Hujan di luar sepertinya mulai mereda, dan Rosa ... ia belum juga sadarkan diri. Selang infus menempel di tangannya, obat yang di suntik melalui infus mengalir ke seluruh penjuru tubuhnya. Di samping, dengan setia Hasan duduk menemani istrinya. Rasa penyesalan itu masih ada, sebab banyak waktu yang terbuang hanya untuk mempelajari sebuah materi yang tak ada habisnya.7 bulan dia pergi berdinas. Selama 7 bulan juga mereka hanya berkomunikasi melalui sambungan telfon. Istrinya selalu tersenyum bila mereka tengah melakukan panggilan Vidio, wanita itu juga mengatakan bahwa dia baik-baik saja meski mereka sedang berjauhan. Namun, pada kenyataannya, seperti di hantam bebatuan keras saat ia mengetahui berat bayi yang di kandung tidak normal, padahal usia kandungan sudah menginjak 7 bulan, apa bayinya kurang nutrisi? atau mungkin istrinya yang dengan sengaja tak menjaga pola makan serta memperhatikan kebutuhan sang bayi? Entahlah, Hasan hanya bisa menarik rambutnya kasar, merasa bodoh atas t
Astaghfirullah, Pah. Sungguh ... aku tidak mengenal wanita itu." "Huffff!" Lagi, Pak Erik hanya bisa menarik nafasnya dalam. Ia merasa percuma terus bertanya, karena jawaban Hasan tetap sama, "tapi ... bila tidak mengenal kenapa dia bisa hamil?" tanya Pak Erik lagi. "Aku yakin, aku di jebak oleh dia, Pah," ungkap Hasan. Pak Erik menatap dalam manik mata menantunya. Ia berusaha mencari kebohongan di sana. Namun, yang terlihat hanyalah kesungguhan, tak ada kedustaan apalagi kecurangan. Pak Erik melihat mata itu masih sama seperti beberapa tahun yang lalu, mata yang memancarkan kejujuran, kasih sayang, dan juga tanggung jawab. Kini Pak Erik menjadi ragu akan kebenaran yang di katakan Mawar. "Akan Papah cari tahu kebenarannya," kata Pak Erik. Ia berjalan mendekati sofa yang ada di sudut ruangan. Tubuhnya lelah sehabis menempuh perjalanan jauh, ia butuh istirahat ia butuh tidur, agar bisa berfikir jernih, dan tidak salah langkah dalam mengambil keputusan. Bu Wati, wanita tua itu mengi
"Aku mau kita pisah!" "Tidak, Sayang. Mas mohon, jangan!" "Lepaskan aku, Mas! Kita bukan suami-istri lagi!" "TIDAK, SAYANG! TIDAK!"Hasan tersentak dari tidurnya, dan keringat dingin menyapa tubuhnya, "astagfirullah, astagfirullah," ucapnya seraya bernafas lega saat sadar bahwa dirinya masih berada di rumah sakit, dan istrinya masih terbaring di sebelahnya tak sadarkan diri. "Hanya mimpi," gumam Hasan, ia pun mengusap lembut jemari istrinya yang masih terpaut erat dengan jemarinya. Lelaki itu kembali menangis mengingat betapa menderita istrinya selama ia tinggal berdinas ke Padang. "Maafkan, Mas ... Sayang," gumamnya lagi. Hasan mencium jemari istrinya dengan lembut, ia merasa sangat berdosa. Namun, mau bagaimana lagi, kepergiannya ke Padang bukan untuk bersenang-senang, ia ke Padang untuk merintis usaha baru, memperluas jangkauan bisnis keluarga istrinya, tetapi yang di dapat sekarang, rumah tangganya berada di ambang kehancuran. Lelaki itu tak tahu harus berbuat apa untuk me
"Sayang, tenang! Jangan begini, pikirkan anak kita! Kasihan dia pasti semakin terguncang!" ungkap Hasan mengingatkan. Sedangkan Pak Erik, ia buru-buru keluar, dan memanggil dokter sebelum putrinya semakin menggila, dan semua menjadi kacau. "Anak? Apa kau memikirkan itu saat kau berada di sana, Mas! Saat kau bersenang-senang dengannya! Saat aku minta kau untuk kembali! Tutup mulutmu, dan jangan pernah singgung soal anak! Ini anakku! tidak ada hakmu atas dirinya! Sekarang juga pergi dari hadapanku!" bentak Rosa. Tak ada lagi benda di dekatnya yang bisa di lempar, yang tersisa hanya tiang infus yang berada di sebelah bankarnya. Rosa menatap nyalang suaminya, tanpa pikir panjang ia mengangkat tingan itu, dan akan ia lemparkan pada suaminya. Namun, belum sempat Rosa meluapkan emosinya, sang ayah datang bersama dokter, dan dua suster berdiri di belakang. Krekkkk! "Astaghfirullah, Nak! Sadar!" teriak Pak Erik ketika masuk ke dalam kamar, dan menyaksikan putrinya tengah mengangkat tiang
