanya, kenapa Kamu ada di sini? Bukankah di keluargamu, ada makam khusus?""Ini tempat umum, aku tidak perlu ijinmu untuk datang ke sini."Mulutku sempat menganga, kemudian cepat-cepat aku mengatupkannya. Rasa sedih yang aku rasakan mendadak hilang, berganti dengan rasa kesal yang mencokol di dalam dada.Aku meninggalkan Bayu, dia juga tidak peduli jika aku masih di sana atau tidak.'Apa yang
Madu tetaplah madu. Hanya beberapa orang beruntung yang bisa menjalin hubungan baik dengan madunya.Ami sudah memasang tatapan garang saat aku datang. Aku mencoba menghindarinya, tidak enak jika kami sampai ribut lagi. Begitu pikirku.Dari pertama kali aku menginjak tempat ini, sampai sekarang aku akan meninggalkannya aku menjaga jarak dari Ami.Aku harap itu bisa sedikit meredam amarahnya, ternyata aku salah. Saat semua tamu sudah pulang, ia mulai meneriakiku."Jal*ng! Kenapa kamu masih berani datang ke sini?" Teriaknya dari tempat ia duduk.Aku tidak merespon."Ati, sini kamu!" Lagi dan lagi ia berteriak.Aku tak acuh, dan tidak mendatanginya. Merasa terus diawasi Ami, aku memilih berpamitan pulang pada Ibu mertuaku."Bu, Ati pulang dulu ya.""Lo, kenapa
Pagi-pagi sekali, saat matahari belum keluar dari peraduan. Aku meninggalkan tempat ini dengan menaiki taksi online.Supir membantuku menaikkan beberapa barang yang aku bawa. Tidak banyak, hanya dua tas pakaian dan beberapa perlengkapan bayi, serta buku tabungan dan surat-surat penting yang aku punya.Aku pergi tanpa memberitahu siapapun. Apalagi aku adalah yatim piatu, jadi memang tidak ada alasan untuk berpamitan. Termasuk pada mertuaku, mereka seolah tidak menganggap aku sebagai menantunya semenjak Mas Farhan menikah dengan Ami.Ibu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Ami. Menjenguk Aliya pun tidak pernah. Ia hanya sesekali mengundangku datang setiap ada acara selamatan untuk Mas Farhan. Itupun aku hanya akan menjadi pajangan di sana.Taksi membawaku ke arah timur, untuk sesaat aku teringat pada Mas Farhan saat mobil yang aku tumpangi melewati pemakaman tempat peristira
Aku mengusap air mata perlahan. Mobil terus membawaku ke arah matahari terbit. Meninggalkan tempat pemakaman Mas Farhan. Terus melaju membelah jalanan yang berembun.Ada sesuatu yang terasa jatuh dari dalam hatiku. Seperti beban yang luruh bersamaan saat mobil sudah melewati perbatasan desa.Taksi berhenti di sebuah pom bensin, kemudian kembali melaju ke arah timur. Lalu berbelok ke selatan, ke sebuah gang kecil yang hanya cukup untuk satu mobil. Itulah sebabnya supir sempat berhenti cukup lama di ujung gang. Menunggu mobil yang di sana keluar.Aku menghembuskan napas lega ketika mobil berhenti di sebuah hunian mungil yang aku beli beberapa tempo lalu."Benar di sini rumahnya, Mbak?" tanya pak supir.Aku hanya mengangguk. Kemudian mulai turun dari mobil.Aku langsung membuka rumah. Supir taksi yang menurunkan barang
