"TARAAA! SURPRISE!!!" seru dua lelaki yang beda usia itu. Mereka begitu puas melihat ekspresi linglung yang di tampilkan oleh Rosa.
"Astaga, Mas! Pah! Kalian ini bikin aku jantungan!" Bukannya di sambut dengan senyuman, mereka malah di sembur omelan, "kalian ya! Kalo aku shock gimana! Kalo aku nggak siap gimana! Main pekik, dan muncul tiba-tiba aja!" omelnya seraya melayangkan satu bogeman ke perut suaminya. "Aw, ampun, Sayang." Pak Erik pun tertawa melihat putrinya begitu kesal, "pasti kamu mikir yang macem-macem, 'kan tentang suamimu ... hayooo ngakuuu ...," ledek sang ayah. "Apaan sih, Pah!" Rosa pun diam, tak lagi memukuli suaminya. "Kesel, 'kan karena Hasan nggak pulang-pulang ... iya, 'kan ...." "Nggak, tu. Biasa aja." "Alah, nggak mau ngaku ... semalem aja marah-marah." "Loh, kok Papah tahu?" Pak Erik, dan Hasan pun saling melempar pandang serta senyum yang menawan, "tahulah, orang Papah yang,---" "Sttttt, jangan di teruskan. Nanti istrimu jadi marah sama Papah," bisik Pak Erik. "Ohhh, jadi ini semua rencana Papah? Sengaja buat aku khawatir, sengaja buat aku nungguin, dan mikirin kalian sampe nggak bisa tidur!" "Bukan gitu, Ros ... kamu tahu sendiri gimana rumitnya membangun anak cabang. Untungnya suamimu ini cepat tanggap, jadi hanya dalam waktu 7 bulan anak cabang yang ada di Padang berkembang dengan pesat. Papah bangga dengan suamimu." "Bukannya Papah di eropa?" "Papah di eropa cuma 3 bulan, selebihnya Papa mantau Hasan di Padang." "Eh ... eh, sudah-sudah berdebatnya di lanjut nanti saja," ucap Bu Wati menyalip pembicaraan anak, dan ayah itu, "Ros, ajak suamimu masuk, ibu akan siapkan makanan untuk Papahmu," kata Bu Wati memberi intruksi. 'Loh ... jangan bilang Ibu caper sama Papah. Hadeuh ... lupa umur, kah?' monolog Rosa dalam hati. "Ros," panggil Bu Wati lagi, sebab menantunya itu hanya bengong di tempat. "Iya, Bu. O ya, bagian makanan biar Bi Wiwid saja yang menyiapkan untuk Papah. Ibu duduk saja di sana sama yang lain, nggak perlu repot-repot. Ibu bilang tadi Ibu lelah karna mengurus Mas Farid, jadi di sini Ibu di bebaskan dari tugas apapun. Ibu bisa bersantai tanpa harus melakukan pekerjaan apapun," tukas Rosa. Ia tak ingin bila Ibu mertuanya itu mencari-cari kesempatan dalam kesempitan. Andai Pak Bowo ikut, mungkin Bu Wati tak akan segaje itu terhadap besannya. "Eh," Bu Wati tersenyum kikuk. Begitu percaya dirinyanya dia akan di izinkan untuk melayani besannya yang baru pulang dari perantauan, dia pikir dia siapa? Harusnya malu, dan sadar posisi dong. Apa karna tempat tinggal mewah, dan harta yang berlimpah membuat Bu Wati kadi melupakan asal usulnya? "Bu," tegur Hasan, ia ingin mematahkan kecanggungan yang sempat terjadi, "apa kabar, Bu?" tanya Hasan, ia pun mencium tangan sang bunda. "B-baik," jawab Bu Wati gagu, 'ah ... betapa bodohnya aku! Apa sih yang sedang aku pikirkan! Astagfirullah, sadar Wati, sadar!' gerutunya dalam hati. Wanita itu pun memeluk putranya seakan banyak kerinduan yang tak sempat tersampaikan. Padahal, Bu Wati hanya menutupi rasa malu yang tengah melanda dirinya sebab telah berani mengatur tuan rumah. "Bapak nggak ikut, Bu?" tanya Hasan lagi. "Nggak. Bapak di rumah jagain Kakakmu." "Ayo-ayo kita ngobrol di dalam saja," sanggah Pak Erik yang mulai lelah sebab sejak tadi hanya berdiam diri di depan pintu. Mereka pun masuk, dan pintu di biarkan terbuka sebab banyak sanak saudara, dan para keponakan yang keluar masuk rumah untuk sekedar melihat-lihat, atau memang memperhatikan setiap sudut rumah si pewaris tunggal itu. Rosa mengantar Hasan ke kamar, dia akan membersihkan diri dulu