Share

Aku Juga Berduka

Penulis: Arzaderya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Terlepas apapun yang orang-orang katakan, aku tetap berduka. Karena sekuat apapun aku menolak, Mas Farhan tetaplah suamiku.

Seberapa kuat aku menyembunyikan luka ini, aku tetap mencintainya. Statusku juga masih istri sahnya. Apakah mereka pikir aku bahagia.

Tidak! Bagaimana mungkin aku bisa bahagia menyandang status janda. Bagaimana aku bahagia saat Aliya, putri sulungku, dan putri satu-satunya menjadi seorang anak yatim. 

Ada luka yang aku coba sembunyikan. Sakit yang tidak akan pernah orang lain mengerti. Sesuatu yang tidak akan di pahami oleh orang selain diriku sendiri.

Hari ini, sepulang dari pemakaman Mas Farhan aku langsung pulang. Aliya adalah alasanku pada ibu mertuaku. Tapi sebenarnya, ada hal yang mulai bergejolak di dalam hatiku. 

Di sudut kamar ini, aku terisak memeluk diriku sendiri. Sadar atau tidak, aku sudah kehilangan Mas Farhan jauh sebelum hari ini. 

Mas Farhan telah meninggalkanku sejak dia memutuskan untuk tidur bersama Ami.

***

Tok tok tok.

Aku berjalan ke depan, siapa yang bertamu sepagi ini. 

Kuintip dari jendela, melihat Mak Sumi yang datang. Aku pun membuka pintu. 

"Masuk, Mak," ucapku, membuka pintu lebih lebar. Mak Sumi pun Masuk. 

"Ada apa, Mak datang pagi-pagi," tanyaku. 

"Tidak ada apa-apa Mpok. Ini, cuma mau antar bubur merah saja. Kamu kenapa lemas begitu?" Mak Sumi selalu tahu perasaanku. 

"Tidak ada apa-apa, Mak." Aku berbohong. 

"Sini, cerita sama Mak. Jangan dipendam sendiri. Nggak baik buat kesehatan kamu, Mpok," Mak Sumi membujukku.

"Tidak, Mak. Aku baik-baik saja."

"Apa gara-gara di tuduh orang-orang, kalau kamu penyebab Si Farhan meninggal?"

Jleb.

Perkataan Mak Sumi benar sekali. Tapi aku enggan mengiyakan. 

"Tidak Mak. Aku baik-baik saja. Aku hanya masih mengantuk, hehehe."

"Oalah, Mpok! Mpok! Ya udah. Kalau gitu pulang dulu ya. Jangan lupa, nanti di makan buburnya." Mak Sumi akhirnya pulang. 

Aku kembali ke belakang untuk membereskan pekerjaan rumah.

***

Dor dor dor.

Berisik pintu rumahku di gedor-gedor. Emosi aku membuka pintu, karena Aliya hampir saja bangun karena suara itu. 

"Ami?" Aku terkejut melihat Ami berdiri di depan pintu.

"Heh, Ati! Semua ini gara-gara kamu! Aku jadi janda karena doa-doamu! Keterlaluan!" Sumpah serapah keluar dari mulutnya. 

"Apa maksudmu? Pelankan suaramu, Aliya sedang tidur," tegasku. 

"Alah, semua orang juga sudah tahu. Kalau kamu tidak pernah mau terima Pernikahanku sama Mas Farhan. Itulah sebabnya kamu doain dia mati, tepat di hari pernikahan kami!" 

"Lalu?"

"Lalu? Kamu nggak sadar, Mas Farhan mati itu karena kamu!"

"Aku? Hahaha. Ami Ami, sudah satu bulan Mas Farhan tidak pulang ke sini. Jadi kalaupun ada yang harus disalahkan itu, ya kamu!" Aku mulai terpancing kata-katanya. Dia sama sekali tidak sadar di mana posisinya sebagai istri kedua. 

"Dasar murah*n! Wanita jal@ng! Benar-benar nggak tahu diri ya kamu!" Ami hampir saja menamparku, untung segera kutangkis. 

"Kamu nggak punya kaca? Yang pelakor itu, kamu! Bayi yang kamu kandung itu, entah itu anak siapa. Nikah juga baru satu bulan, eh, perut sudah ngebuncit aja." Aku mulai kesal dengan tingkah Ami. Ngapain juga, dia datang ke sini hanya untuk memaki diriku saja. Mempermalukan diri sendiri. 