Kabar duka datang dari rumah maduku. Sudah satu bulan, suamiku yang juga suaminya tidak pulang dan memilih tinggal di kediaman istri keduanya. Kini pulang-pulang tinggallah nama."Mpok! Mpok!" Teriak Mak Sumi, tetanggaku sebelah rumah."Ada apa Mak, teriak-teriak begitu. Masih pagi ini," jawabku sedikit kesal. Takut kalau suaranya sampai membangunkan Aliya.Aku sedang menjemur pakaian yang baru saja kucuci. Jika Aliya sampai bangun, maka pekerjaan ini akan tertunda entah sampai kapan."Maaf, maaf. Tapi ini urgent Mpok! Urgent! Penting banget!" Tambahnya tak kalah heboh."Iye iye. Ada apa Mak, memangnya ada yang lebih penting dari rejeki nomplok?" Aku bergurau."Ya jelas ada. Banyak yang lebih penting dari sekedar duit," ucap Mak Sumi. Lagaknya ia mulai akan berceramah. Aku segera mencegah dengan menanyakan tujuannya heboh pagi-
Haruskah aku memaafkannya? Sedangkan luka yang ia torehkan sampai sekarang masih menganga.Dia sudah berpulang, aku tahu. Tapi bisakah itu menjadi alasan?Bukankah itu memang pantas untuknya, bahkan kematiannya tidak cukup untuk membayar luka dan penghinaan yang aku tanggung.Harusnya aku bahagia mendengar kabar ini, tapi kenapa aku justru seperti ini. Aku terluka, benarkah aku masih mencintainya? Pria yang telah tega mengkhianatiku dengan sahabatku sendiri.Tidak! Aku tidak mau memaafkannya.***Ingatanku berputar pada kejadian satu setengah bulan yang lalu.Aku terbangun di atas ranjang rumah sakit, tubuhku dipasangi banyak sekali selang. Sakit, itulah satu hal yang aku ingat.Luka operasi caesar masih terasa. Di ruangan ini aku sendirian. Tidak ada siapapun, di mana suamiku?S
Dari jauh aku melihat janur kuning yang melambai-lambai di depan rumah Mas Farhan. Lengkap dengan sound sistem yang berbunyi keras.Siapa yang menikah? Setahuku hanya Mas Farhan dan Abi anak dari mertuaku. Mas Farhan sudah menikah denganku, sedang Abi masih mondok di pesantren.Hatiku mulai dilanda was-was.Rasa khawatirku terjawab saat kulihat Mas Farhan duduk di atas pelaminan. Wajahku seperti sedang ditampar sangat keras.Wajahku semakin memanas saat melihat siapa wanita yang duduk di samping Mas Farhan, Aminah. Sahabatku sejak kecil? Astaga. Cobaan apa ini.Rasa marah menguasaiku.Tak kupedulikan rasa nyeri di perut dan pangkal kakiku. Tidak dihiraukan juga teriakan suster yang menemaniku."Mas, Farhan!" Suaraku menggelegar. Mengalahkan musik keroncongan yang dijadikan hiburan.
Aku mengusap air mata perlahan. Mobil terus membawaku ke arah matahari terbit. Meninggalkan tempat pemakaman Mas Farhan. Terus melaju membelah jalanan yang berembun.Ada sesuatu yang terasa jatuh dari dalam hatiku. Seperti beban yang luruh bersamaan saat mobil sudah melewati perbatasan desa.Taksi berhenti di sebuah pom bensin, kemudian kembali melaju ke arah timur. Lalu berbelok ke selatan, ke sebuah gang kecil yang hanya cukup untuk satu mobil. Itulah sebabnya supir sempat berhenti cukup lama di ujung gang. Menunggu mobil yang di sana keluar.Aku menghembuskan napas lega ketika mobil berhenti di sebuah hunian mungil yang aku beli beberapa tempo lalu."Benar di sini rumahnya, Mbak?" tanya pak supir.Aku hanya mengangguk. Kemudian mulai turun dari mobil.Aku langsung membuka rumah. Supir taksi yang menurunkan barang
