"Chika, Ibu udah bangun?" tanya Bi Wiwid, wanita yang juga menginap di rumah Rosa karna bekerja sebagai ART.
"Belum, Bi. Semalem tante nggak tidur," jawab Chika seadanya. "Ooo, ya sudah kalau gitu jangan di ganggu ya," "Iya, Bi." Bi Wiwid pun langsung menghampiri Bu Wati yang sejak tadi begitu riuh menekan bel. Ceklek ... Ceklek ... Pintu besi itu saling bertumburan menimbulkan suara yang cukup bising, tetapi suasana akan terdengar lebih bising lagi apa bila wanita tua yang ada di depan pagar tak segera di temui, "maaf Ibu cari siapa?" tanya Bi Wiwid yang memang belum pernah bertemu dengan sosok mertua majikannya. "Kamu yang siapa? Kamu tidak tahu saya siapa?" Bu Wati sedikit nyolot sebab rasa kesal telah menghantui hatinya, "kamu pasti pemb*ntu di rumah ini, 'kan! Kerja tu yang becus! Ada orang datang bukannya langsung di bukain pintu! 2 jam saya berdiri di sini!" cecar Bu Wati tanpa jeda. "Rosa juga kemana! Mertua datang bukannya di sambut!" lanjutnya mengomel seraya masuk ke dalam rumah itu tanpa di persilahkan terlebih dahulu. "Ooo jadi Ibu itu mertuanya Ibu," gumam Bi Wiwid, "aduh, matilah aku kalau sampai ibu itu mengadu kalau aku lama membuka pintu!" Bergegas Bi Wiwid menutup pintu, dan menyusul Bu Wati yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah. Sesampainya di dalam Bi Wiwid melihat mertua majikannya itu tengah bicara dengan Chika, tetapi raut wajahnya sedikit kesal. Bi Wiwid bahkan melihat tangan itu menyubit perut Chika. "Astaga!" pekik Bi Wiwid yang tak menyangka bila wanita tua itu akan bersikap kasar pada anak kecil. Sedangkan Chika hanya meringis menahan sakit. Ia selalu ingat akan perkataan Tantenya, bahwa kita tidak boleh cengeng. "Bu," tegur Bi Wiwid. Ia tak ingin bila wanita itu diam-diam terus menyakiti Chika. "Ada apa! Jangan panggil saya, Bu! Saya bukan Ibu kamu! Panggil saya Nyonya! Kamu ngerti!" ungkap Bu Wati. "Ba-baik, Nyonya." Bi Wiwid tergugup, ia sedikit bingung dengan keangkuhan wanita tua itu, sedangkan majikannya saja tidak mau di panggil Nyonya, majikannya itu lebih nyaman di panggil dengan sebutan, Ibu karena itu lebih nyaman, tetapi tidak dengan wanita tua ini, bisa-bisa dia memerintah Bi Wiwid untuk di panggil Nyonya, apa dia Pemiliki rumah ini? Apa dia berkuasa atas segala yang ada di sini? Bi Wiwid tak habis pikir, kenapa ada manusia seperti mertua majikannya ini. "Kenapa bengong disitu? Apa kamu di bayar hanya untuk memperhatikan saya? Sana kembali ke dapur! Tempatmu itu di dapur bukan disini!" kata Bu Wati, "o ya, buatkan saya jus buah, sama saya mau sarapan roti," lanjutnya memerintah. Hari ini Bu Wati ingin menjadi orang kaya seperti yang ada di film-film, sarapan roti dengan jus. Tidak ada nasi goreng, dan kerupuk. Ia ingin perutnya sedikit di manja hari ini. "Ba-baik, Bu," sahut Bi Wiwid yang sudah terbiasa memanggil siapa saja dengan panggilan, Ibu. "Apa kamu bilang? Ibu? Kamu pikir saya Ibu kamu? Denger ya!" Bu Wati mendekati Bi Wiwid lalu menarik kasar telinga wanita itu, "panggil saya Nyonya!" ucap Bu Wati penuh penekanan. Namun, belum semat Bi Wiwid menjawab, Chika yang tadi di selematakan Bi Wiwid kini berlari ke kamar, dan