Dari jauh aku melihat janur kuning yang melambai-lambai di depan rumah Mas Farhan. Lengkap dengan sound sistem yang berbunyi keras.
Siapa yang menikah? Setahuku hanya Mas Farhan dan Abi anak dari mertuaku. Mas Farhan sudah menikah denganku, sedang Abi masih mondok di pesantren.
Hatiku mulai dilanda was-was.
Rasa khawatirku terjawab saat kulihat Mas Farhan duduk di atas pelaminan. Wajahku seperti sedang ditampar sangat keras.
Wajahku semakin memanas saat melihat siapa wanita yang duduk di samping Mas Farhan, Aminah. Sahabatku sejak kecil? Astaga. Cobaan apa ini.
Rasa marah menguasaiku.
Tak kupedulikan rasa nyeri di perut dan pangkal kakiku. Tidak dihiraukan juga teriakan suster yang menemaniku.
"Mas, Farhan!" Suaraku menggelegar. Mengalahkan musik keroncongan yang dijadikan hiburan.
Semua tamu menatapku. Mereka yang mengenalku bergidik ngeri, sedang yang tidak mengenalku menatap kebingungan.
Di atas pelaminan, Mas Farhan dan Ami menatapku dengan wajah pucat. Kenapa terkejut? Aku hanya koma, bukan mayat yang bangkit dari kubur.
"Ha-Hayati." Mas Farhan tergagap. Aku langsung menamparnya.
Plak!
Plak!
Plak!
Tamparan aku layangkan bertubi-tubi. Mas Farhan diam saja. Wajahnya sampai babak belur karena tamparanku.
Tidak ada yang menghentikanku, semua orang masih terlalu terkejut dengan kehadiranku.
"Kenapa kamu tega, Mas! Kenapa? Istrimu ini belum mati. Aku hanya sedang koma, Mas. Aku koma, bukan mati!" Aku memukul-mukul dada Mas Farhan.
"Maafkan Mas, Dik. Mas terpaksa melakukan ini," jawabnya sambil terisak.
"Terpaksa? Hahaha! Siapa yang memaksamu, Mas. Siapa?" Aku kalap.
"Sudah Hayati, kami pikir kamu akan mati. Dokter bilang harapan kamu hidup itu tinggal sedikit. Jadi jangan salahkan Mas Farhan yang memilih menikahiku." Aminah tersenyum licik.
"Diam kamu, jal*ng!" Aku menjambak rambut Ami, sampai dia meringis kesakitan. Hiasan di kepalanya lepas semua, bahkan ada beberapa yang menusuk tanganku.
Aku tidak menyerah, menyeretnya turun dari kursi tempat ia bersanding dengan Mas Farhan. Mendorongnya sampai jatuh di lantai.
"Sabar, Dik. Sabar," ucap Mas Farhan memelukku.
Aku berontak, kudorong tubuhnya hingga tersungkur.
Orang-orang menatapku heran, aku sendiri tidak percaya. Darimana mendapatkan kekuatan sehebat itu, padahal kondisiku yang masih sakit.
Botol infusku terlepas, perban di perutku sedikit koyak. Saat ingin memukul Ami, aku melihat darah keluar dari pangkal kaki Ami.
"Jangan-jangan, dia ...." Aku jatuh pingsan.
***
"Oeek oeeek oeek!"
"Oeek oeeek oeek!"
"Oeek oeek oeek!"
Tangisan Aliya menyadarkanku. Aku segera menghampiri anak semata wayangku. Aku menggendongnya.
"Cup cup cup, Sayang. Cup, jangan menangis." Aku goyang-goyanhkan tubuhnya.
"Oeek oeek oeek!"
"Cup cup cup."
Aliya susah sekali ditenangkan hari ini, apakah dia bersedih karena kepergian bapaknya? Entah.
Aku coba berkali-kali menyusuinya, tapi ia tidak kunjung berhenti.
Baru ketika aku membawanya keluar kamar, ia baru berhenti menangis. Ia mulai mau aku susui.
