"MASSSSS!" Rosa tersentak dari tidurnya. Ia langsung terduduk dengan nafas memburu, bulir keringat membasahi tubuh, "astagfirullah ... astagfirullah," lirihnya. Lagi-lagi perutnya terasa keram.
"Ya allah, mimpi apa itu," ucapnya sendiri. Rosa mencoba mengatur nafas, dan menenangkan diri. Ia tak boleh setres, karna hal itu akan berdampak pada bayi yang tengah di kandungnya, "kamu kaget ya? Maafkan Mamah, Sayang," lirih Rosa seraya mengelus perutnya yang kian membuncit. "Eum ... hoammm, tante kenapa?" tanya Chika yang ikut terbangun sebab suara gemerusuh di sebelahnya. "Tante kebelet pipis," jawab Rosa asal. Ia pun tersenyum, dan mengelus lengan keponakannya, "Chika bubuk lagi ya, ini masih gelep," ucapnya lembut. Bocah 3 tahun itu pun mengangguk lalu kembali memejamkan matanya, sedangkan Rosa ia semakin gelisah sebab kejadian malam ini begitu aneh menurutnya. Jam baru menunjukkan pukul 2 dini hari, itu artinya baru beberapa menit ia terlelap, dan sekarang kembali terjaga karna mimpi buruk. "Ya allah, sebenarnya apa yang akan terjadi? Mengapa kau terus-terusan memberiku petunjuk?" Rosa tak bisa tidur, pikirannya tak karuan, hatinya gelisah. Ia membuka ponsel, dan membaca primbon jawa tentang arti mimpi kebakaran, dan juga arti dari bingkai foto yang tiba-tiba terjatuh di satu situs yang cukup terkenal. Dalam primbon jawa, dan sebagian kalangan masih banyak yang mempercayai bahwa mimpi kebakaran itu melambangkan sebuah kehancuran. Sedangkan dalam primbon jawa, bila bingkai foto anda tiba-tiba terjatuh dengan sendirinya, itu artinya anda harus bersiap, bersiaplah ... bersiaplah untuk,--- Drrrttttt Rosa tersentak kala sedang fokus membaca tiba-tiba satu pesan masuk ke ponselnya, "astaga! kenapa Papah kirim pesan malam-malam begini," gerutu Rosa. Ia ingin melanjutkan membaca artikel itu, akan tetapi ia lebih penasaran dengan pesan yang baru saja di terima dari sang ayah, dan akhirnya ibu hamil itu keluar dari situs yang sedang di bacanya, dan masuk ke aplikasi w******p yang berwarna hijau. Papah Rosa mengklik nama itu, dan melihat isinya, "Papah sudah di pesawat, tapi karena cuaca malam ini buruk, jadi penerbangan di hentikan. Mungkin Papah tiba di Indonesia sekitar 1 atau 2 hari lagi. Maafkan Papah ya kalau terlambat datang ke acara nuju bulan, tapi kamu nggak perlu khawatir, Papah baik-baik saja. Tunggu Papah datang ya, Sayang." Degh. Hati Rosa semakin mencelos membaca isi pesan dari Papahnya. Lelaki itu kini berada di eropa, sangat jauh dari jangkauannya. Meski usianya tak lagi muda, tetapi semangat kerjanya masih membara. Pak Erik kerap kali ke liling dunia hanya untuk memperluas jangkauan proyeknya, "ya allah, lindungi Papah di mana pun dia berada," ucap Rosa. "Iya, Pah. Hati-hati, jangan lupa makan. Papah nggak usah mikir yang aneh-aneh. Nggak apa-apa terlambat, yang penting Papah sampai Indonesia dengan selamat. Rosa sayang papah." Send. Pesan pun terkirim, tetapi nomor yang baru saja terlihat online, kini memberi tanda ceklis satu, itu artinya nomor Pak Erik