"Sebentar lagi usia kandunganku 7 bulan, Mas. Apa kamu belum bisa pulang juga?" tanya Rosa yang kini duduk di depan jendela menikmati udara malam.["Akan Mas usahakan, Sayang. Mas pasti pulang, tapi tidak sekarang,"] jawab Hasan dari seberang sana. Sejak istrinya hamil 2 minggu, ia sudah pergi melakukan perjalanan bisnis ke Padang. Karena yang di kelolanya sekarang adalah anak perusahaan yang pertama, jadi Hasan membutuhkan waktu yang lama untuk mengembangkan cabang Nuansa (ada di season 1 asal-usul Nuansa.) Mereka selalu bertukar kabar lewat panggilan vidio. Siang malam, siang malam datang silih berganti hingga sekarang tak terasa 7 bulan waktu telah berlalu. "Apa tidak bisa di serahkan dulu sama yang lain? Ini penting, Mas. Acara anak pertama kita, lo. Papah aja pulang, meski dia sedang di eropa." "Iya, iya ... Sayang, insyaallah ya. Akan Mas usahakan." "Dari kemarin jawabamu itu-itu mulu, Mas! Bosen aku dengarnya!" rajuk Rosa, bibirnya cemberut memenuhi layar ponsel suaminya.
"MASSSSS!" Rosa tersentak dari tidurnya. Ia langsung terduduk dengan nafas memburu, bulir keringat membasahi tubuh, "astagfirullah ... astagfirullah," lirihnya. Lagi-lagi perutnya terasa keram. "Ya allah, mimpi apa itu," ucapnya sendiri. Rosa mencoba mengatur nafas, dan menenangkan diri. Ia tak boleh setres, karna hal itu akan berdampak pada bayi yang tengah di kandungnya, "kamu kaget ya? Maafkan Mamah, Sayang," lirih Rosa seraya mengelus perutnya yang kian membuncit. "Eum ... hoammm, tante kenapa?" tanya Chika yang ikut terbangun sebab suara gemerusuh di sebelahnya. "Tante kebelet pipis," jawab Rosa asal. Ia pun tersenyum, dan mengelus lengan keponakannya, "Chika bubuk lagi ya, ini masih gelep," ucapnya lembut. Bocah 3 tahun itu pun mengangguk lalu kembali memejamkan matanya, sedangkan Rosa ia semakin gelisah sebab kejadian malam ini begitu aneh menurutnya. Jam baru menunjukkan pukul 2 dini hari, itu artinya baru beberapa menit ia terlelap, dan sekarang kembali terjaga karna mi
"Chika, Ibu udah bangun?" tanya Bi Wiwid, wanita yang juga menginap di rumah Rosa karna bekerja sebagai ART. "Belum, Bi. Semalem tante nggak tidur," jawab Chika seadanya. "Ooo, ya sudah kalau gitu jangan di ganggu ya," "Iya, Bi."Bi Wiwid pun langsung menghampiri Bu Wati yang sejak tadi begitu riuh menekan bel. Ceklek ... Ceklek ... Pintu besi itu saling bertumburan menimbulkan suara yang cukup bising, tetapi suasana akan terdengar lebih bising lagi apa bila wanita tua yang ada di depan pagar tak segera di temui, "maaf Ibu cari siapa?" tanya Bi Wiwid yang memang belum pernah bertemu dengan sosok mertua majikannya. "Kamu yang siapa? Kamu tidak tahu saya siapa?" Bu Wati sedikit nyolot sebab rasa kesal telah menghantui hatinya, "kamu pasti pemb*ntu di rumah ini, 'kan! Kerja tu yang becus! Ada orang datang bukannya langsung di bukain pintu! 2 jam saya berdiri di sini!" cecar Bu Wati tanpa jeda. "Rosa juga kemana! Mertua datang bukannya di sambut!" lanjutnya mengomel seraya masuk ke