Kubawa Aliya ke dekat jendela. Sinar matahari yang mulai naik menyinari wajahnya. Mungkin ia rindu cahaya, itulah sebabnya dia menangis karena di kamar memang sedikit gelap.
"Mpok Ati! Kamu tidak melayat ke rumah suamimu?" tanya Mpok Nur yang baru saja pulang melayat.
"Belum, Mpok. Nggak ada yang jagain Aliya. Tidak baik membawa bayi berziarah. Katanya nanti bisa kena sawan," sahutku jujur.
"Oalah, ya sudah Mpok. Mari, aku pulang dulu."
"Hati-hati," jawabku sambil menganggukkan kepala.
Mpok Nur berlalu, tempatku berdiri memang tampak dari luar. Tidak heran jika tetangga lewat, mereka akan menyapa.
Aku menunggu Mak Sumi pulang, karena hanya pada Mak Sumi lah aku merasa aman menitipkan Aliya.
Aliya juga tidak terlalu rewel jika bersama Mak Sumi.
Sambil menunggu Mak Sumi pulang, aku lanjutkan menjemur baju yang tadi belum selesai, sambil menggendong dan menyusui Aliya.
Tidak lama kemudian, Mak Sumi pulang dari rumah Ami. Setelah menyimpan baskom di rumahnya, Mak Sumi langsung menghampiriku.
"Hayati, mana aku jagakan anakmu. Keburu siang, tidak elok seorang istri datang terlambat." Nasihat Mak Sumi padaku.
"Iya, Mak. Apakah Mak sudah tahu, apa sebab Mas Farhan meninggal?"
"Sudah Ati, dia keracunan alkohol yang dicampur-campur. Tidak tahu dicampur apa, tapi dia langsung mati di tempat. Mulutnya mengeluarkan busa. Mak tidak terlalu paham, tapi begitu yang mak dengar samar-samar," jelas Mak Sumi.
Aku sedikit terkejut, karena selama ini Mas Farhan bukan laki-laki pemabuk.
'Sebenarnya apa yang telah terjadi padamu, Mas. Kamu mendadak berubah menjadi orang yang sangat asing di mataku.' Batinku sedikit nelangsa.
***
Next?
Hatiku terluka, namun aku masih datang. Lukaku masih bertahta, tapi aku siap untuk bersua. Tidakkah aku pantas disebut sebagai wanita yang kuat?Aku tidak ingin menangis, tapi akhirnya aku kalah juga. Air mataku berlinang saat berjalan ke rumah Mas Farhan.Aku sedih, bukan karena kepergiannya. Melainkan dipaksa ingat kejahatannya, saat orang-orang ramai menyebut namanya.Di jalan aku bertemu beberapa ibu muda yang habis melayat dari rumah Ami."Hei, Hayati. Tidak usah murung begitu wajahnya. Si Farhan itu mati, kan juga karena doa-doamu," seloroh Erni, dia memang orang paling julid di kampung ini. Aku tidak menanggapi, karena itu hanya akan membuatnya merasa senang."Lah, diem aja tuh Si Ati. Kaga inget dia sama ucapan sendiri. Bener nggak teman-teman." Erni melempar ucapannya pada teman-temannya. Meminta temannya ikut menimpali."Iya bener.