sedang tidak aktif atau mungkin sedang tidak ada sinyal. Begitulah pikir Rosa yang tak ingin berprasangka buruk dengan apa yang tengah terjadi sekarang. Rasa kantuk tiba-tiba menyerang dirinya, Rosa pun meletakkan ponselnya, dan kembali berbaring di sebelah putri kecil iparnya. Anak itu begitu pintar, dan penurut. Namun, sayang sekali nasib kedua orang tuanya tak begitu baik, sehingga mengharuskan dirinya ikut tinggal bersama Rosa yang berstatus sebagai bibi untuknya. Kukuruyukkkkk. Pagi datang, matahari bersinar. Chika yang sudah terjaga lebih dulu, memilih untuk ke kamar mandi, dan membersihkan diri. Pagi-pagi seperti ini biasanya ia sudah di mandikan oleh Rosa, tetapi Chika melihat wanita pengganti Ibunya itu masih terlelap, ia pun berinisiatif untuk melakukan semuanya sendiri. Sinar mentari masuk melalui celah-celah jendela, Rosa yang semalaman tidurnya terganggu kini belum juga bangun. Sedangkan di luar pagar rumahnya, Bu Wati, Ibu mertua yang terkenal akan sikap bunglonnya, sudah berdiri dengan wajah penuh senyum. Wanita itu terus menekan tombol bel, berharap menantu yang dulu sering di hinanya dengan segera membukakan pintu untuknya. Ting-tong Ting-tong Ting-tong "Duh ... kemana sih ni anak. Kok lama sekali nggak muncul-muncul," gerutu Bu Wati yang mulai kesal sebab sejak dari setengah jam yang lalu ia berdiri di depan pagar. Ting-tong Ting-tong Ting-tong Ia tahu hari ini, akan di adakan acara nuju bulan cucu ketiganya, maka dari itu ia datang untuk menghadiri acara ini. Namun, hanya datang dengan tangan kosong, sebab pikir Bu Wati menantunya itu sudah kaya, jadi tak perlu lagi bawakan apa pun untuk acara nuju bulannya. "Rumah sebesar ini, hanya Rosa yang menempati. Chika, anak itu sekarang pasti hidupnya nyaman bersama Rosa tinggal disini. Hasan juga pasti perutnya kenyang karna sekarang banyak uang, lalu aku ... apa harus aku bersimpati, dan mengambil hati Rosa agar aku juga bisa hidup nyaman, dan tinggal di rumah mewah ini?" gumam Bu Wati seorang diri. *** Yang penasaran gimana sikap bunglon Bu Wati, bisa di baca pada season 1 ya, kak dengan judul "Ku Sembunyikan Identitas Dari Mertua.""Chika, Ibu udah bangun?" tanya Bi Wiwid, wanita yang juga menginap di rumah Rosa karna bekerja sebagai ART. "Belum, Bi. Semalem tante nggak tidur," jawab Chika seadanya. "Ooo, ya sudah kalau gitu jangan di ganggu ya," "Iya, Bi."Bi Wiwid pun langsung menghampiri Bu Wati yang sejak tadi begitu riuh menekan bel. Ceklek ... Ceklek ... Pintu besi itu saling bertumburan menimbulkan suara yang cukup bising, tetapi suasana akan terdengar lebih bising lagi apa bila wanita tua yang ada di depan pagar tak segera di temui, "maaf Ibu cari siapa?" tanya Bi Wiwid yang memang belum pernah bertemu dengan sosok mertua majikannya. "Kamu yang siapa? Kamu tidak tahu saya siapa?" Bu Wati sedikit nyolot sebab rasa kesal telah menghantui hatinya, "kamu pasti pemb*ntu di rumah ini, 'kan! Kerja tu yang becus! Ada orang datang bukannya langsung di bukain pintu! 2 jam saya berdiri di sini!" cecar Bu Wati tanpa jeda. "Rosa juga kemana! Mertua datang bukannya di sambut!" lanjutnya mengomel seraya masuk ke