dengan terpaksa membangunkan Tantenya untuk segera menghentikan aksi ganas Neneknya. "Tante ayo bangun di depan ada nenek. Nenek lagi marahin Bi Wiwid," celoteh Chika seraya menggoyangkan tubuh Rosa. Dengan segera Rosa membuka kedua matanya, silau ... itulah yang di rasakannya sekarang, "eumm, sayang ada apa?" tanya Rosa dengan suara serak karna baru terjaga. "Tante maaf Chika mengganggu, tapi di depan ada nenek. Bi Wiwid sedang di marahi oleh nenek," adu Chika. "Nenek? Maksud kamu?" Rosa segera bangun, dan mengikat rambutnya. Tanpa mencuci wajah, atau pergi ke kamar mandi, Rosa langsung menghampiri Bi Wiwid yang ternyata telinganya sedang di jewer oleh wanita yang hampir 7 bulan tak ia jumpai. Wanita tua itu ... kini berulah di dalam istananya. "Ada apa ini, Bu?" tanya Rosa, ia pun menarik ART-nya agar menjauh dari sang mertua. "Eh, Rosa ... kamu baru bangun, Nak?. O ya, gimana kabar kamu? Sehat, 'kan;" kata Bu Wati, suaranya lembut seperti sutra, sangat berbeda dengan tadi yang bagaikan mak lampir. "Bu, tolong jangan kasar dengan Bi Wiwid!" kata Rosa. "Kasar? Ibu tidak kasar, Nak. Di telinganya ada semut, tadi Ibu lagi ambil semut di telinganya, bukan menjewernya," elak Bu Wati. "Apa pun alasan Ibu, tolong jaga sikap, dan jangan kasar di rumah saya!" ungkap Rosa. ***Bu Wati tersenyum kikuk. Sikap tegas sang menantu tak ubah meskipun sudah 7 bulan mereka tak berjumpa, "baiklah, Nak. Maafkan Ibu ... tapi kamu harus percaya pada Ibu, Ibu tidak menjewernya, Ibu tadi mengambil semut di telinganya. Iya, 'kan," kata Bu Wati seraya menoel lengan Wiwid agar wanita itu mendukung ucapannya. Bi Wiwid hanya mampu menundukkan kepalanya, lalu menjawab dengan terbata, "i-iya, Bu. Tadi ada semut di telinga saya," ungkap Bi Wiwid. Rosa tahu bagaimana sikap wanita tua yang bergelar Ibu untuk suaminya ini, ialah wanita yang memiliki sikap seperti bunglon, jadi bagaimana Wiwid menjawab, ia mengerti bahwa jawaban itu hanyalah sebuah keterpaksaan. "Ya sudah, Wid. Tolong buatkan nasi goreng, ya." Pinta Rosa pada Art-nya. "Baik, Bu," jawab Wiwid cepat, lalu bergegas pergi ke dapur untuk menyajikan nasi goreng kesukaan majikannya seperti biasanya.'Loh, nasi goreng? Rumah semewah ini kok sarapannya nasi goreng?' monolog Bu Wati dalam hati, 'gagal dong mau manjain peru
"Chika," panggil Rosa, ia pun duduk di sebelah keponakannya, "kalau Chika nggak mau main sama nenek, Chika boleh main di kamar aja," ucapnya seraya mengelus rambut panjang gadis kecil itu.Perlahan Chika mengangkat wajahnya, dan memberanikan diri untuk menatap wanita yang ada di sebelahnya ini, "Chika mau main keluar, tapi Chika nggak mau main sama nenek, Tante," ungkapnya pelan. Rosa mengerti, mungkin saja tadi sikap mak lampir sang mertua kembali kambuh yang mengakibatkan cucunya menjadi takut, "ya sudah, oya Chika mandi sama siapa?" tanya Rosa mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. "Mandi sendiri, Tante." "Anak pinter ... ya sudah kalo gitu Tante mau mandi dulu ya." "Iya, Tante." Perlahan Rosa beranjak dari sana sambil mengelus perutnya yang sudah membuncit. Ia kembali melewati bingkai foto yang tiba-tiba terjatuh semalam. Ia pun kembali teringat, betapa gelisah perasaannya semalam, "Papah," lirihnya. Rosa mengurungkan niatnya untuk pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kama
