DEG
Ayra tampak terkejut jantungnya berpacu tidak karuan, tangannya bergetar melihat noda lipstik pada kemeja suaminya. Selain noda lipstik juga tercium bau parfum wanita lain. "Kenapa bisa ada noda lipstik serta tercium aroma parfum wanita lain di kemeja Mas Arland. Apakah di luar sana Mas Arland selingkuh dengan wanita lain?" Monolog Ayra dalam hati, pikiran buruk tentang suaminya terlintas begitu saja di otaknya. Setitik air matanya menetes di kedua pipinya membayangkan Arland bercumbu mesra bersama dengan wanita lain, sakit rasanya sangat sakit tidak sanggup lagi dijabarkan dengan kata-kata. "Nggak nggak mungkin Mas Arland selingkuh dariku." Ayra berusaha menepis pikiran buruk tentang suaminya. "Bukankah selama ini Mas Arland selalu bersikap baik kepadaku, semua kebutuhanku selalu dipenuhi olehnya tidak sedikitpun kekurangan. Dia juga selalu bersikap lembut penuh kasih sayang tidak pernah berkata kasar apalagi main tangan. Mas Arland merupakan definisi suami yang sempurna, tampan kaya raya dan tentu sangat menyayangi istrinya. Aku yakin Mas Arland tidak mungkin selingkuh dariku." Monolong Ayra meyakinkan dirinya sendiri. "Namun kenapa di kemeja Mas Arland bisa ada noda lipstik serta tercium bau parfum wanita lain?" Meskipun dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa suaminya tidak mungkin selingkuh, tapi noda lipstik serta bau parfum wanita lain masih terus membuat dirinya merasa penasaran. Saking seriusnya mengamati noda lipstik di kemeja suaminya, Ayra sampai tidak menyadari ketika Arland membuka pintu kamar mandi lalu keluar dari dalamnya. Arland mengerutkan keningnya melihat Ayra menatap serius kemeja yang sedang dipegang olehnya. Karena merasa penasaran dia berjalan mendekat ke arahnya. "Sayang!" Ayra tersentak kaget mendengar suara Arland refleks menjatuhkan kemeja yang sedang dipegang olehnya ke lantai. Kemudian dengan cepat merubah ekspresi wajahnya sebelum menoleh ke arah Arland. "Mas, sudah selesai mandinya?" Aretha berusaha tersenyum ke Arland seolah tidak terjadi apa-apa. "Kenapa kemeja milik mas kamu jatuhkan begitu saja di atas lantai?" Protes Arland melihat kemeja miliknya tergeletak di lantai. "Maaf Mas, tadi terkejut mendengar suara Mas jadi tidak sengaja menjatuhkannya." Ayra berjongkok hendak memungut kemeja tersebut, namun Arland sudah lebih dulu memungutnya. Arland membentangkan kemeja miliknya lalu mengamatinya, dia menyipitkan matanya melihat noda lipstik menempel di sana. Entah sejak kapan noda lipstik tersebut mengotori kemeja miliknya dia tidak mengingatnya. Arland menoleh ke arah Ayra yang sedang menunduk sambil meremas jemarinya. "Apa kamu berpikir mas selingkuh dengan wanita lain, hanya karena kamu tanpa sengaja melihat noda lipstik di kemeja mas?" Mendengar pertanyaan Arland, Ayra segera menoleh ke arahnya. "Bukan begitu maksudnya Mas." Jawab Ayra dengan hati-hati takut menyinggung suaminya. "Tidak baik seorang istri berpikiran buruk tentang suaminya. Lift pribadi Mas sedang diperbaiki sehingga Mas naik lift umum. Kamu kan tahu kalau naik lift umum pasti berdesakan apalagi ketika jam pulang, sehingga ada noda lipstik milik karyawan wanita yang tidak sengaja menempel di kemeja mas." Arland berusaha menjelaskan kepada Ayra tentang noda lipstik di kemeja miliknya. "Oh." Respon singkat Ayra membuat Arland merasa kecewa. "Kamu tidak percaya dengan mas?" Tanya Arland menatap fokus ke arah wajah Ayra seolah sedang mengintimidasi. "Percaya, tentu saja aku percaya dengan apa yang Mas ucapkan." Ayra berusaha tersenyum ke arah Arland, walaupun sebenarnya masih merasa ragu untuk mempercayai penjelasan dari suaminya dia sendiri juga tidak tahu entah kenapa. "Mas, akan membuktikan