Bu Wati tersenyum kikuk. Sikap tegas sang menantu tak ubah meskipun sudah 7 bulan mereka tak berjumpa, "baiklah, Nak. Maafkan Ibu ... tapi kamu harus percaya pada Ibu, Ibu tidak menjewernya, Ibu tadi mengambil semut di telinganya. Iya, 'kan," kata Bu Wati seraya menoel lengan Wiwid agar wanita itu mendukung ucapannya. Bi Wiwid hanya mampu menundukkan kepalanya, lalu menjawab dengan terbata, "i-iya, Bu. Tadi ada semut di telinga saya," ungkap Bi Wiwid. Rosa tahu bagaimana sikap wanita tua yang bergelar Ibu untuk suaminya ini, ialah wanita yang memiliki sikap seperti bunglon, jadi bagaimana Wiwid menjawab, ia mengerti bahwa jawaban itu hanyalah sebuah keterpaksaan. "Ya sudah, Wid. Tolong buatkan nasi goreng, ya." Pinta Rosa pada Art-nya. "Baik, Bu," jawab Wiwid cepat, lalu bergegas pergi ke dapur untuk menyajikan nasi goreng kesukaan majikannya seperti biasanya.'Loh, nasi goreng? Rumah semewah ini kok sarapannya nasi goreng?' monolog Bu Wati dalam hati, 'gagal dong mau manjain peru
"Chika," panggil Rosa, ia pun duduk di sebelah keponakannya, "kalau Chika nggak mau main sama nenek, Chika boleh main di kamar aja," ucapnya seraya mengelus rambut panjang gadis kecil itu.Perlahan Chika mengangkat wajahnya, dan memberanikan diri untuk menatap wanita yang ada di sebelahnya ini, "Chika mau main keluar, tapi Chika nggak mau main sama nenek, Tante," ungkapnya pelan. Rosa mengerti, mungkin saja tadi sikap mak lampir sang mertua kembali kambuh yang mengakibatkan cucunya menjadi takut, "ya sudah, oya Chika mandi sama siapa?" tanya Rosa mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. "Mandi sendiri, Tante." "Anak pinter ... ya sudah kalo gitu Tante mau mandi dulu ya." "Iya, Tante." Perlahan Rosa beranjak dari sana sambil mengelus perutnya yang sudah membuncit. Ia kembali melewati bingkai foto yang tiba-tiba terjatuh semalam. Ia pun kembali teringat, betapa gelisah perasaannya semalam, "Papah," lirihnya. Rosa mengurungkan niatnya untuk pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kama
"TARAAA! SURPRISE!!!" seru dua lelaki yang beda usia itu. Mereka begitu puas melihat ekspresi linglung yang di tampilkan oleh Rosa. "Astaga, Mas! Pah! Kalian ini bikin aku jantungan!" Bukannya di sambut dengan senyuman, mereka malah di sembur omelan, "kalian ya! Kalo aku shock gimana! Kalo aku nggak siap gimana! Main pekik, dan muncul tiba-tiba aja!" omelnya seraya melayangkan satu bogeman ke perut suaminya. "Aw, ampun, Sayang." Pak Erik pun tertawa melihat putrinya begitu kesal, "pasti kamu mikir yang macem-macem, 'kan tentang suamimu ... hayooo ngakuuu ...," ledek sang ayah. "Apaan sih, Pah!" Rosa pun diam, tak lagi memukuli suaminya. "Kesel, 'kan karena Hasan nggak pulang-pulang ... iya, 'kan ...." "Nggak, tu. Biasa aja." "Alah, nggak mau ngaku ... semalem aja marah-marah." "Loh, kok Papah tahu?" Pak Erik, dan Hasan pun saling melempar pandang serta senyum yang menawan, "tahulah, orang Papah yang,---" "Sttttt, jangan di teruskan. Nanti istrimu jadi marah sama Papah," bis