"TARAAA! SURPRISE!!!" seru dua lelaki yang beda usia itu. Mereka begitu puas melihat ekspresi linglung yang di tampilkan oleh Rosa. "Astaga, Mas! Pah! Kalian ini bikin aku jantungan!" Bukannya di sambut dengan senyuman, mereka malah di sembur omelan, "kalian ya! Kalo aku shock gimana! Kalo aku nggak siap gimana! Main pekik, dan muncul tiba-tiba aja!" omelnya seraya melayangkan satu bogeman ke perut suaminya. "Aw, ampun, Sayang." Pak Erik pun tertawa melihat putrinya begitu kesal, "pasti kamu mikir yang macem-macem, 'kan tentang suamimu ... hayooo ngakuuu ...," ledek sang ayah. "Apaan sih, Pah!" Rosa pun diam, tak lagi memukuli suaminya. "Kesel, 'kan karena Hasan nggak pulang-pulang ... iya, 'kan ...." "Nggak, tu. Biasa aja." "Alah, nggak mau ngaku ... semalem aja marah-marah." "Loh, kok Papah tahu?" Pak Erik, dan Hasan pun saling melempar pandang serta senyum yang menawan, "tahulah, orang Papah yang,---" "Sttttt, jangan di teruskan. Nanti istrimu jadi marah sama Papah," bis
Berulang kali Rosa mengucap syukur sebab suaminya itu datang tepat sebelum acara di mulai. Hatinya yang kecewa, kini telah berbunga. Rosa bahkan tak sabar menunggu pukul 4 tiba. "Selama Ayah pergi pola Bunda gimana, Nak?" ucap Hasan yang kini masih mengajak anaknya bicara sambil mengelus lembut perut istrinya yang tengah membuncit. Ia masih ingat betul saat 7 bulan yang lalu bagaimana tingkah istrinya itu. Orang tua menyebutnya 'Ngidam,' tapi bagi Hasan tingkah istrinya itu benar-benar menggemaskan. Bagaimana tidak, sejak pagi Rosa melarang Hasan bekerja. Ia ingin mengajak suaminya pergi jalan-jalan, tapi ternyata bukan keliling kota, melainkan jalan dari pos jaga hingga ke ujung perumahan. Dan itu mereka lakukan berulang kali dari pagi hingga siang. Lalu yang lebih parahnya, diam-diam Rosa menghilang, dan membuat Hasan jadi gelabakan. Setelah Hasan pusing mencari Rosa, ternyata wanita itu sedang duduk di atas pohon tengah menikmati buah jambu air yang baru di petik olehnya. "Bicar
"Aku sudah mandi, Mas. Kamu saja sana." Melihat mood istrinya mendadak buruk, Hasan pun tak ingin bila hal ini terus terjadi hingga berkepanjangan. Bila sempat mood istrinya tak membaik, sedikit banyak akan berdampak pada acara nuju bulan nanti. Lelaki itu pun bergegas menutup tirai kamar lalu membuka pakaiannya, dengan cepat ia melakukan seperti apa yang tengah di inginkan istrinya, "kita bermain cepat saja, Sayang," bisik Hasan. Rosa pun tersenyum, benar saja ... mood istrinya kembali normal. Dengan singkat, padat, dan jelas Hasan mengacau ar-e-a sensitiv istrinya. Baginya, kesenangan istri adalah hal yang utama. "Ehm, Mas ... Ahhhhhh," Rosa me-nd-esa- panjang saat mereka sama-sama mencapai titik kepu-as-an itu. "Udah, ya. Kalo kurang nanti malem kita lanjut lagi, sebetulnya Mas juga, ... heheheh," Hasan tak melanjutkan ucapannya, ia malah tersenyum kikuk menampilkan barisan gigi putihnya."Iya, Mas," sahut Rosa dan juga tersenyum melihat keringat mengujur di wajah suaminya.