sebelum acara di mulai. "Jadi kamu di bimbing sama Papah, Mas?" tanya Rosa yang kini sudah berada di dalam kamar, duduk di tepi ranjang memperhatikan gerak-gerik lelaki yang sangat di rindukan olehnya. "Iya, Sayang. Makanya aku nggak bisa pulang, karena nggak di kasih izin sama Papah sebelum anak cabang itu berdiri," kata Hasan seraya meletakkan koper yang di bawa berdinas di sudut ruangan. "Em gitu ...," sahut Rosa. Ada sedikit lega di dada sebab pikiran buruk yang sempat menghantuinya tak berarti apa-apa. "Kalo di lapangan Papah lumayan galak ya. Nggak perduli siapa A siapa B." "Kenapa? Kamu kena imbas, Mas?" Hasan berjalan mendekati istrinya lalu tersenyum nakal, "sedikit heheh," ucapnya kemudian. Lelaki itu duduk di sebslah sanh istri. Jujur saja 7 bulan tak memandang wajahnya membuat Hasan jadi kelimpungan. Namun, mau bagaimana lagi, lelaki memang harus seperti itu. Rela jauh dari istri, dan keluarga demi sebuah tanggung jawab. "Sayang, sekarang ayah di sini. Maafin Ayah karena perginya lama, tapi ... Ayah janji, setelah ini Ayah tidak akan kemana-mana lagi," ungkap Hasan seraya mengelus, dan mengajak bicara bayi yang tengah berada di dalam kandungan istrinya. Rosa tersenyum ... kali ini hati, dan perasaannya benar-benar lega. Tak ada lagi kerisauan, tak ada lagi kegelisahan tentang bingkai foto, dan juga mimpi buruk yang melandanya semalam. Namun, Rosa tak akan menyangka bila kepulangan suaminya ini adalah awal dari kehancurannya. Bila suami, dan ayah telah pulang dengan selamat, lalu oleh-oleh apakah yang di bawa Hasan untuk sang istri? *** Next? Ada kejutan untuk Rosa.Berulang kali Rosa mengucap syukur sebab suaminya itu datang tepat sebelum acara di mulai. Hatinya yang kecewa, kini telah berbunga. Rosa bahkan tak sabar menunggu pukul 4 tiba. "Selama Ayah pergi pola Bunda gimana, Nak?" ucap Hasan yang kini masih mengajak anaknya bicara sambil mengelus lembut perut istrinya yang tengah membuncit. Ia masih ingat betul saat 7 bulan yang lalu bagaimana tingkah istrinya itu. Orang tua menyebutnya 'Ngidam,' tapi bagi Hasan tingkah istrinya itu benar-benar menggemaskan. Bagaimana tidak, sejak pagi Rosa melarang Hasan bekerja. Ia ingin mengajak suaminya pergi jalan-jalan, tapi ternyata bukan keliling kota, melainkan jalan dari pos jaga hingga ke ujung perumahan. Dan itu mereka lakukan berulang kali dari pagi hingga siang. Lalu yang lebih parahnya, diam-diam Rosa menghilang, dan membuat Hasan jadi gelabakan. Setelah Hasan pusing mencari Rosa, ternyata wanita itu sedang duduk di atas pohon tengah menikmati buah jambu air yang baru di petik olehnya. "Bicar
"Aku sudah mandi, Mas. Kamu saja sana." Melihat mood istrinya mendadak buruk, Hasan pun tak ingin bila hal ini terus terjadi hingga berkepanjangan. Bila sempat mood istrinya tak membaik, sedikit banyak akan berdampak pada acara nuju bulan nanti. Lelaki itu pun bergegas menutup tirai kamar lalu membuka pakaiannya, dengan cepat ia melakukan seperti apa yang tengah di inginkan istrinya, "kita bermain cepat saja, Sayang," bisik Hasan. Rosa pun tersenyum, benar saja ... mood istrinya kembali normal. Dengan singkat, padat, dan jelas Hasan mengacau ar-e-a sensitiv istrinya. Baginya, kesenangan istri adalah hal yang utama. "Ehm, Mas ... Ahhhhhh," Rosa me-nd-esa- panjang saat mereka sama-sama mencapai titik kepu-as-an itu. "Udah, ya. Kalo kurang nanti malem kita lanjut lagi, sebetulnya Mas juga, ... heheheh," Hasan tak melanjutkan ucapannya, ia malah tersenyum kikuk menampilkan barisan gigi putihnya."Iya, Mas," sahut Rosa dan juga tersenyum melihat keringat mengujur di wajah suaminya.