Warga mulai berbondong-bondong datang ke rumahku. Semua itu karena suara Ami yang sangat keras. Kelelawar pun bisa bangun kalau mendengar suaranya. 

Ami terlihat kesal, dia mau menamparku lagi dengan tangan satunya. Aku masih dengan sigap menangkis. Kini dua tangannya ada dalam genggamanku. 

"Ya Allah, ada apa ini, Mpok Ati. Kenapa madumu ini udah ngamuk pagi-pagi." tanya Bu Ida. Salah satu tetanggaku. 

"Entahlah, Bu. Enggak waras dia, nuduh aku penyebab Mas Farhan meninggal. Nyalahin aku karena dia jadi janda. Memangnya dia saja yang jadi janda!" timpalku kesal. 

Ami semakin mempelototkan matanya. 

"Kurang ajar kamu Ati!" 

"Oeeek oeek oeek!" 

Aliya bangun, semua ini gara-gara Ami. 

"Oeek oeek oeek!" 

Kesal, kudorong tubuh Ami ke luar. Kututup pintu dan menguncinya. Aku tidak mau, wanita yang telah merebut suamiku itu masuk dan mengganggu tidur Aliyaku. 

Dor dor dor! 

Pintu kembali digedor. Aku tidak peduli. 

"Keluar kamu Hayati! Jangan jadi pengecut! Keluar kamu!"

"Hayati!" 

Ami masih tidak berhenti mengumpat di luar. Kubiarkan saja, buang-buang tenaga.

"Oeek oeek oeek!" 

Aku berlari tergopoh-gopoh menuju kamar, tangis Aliya semakin keras. Belum genap dua bulan ia lahir di dunia. Ia harus melihat ibunya menderita. 

Pertama karena aku yang di tinggal nikah lagi, kemudian ditinggal mati. Tidak cukup itu, aku masih dianggap sebagai penyebab kematian Mas Farhan. 

Sakit hatiku. Mereka yang jahat, tapi kenapa aku yang dituduh penjahat. Ini sangat tidak adil. 

Segera kugendong Aliya. Ternyata dia mengompol, kuletakkan kembali di atas kasur, kemudian mengganti popoknya. 

'Aliya sayang, hidup ini tidak adil, Nak. Kelak jika kamu dewasa. Ibu harap kamu tidak bernasib sama seperti Ibu. Kamu harus bahagia, anakku.' ucapku dalam hati.

Kuciumi wajah putriku, kemudian menidurkannya di ayunan. 

***

Next?

Bab terkait

  • Rahasia di Rumah Maduku   Sidang Keluarga

    Akibat Ami yang mengamuk di rumahku pagi-pagi, sekarang aku harus terlibat sidang keluarga yang sama sekali tidak penting.Wanita itu memang tidak tahu malu, menjadi sahabatnya bertahun-tahun. Bagaimana bisa aku sampai tidak mengenalinya."Ada apa Ami? Kenapa kamu mengamuk di rumah Hayati?" ibu mertuaku bertanya.Ami diam, tidak menjawab."Hayati, jelaskan pada kami duduk perkaranya. Kalian berdua sama-sama istri mendiang putraku, Farhan. Seharusnya kalian sibuk mendoakan suami yang baru dua hari berpulang." Ibu menatapku tajam. Seolah ini adalah salahku."Sebaiknya, Ibu tanyakan saja pada Aminah. Apa maksudnya datang pagi-pagi, dan mengatakan bahwa akulah penyebab kematian Mas Farhan," kataku."Memang benar, kan. Yang ada di sini juga tahu. Kalau kamu yang nyumpahin Mas Farhan hari itu!" seru Ami."Diam, Ami

  • Rahasia di Rumah Maduku   Sebuah Kebetulan?