Bu Wati tersenyum kikuk. Sikap tegas sang menantu tak ubah meskipun sudah 7 bulan mereka tak berjumpa, "baiklah, Nak. Maafkan Ibu ... tapi kamu harus percaya pada Ibu, Ibu tidak menjewernya, Ibu tadi mengambil semut di telinganya. Iya, 'kan," kata Bu Wati seraya menoel lengan Wiwid agar wanita itu mendukung ucapannya. Bi Wiwid hanya mampu menundukkan kepalanya, lalu menjawab dengan terbata, "i-iya, Bu. Tadi ada semut di telinga saya," ungkap Bi Wiwid. Rosa tahu bagaimana sikap wanita tua yang bergelar Ibu untuk suaminya ini, ialah wanita yang memiliki sikap seperti bunglon, jadi bagaimana Wiwid menjawab, ia mengerti bahwa jawaban itu hanyalah sebuah keterpaksaan. "Ya sudah, Wid. Tolong buatkan nasi goreng, ya." Pinta Rosa pada Art-nya. "Baik, Bu," jawab Wiwid cepat, lalu bergegas pergi ke dapur untuk menyajikan nasi goreng kesukaan majikannya seperti biasanya.'Loh, nasi goreng? Rumah semewah ini kok sarapannya nasi goreng?' monolog Bu Wati dalam hati, 'gagal dong mau manjain peru
"Sayang, tenang! Jangan begini, pikirkan anak kita! Kasihan dia pasti semakin terguncang!" ungkap Hasan mengingatkan. Sedangkan Pak Erik, ia buru-buru keluar, dan memanggil dokter sebelum putrinya semakin menggila, dan semua menjadi kacau. "Anak? Apa kau memikirkan itu saat kau berada di sana, Mas! Saat kau bersenang-senang dengannya! Saat aku minta kau untuk kembali! Tutup mulutmu, dan jangan pernah singgung soal anak! Ini anakku! tidak ada hakmu atas dirinya! Sekarang juga pergi dari hadapanku!" bentak Rosa. Tak ada lagi benda di dekatnya yang bisa di lempar, yang tersisa hanya tiang infus yang berada di sebelah bankarnya. Rosa menatap nyalang suaminya, tanpa pikir panjang ia mengangkat tingan itu, dan akan ia lemparkan pada suaminya. Namun, belum sempat Rosa meluapkan emosinya, sang ayah datang bersama dokter, dan dua suster berdiri di belakang. Krekkkk! "Astaghfirullah, Nak! Sadar!" teriak Pak Erik ketika masuk ke dalam kamar, dan menyaksikan putrinya tengah mengangkat tiang
"Aku mau kita pisah!" "Tidak, Sayang. Mas mohon, jangan!" "Lepaskan aku, Mas! Kita bukan suami-istri lagi!" "TIDAK, SAYANG! TIDAK!"Hasan tersentak dari tidurnya, dan keringat dingin menyapa tubuhnya, "astagfirullah, astagfirullah," ucapnya seraya bernafas lega saat sadar bahwa dirinya masih berada di rumah sakit, dan istrinya masih terbaring di sebelahnya tak sadarkan diri. "Hanya mimpi," gumam Hasan, ia pun mengusap lembut jemari istrinya yang masih terpaut erat dengan jemarinya. Lelaki itu kembali menangis mengingat betapa menderita istrinya selama ia tinggal berdinas ke Padang. "Maafkan, Mas ... Sayang," gumamnya lagi. Hasan mencium jemari istrinya dengan lembut, ia merasa sangat berdosa. Namun, mau bagaimana lagi, kepergiannya ke Padang bukan untuk bersenang-senang, ia ke Padang untuk merintis usaha baru, memperluas jangkauan bisnis keluarga istrinya, tetapi yang di dapat sekarang, rumah tangganya berada di ambang kehancuran. Lelaki itu tak tahu harus berbuat apa untuk me
Astaghfirullah, Pah. Sungguh ... aku tidak mengenal wanita itu." "Huffff!" Lagi, Pak Erik hanya bisa menarik nafasnya dalam. Ia merasa percuma terus bertanya, karena jawaban Hasan tetap sama, "tapi ... bila tidak mengenal kenapa dia bisa hamil?" tanya Pak Erik lagi. "Aku yakin, aku di jebak oleh dia, Pah," ungkap Hasan. Pak Erik menatap dalam manik mata menantunya. Ia berusaha mencari kebohongan di sana. Namun, yang terlihat hanyalah kesungguhan, tak ada kedustaan apalagi kecurangan. Pak Erik melihat mata itu masih sama seperti beberapa tahun yang lalu, mata yang memancarkan kejujuran, kasih sayang, dan juga tanggung jawab. Kini Pak Erik menjadi ragu akan kebenaran yang di katakan Mawar. "Akan Papah cari tahu kebenarannya," kata Pak Erik. Ia berjalan mendekati sofa yang ada di sudut ruangan. Tubuhnya lelah sehabis menempuh perjalanan jauh, ia butuh istirahat ia butuh tidur, agar bisa berfikir jernih, dan tidak salah langkah dalam mengambil keputusan. Bu Wati, wanita tua itu mengi