Mbok Ipeh mulai melakukan tugasnya, ia meminta Bi Wiwid untuk mengambilkan 7 lembar kain yang sudah di persiapkan. Kain itu yang akan menjadi salah satu syarat terpenting untuk acara nuju bulan ini. "Ndok, pakai ini," kata Mbok Ipeh seraya memberikan selembar kain pada Rosa. Rosa pun menurut, dan mengganti pakaiannya dengan selembar kain, sebab dirinya akan di mandikan dengan air kembang 7 warna. Selanjutnya setelah proses mandi kembang selesai, Mbok Ipeh akan membimbing Hasan untuk membelah kelapa muda yang sudah di sediakan khusus untuk acara ini. Pada bagian ini, kita akan mengetahui jenis kelamin yang sedang di kandung Rosa. Apakah dia lelaki atau seorang perempuan, akan tetapi hanya sebagian orang yang masih percaya, dan sebagian pula menganggapnya mitos. Namun, ketika Hasan akan membelah kelapa muda itu, langit yang awalnya mendung, kini semakin mendung, seakan hujan akan turun. "Bismillahirrahmanirrahim," lirih Hasan. Ia pun mengangkat g-olok, dan akan membelah kelapa mud
"Mas," panggil gadis itu, ia tak perduli bila Hasan tengah mencoba memberi penjelasan kepada istrinya, "bagaimana jika kamu melihat ini, apa masih kamu lupa denganku?" ucapnya seraya merogoh sesuatu yang ada di dalam tasnya. Hasan berjalan mendekati gadis itu lalu melayangkan tatapan tajam, "apa pun yang akan kamu tunjukkan sebagai bukti, itu pasti rekayasa! Sudahi sandiwara mu, katakan sekarang siapa yang menyuruhmu untuk menghancurkan acara ini!" ungkap Hasan penuh penekanan. Gadis itu tersenyum, "kita lihat saja," ucapnya lalu menghampiri Rosa. "Hai, sayangnya kita harus berbagi suami, karena saat ini aku pun sedang mengandung anak dari suamimu," bisik gadis itu pada Rosa. Glegek. Rosa meneguk salivanya, entah mengapa untuk pertama kali ia merasa posisinya tersudutkan. Gadis itu pun menunjukkan beberapa lembar foto. Foto yang membuat tubuh Rosa jadi menegang. "Bisa kamu lihat, betapa erat suamimu memelukku. Foto ini aku ambil setelah suamimu puas bermain denganku. Lihatlah,
"Astaghfirullah ... bertemu dengannya saja tidak pernah, baru ini Mas melihat dia," ungkap Hasan. "Hah! Wajar kamu betah di sana! Berulang kali aku minta pulang, tidak kamu gubris. Banyak sekali alasan kamu. Yang ini, yang itu, ternyata, ada dia yang membuatmu lupa dengan aku, dan calon anakmu! Kamu pikir enak, Mas saat hamil begini di tinggal suami? Kamu pikir enak, Mas berbadan dua! Kamu pikir aku bisa melalui semuanya dari usia 2 Minggu sampe 7 bulan seorang diri? Nggak, Mas! Aku nggak