Berulang kali Rosa mengucap syukur sebab suaminya itu datang tepat sebelum acara di mulai. Hatinya yang kecewa, kini telah berbunga. Rosa bahkan tak sabar menunggu pukul 4 tiba. "Selama Ayah pergi pola Bunda gimana, Nak?" ucap Hasan yang kini masih mengajak anaknya bicara sambil mengelus lembut perut istrinya yang tengah membuncit. Ia masih ingat betul saat 7 bulan yang lalu bagaimana tingkah istrinya itu. Orang tua menyebutnya 'Ngidam,' tapi bagi Hasan tingkah istrinya itu benar-benar menggemaskan. Bagaimana tidak, sejak pagi Rosa melarang Hasan bekerja. Ia ingin mengajak suaminya pergi jalan-jalan, tapi ternyata bukan keliling kota, melainkan jalan dari pos jaga hingga ke ujung perumahan. Dan itu mereka lakukan berulang kali dari pagi hingga siang. Lalu yang lebih parahnya, diam-diam Rosa menghilang, dan membuat Hasan jadi gelabakan. Setelah Hasan pusing mencari Rosa, ternyata wanita itu sedang duduk di atas pohon tengah menikmati buah jambu air yang baru di petik olehnya. "Bicar
"Aku sudah mandi, Mas. Kamu saja sana." Melihat mood istrinya mendadak buruk, Hasan pun tak ingin bila hal ini terus terjadi hingga berkepanjangan. Bila sempat mood istrinya tak membaik, sedikit banyak akan berdampak pada acara nuju bulan nanti. Lelaki itu pun bergegas menutup tirai kamar lalu membuka pakaiannya, dengan cepat ia melakukan seperti apa yang tengah di inginkan istrinya, "kita bermain cepat saja, Sayang," bisik Hasan. Rosa pun tersenyum, benar saja ... mood istrinya kembali normal. Dengan singkat, padat, dan jelas Hasan mengacau ar-e-a sensitiv istrinya. Baginya, kesenangan istri adalah hal yang utama. "Ehm, Mas ... Ahhhhhh," Rosa me-nd-esa- panjang saat mereka sama-sama mencapai titik kepu-as-an itu. "Udah, ya. Kalo kurang nanti malem kita lanjut lagi, sebetulnya Mas juga, ... heheheh," Hasan tak melanjutkan ucapannya, ia malah tersenyum kikuk menampilkan barisan gigi putihnya."Iya, Mas," sahut Rosa dan juga tersenyum melihat keringat mengujur di wajah suaminya.
Mbok Ipeh mulai melakukan tugasnya, ia meminta Bi Wiwid untuk mengambilkan 7 lembar kain yang sudah di persiapkan. Kain itu yang akan menjadi salah satu syarat terpenting untuk acara nuju bulan ini. "Ndok, pakai ini," kata Mbok Ipeh seraya memberikan selembar kain pada Rosa. Rosa pun menurut, dan mengganti pakaiannya dengan selembar kain, sebab dirinya akan di mandikan dengan air kembang 7 warna. Selanjutnya setelah proses mandi kembang selesai, Mbok Ipeh akan membimbing Hasan untuk membelah kelapa muda yang sudah di sediakan khusus untuk acara ini. Pada bagian ini, kita akan mengetahui jenis kelamin yang sedang di kandung Rosa. Apakah dia lelaki atau seorang perempuan, akan tetapi hanya sebagian orang yang masih percaya, dan sebagian pula menganggapnya mitos. Namun, ketika Hasan akan membelah kelapa muda itu, langit yang awalnya mendung, kini semakin mendung, seakan hujan akan turun. "Bismillahirrahmanirrahim," lirih Hasan. Ia pun mengangkat g-olok, dan akan membelah kelapa mud