Mbok Ipeh mulai melakukan tugasnya, ia meminta Bi Wiwid untuk mengambilkan 7 lembar kain yang sudah di persiapkan. Kain itu yang akan menjadi salah satu syarat terpenting untuk acara nuju bulan ini. "Ndok, pakai ini," kata Mbok Ipeh seraya memberikan selembar kain pada Rosa. Rosa pun menurut, dan mengganti pakaiannya dengan selembar kain, sebab dirinya akan di mandikan dengan air kembang 7 warna. Selanjutnya setelah proses mandi kembang selesai, Mbok Ipeh akan membimbing Hasan untuk membelah kelapa muda yang sudah di sediakan khusus untuk acara ini. Pada bagian ini, kita akan mengetahui jenis kelamin yang sedang di kandung Rosa. Apakah dia lelaki atau seorang perempuan, akan tetapi hanya sebagian orang yang masih percaya, dan sebagian pula menganggapnya mitos. Namun, ketika Hasan akan membelah kelapa muda itu, langit yang awalnya mendung, kini semakin mendung, seakan hujan akan turun. "Bismillahirrahmanirrahim," lirih Hasan. Ia pun mengangkat g-olok, dan akan membelah kelapa mud
"Mas," panggil gadis itu, ia tak perduli bila Hasan tengah mencoba memberi penjelasan kepada istrinya, "bagaimana jika kamu melihat ini, apa masih kamu lupa denganku?" ucapnya seraya merogoh sesuatu yang ada di dalam tasnya. Hasan berjalan mendekati gadis itu lalu melayangkan tatapan tajam, "apa pun yang akan kamu tunjukkan sebagai bukti, itu pasti rekayasa! Sudahi sandiwara mu, katakan sekarang siapa yang menyuruhmu untuk menghancurkan acara ini!" ungkap Hasan penuh penekanan. Gadis itu tersenyum, "kita lihat saja," ucapnya lalu menghampiri Rosa. "Hai, sayangnya kita harus berbagi suami, karena saat ini aku pun sedang mengandung anak dari suamimu," bisik gadis itu pada Rosa. Glegek. Rosa meneguk salivanya, entah mengapa untuk pertama kali ia merasa posisinya tersudutkan. Gadis itu pun menunjukkan beberapa lembar foto. Foto yang membuat tubuh Rosa jadi menegang. "Bisa kamu lihat, betapa erat suamimu memelukku. Foto ini aku ambil setelah suamimu puas bermain denganku. Lihatlah,
"Astaghfirullah ... bertemu dengannya saja tidak pernah, baru ini Mas melihat dia," ungkap Hasan. "Hah! Wajar kamu betah di sana! Berulang kali aku minta pulang, tidak kamu gubris. Banyak sekali alasan kamu. Yang ini, yang itu, ternyata, ada dia yang membuatmu lupa dengan aku, dan calon anakmu! Kamu pikir enak, Mas saat hamil begini di tinggal suami? Kamu pikir enak, Mas berbadan dua! Kamu pikir aku bisa melalui semuanya dari usia 2 Minggu sampe 7 bulan seorang diri? Nggak, Mas! Aku nggak kuat! Aku nggak sekuat yang kamu bayangin! Tapi aku harus kuat, karena aku percaya kamu di sana beneran kerja! Aku harus kuat demi kamu, dan anakku ... tapi yang ku dapat apa? Oleh-olehmu sungguh luar biasa!" ungkap Rosa, ia tak perduli dengan mereka yang ada di sana, yang Rosa inginkan hanyalah membuang semua uneg-uneg yang memenuhi hatinya. Hasan tak bergeming, ia bahkan tak tahu lagi harus dengan cara apa agar istrinya percaya bahwa dia, sungguh setia, dan wanita itu ... 'wanita itu,' ungkap