kuat! Aku nggak sekuat yang kamu bayangin! Tapi aku harus kuat, karena aku percaya kamu di sana beneran kerja! Aku harus kuat demi kamu, dan anakku ... tapi yang ku dapat apa? Oleh-olehmu sungguh luar biasa!" ungkap Rosa, ia tak perduli dengan mereka yang ada di sana, yang Rosa inginkan hanyalah membuang semua uneg-uneg yang memenuhi hatinya. Hasan tak bergeming, ia bahkan tak tahu lagi harus dengan cara apa agar istrinya percaya bahwa dia, sungguh setia, dan wanita itu ... 'wanita itu,' ungkap
"Apa yang harus aku katakan, Mas? Semua sudah jelas. Kita pernah menghabiskan malam bersama, dan sekarang aku mengandung anakmu. Kamu tahu, aku masih menyimpan foto serta Vidio panas kita. Yang di hancurkan istrimu tadi itu hanya sebagian, yang lain masih banyak tersisa di ponselku. Kamu mau lihat?" ucapnya santai, seperti tak merasa sakit pada lengannya yang di cengkram kuat oleh Hasan. "Tutup mulut busukmu!" Hasan mengangkat tangannya, dan akan melayangkan pukulan ke wajah gadis itu, tetapi Pak Erik yang melihat tak ingin Hasan menyakiti wanita itu. "Hentikan, Hasan!" teriak Pak Erik tepat sebelum tangan kekar itu menyentuh wajah Mawar, "jangan buat malu dirimu. Sudah Papah katakan selesaikan baik-baik! Sekarang masih banyak orang di rumah, apa kamu tidak malu bagaimana tanggapan mereka nanti! Untung acara di majukan jadi para kolega kerja, dan teman dekat Rosa belum ada yang datang, coba kalau mereka menyaksikan ini, bisa malu keluarga kita!" ungkap Pak Erik penuh penekan. Hasan
"Sebentar lagi usia kandunganku 7 bulan, Mas. Apa kamu belum bisa pulang juga?" tanya Rosa yang kini duduk di depan jendela menikmati udara malam.["Akan Mas usahakan, Sayang. Mas pasti pulang, tapi tidak sekarang,"] jawab Hasan dari seberang sana. Sejak istrinya hamil 2 minggu, ia sudah pergi melakukan perjalanan bisnis ke Padang. Karena yang di kelolanya sekarang adalah anak perusahaan yang pertama, jadi Hasan membutuhkan waktu yang lama untuk mengembangkan cabang Nuansa (ada di season 1 asal-usul Nuansa.) Mereka selalu bertukar kabar lewat panggilan vidio. Siang malam, siang malam datang silih berganti hingga sekarang tak terasa 7 bulan waktu telah berlalu. "Apa tidak bisa di serahkan dulu sama yang lain? Ini penting, Mas. Acara anak pertama kita, lo. Papah aja pulang, meski dia sedang di eropa." "Iya, iya ... Sayang, insyaallah ya. Akan Mas usahakan." "Dari kemarin jawabamu itu-itu mulu, Mas! Bosen aku dengarnya!" rajuk Rosa, bibirnya cemberut memenuhi layar ponsel suaminya.