"Mas," panggil gadis itu, ia tak perduli bila Hasan tengah mencoba memberi penjelasan kepada istrinya, "bagaimana jika kamu melihat ini, apa masih kamu lupa denganku?" ucapnya seraya merogoh sesuatu yang ada di dalam tasnya. Hasan berjalan mendekati gadis itu lalu melayangkan tatapan tajam, "apa pun yang akan kamu tunjukkan sebagai bukti, itu pasti rekayasa! Sudahi sandiwara mu, katakan sekarang siapa yang menyuruhmu untuk menghancurkan acara ini!" ungkap Hasan penuh penekanan. Gadis itu tersenyum, "kita lihat saja," ucapnya lalu menghampiri Rosa. "Hai, sayangnya kita harus berbagi suami, karena saat ini aku pun sedang mengandung anak dari suamimu," bisik gadis itu pada Rosa. Glegek. Rosa meneguk salivanya, entah mengapa untuk pertama kali ia merasa posisinya tersudutkan. Gadis itu pun menunjukkan beberapa lembar foto. Foto yang membuat tubuh Rosa jadi menegang. "Bisa kamu lihat, betapa erat suamimu memelukku. Foto ini aku ambil setelah suamimu puas bermain denganku. Lihatlah,
"Apa yang harus aku katakan, Mas? Semua sudah jelas. Kita pernah menghabiskan malam bersama, dan sekarang aku mengandung anakmu. Kamu tahu, aku masih menyimpan foto serta Vidio panas kita. Yang di hancurkan istrimu tadi itu hanya sebagian, yang lain masih banyak tersisa di ponselku. Kamu mau lihat?" ucapnya santai, seperti tak merasa sakit pada lengannya yang di cengkram kuat oleh Hasan. "Tutup mulut busukmu!" Hasan mengangkat tangannya, dan akan melayangkan pukulan ke wajah gadis itu, tetapi Pak Erik yang melihat tak ingin Hasan menyakiti wanita itu. "Hentikan, Hasan!" teriak Pak Erik tepat sebelum tangan kekar itu menyentuh wajah Mawar, "jangan buat malu dirimu. Sudah Papah katakan selesaikan baik-baik! Sekarang masih banyak orang di rumah, apa kamu tidak malu bagaimana tanggapan mereka nanti! Untung acara di majukan jadi para kolega kerja, dan teman dekat Rosa belum ada yang datang, coba kalau mereka menyaksikan ini, bisa malu keluarga kita!" ungkap Pak Erik penuh penekan. Hasan
"Astaghfirullah ... bertemu dengannya saja tidak pernah, baru ini Mas melihat dia," ungkap Hasan. "Hah! Wajar kamu betah di sana! Berulang kali aku minta pulang, tidak kamu gubris. Banyak sekali alasan kamu. Yang ini, yang itu, ternyata, ada dia yang membuatmu lupa dengan aku, dan calon anakmu! Kamu pikir enak, Mas saat hamil begini di tinggal suami? Kamu pikir enak, Mas berbadan dua! Kamu pikir aku bisa melalui semuanya dari usia 2 Minggu sampe 7 bulan seorang diri? Nggak, Mas! Aku nggak kuat! Aku nggak sekuat yang kamu bayangin! Tapi aku harus kuat, karena aku percaya kamu di sana beneran kerja! Aku harus kuat demi kamu, dan anakku ... tapi yang ku dapat apa? Oleh-olehmu sungguh luar biasa!" ungkap Rosa, ia tak perduli dengan mereka yang ada di sana, yang Rosa inginkan hanyalah membuang semua uneg-uneg yang memenuhi hatinya. Hasan tak bergeming, ia bahkan tak tahu lagi harus dengan cara apa agar istrinya percaya bahwa dia, sungguh setia, dan wanita itu ... 'wanita itu,' ungkap