    Bulir hangat meluncur begitu saja, menetes di atas pusara Mas Farhan."Mas Farhan, apa kabar? Maaf aku baru berkunjung hari ini. Kamu pergi terlalu cepat, dengan cara yang tidak pernah aku duga." Aku menghela napas berat."Mas, selama ini aku tahu Mas bukanlah seorang pemabuk. Lalu kenapa, setelah menikah dengan Ami, kamu berubah drastis. Bukankah pernikahan itu adalah keinginanmu. Bukankah harusnya kamu bahagia, tapi kenapa yang terlihat kamu justru tertekan?" Kuusap air mata yang mengalir."Sejujurnya, luka penghianattanmu masih belum kering. Tapi bagaimana pun, aku masih istri sah mu. Aku berhak bersedih atas kematianmu. Bagaimana nasib putri kita, Aliya?"Aku terisak di samping pusara Mas Farhan. Sejak pernikahannya dengan Ami, ia berubah menjadi orang asing.Ingatanku berputar pada saat aku terbangun di rumah sakit.Setelah mengam

  • Rahasia di Rumah Maduku   Makam Mas Farhand

    "Bayu?"Aku segera melepaskan tubuhku dari rengkuhannya. Tadi aku hampir terjatuh saat menabraknya, kemudian dia menangkapku."Maaf," ucapku menunduk."Tidak apa-apa," jawabnya dingin, sedingin es di kutub utara."Bayu, apa yang kamu lakukan di sini," tanyaku memenuhi rasa penasaran yang mendesak."Kenapa?" Ia justru bertanya padaku."Aku hanya bertanya, kenapa Kamu ada di sini? Bukankah di keluargamu, ada makam khusus?""Ini tempat umum, aku tidak perlu ijinmu untuk datang ke sini."Mulutku sempat menganga, kemudian cepat-cepat aku mengatupkannya. Rasa sedih yang aku rasakan mendadak hilang, berganti dengan rasa kesal yang mencokol di dalam dada.Aku meninggalkan Bayu, dia juga tidak peduli jika aku masih di sana atau tidak.'Apa yang

  • Rahasia di Rumah Maduku   Madu Tetaplah Madu

    Madu tetaplah madu. Hanya beberapa orang beruntung yang bisa menjalin hubungan baik dengan madunya.Ami sudah memasang tatapan garang saat aku datang. Aku mencoba menghindarinya, tidak enak jika kami sampai ribut lagi. Begitu pikirku.Dari pertama kali aku menginjak tempat ini, sampai sekarang aku akan meninggalkannya aku menjaga jarak dari Ami.Aku harap itu bisa sedikit meredam amarahnya, ternyata aku salah. Saat semua tamu sudah pulang, ia mulai meneriakiku."Jal*ng! Kenapa kamu masih berani datang ke sini?" Teriaknya dari tempat ia duduk.Aku tidak merespon."Ati, sini kamu!" Lagi dan lagi ia berteriak.Aku tak acuh, dan tidak mendatanginya. Merasa terus diawasi Ami, aku memilih berpamitan pulang pada Ibu mertuaku."Bu, Ati pulang dulu ya.""Lo, kenapa

  • Rahasia di Rumah Maduku   Aku Kecewa

    Pagi-pagi sekali, saat matahari belum keluar dari peraduan. Aku meninggalkan tempat ini dengan menaiki taksi online.Supir membantuku menaikkan beberapa barang yang aku bawa. Tidak banyak, hanya dua tas pakaian dan beberapa perlengkapan bayi, serta buku tabungan dan surat-surat penting yang aku punya.Aku pergi tanpa memberitahu siapapun. Apalagi aku adalah yatim piatu, jadi memang tidak ada alasan untuk berpamitan. Termasuk pada mertuaku, mereka seolah tidak menganggap aku sebagai menantunya semenjak Mas Farhan menikah dengan Ami.Ibu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Ami. Menjenguk Aliya pun tidak pernah. Ia hanya sesekali mengundangku datang setiap ada acara selamatan untuk Mas Farhan. Itupun aku hanya akan menjadi pajangan di sana.Taksi membawaku ke arah timur, untuk sesaat aku teringat pada Mas Farhan saat mobil yang aku tumpangi melewati pemakaman tempat peristira