"MASSSSS!" Rosa tersentak dari tidurnya. Ia langsung terduduk dengan nafas memburu, bulir keringat membasahi tubuh, "astagfirullah ... astagfirullah," lirihnya. Lagi-lagi perutnya terasa keram. "Ya allah, mimpi apa itu," ucapnya sendiri. Rosa mencoba mengatur nafas, dan menenangkan diri. Ia tak boleh setres, karna hal itu akan berdampak pada bayi yang tengah di kandungnya, "kamu kaget ya? Maafkan Mamah, Sayang," lirih Rosa seraya mengelus perutnya yang kian membuncit. "Eum ... hoammm, tante kenapa?" tanya Chika yang ikut terbangun sebab suara gemerusuh di sebelahnya. "Tante kebelet pipis," jawab Rosa asal. Ia pun tersenyum, dan mengelus lengan keponakannya, "Chika bubuk lagi ya, ini masih gelep," ucapnya lembut. Bocah 3 tahun itu pun mengangguk lalu kembali memejamkan matanya, sedangkan Rosa ia semakin gelisah sebab kejadian malam ini begitu aneh menurutnya. Jam baru menunjukkan pukul 2 dini hari, itu artinya baru beberapa menit ia terlelap, dan sekarang kembali terjaga karna mi
"Apa yang harus aku katakan, Mas? Semua sudah jelas. Kita pernah menghabiskan malam bersama, dan sekarang aku mengandung anakmu. Kamu tahu, aku masih menyimpan foto serta Vidio panas kita. Yang di hancurkan istrimu tadi itu hanya sebagian, yang lain masih banyak tersisa di ponselku. Kamu mau lihat?" ucapnya santai, seperti tak merasa sakit pada lengannya yang di cengkram kuat oleh Hasan. "Tutup mulut busukmu!" Hasan mengangkat tangannya, dan akan melayangkan pukulan ke wajah gadis itu, tetapi Pak Erik yang melihat tak ingin Hasan menyakiti wanita itu. "Hentikan, Hasan!" teriak Pak Erik tepat sebelum tangan kekar itu menyentuh wajah Mawar, "jangan buat malu dirimu. Sudah Papah katakan selesaikan baik-baik! Sekarang masih banyak orang di rumah, apa kamu tidak malu bagaimana tanggapan mereka nanti! Untung acara di majukan jadi para kolega kerja, dan teman dekat Rosa belum ada yang datang, coba kalau mereka menyaksikan ini, bisa malu keluarga kita!" ungkap Pak Erik penuh penekan. Hasan
"Astaghfirullah ... bertemu dengannya saja tidak pernah, baru ini Mas melihat dia," ungkap Hasan. "Hah! Wajar kamu betah di sana! Berulang kali aku minta pulang, tidak kamu gubris. Banyak sekali alasan kamu. Yang ini, yang itu, ternyata, ada dia yang membuatmu lupa dengan aku, dan calon anakmu! Kamu pikir enak, Mas saat hamil begini di tinggal suami? Kamu pikir enak, Mas berbadan dua! Kamu pikir aku bisa melalui semuanya dari usia 2 Minggu sampe 7 bulan seorang diri? Nggak, Mas! Aku nggak kuat! Aku nggak sekuat yang kamu bayangin! Tapi aku harus kuat, karena aku percaya kamu di sana beneran kerja! Aku harus kuat demi kamu, dan anakku ... tapi yang ku dapat apa? Oleh-olehmu sungguh luar biasa!" ungkap Rosa, ia tak perduli dengan mereka yang ada di sana, yang Rosa inginkan hanyalah membuang semua uneg-uneg yang memenuhi hatinya. Hasan tak bergeming, ia bahkan tak tahu lagi harus dengan cara apa agar istrinya percaya bahwa dia, sungguh setia, dan wanita itu ... 'wanita itu,' ungkap