Terlepas apapun yang orang-orang katakan, aku tetap berduka. Karena sekuat apapun aku menolak, Mas Farhan tetaplah suamiku.Seberapa kuat aku menyembunyikan luka ini, aku tetap mencintainya. Statusku juga masih istri sahnya. Apakah mereka pikir aku bahagia.Tidak! Bagaimana mungkin aku bisa bahagia menyandang status janda. Bagaimana aku bahagia saat Aliya, putri sulungku, dan putri satu-satunya menjadi seorang anak yatim.Ada luka yang aku coba sembunyikan. Sakit yang tidak akan pernah orang lain mengerti. Sesuatu yang tidak akan di pahami oleh orang selain diriku sendiri.Hari ini, sepulang dari pemakaman Mas Farhan aku langsung pulang. Aliya adalah alasanku pada ibu mertuaku. Tapi sebenarnya, ada hal yang mulai bergejolak di dalam hatiku.Di sudut kamar ini, aku terisak memeluk diriku sendiri. Sadar atau tidak, aku sudah kehilangan Mas Farhan jauh sebelum hari ini.&
Akibat Ami yang mengamuk di rumahku pagi-pagi, sekarang aku harus terlibat sidang keluarga yang sama sekali tidak penting.Wanita itu memang tidak tahu malu, menjadi sahabatnya bertahun-tahun. Bagaimana bisa aku sampai tidak mengenalinya."Ada apa Ami? Kenapa kamu mengamuk di rumah Hayati?" ibu mertuaku bertanya.Ami diam, tidak menjawab."Hayati, jelaskan pada kami duduk perkaranya. Kalian berdua sama-sama istri mendiang putraku, Farhan. Seharusnya kalian sibuk mendoakan suami yang baru dua hari berpulang." Ibu menatapku tajam. Seolah ini adalah salahku."Sebaiknya, Ibu tanyakan saja pada Aminah. Apa maksudnya datang pagi-pagi, dan mengatakan bahwa akulah penyebab kematian Mas Farhan," kataku."Memang benar, kan. Yang ada di sini juga tahu. Kalau kamu yang nyumpahin Mas Farhan hari itu!" seru Ami."Diam, Ami
Bulir hangat meluncur begitu saja, menetes di atas pusara Mas Farhan."Mas Farhan, apa kabar? Maaf aku baru berkunjung hari ini. Kamu pergi terlalu cepat, dengan cara yang tidak pernah aku duga." Aku menghela napas berat."Mas, selama ini aku tahu Mas bukanlah seorang pemabuk. Lalu kenapa, setelah menikah dengan Ami, kamu berubah drastis. Bukankah pernikahan itu adalah keinginanmu. Bukankah harusnya kamu bahagia, tapi kenapa yang terlihat kamu justru tertekan?" Kuusap air mata yang mengalir."Sejujurnya, luka penghianattanmu masih belum kering. Tapi bagaimana pun, aku masih istri sah mu. Aku berhak bersedih atas kematianmu. Bagaimana nasib putri kita, Aliya?"Aku terisak di samping pusara Mas Farhan. Sejak pernikahannya dengan Ami, ia berubah menjadi orang asing.Ingatanku berputar pada saat aku terbangun di rumah sakit.Setelah mengam
"Bayu?"Aku segera melepaskan tubuhku dari rengkuhannya. Tadi aku hampir terjatuh saat menabraknya, kemudian dia menangkapku."Maaf," ucapku menunduk."Tidak apa-apa," jawabnya dingin, sedingin es di kutub utara."Bayu, apa yang kamu lakukan di sini," tanyaku memenuhi rasa penasaran yang mendesak."Kenapa?" Ia justru bertanya padaku."Aku hanya bertanya, kenapa Kamu ada di sini? Bukankah di keluargamu, ada makam khusus?""Ini tempat umum, aku tidak perlu ijinmu untuk datang ke sini."Mulutku sempat menganga, kemudian cepat-cepat aku mengatupkannya. Rasa sedih yang aku rasakan mendadak hilang, berganti dengan rasa kesal yang mencokol di dalam dada.Aku meninggalkan Bayu, dia juga tidak peduli jika aku masih di sana atau tidak.'Apa yang