"Mas," panggil gadis itu, ia tak perduli bila Hasan tengah mencoba memberi penjelasan kepada istrinya, "bagaimana jika kamu melihat ini, apa masih kamu lupa denganku?" ucapnya seraya merogoh sesuatu yang ada di dalam tasnya. Hasan berjalan mendekati gadis itu lalu melayangkan tatapan tajam, "apa pun yang akan kamu tunjukkan sebagai bukti, itu pasti rekayasa! Sudahi sandiwara mu, katakan sekarang siapa yang menyuruhmu untuk menghancurkan acara ini!" ungkap Hasan penuh penekanan. Gadis itu tersenyum, "kita lihat saja," ucapnya lalu menghampiri Rosa. "Hai, sayangnya kita harus berbagi suami, karena saat ini aku pun sedang mengandung anak dari suamimu," bisik gadis itu pada Rosa. Glegek. Rosa meneguk salivanya, entah mengapa untuk pertama kali ia merasa posisinya tersudutkan. Gadis itu pun menunjukkan beberapa lembar foto. Foto yang membuat tubuh Rosa jadi menegang. "Bisa kamu lihat, betapa erat suamimu memelukku. Foto ini aku ambil setelah suamimu puas bermain denganku. Lihatlah,
Mbok Ipeh mulai melakukan tugasnya, ia meminta Bi Wiwid untuk mengambilkan 7 lembar kain yang sudah di persiapkan. Kain itu yang akan menjadi salah satu syarat terpenting untuk acara nuju bulan ini. "Ndok, pakai ini," kata Mbok Ipeh seraya memberikan selembar kain pada Rosa. Rosa pun menurut, dan mengganti pakaiannya dengan selembar kain, sebab dirinya akan di mandikan dengan air kembang 7 warna. Selanjutnya setelah proses mandi kembang selesai, Mbok Ipeh akan membimbing Hasan untuk membelah kelapa muda yang sudah di sediakan khusus untuk acara ini. Pada bagian ini, kita akan mengetahui jenis kelamin yang sedang di kandung Rosa. Apakah dia lelaki atau seorang perempuan, akan tetapi hanya sebagian orang yang masih percaya, dan sebagian pula menganggapnya mitos. Namun, ketika Hasan akan membelah kelapa muda itu, langit yang awalnya mendung, kini semakin mendung, seakan hujan akan turun. "Bismillahirrahmanirrahim," lirih Hasan. Ia pun mengangkat g-olok, dan akan membelah kelapa mud
"Aku sudah mandi, Mas. Kamu saja sana." Melihat mood istrinya mendadak buruk, Hasan pun tak ingin bila hal ini terus terjadi hingga berkepanjangan. Bila sempat mood istrinya tak membaik, sedikit banyak akan berdampak pada acara nuju bulan nanti. Lelaki itu pun bergegas menutup tirai kamar lalu membuka pakaiannya, dengan cepat ia melakukan seperti apa yang tengah di inginkan istrinya, "kita bermain cepat saja, Sayang," bisik Hasan. Rosa pun tersenyum, benar saja ... mood istrinya kembali normal. Dengan singkat, padat, dan jelas Hasan mengacau ar-e-a sensitiv istrinya. Baginya, kesenangan istri adalah hal yang utama. "Ehm, Mas ... Ahhhhhh," Rosa me-nd-esa- panjang saat mereka sama-sama mencapai titik kepu-as-an itu. "Udah, ya. Kalo kurang nanti malem kita lanjut lagi, sebetulnya Mas juga, ... heheheh," Hasan tak melanjutkan ucapannya, ia malah tersenyum kikuk menampilkan barisan gigi putihnya."Iya, Mas," sahut Rosa dan juga tersenyum melihat keringat mengujur di wajah suaminya.