"Mas," panggil gadis itu, ia tak perduli bila Hasan tengah mencoba memberi penjelasan kepada istrinya, "bagaimana jika kamu melihat ini, apa masih kamu lupa denganku?" ucapnya seraya merogoh sesuatu yang ada di dalam tasnya. Hasan berjalan mendekati gadis itu lalu melayangkan tatapan tajam, "apa pun yang akan kamu tunjukkan sebagai bukti, itu pasti rekayasa! Sudahi sandiwara mu, katakan sekarang siapa yang menyuruhmu untuk menghancurkan acara ini!" ungkap Hasan penuh penekanan. Gadis itu tersenyum, "kita lihat saja," ucapnya lalu menghampiri Rosa. "Hai, sayangnya kita harus berbagi suami, karena saat ini aku pun sedang mengandung anak dari suamimu," bisik gadis itu pada Rosa. Glegek. Rosa meneguk salivanya, entah mengapa untuk pertama kali ia merasa posisinya tersudutkan. Gadis itu pun menunjukkan beberapa lembar foto. Foto yang membuat tubuh Rosa jadi menegang. "Bisa kamu lihat, betapa erat suamimu memelukku. Foto ini aku ambil setelah suamimu puas bermain denganku. Lihatlah,
Mbok Ipeh mulai melakukan tugasnya, ia meminta Bi Wiwid untuk mengambilkan 7 lembar kain yang sudah di persiapkan. Kain itu yang akan menjadi salah satu syarat terpenting untuk acara nuju bulan ini. "Ndok, pakai ini," kata Mbok Ipeh seraya memberikan selembar kain pada Rosa. Rosa pun menurut, dan mengganti pakaiannya dengan selembar kain, sebab dirinya akan di mandikan dengan air kembang 7 warna. Selanjutnya setelah proses mandi kembang selesai, Mbok Ipeh akan membimbing Hasan untuk membelah kelapa muda yang sudah di sediakan khusus untuk acara ini. Pada bagian ini, kita akan mengetahui jenis kelamin yang sedang di kandung Rosa. Apakah dia lelaki atau seorang perempuan, akan tetapi hanya sebagian orang yang masih percaya, dan sebagian pula menganggapnya mitos. Namun, ketika Hasan akan membelah kelapa muda itu, langit yang awalnya mendung, kini semakin mendung, seakan hujan akan turun. "Bismillahirrahmanirrahim," lirih Hasan. Ia pun mengangkat g-olok, dan akan membelah kelapa mud
"Aku sudah mandi, Mas. Kamu saja sana." Melihat mood istrinya mendadak buruk, Hasan pun tak ingin bila hal ini terus terjadi hingga berkepanjangan. Bila sempat mood istrinya tak membaik, sedikit banyak akan berdampak pada acara nuju bulan nanti. Lelaki itu pun bergegas menutup tirai kamar lalu membuka pakaiannya, dengan cepat ia melakukan seperti apa yang tengah di inginkan istrinya, "kita bermain cepat saja, Sayang," bisik Hasan. Rosa pun tersenyum, benar saja ... mood istrinya kembali normal. Dengan singkat, padat, dan jelas Hasan mengacau ar-e-a sensitiv istrinya. Baginya, kesenangan istri adalah hal yang utama. "Ehm, Mas ... Ahhhhhh," Rosa me-nd-esa- panjang saat mereka sama-sama mencapai titik kepu-as-an itu. "Udah, ya. Kalo kurang nanti malem kita lanjut lagi, sebetulnya Mas juga, ... heheheh," Hasan tak melanjutkan ucapannya, ia malah tersenyum kikuk menampilkan barisan gigi putihnya."Iya, Mas," sahut Rosa dan juga tersenyum melihat keringat mengujur di wajah suaminya.