Madu tetaplah madu. Hanya beberapa orang beruntung yang bisa menjalin hubungan baik dengan madunya.Ami sudah memasang tatapan garang saat aku datang. Aku mencoba menghindarinya, tidak enak jika kami sampai ribut lagi. Begitu pikirku.Dari pertama kali aku menginjak tempat ini, sampai sekarang aku akan meninggalkannya aku menjaga jarak dari Ami.Aku harap itu bisa sedikit meredam amarahnya, ternyata aku salah. Saat semua tamu sudah pulang, ia mulai meneriakiku."Jal*ng! Kenapa kamu masih berani datang ke sini?" Teriaknya dari tempat ia duduk.Aku tidak merespon."Ati, sini kamu!" Lagi dan lagi ia berteriak.Aku tak acuh, dan tidak mendatanginya. Merasa terus diawasi Ami, aku memilih berpamitan pulang pada Ibu mertuaku."Bu, Ati pulang dulu ya.""Lo, kenapa
Pagi-pagi sekali, saat matahari belum keluar dari peraduan. Aku meninggalkan tempat ini dengan menaiki taksi online.Supir membantuku menaikkan beberapa barang yang aku bawa. Tidak banyak, hanya dua tas pakaian dan beberapa perlengkapan bayi, serta buku tabungan dan surat-surat penting yang aku punya.Aku pergi tanpa memberitahu siapapun. Apalagi aku adalah yatim piatu, jadi memang tidak ada alasan untuk berpamitan. Termasuk pada mertuaku, mereka seolah tidak menganggap aku sebagai menantunya semenjak Mas Farhan menikah dengan Ami.Ibu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Ami. Menjenguk Aliya pun tidak pernah. Ia hanya sesekali mengundangku datang setiap ada acara selamatan untuk Mas Farhan. Itupun aku hanya akan menjadi pajangan di sana.Taksi membawaku ke arah timur, untuk sesaat aku teringat pada Mas Farhan saat mobil yang aku tumpangi melewati pemakaman tempat peristira
Aku mengusap air mata perlahan. Mobil terus membawaku ke arah matahari terbit. Meninggalkan tempat pemakaman Mas Farhan. Terus melaju membelah jalanan yang berembun.Ada sesuatu yang terasa jatuh dari dalam hatiku. Seperti beban yang luruh bersamaan saat mobil sudah melewati perbatasan desa.Taksi berhenti di sebuah pom bensin, kemudian kembali melaju ke arah timur. Lalu berbelok ke selatan, ke sebuah gang kecil yang hanya cukup untuk satu mobil. Itulah sebabnya supir sempat berhenti cukup lama di ujung gang. Menunggu mobil yang di sana keluar.Aku menghembuskan napas lega ketika mobil berhenti di sebuah hunian mungil yang aku beli beberapa tempo lalu."Benar di sini rumahnya, Mbak?" tanya pak supir.Aku hanya mengangguk. Kemudian mulai turun dari mobil.Aku langsung membuka rumah. Supir taksi yang menurunkan barang
Aku mengusap air mata perlahan. Mobil terus membawaku ke arah matahari terbit. Meninggalkan tempat pemakaman Mas Farhan. Terus melaju membelah jalanan yang berembun.Ada sesuatu yang terasa jatuh dari dalam hatiku. Seperti beban yang luruh bersamaan saat mobil sudah melewati perbatasan desa.Taksi berhenti di sebuah pom bensin, kemudian kembali melaju ke arah timur. Lalu berbelok ke selatan, ke sebuah gang kecil yang hanya cukup untuk satu mobil. Itulah sebabnya supir sempat berhenti cukup lama di ujung gang. Menunggu mobil yang di sana keluar.Aku menghembuskan napas lega ketika mobil berhenti di sebuah hunian mungil yang aku beli beberapa tempo lalu."Benar di sini rumahnya, Mbak?" tanya pak supir.Aku hanya mengangguk. Kemudian mulai turun dari mobil.Aku langsung membuka rumah. Supir taksi yang menurunkan barang