Pagi-pagi sekali, saat matahari belum keluar dari peraduan. Aku meninggalkan tempat ini dengan menaiki taksi online.Supir membantuku menaikkan beberapa barang yang aku bawa. Tidak banyak, hanya dua tas pakaian dan beberapa perlengkapan bayi, serta buku tabungan dan surat-surat penting yang aku punya.Aku pergi tanpa memberitahu siapapun. Apalagi aku adalah yatim piatu, jadi memang tidak ada alasan untuk berpamitan. Termasuk pada mertuaku, mereka seolah tidak menganggap aku sebagai menantunya semenjak Mas Farhan menikah dengan Ami.Ibu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Ami. Menjenguk Aliya pun tidak pernah. Ia hanya sesekali mengundangku datang setiap ada acara selamatan untuk Mas Farhan. Itupun aku hanya akan menjadi pajangan di sana.Taksi membawaku ke arah timur, untuk sesaat aku teringat pada Mas Farhan saat mobil yang aku tumpangi melewati pemakaman tempat peristira
Madu tetaplah madu. Hanya beberapa orang beruntung yang bisa menjalin hubungan baik dengan madunya.Ami sudah memasang tatapan garang saat aku datang. Aku mencoba menghindarinya, tidak enak jika kami sampai ribut lagi. Begitu pikirku.Dari pertama kali aku menginjak tempat ini, sampai sekarang aku akan meninggalkannya aku menjaga jarak dari Ami.Aku harap itu bisa sedikit meredam amarahnya, ternyata aku salah. Saat semua tamu sudah pulang, ia mulai meneriakiku."Jal*ng! Kenapa kamu masih berani datang ke sini?" Teriaknya dari tempat ia duduk.Aku tidak merespon."Ati, sini kamu!" Lagi dan lagi ia berteriak.Aku tak acuh, dan tidak mendatanginya. Merasa terus diawasi Ami, aku memilih berpamitan pulang pada Ibu mertuaku."Bu, Ati pulang dulu ya.""Lo, kenapa
"Bayu?"Aku segera melepaskan tubuhku dari rengkuhannya. Tadi aku hampir terjatuh saat menabraknya, kemudian dia menangkapku."Maaf," ucapku menunduk."Tidak apa-apa," jawabnya dingin, sedingin es di kutub utara."Bayu, apa yang kamu lakukan di sini," tanyaku memenuhi rasa penasaran yang mendesak."Kenapa?" Ia justru bertanya padaku."Aku hanya bertanya, kenapa Kamu ada di sini? Bukankah di keluargamu, ada makam khusus?""Ini tempat umum, aku tidak perlu ijinmu untuk datang ke sini."Mulutku sempat menganga, kemudian cepat-cepat aku mengatupkannya. Rasa sedih yang aku rasakan mendadak hilang, berganti dengan rasa kesal yang mencokol di dalam dada.Aku meninggalkan Bayu, dia juga tidak peduli jika aku masih di sana atau tidak.'Apa yang
Bulir hangat meluncur begitu saja, menetes di atas pusara Mas Farhan."Mas Farhan, apa kabar? Maaf aku baru berkunjung hari ini. Kamu pergi terlalu cepat, dengan cara yang tidak pernah aku duga." Aku menghela napas berat."Mas, selama ini aku tahu Mas bukanlah seorang pemabuk. Lalu kenapa, setelah menikah dengan Ami, kamu berubah drastis. Bukankah pernikahan itu adalah keinginanmu. Bukankah harusnya kamu bahagia, tapi kenapa yang terlihat kamu justru tertekan?" Kuusap air mata yang mengalir."Sejujurnya, luka penghianattanmu masih belum kering. Tapi bagaimana pun, aku masih istri sah mu. Aku berhak bersedih atas kematianmu. Bagaimana nasib putri kita, Aliya?"Aku terisak di samping pusara Mas Farhan. Sejak pernikahannya dengan Ami, ia berubah menjadi orang asing.Ingatanku berputar pada saat aku terbangun di rumah sakit.Setelah mengam