Berulang kali Rosa mengucap syukur sebab suaminya itu datang tepat sebelum acara di mulai. Hatinya yang kecewa, kini telah berbunga. Rosa bahkan tak sabar menunggu pukul 4 tiba. "Selama Ayah pergi pola Bunda gimana, Nak?" ucap Hasan yang kini masih mengajak anaknya bicara sambil mengelus lembut perut istrinya yang tengah membuncit. Ia masih ingat betul saat 7 bulan yang lalu bagaimana tingkah istrinya itu. Orang tua menyebutnya 'Ngidam,' tapi bagi Hasan tingkah istrinya itu benar-benar menggemaskan. Bagaimana tidak, sejak pagi Rosa melarang Hasan bekerja. Ia ingin mengajak suaminya pergi jalan-jalan, tapi ternyata bukan keliling kota, melainkan jalan dari pos jaga hingga ke ujung perumahan. Dan itu mereka lakukan berulang kali dari pagi hingga siang. Lalu yang lebih parahnya, diam-diam Rosa menghilang, dan membuat Hasan jadi gelabakan. Setelah Hasan pusing mencari Rosa, ternyata wanita itu sedang duduk di atas pohon tengah menikmati buah jambu air yang baru di petik olehnya. "Bicar
"TARAAA! SURPRISE!!!" seru dua lelaki yang beda usia itu. Mereka begitu puas melihat ekspresi linglung yang di tampilkan oleh Rosa. "Astaga, Mas! Pah! Kalian ini bikin aku jantungan!" Bukannya di sambut dengan senyuman, mereka malah di sembur omelan, "kalian ya! Kalo aku shock gimana! Kalo aku nggak siap gimana! Main pekik, dan muncul tiba-tiba aja!" omelnya seraya melayangkan satu bogeman ke perut suaminya. "Aw, ampun, Sayang." Pak Erik pun tertawa melihat putrinya begitu kesal, "pasti kamu mikir yang macem-macem, 'kan tentang suamimu ... hayooo ngakuuu ...," ledek sang ayah. "Apaan sih, Pah!" Rosa pun diam, tak lagi memukuli suaminya. "Kesel, 'kan karena Hasan nggak pulang-pulang ... iya, 'kan ...." "Nggak, tu. Biasa aja." "Alah, nggak mau ngaku ... semalem aja marah-marah." "Loh, kok Papah tahu?" Pak Erik, dan Hasan pun saling melempar pandang serta senyum yang menawan, "tahulah, orang Papah yang,---" "Sttttt, jangan di teruskan. Nanti istrimu jadi marah sama Papah," bis
"Chika," panggil Rosa, ia pun duduk di sebelah keponakannya, "kalau Chika nggak mau main sama nenek, Chika boleh main di kamar aja," ucapnya seraya mengelus rambut panjang gadis kecil itu.Perlahan Chika mengangkat wajahnya, dan memberanikan diri untuk menatap wanita yang ada di sebelahnya ini, "Chika mau main keluar, tapi Chika nggak mau main sama nenek, Tante," ungkapnya pelan. Rosa mengerti, mungkin saja tadi sikap mak lampir sang mertua kembali kambuh yang mengakibatkan cucunya menjadi takut, "ya sudah, oya Chika mandi sama siapa?" tanya Rosa mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. "Mandi sendiri, Tante." "Anak pinter ... ya sudah kalo gitu Tante mau mandi dulu ya." "Iya, Tante." Perlahan Rosa beranjak dari sana sambil mengelus perutnya yang sudah membuncit. Ia kembali melewati bingkai foto yang tiba-tiba terjatuh semalam. Ia pun kembali teringat, betapa gelisah perasaannya semalam, "Papah," lirihnya. Rosa mengurungkan niatnya untuk pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kama
Bu Wati tersenyum kikuk. Sikap tegas sang menantu tak ubah meskipun sudah 7 bulan mereka tak berjumpa, "baiklah, Nak. Maafkan Ibu ... tapi kamu harus percaya pada Ibu, Ibu tidak menjewernya, Ibu tadi mengambil semut di telinganya. Iya, 'kan," kata Bu Wati seraya menoel lengan Wiwid agar wanita itu mendukung ucapannya. Bi Wiwid hanya mampu menundukkan kepalanya, lalu menjawab dengan terbata, "i-iya, Bu. Tadi ada semut di telinga saya," ungkap Bi Wiwid. Rosa tahu bagaimana sikap wanita tua yang bergelar Ibu untuk suaminya ini, ialah wanita yang memiliki sikap seperti bunglon, jadi bagaimana Wiwid menjawab, ia mengerti bahwa jawaban itu hanyalah sebuah keterpaksaan. "Ya sudah, Wid. Tolong buatkan nasi goreng, ya." Pinta Rosa pada Art-nya. "Baik, Bu," jawab Wiwid cepat, lalu bergegas pergi ke dapur untuk menyajikan nasi goreng kesukaan majikannya seperti biasanya.'Loh, nasi goreng? Rumah semewah ini kok sarapannya nasi goreng?' monolog Bu Wati dalam hati, 'gagal dong mau manjain peru