Hujan di luar sepertinya mulai mereda, dan Rosa ... ia belum juga sadarkan diri. Selang infus menempel di tangannya, obat yang di suntik melalui infus mengalir ke seluruh penjuru tubuhnya. Di samping, dengan setia Hasan duduk menemani istrinya. Rasa penyesalan itu masih ada, sebab banyak waktu yang terbuang hanya untuk mempelajari sebuah materi yang tak ada habisnya.7 bulan dia pergi berdinas. Selama 7 bulan juga mereka hanya berkomunikasi melalui sambungan telfon. Istrinya selalu tersenyum bila mereka tengah melakukan panggilan Vidio, wanita itu juga mengatakan bahwa dia baik-baik saja meski mereka sedang berjauhan. Namun, pada kenyataannya, seperti di hantam bebatuan keras saat ia mengetahui berat bayi yang di kandung tidak normal, padahal usia kandungan sudah menginjak 7 bulan, apa bayinya kurang nutrisi? atau mungkin istrinya yang dengan sengaja tak menjaga pola makan serta memperhatikan kebutuhan sang bayi? Entahlah, Hasan hanya bisa menarik rambutnya kasar, merasa bodoh atas t
Jauh-jauh dari Padang ia datang ke Palembang hanya untuk meminta keadilan dari lelaki incarannya. Namun yang di dapat, ia malah di acuhkan begini, bahkan tak di anggap sama sekali. Sakit .... Namun, bukankah cinta membutuhkan pengorbanan? Maka dari itu, dirinya harus lebih keras lagi dalam berjuang demi bisa mencapai tujuannya. "Tujuanmu apa datang kesini, dan menghancurkan segalanya!" tanya Hasan saat mereka berdua berada di dapur tadi. "Aku hanya ingin hidup bersamamu," jawab Mawar. Wanita itu begitu puas bisa memandang wajah Hasan sedekat ini, dekat, bahkan sangat dekat. Dan di belakang, tak sengaja Bi Wiwid melihat kedekatan antara dua insan yang tak ada ikatan apapun. Namun, Bi Wiwid langsung pergi begitu saja sebab takut dikira tengah mengintip. Itulah mengapa Bi Wiwid mendadak gagu saat Rosa bertanya di mana suaminya. "Kasihan, Ibu ... dia wanita baik, kenapa hidupnya begitu berliku," lirih Bi Wiwid. Ia terus memandang mobil yang di kendarai oleh majikannya. "Namanya juga h
"Astagfirullah, bukan itu. Ayo kita bicara di dalam saja," ajak Hasan, lalu menarik istrinya masuk ke dalam kamar. "Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu!" bentak Rosa lalu menjauh dari lelaki yang amat di bencinya. Ya ... yang tersisa sekarang hanyalah kebencian. Entah mengapa setelah melihat foto b-ugi-L suaminya bersama wanita itu, hati Rosa seakan tercabik-cabik, dan sekarang melihat langsung wajah suaminya Rosa merasa ingin melenyapkan lelaki ini dari muka bumi. "Mas di jebak, Sayang." "Kamu pikir ini sinetron, Mas?" "Sumpah!" "Sudah ku bilang jangan bermain dengan sumpah! Badai di luar belum usai, dan kamu ingin mengundangnya datang lagi!" "Dia orang pertama yang mau bekerja sama dengan cabang Nuansa. Saat itu, sebelum Mas menerima tawaran kerja sama dengannya, Mas menghubungi Papah dulu, dan saat itu Papah meng'iya,'kan, dan Mas langsung bertemu dengannya siang itu juga, tapi ... setelah itu entah mengapa Mas tidak sadar,---" "Tidak sadar kalau sampai kebablasan?