"Apa yang harus aku katakan, Mas? Semua sudah jelas. Kita pernah menghabiskan malam bersama, dan sekarang aku mengandung anakmu. Kamu tahu, aku masih menyimpan foto serta Vidio panas kita. Yang di hancurkan istrimu tadi itu hanya sebagian, yang lain masih banyak tersisa di ponselku. Kamu mau lihat?" ucapnya santai, seperti tak merasa sakit pada lengannya yang di cengkram kuat oleh Hasan. "Tutup mulut busukmu!" Hasan mengangkat tangannya, dan akan melayangkan pukulan ke wajah gadis itu, tetapi Pak Erik yang melihat tak ingin Hasan menyakiti wanita itu. "Hentikan, Hasan!" teriak Pak Erik tepat sebelum tangan kekar itu menyentuh wajah Mawar, "jangan buat malu dirimu. Sudah Papah katakan selesaikan baik-baik! Sekarang masih banyak orang di rumah, apa kamu tidak malu bagaimana tanggapan mereka nanti! Untung acara di majukan jadi para kolega kerja, dan teman dekat Rosa belum ada yang datang, coba kalau mereka menyaksikan ini, bisa malu keluarga kita!" ungkap Pak Erik penuh penekan. Hasan
"Astaghfirullah ... bertemu dengannya saja tidak pernah, baru ini Mas melihat dia," ungkap Hasan. "Hah! Wajar kamu betah di sana! Berulang kali aku minta pulang, tidak kamu gubris. Banyak sekali alasan kamu. Yang ini, yang itu, ternyata, ada dia yang membuatmu lupa dengan aku, dan calon anakmu! Kamu pikir enak, Mas saat hamil begini di tinggal suami? Kamu pikir enak, Mas berbadan dua! Kamu pikir aku bisa melalui semuanya dari usia 2 Minggu sampe 7 bulan seorang diri? Nggak, Mas! Aku nggak kuat! Aku nggak sekuat yang kamu bayangin! Tapi aku harus kuat, karena aku percaya kamu di sana beneran kerja! Aku harus kuat demi kamu, dan anakku ... tapi yang ku dapat apa? Oleh-olehmu sungguh luar biasa!" ungkap Rosa, ia tak perduli dengan mereka yang ada di sana, yang Rosa inginkan hanyalah membuang semua uneg-uneg yang memenuhi hatinya. Hasan tak bergeming, ia bahkan tak tahu lagi harus dengan cara apa agar istrinya percaya bahwa dia, sungguh setia, dan wanita itu ... 'wanita itu,' ungkap
"Mas," panggil gadis itu, ia tak perduli bila Hasan tengah mencoba memberi penjelasan kepada istrinya, "bagaimana jika kamu melihat ini, apa masih kamu lupa denganku?" ucapnya seraya merogoh sesuatu yang ada di dalam tasnya. Hasan berjalan mendekati gadis itu lalu melayangkan tatapan tajam, "apa pun yang akan kamu tunjukkan sebagai bukti, itu pasti rekayasa! Sudahi sandiwara mu, katakan sekarang siapa yang menyuruhmu untuk menghancurkan acara ini!" ungkap Hasan penuh penekanan. Gadis itu tersenyum, "kita lihat saja," ucapnya lalu menghampiri Rosa. "Hai, sayangnya kita harus berbagi suami, karena saat ini aku pun sedang mengandung anak dari suamimu," bisik gadis itu pada Rosa. Glegek. Rosa meneguk salivanya, entah mengapa untuk pertama kali ia merasa posisinya tersudutkan. Gadis itu pun menunjukkan beberapa lembar foto. Foto yang membuat tubuh Rosa jadi menegang. "Bisa kamu lihat, betapa erat suamimu memelukku. Foto ini aku ambil setelah suamimu puas bermain denganku. Lihatlah,