Akibat Ami yang mengamuk di rumahku pagi-pagi, sekarang aku harus terlibat sidang keluarga yang sama sekali tidak penting.Wanita itu memang tidak tahu malu, menjadi sahabatnya bertahun-tahun. Bagaimana bisa aku sampai tidak mengenalinya."Ada apa Ami? Kenapa kamu mengamuk di rumah Hayati?" ibu mertuaku bertanya.Ami diam, tidak menjawab."Hayati, jelaskan pada kami duduk perkaranya. Kalian berdua sama-sama istri mendiang putraku, Farhan. Seharusnya kalian sibuk mendoakan suami yang baru dua hari berpulang." Ibu menatapku tajam. Seolah ini adalah salahku."Sebaiknya, Ibu tanyakan saja pada Aminah. Apa maksudnya datang pagi-pagi, dan mengatakan bahwa akulah penyebab kematian Mas Farhan," kataku."Memang benar, kan. Yang ada di sini juga tahu. Kalau kamu yang nyumpahin Mas Farhan hari itu!" seru Ami."Diam, Ami
Terlepas apapun yang orang-orang katakan, aku tetap berduka. Karena sekuat apapun aku menolak, Mas Farhan tetaplah suamiku.Seberapa kuat aku menyembunyikan luka ini, aku tetap mencintainya. Statusku juga masih istri sahnya. Apakah mereka pikir aku bahagia.Tidak! Bagaimana mungkin aku bisa bahagia menyandang status janda. Bagaimana aku bahagia saat Aliya, putri sulungku, dan putri satu-satunya menjadi seorang anak yatim.Ada luka yang aku coba sembunyikan. Sakit yang tidak akan pernah orang lain mengerti. Sesuatu yang tidak akan di pahami oleh orang selain diriku sendiri.Hari ini, sepulang dari pemakaman Mas Farhan aku langsung pulang. Aliya adalah alasanku pada ibu mertuaku. Tapi sebenarnya, ada hal yang mulai bergejolak di dalam hatiku.Di sudut kamar ini, aku terisak memeluk diriku sendiri. Sadar atau tidak, aku sudah kehilangan Mas Farhan jauh sebelum hari ini.&
Hatiku terluka, namun aku masih datang. Lukaku masih bertahta, tapi aku siap untuk bersua. Tidakkah aku pantas disebut sebagai wanita yang kuat?Aku tidak ingin menangis, tapi akhirnya aku kalah juga. Air mataku berlinang saat berjalan ke rumah Mas Farhan.Aku sedih, bukan karena kepergiannya. Melainkan dipaksa ingat kejahatannya, saat orang-orang ramai menyebut namanya.Di jalan aku bertemu beberapa ibu muda yang habis melayat dari rumah Ami."Hei, Hayati. Tidak usah murung begitu wajahnya. Si Farhan itu mati, kan juga karena doa-doamu," seloroh Erni, dia memang orang paling julid di kampung ini. Aku tidak menanggapi, karena itu hanya akan membuatnya merasa senang."Lah, diem aja tuh Si Ati. Kaga inget dia sama ucapan sendiri. Bener nggak teman-teman." Erni melempar ucapannya pada teman-temannya. Meminta temannya ikut menimpali."Iya bener.
Dari jauh aku melihat janur kuning yang melambai-lambai di depan rumah Mas Farhan. Lengkap dengan sound sistem yang berbunyi keras.Siapa yang menikah? Setahuku hanya Mas Farhan dan Abi anak dari mertuaku. Mas Farhan sudah menikah denganku, sedang Abi masih mondok di pesantren.Hatiku mulai dilanda was-was.Rasa khawatirku terjawab saat kulihat Mas Farhan duduk di atas pelaminan. Wajahku seperti sedang ditampar sangat keras.Wajahku semakin memanas saat melihat siapa wanita yang duduk di samping Mas Farhan, Aminah. Sahabatku sejak kecil? Astaga. Cobaan apa ini.Rasa marah menguasaiku.Tak kupedulikan rasa nyeri di perut dan pangkal kakiku. Tidak dihiraukan juga teriakan suster yang menemaniku."Mas, Farhan!" Suaraku menggelegar. Mengalahkan musik keroncongan yang dijadikan hiburan.