  • Rahasia di Rumah Maduku   Aliya

    Aku mengusap air mata perlahan. Mobil terus membawaku ke arah matahari terbit. Meninggalkan tempat pemakaman Mas Farhan. Terus melaju membelah jalanan yang berembun.Ada sesuatu yang terasa jatuh dari dalam hatiku. Seperti beban yang luruh bersamaan saat mobil sudah melewati perbatasan desa.Taksi berhenti di sebuah pom bensin, kemudian kembali melaju ke arah timur. Lalu berbelok ke selatan, ke sebuah gang kecil yang hanya cukup untuk satu mobil. Itulah sebabnya supir sempat berhenti cukup lama di ujung gang. Menunggu mobil yang di sana keluar.Aku menghembuskan napas lega ketika mobil berhenti di sebuah hunian mungil yang aku beli beberapa tempo lalu."Benar di sini rumahnya, Mbak?" tanya pak supir.Aku hanya mengangguk. Kemudian mulai turun dari mobil.Aku langsung membuka rumah. Supir taksi yang menurunkan barang

  • Rahasia di Rumah Maduku   Kabar Duka

    Kabar duka datang dari rumah maduku. Sudah satu bulan, suamiku yang juga suaminya tidak pulang dan memilih tinggal di kediaman istri keduanya. Kini pulang-pulang tinggallah nama."Mpok! Mpok!" Teriak Mak Sumi, tetanggaku sebelah rumah."Ada apa Mak, teriak-teriak begitu. Masih pagi ini," jawabku sedikit kesal. Takut kalau suaranya sampai membangunkan Aliya.Aku sedang menjemur pakaian yang baru saja kucuci. Jika Aliya sampai bangun, maka pekerjaan ini akan tertunda entah sampai kapan."Maaf, maaf. Tapi ini urgent Mpok! Urgent! Penting banget!" Tambahnya tak kalah heboh."Iye iye. Ada apa Mak, memangnya ada yang lebih penting dari rejeki nomplok?" Aku bergurau."Ya jelas ada. Banyak yang lebih penting dari sekedar duit," ucap Mak Sumi. Lagaknya ia mulai akan berceramah. Aku segera mencegah dengan menanyakan tujuannya heboh pagi-

  • Rahasia di Rumah Maduku   Maaf?

    Haruskah aku memaafkannya? Sedangkan luka yang ia torehkan sampai sekarang masih menganga.Dia sudah berpulang, aku tahu. Tapi bisakah itu menjadi alasan?Bukankah itu memang pantas untuknya, bahkan kematiannya tidak cukup untuk membayar luka dan penghinaan yang aku tanggung.Harusnya aku bahagia mendengar kabar ini, tapi kenapa aku justru seperti ini. Aku terluka, benarkah aku masih mencintainya? Pria yang telah tega mengkhianatiku dengan sahabatku sendiri.Tidak! Aku tidak mau memaafkannya.***Ingatanku berputar pada kejadian satu setengah bulan yang lalu.Aku terbangun di atas ranjang rumah sakit, tubuhku dipasangi banyak sekali selang. Sakit, itulah satu hal yang aku ingat.Luka operasi caesar masih terasa. Di ruangan ini aku sendirian. Tidak ada siapapun, di mana suamiku?S

Bab terbaru

  • Rahasia di Rumah Maduku   Aliya

    Aku mengusap air mata perlahan. Mobil terus membawaku ke arah matahari terbit. Meninggalkan tempat pemakaman Mas Farhan. Terus melaju membelah jalanan yang berembun.Ada sesuatu yang terasa jatuh dari dalam hatiku. Seperti beban yang luruh bersamaan saat mobil sudah melewati perbatasan desa.Taksi berhenti di sebuah pom bensin, kemudian kembali melaju ke arah timur. Lalu berbelok ke selatan, ke sebuah gang kecil yang hanya cukup untuk satu mobil. Itulah sebabnya supir sempat berhenti cukup lama di ujung gang. Menunggu mobil yang di sana keluar.Aku menghembuskan napas lega ketika mobil berhenti di sebuah hunian mungil yang aku beli beberapa tempo lalu."Benar di sini rumahnya, Mbak?" tanya pak supir.Aku hanya mengangguk. Kemudian mulai turun dari mobil.Aku langsung membuka rumah. Supir taksi yang menurunkan barang