Mbok Ipeh mulai melakukan tugasnya, ia meminta Bi Wiwid untuk mengambilkan 7 lembar kain yang sudah di persiapkan. Kain itu yang akan menjadi salah satu syarat terpenting untuk acara nuju bulan ini. "Ndok, pakai ini," kata Mbok Ipeh seraya memberikan selembar kain pada Rosa. Rosa pun menurut, dan mengganti pakaiannya dengan selembar kain, sebab dirinya akan di mandikan dengan air kembang 7 warna. Selanjutnya setelah proses mandi kembang selesai, Mbok Ipeh akan membimbing Hasan untuk membelah kelapa muda yang sudah di sediakan khusus untuk acara ini. Pada bagian ini, kita akan mengetahui jenis kelamin yang sedang di kandung Rosa. Apakah dia lelaki atau seorang perempuan, akan tetapi hanya sebagian orang yang masih percaya, dan sebagian pula menganggapnya mitos. Namun, ketika Hasan akan membelah kelapa muda itu, langit yang awalnya mendung, kini semakin mendung, seakan hujan akan turun. "Bismillahirrahmanirrahim," lirih Hasan. Ia pun mengangkat g-olok, dan akan membelah kelapa mud
"Aku sudah mandi, Mas. Kamu saja sana." Melihat mood istrinya mendadak buruk, Hasan pun tak ingin bila hal ini terus terjadi hingga berkepanjangan. Bila sempat mood istrinya tak membaik, sedikit banyak akan berdampak pada acara nuju bulan nanti. Lelaki itu pun bergegas menutup tirai kamar lalu membuka pakaiannya, dengan cepat ia melakukan seperti apa yang tengah di inginkan istrinya, "kita bermain cepat saja, Sayang," bisik Hasan. Rosa pun tersenyum, benar saja ... mood istrinya kembali normal. Dengan singkat, padat, dan jelas Hasan mengacau ar-e-a sensitiv istrinya. Baginya, kesenangan istri adalah hal yang utama. "Ehm, Mas ... Ahhhhhh," Rosa me-nd-esa- panjang saat mereka sama-sama mencapai titik kepu-as-an itu. "Udah, ya. Kalo kurang nanti malem kita lanjut lagi, sebetulnya Mas juga, ... heheheh," Hasan tak melanjutkan ucapannya, ia malah tersenyum kikuk menampilkan barisan gigi putihnya."Iya, Mas," sahut Rosa dan juga tersenyum melihat keringat mengujur di wajah suaminya.
Berulang kali Rosa mengucap syukur sebab suaminya itu datang tepat sebelum acara di mulai. Hatinya yang kecewa, kini telah berbunga. Rosa bahkan tak sabar menunggu pukul 4 tiba. "Selama Ayah pergi pola Bunda gimana, Nak?" ucap Hasan yang kini masih mengajak anaknya bicara sambil mengelus lembut perut istrinya yang tengah membuncit. Ia masih ingat betul saat 7 bulan yang lalu bagaimana tingkah istrinya itu. Orang tua menyebutnya 'Ngidam,' tapi bagi Hasan tingkah istrinya itu benar-benar menggemaskan. Bagaimana tidak, sejak pagi Rosa melarang Hasan bekerja. Ia ingin mengajak suaminya pergi jalan-jalan, tapi ternyata bukan keliling kota, melainkan jalan dari pos jaga hingga ke ujung perumahan. Dan itu mereka lakukan berulang kali dari pagi hingga siang. Lalu yang lebih parahnya, diam-diam Rosa menghilang, dan membuat Hasan jadi gelabakan. Setelah Hasan pusing mencari Rosa, ternyata wanita itu sedang duduk di atas pohon tengah menikmati buah jambu air yang baru di petik olehnya. "Bicar