Pagi-pagi sekali, saat matahari belum keluar dari peraduan. Aku meninggalkan tempat ini dengan menaiki taksi online.Supir membantuku menaikkan beberapa barang yang aku bawa. Tidak banyak, hanya dua tas pakaian dan beberapa perlengkapan bayi, serta buku tabungan dan surat-surat penting yang aku punya.Aku pergi tanpa memberitahu siapapun. Apalagi aku adalah yatim piatu, jadi memang tidak ada alasan untuk berpamitan. Termasuk pada mertuaku, mereka seolah tidak menganggap aku sebagai menantunya semenjak Mas Farhan menikah dengan Ami.Ibu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Ami. Menjenguk Aliya pun tidak pernah. Ia hanya sesekali mengundangku datang setiap ada acara selamatan untuk Mas Farhan. Itupun aku hanya akan menjadi pajangan di sana.Taksi membawaku ke arah timur, untuk sesaat aku teringat pada Mas Farhan saat mobil yang aku tumpangi melewati pemakaman tempat peristira
Madu tetaplah madu. Hanya beberapa orang beruntung yang bisa menjalin hubungan baik dengan madunya.Ami sudah memasang tatapan garang saat aku datang. Aku mencoba menghindarinya, tidak enak jika kami sampai ribut lagi. Begitu pikirku.Dari pertama kali aku menginjak tempat ini, sampai sekarang aku akan meninggalkannya aku menjaga jarak dari Ami.Aku harap itu bisa sedikit meredam amarahnya, ternyata aku salah. Saat semua tamu sudah pulang, ia mulai meneriakiku."Jal*ng! Kenapa kamu masih berani datang ke sini?" Teriaknya dari tempat ia duduk.Aku tidak merespon."Ati, sini kamu!" Lagi dan lagi ia berteriak.Aku tak acuh, dan tidak mendatanginya. Merasa terus diawasi Ami, aku memilih berpamitan pulang pada Ibu mertuaku."Bu, Ati pulang dulu ya.""Lo, kenapa
"Bayu?"Aku segera melepaskan tubuhku dari rengkuhannya. Tadi aku hampir terjatuh saat menabraknya, kemudian dia menangkapku."Maaf," ucapku menunduk."Tidak apa-apa," jawabnya dingin, sedingin es di kutub utara."Bayu, apa yang kamu lakukan di sini," tanyaku memenuhi rasa penasaran yang mendesak."Kenapa?" Ia justru bertanya padaku."Aku hanya bertanya, kenapa Kamu ada di sini? Bukankah di keluargamu, ada makam khusus?""Ini tempat umum, aku tidak perlu ijinmu untuk datang ke sini."Mulutku sempat menganga, kemudian cepat-cepat aku mengatupkannya. Rasa sedih yang aku rasakan mendadak hilang, berganti dengan rasa kesal yang mencokol di dalam dada.Aku meninggalkan Bayu, dia juga tidak peduli jika aku masih di sana atau tidak.'Apa yang
Bulir hangat meluncur begitu saja, menetes di atas pusara Mas Farhan."Mas Farhan, apa kabar? Maaf aku baru berkunjung hari ini. Kamu pergi terlalu cepat, dengan cara yang tidak pernah aku duga." Aku menghela napas berat."Mas, selama ini aku tahu Mas bukanlah seorang pemabuk. Lalu kenapa, setelah menikah dengan Ami, kamu berubah drastis. Bukankah pernikahan itu adalah keinginanmu. Bukankah harusnya kamu bahagia, tapi kenapa yang terlihat kamu justru tertekan?" Kuusap air mata yang mengalir."Sejujurnya, luka penghianattanmu masih belum kering. Tapi bagaimana pun, aku masih istri sah mu. Aku berhak bersedih atas kematianmu. Bagaimana nasib putri kita, Aliya?"Aku terisak di samping pusara Mas Farhan. Sejak pernikahannya dengan Ami, ia berubah menjadi orang asing.Ingatanku berputar pada saat aku terbangun di rumah sakit.Setelah mengam