  • Rahasia di Rumah Maduku   Aku Kecewa

    Pagi-pagi sekali, saat matahari belum keluar dari peraduan. Aku meninggalkan tempat ini dengan menaiki taksi online.Supir membantuku menaikkan beberapa barang yang aku bawa. Tidak banyak, hanya dua tas pakaian dan beberapa perlengkapan bayi, serta buku tabungan dan surat-surat penting yang aku punya.Aku pergi tanpa memberitahu siapapun. Apalagi aku adalah yatim piatu, jadi memang tidak ada alasan untuk berpamitan. Termasuk pada mertuaku, mereka seolah tidak menganggap aku sebagai menantunya semenjak Mas Farhan menikah dengan Ami.Ibu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Ami. Menjenguk Aliya pun tidak pernah. Ia hanya sesekali mengundangku datang setiap ada acara selamatan untuk Mas Farhan. Itupun aku hanya akan menjadi pajangan di sana.Taksi membawaku ke arah timur, untuk sesaat aku teringat pada Mas Farhan saat mobil yang aku tumpangi melewati pemakaman tempat peristira

  • Rahasia di Rumah Maduku   Madu Tetaplah Madu

    Madu tetaplah madu. Hanya beberapa orang beruntung yang bisa menjalin hubungan baik dengan madunya.Ami sudah memasang tatapan garang saat aku datang. Aku mencoba menghindarinya, tidak enak jika kami sampai ribut lagi. Begitu pikirku.Dari pertama kali aku menginjak tempat ini, sampai sekarang aku akan meninggalkannya aku menjaga jarak dari Ami.Aku harap itu bisa sedikit meredam amarahnya, ternyata aku salah. Saat semua tamu sudah pulang, ia mulai meneriakiku."Jal*ng! Kenapa kamu masih berani datang ke sini?" Teriaknya dari tempat ia duduk.Aku tidak merespon."Ati, sini kamu!" Lagi dan lagi ia berteriak.Aku tak acuh, dan tidak mendatanginya. Merasa terus diawasi Ami, aku memilih berpamitan pulang pada Ibu mertuaku."Bu, Ati pulang dulu ya.""Lo, kenapa

  • Rahasia di Rumah Maduku   Makam Mas Farhand

    "Bayu?"Aku segera melepaskan tubuhku dari rengkuhannya. Tadi aku hampir terjatuh saat menabraknya, kemudian dia menangkapku."Maaf," ucapku menunduk."Tidak apa-apa," jawabnya dingin, sedingin es di kutub utara."Bayu, apa yang kamu lakukan di sini," tanyaku memenuhi rasa penasaran yang mendesak."Kenapa?" Ia justru bertanya padaku."Aku hanya bertanya, kenapa Kamu ada di sini? Bukankah di keluargamu, ada makam khusus?""Ini tempat umum, aku tidak perlu ijinmu untuk datang ke sini."Mulutku sempat menganga, kemudian cepat-cepat aku mengatupkannya. Rasa sedih yang aku rasakan mendadak hilang, berganti dengan rasa kesal yang mencokol di dalam dada.Aku meninggalkan Bayu, dia juga tidak peduli jika aku masih di sana atau tidak.'Apa yang

  • Rahasia di Rumah Maduku   Sebuah Kebetulan?

    Bulir hangat meluncur begitu saja, menetes di atas pusara Mas Farhan."Mas Farhan, apa kabar? Maaf aku baru berkunjung hari ini. Kamu pergi terlalu cepat, dengan cara yang tidak pernah aku duga." Aku menghela napas berat."Mas, selama ini aku tahu Mas bukanlah seorang pemabuk. Lalu kenapa, setelah menikah dengan Ami, kamu berubah drastis. Bukankah pernikahan itu adalah keinginanmu. Bukankah harusnya kamu bahagia, tapi kenapa yang terlihat kamu justru tertekan?" Kuusap air mata yang mengalir."Sejujurnya, luka penghianattanmu masih belum kering. Tapi bagaimana pun, aku masih istri sah mu. Aku berhak bersedih atas kematianmu. Bagaimana nasib putri kita, Aliya?"Aku terisak di samping pusara Mas Farhan. Sejak pernikahannya dengan Ami, ia berubah menjadi orang asing.Ingatanku berputar pada saat aku terbangun di rumah sakit.Setelah mengam