"TARAAA! SURPRISE!!!" seru dua lelaki yang beda usia itu. Mereka begitu puas melihat ekspresi linglung yang di tampilkan oleh Rosa. "Astaga, Mas! Pah! Kalian ini bikin aku jantungan!" Bukannya di sambut dengan senyuman, mereka malah di sembur omelan, "kalian ya! Kalo aku shock gimana! Kalo aku nggak siap gimana! Main pekik, dan muncul tiba-tiba aja!" omelnya seraya melayangkan satu bogeman ke perut suaminya. "Aw, ampun, Sayang." Pak Erik pun tertawa melihat putrinya begitu kesal, "pasti kamu mikir yang macem-macem, 'kan tentang suamimu ... hayooo ngakuuu ...," ledek sang ayah. "Apaan sih, Pah!" Rosa pun diam, tak lagi memukuli suaminya. "Kesel, 'kan karena Hasan nggak pulang-pulang ... iya, 'kan ...." "Nggak, tu. Biasa aja." "Alah, nggak mau ngaku ... semalem aja marah-marah." "Loh, kok Papah tahu?" Pak Erik, dan Hasan pun saling melempar pandang serta senyum yang menawan, "tahulah, orang Papah yang,---" "Sttttt, jangan di teruskan. Nanti istrimu jadi marah sama Papah," bis
"Chika," panggil Rosa, ia pun duduk di sebelah keponakannya, "kalau Chika nggak mau main sama nenek, Chika boleh main di kamar aja," ucapnya seraya mengelus rambut panjang gadis kecil itu.Perlahan Chika mengangkat wajahnya, dan memberanikan diri untuk menatap wanita yang ada di sebelahnya ini, "Chika mau main keluar, tapi Chika nggak mau main sama nenek, Tante," ungkapnya pelan. Rosa mengerti, mungkin saja tadi sikap mak lampir sang mertua kembali kambuh yang mengakibatkan cucunya menjadi takut, "ya sudah, oya Chika mandi sama siapa?" tanya Rosa mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. "Mandi sendiri, Tante." "Anak pinter ... ya sudah kalo gitu Tante mau mandi dulu ya." "Iya, Tante." Perlahan Rosa beranjak dari sana sambil mengelus perutnya yang sudah membuncit. Ia kembali melewati bingkai foto yang tiba-tiba terjatuh semalam. Ia pun kembali teringat, betapa gelisah perasaannya semalam, "Papah," lirihnya. Rosa mengurungkan niatnya untuk pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kama
Bu Wati tersenyum kikuk. Sikap tegas sang menantu tak ubah meskipun sudah 7 bulan mereka tak berjumpa, "baiklah, Nak. Maafkan Ibu ... tapi kamu harus percaya pada Ibu, Ibu tidak menjewernya, Ibu tadi mengambil semut di telinganya. Iya, 'kan," kata Bu Wati seraya menoel lengan Wiwid agar wanita itu mendukung ucapannya. Bi Wiwid hanya mampu menundukkan kepalanya, lalu menjawab dengan terbata, "i-iya, Bu. Tadi ada semut di telinga saya," ungkap Bi Wiwid. Rosa tahu bagaimana sikap wanita tua yang bergelar Ibu untuk suaminya ini, ialah wanita yang memiliki sikap seperti bunglon, jadi bagaimana Wiwid menjawab, ia mengerti bahwa jawaban itu hanyalah sebuah keterpaksaan. "Ya sudah, Wid. Tolong buatkan nasi goreng, ya." Pinta Rosa pada Art-nya. "Baik, Bu," jawab Wiwid cepat, lalu bergegas pergi ke dapur untuk menyajikan nasi goreng kesukaan majikannya seperti biasanya.'Loh, nasi goreng? Rumah semewah ini kok sarapannya nasi goreng?' monolog Bu Wati dalam hati, 'gagal dong mau manjain peru