Berulang kali Rosa mengucap syukur sebab suaminya itu datang tepat sebelum acara di mulai. Hatinya yang kecewa, kini telah berbunga. Rosa bahkan tak sabar menunggu pukul 4 tiba. "Selama Ayah pergi pola Bunda gimana, Nak?" ucap Hasan yang kini masih mengajak anaknya bicara sambil mengelus lembut perut istrinya yang tengah membuncit. Ia masih ingat betul saat 7 bulan yang lalu bagaimana tingkah istrinya itu. Orang tua menyebutnya 'Ngidam,' tapi bagi Hasan tingkah istrinya itu benar-benar menggemaskan. Bagaimana tidak, sejak pagi Rosa melarang Hasan bekerja. Ia ingin mengajak suaminya pergi jalan-jalan, tapi ternyata bukan keliling kota, melainkan jalan dari pos jaga hingga ke ujung perumahan. Dan itu mereka lakukan berulang kali dari pagi hingga siang. Lalu yang lebih parahnya, diam-diam Rosa menghilang, dan membuat Hasan jadi gelabakan. Setelah Hasan pusing mencari Rosa, ternyata wanita itu sedang duduk di atas pohon tengah menikmati buah jambu air yang baru di petik olehnya. "Bicar
"TARAAA! SURPRISE!!!" seru dua lelaki yang beda usia itu. Mereka begitu puas melihat ekspresi linglung yang di tampilkan oleh Rosa. "Astaga, Mas! Pah! Kalian ini bikin aku jantungan!" Bukannya di sambut dengan senyuman, mereka malah di sembur omelan, "kalian ya! Kalo aku shock gimana! Kalo aku nggak siap gimana! Main pekik, dan muncul tiba-tiba aja!" omelnya seraya melayangkan satu bogeman ke perut suaminya. "Aw, ampun, Sayang." Pak Erik pun tertawa melihat putrinya begitu kesal, "pasti kamu mikir yang macem-macem, 'kan tentang suamimu ... hayooo ngakuuu ...," ledek sang ayah. "Apaan sih, Pah!" Rosa pun diam, tak lagi memukuli suaminya. "Kesel, 'kan karena Hasan nggak pulang-pulang ... iya, 'kan ...." "Nggak, tu. Biasa aja." "Alah, nggak mau ngaku ... semalem aja marah-marah." "Loh, kok Papah tahu?" Pak Erik, dan Hasan pun saling melempar pandang serta senyum yang menawan, "tahulah, orang Papah yang,---" "Sttttt, jangan di teruskan. Nanti istrimu jadi marah sama Papah," bis
"Chika," panggil Rosa, ia pun duduk di sebelah keponakannya, "kalau Chika nggak mau main sama nenek, Chika boleh main di kamar aja," ucapnya seraya mengelus rambut panjang gadis kecil itu.Perlahan Chika mengangkat wajahnya, dan memberanikan diri untuk menatap wanita yang ada di sebelahnya ini, "Chika mau main keluar, tapi Chika nggak mau main sama nenek, Tante," ungkapnya pelan. Rosa mengerti, mungkin saja tadi sikap mak lampir sang mertua kembali kambuh yang mengakibatkan cucunya menjadi takut, "ya sudah, oya Chika mandi sama siapa?" tanya Rosa mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. "Mandi sendiri, Tante." "Anak pinter ... ya sudah kalo gitu Tante mau mandi dulu ya." "Iya, Tante." Perlahan Rosa beranjak dari sana sambil mengelus perutnya yang sudah membuncit. Ia kembali melewati bingkai foto yang tiba-tiba terjatuh semalam. Ia pun kembali teringat, betapa gelisah perasaannya semalam, "Papah," lirihnya. Rosa mengurungkan niatnya untuk pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kama
Bu Wati tersenyum kikuk. Sikap tegas sang menantu tak ubah meskipun sudah 7 bulan mereka tak berjumpa, "baiklah, Nak. Maafkan Ibu ... tapi kamu harus percaya pada Ibu, Ibu tidak menjewernya, Ibu tadi mengambil semut di telinganya. Iya, 'kan," kata Bu Wati seraya menoel lengan Wiwid agar wanita itu mendukung ucapannya. Bi Wiwid hanya mampu menundukkan kepalanya, lalu menjawab dengan terbata, "i-iya, Bu. Tadi ada semut di telinga saya," ungkap Bi Wiwid. Rosa tahu bagaimana sikap wanita tua yang bergelar Ibu untuk suaminya ini, ialah wanita yang memiliki sikap seperti bunglon, jadi bagaimana Wiwid menjawab, ia mengerti bahwa jawaban itu hanyalah sebuah keterpaksaan. "Ya sudah, Wid. Tolong buatkan nasi goreng, ya." Pinta Rosa pada Art-nya. "Baik, Bu," jawab Wiwid cepat, lalu bergegas pergi ke dapur untuk menyajikan nasi goreng kesukaan majikannya seperti biasanya.'Loh, nasi goreng? Rumah semewah ini kok sarapannya nasi goreng?' monolog Bu Wati dalam hati, 'gagal dong mau manjain peru