"Tidak! Tolong urus secepatnya.""Tapi ... bukankah kalian,---" "Tidak usah banyak tanya! Apa profesimu sekarang jadi wartawan?" Sontak Fahri langsung menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia bingung dengan keinginan Rosa. Bukankah mereka baru menikah? bahkan usia pernikahan mereka belum genap 2 tahun, dan sekarang ... mengapa minta di uruskan perceraian? Apakah menikah segampang itu untuk jadi, dan lepas begitu saja? Fahri jadi sedikit takut untuk berumah tangga, hingga saat ini tepat pada usianya yang hampir memasuki kepala 4. "Halo! Bagaimana?" tanya Rosa yang merasa bingung sebab tak ada jawaban dari lawan bicaranya. "Baiklah," sahut Fahri pada akhirnya. Mendengar jawaban itu, sontak Rosa langsung memutuskan panggilan secara sepihak. Moodnya benar-benar hancur, ia sedang tak ingin bicara dengan siapapun, termasuk sanak saudara yang masih berkumpul di depan yang mungkin saja saat ini tengah membicarakan rumah tangganya. Tok ... Tok ... Tok. "Bu," panggil Bi Wiwid. Rosa diam,
"Apa yang harus aku katakan, Mas? Semua sudah jelas. Kita pernah menghabiskan malam bersama, dan sekarang aku mengandung anakmu. Kamu tahu, aku masih menyimpan foto serta Vidio panas kita. Yang di hancurkan istrimu tadi itu hanya sebagian, yang lain masih banyak tersisa di ponselku. Kamu mau lihat?" ucapnya santai, seperti tak merasa sakit pada lengannya yang di cengkram kuat oleh Hasan. "Tutup mulut busukmu!" Hasan mengangkat tangannya, dan akan melayangkan pukulan ke wajah gadis itu, tetapi Pak Erik yang melihat tak ingin Hasan menyakiti wanita itu. "Hentikan, Hasan!" teriak Pak Erik tepat sebelum tangan kekar itu menyentuh wajah Mawar, "jangan buat malu dirimu. Sudah Papah katakan selesaikan baik-baik! Sekarang masih banyak orang di rumah, apa kamu tidak malu bagaimana tanggapan mereka nanti! Untung acara di majukan jadi para kolega kerja, dan teman dekat Rosa belum ada yang datang, coba kalau mereka menyaksikan ini, bisa malu keluarga kita!" ungkap Pak Erik penuh penekan. Hasan
"Astaghfirullah ... bertemu dengannya saja tidak pernah, baru ini Mas melihat dia," ungkap Hasan. "Hah! Wajar kamu betah di sana! Berulang kali aku minta pulang, tidak kamu gubris. Banyak sekali alasan kamu. Yang ini, yang itu, ternyata, ada dia yang membuatmu lupa dengan aku, dan calon anakmu! Kamu pikir enak, Mas saat hamil begini di tinggal suami? Kamu pikir enak, Mas berbadan dua! Kamu pikir aku bisa melalui semuanya dari usia 2 Minggu sampe 7 bulan seorang diri? Nggak, Mas! Aku nggak kuat! Aku nggak sekuat yang kamu bayangin! Tapi aku harus kuat, karena aku percaya kamu di sana beneran kerja! Aku harus kuat demi kamu, dan anakku ... tapi yang ku dapat apa? Oleh-olehmu sungguh luar biasa!" ungkap Rosa, ia tak perduli dengan mereka yang ada di sana, yang Rosa inginkan hanyalah membuang semua uneg-uneg yang memenuhi hatinya. Hasan tak bergeming, ia bahkan tak tahu lagi harus dengan cara apa agar istrinya percaya bahwa dia, sungguh setia, dan wanita itu ... 'wanita itu,' ungkap