Akibat Ami yang mengamuk di rumahku pagi-pagi, sekarang aku harus terlibat sidang keluarga yang sama sekali tidak penting.Wanita itu memang tidak tahu malu, menjadi sahabatnya bertahun-tahun. Bagaimana bisa aku sampai tidak mengenalinya."Ada apa Ami? Kenapa kamu mengamuk di rumah Hayati?" ibu mertuaku bertanya.Ami diam, tidak menjawab."Hayati, jelaskan pada kami duduk perkaranya. Kalian berdua sama-sama istri mendiang putraku, Farhan. Seharusnya kalian sibuk mendoakan suami yang baru dua hari berpulang." Ibu menatapku tajam. Seolah ini adalah salahku."Sebaiknya, Ibu tanyakan saja pada Aminah. Apa maksudnya datang pagi-pagi, dan mengatakan bahwa akulah penyebab kematian Mas Farhan," kataku."Memang benar, kan. Yang ada di sini juga tahu. Kalau kamu yang nyumpahin Mas Farhan hari itu!" seru Ami."Diam, Ami
Terlepas apapun yang orang-orang katakan, aku tetap berduka. Karena sekuat apapun aku menolak, Mas Farhan tetaplah suamiku.Seberapa kuat aku menyembunyikan luka ini, aku tetap mencintainya. Statusku juga masih istri sahnya. Apakah mereka pikir aku bahagia.Tidak! Bagaimana mungkin aku bisa bahagia menyandang status janda. Bagaimana aku bahagia saat Aliya, putri sulungku, dan putri satu-satunya menjadi seorang anak yatim.Ada luka yang aku coba sembunyikan. Sakit yang tidak akan pernah orang lain mengerti. Sesuatu yang tidak akan di pahami oleh orang selain diriku sendiri.Hari ini, sepulang dari pemakaman Mas Farhan aku langsung pulang. Aliya adalah alasanku pada ibu mertuaku. Tapi sebenarnya, ada hal yang mulai bergejolak di dalam hatiku.Di sudut kamar ini, aku terisak memeluk diriku sendiri. Sadar atau tidak, aku sudah kehilangan Mas Farhan jauh sebelum hari ini.&
Hatiku terluka, namun aku masih datang. Lukaku masih bertahta, tapi aku siap untuk bersua. Tidakkah aku pantas disebut sebagai wanita yang kuat?Aku tidak ingin menangis, tapi akhirnya aku kalah juga. Air mataku berlinang saat berjalan ke rumah Mas Farhan.Aku sedih, bukan karena kepergiannya. Melainkan dipaksa ingat kejahatannya, saat orang-orang ramai menyebut namanya.Di jalan aku bertemu beberapa ibu muda yang habis melayat dari rumah Ami."Hei, Hayati. Tidak usah murung begitu wajahnya. Si Farhan itu mati, kan juga karena doa-doamu," seloroh Erni, dia memang orang paling julid di kampung ini. Aku tidak menanggapi, karena itu hanya akan membuatnya merasa senang."Lah, diem aja tuh Si Ati. Kaga inget dia sama ucapan sendiri. Bener nggak teman-teman." Erni melempar ucapannya pada teman-temannya. Meminta temannya ikut menimpali."Iya bener.
Dari jauh aku melihat janur kuning yang melambai-lambai di depan rumah Mas Farhan. Lengkap dengan sound sistem yang berbunyi keras.Siapa yang menikah? Setahuku hanya Mas Farhan dan Abi anak dari mertuaku. Mas Farhan sudah menikah denganku, sedang Abi masih mondok di pesantren.Hatiku mulai dilanda was-was.Rasa khawatirku terjawab saat kulihat Mas Farhan duduk di atas pelaminan. Wajahku seperti sedang ditampar sangat keras.Wajahku semakin memanas saat melihat siapa wanita yang duduk di samping Mas Farhan, Aminah. Sahabatku sejak kecil? Astaga. Cobaan apa ini.Rasa marah menguasaiku.Tak kupedulikan rasa nyeri di perut dan pangkal kakiku. Tidak dihiraukan juga teriakan suster yang menemaniku."Mas, Farhan!" Suaraku menggelegar. Mengalahkan musik keroncongan yang dijadikan hiburan.