  • Rahasia di Rumah Maduku   Sidang Keluarga

    Akibat Ami yang mengamuk di rumahku pagi-pagi, sekarang aku harus terlibat sidang keluarga yang sama sekali tidak penting.Wanita itu memang tidak tahu malu, menjadi sahabatnya bertahun-tahun. Bagaimana bisa aku sampai tidak mengenalinya."Ada apa Ami? Kenapa kamu mengamuk di rumah Hayati?" ibu mertuaku bertanya.Ami diam, tidak menjawab."Hayati, jelaskan pada kami duduk perkaranya. Kalian berdua sama-sama istri mendiang putraku, Farhan. Seharusnya kalian sibuk mendoakan suami yang baru dua hari berpulang." Ibu menatapku tajam. Seolah ini adalah salahku."Sebaiknya, Ibu tanyakan saja pada Aminah. Apa maksudnya datang pagi-pagi, dan mengatakan bahwa akulah penyebab kematian Mas Farhan," kataku."Memang benar, kan. Yang ada di sini juga tahu. Kalau kamu yang nyumpahin Mas Farhan hari itu!" seru Ami."Diam, Ami

  • Rahasia di Rumah Maduku   Aku Juga Berduka

    Terlepas apapun yang orang-orang katakan, aku tetap berduka. Karena sekuat apapun aku menolak, Mas Farhan tetaplah suamiku.Seberapa kuat aku menyembunyikan luka ini, aku tetap mencintainya. Statusku juga masih istri sahnya. Apakah mereka pikir aku bahagia.Tidak! Bagaimana mungkin aku bisa bahagia menyandang status janda. Bagaimana aku bahagia saat Aliya, putri sulungku, dan putri satu-satunya menjadi seorang anak yatim.Ada luka yang aku coba sembunyikan. Sakit yang tidak akan pernah orang lain mengerti. Sesuatu yang tidak akan di pahami oleh orang selain diriku sendiri.Hari ini, sepulang dari pemakaman Mas Farhan aku langsung pulang. Aliya adalah alasanku pada ibu mertuaku. Tapi sebenarnya, ada hal yang mulai bergejolak di dalam hatiku.Di sudut kamar ini, aku terisak memeluk diriku sendiri. Sadar atau tidak, aku sudah kehilangan Mas Farhan jauh sebelum hari ini.&

  • Rahasia di Rumah Maduku   Hatiku Terluka

    Hatiku terluka, namun aku masih datang. Lukaku masih bertahta, tapi aku siap untuk bersua. Tidakkah aku pantas disebut sebagai wanita yang kuat?Aku tidak ingin menangis, tapi akhirnya aku kalah juga. Air mataku berlinang saat berjalan ke rumah Mas Farhan.Aku sedih, bukan karena kepergiannya. Melainkan dipaksa ingat kejahatannya, saat orang-orang ramai menyebut namanya.Di jalan aku bertemu beberapa ibu muda yang habis melayat dari rumah Ami."Hei, Hayati. Tidak usah murung begitu wajahnya. Si Farhan itu mati, kan juga karena doa-doamu," seloroh Erni, dia memang orang paling julid di kampung ini. Aku tidak menanggapi, karena itu hanya akan membuatnya merasa senang."Lah, diem aja tuh Si Ati. Kaga inget dia sama ucapan sendiri. Bener nggak teman-teman." Erni melempar ucapannya pada teman-temannya. Meminta temannya ikut menimpali."Iya bener.

  • Rahasia di Rumah Maduku   Janur Kuning

    Dari jauh aku melihat janur kuning yang melambai-lambai di depan rumah Mas Farhan. Lengkap dengan sound sistem yang berbunyi keras.Siapa yang menikah? Setahuku hanya Mas Farhan dan Abi anak dari mertuaku. Mas Farhan sudah menikah denganku, sedang Abi masih mondok di pesantren.Hatiku mulai dilanda was-was.Rasa khawatirku terjawab saat kulihat Mas Farhan duduk di atas pelaminan. Wajahku seperti sedang ditampar sangat keras.Wajahku semakin memanas saat melihat siapa wanita yang duduk di samping Mas Farhan, Aminah. Sahabatku sejak kecil? Astaga. Cobaan apa ini.Rasa marah menguasaiku.Tak kupedulikan rasa nyeri di perut dan pangkal kakiku. Tidak dihiraukan juga teriakan suster yang menemaniku."Mas, Farhan!" Suaraku menggelegar. Mengalahkan musik keroncongan yang dijadikan hiburan.

DMCA.com Protection Status