bahwa hanya kamu satu-satunya wanita yang mas cintai." Arland merebahkan Ayra dia atas ranjang lalu dia naik ke atasnya. Ayra terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Arland, dia berusaha untuk duduk namun Arland menahannya. "Kenapa Sayang?" Bisik Arland tepat di samping telinga istrinya. "Mas, aku merasa lelah. Bisakah kita melakukannya lain kali?" Ayra berharap Arland akan melepaskannya. Saat ini dia sedang tidak ingin melayani suaminya, noda lipstik di kemeja suaminya masih mengganggu pikirannya. Penjelasan dari Arland sama sekali tidak membuatnya merasa puas. Arland paling tidak suka dengan namanya penolakan, dia tersulut emosi mendengar ucapan Ayra. "Apa saja yang kamu lakukan di rumah sehingga merasa kelelahan, bukankah sudah mas sediakan ART untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah. Dan tugasmu hanya melayani mas tidak lebih dari itu." Arland berkata dengan tegas penuh penekanan. Apa yang diucapkan oleh Arland memang benar adanya, tapi untuk saat ini Ayra sedang tidak ingin melayaninya. Noda lipstik di kemeja Arland masih mengganggu pikirannya. "Apa karena sudah pria lain yang kamu layani sehingga menolak melayani Mas, apa kamu lupa aku ini suamimu?" Ayra tampak terkejut matanya membulat sempurna mendengar pertanyaan yang diucapkan oleh Arland. Dia tidak pernah menyangka suaminya bisa berkata hal serendah itu. "Apa aku serendah itu di mata Mas?" Ayra balik bertanya dengan nada lebih tinggi dibanding sebelumnya dadanya naik turun menahan emosi, merasa tidak terima dengan tuduhan Arland yang ditunjukkan untuknya. "Ayra, Mas tidak bisa mengawasimu selama 24 jam. Bisa saja kamu bermain api di belakang Mas." Ujar Arland santai tanpa merasa bersalah sedikitpun. Ayra tidak pernah menyangka Arland akan menuduh dirinya seperti itu, hanya karena dia tidak ingin melayaninya. Siapa yang tidak sakit hati dituduh serendah itu oleh orang yang seharusnya melindungi dirinya. Buliran-buliran bening yang sejak tadi mengembun di pelupuk matanya kini perlahan menetes. Arland yang melihatnya segera mengulurkan tangannya menghapus buliran-buliran bening yang membasahi kedua pipi Ayra. "Tidak perlu sampai menangis seperti ini, mas hanya ingin kamu menjalankan tugasmu sebagai seorang istri dengan baik." Ayra hanya diam tanpa merespon pikirannya masih kacau. "Kamu satu-satunya wanita yang mas cintai." Bisik Arland mulai menyentuh Ayra walaupun tidak ada respon darinya. Setelah menuntaskan hasratnya Arland menggulingkan tub uhnya di samping Ayra. Ayra yang menyadarinya segera memiringkan tub uhnya membelakangi suaminya dengan pandangan kosong, menarik selimut sampai ke dadanya membiarkan bahunya terekspos. "Tidurlah sudah malam!" Arland memeluk istrinya dengan erat, namun Ayra hanya diam tanpa merespon membuat Arland menghela nafas panjang. "Beraninya Riska meninggalkan noda lipstik di kemejaku, saat ini aku masih membutuhkannya jika tidak sudah aku singkirkan jauh-jauh." Monolong Arland dalam hati. Riska merupakan kekasih gelap Arland, sudah beberapa bulan terakhir ini mereka menjalin hubungan. Dia begitu mencintai Arland sehingga berusaha merebutnya dari Ayra, namun tanpa dia sadari ternyata Arland hanya memanfaatkannya saja. *** Ayra berjalan tanpa arah tujuan hanya mengikuti kemana kakinya melangkah. Dia juga tidak tahu dimana sekarang dirinya berada, ruangan gelap hanya sedikit cahaya penerang sehingga tampak remang-remang tidak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di sekitarnya. DEG Ayra tersentak kaget mendengar suara orang mengadu kesakitan. Suara tersebut terdengar begitu keras, dia mengedarkan pandangannya mencari darimana sumber suara berasal. Ketika dia melihat lurus ke depan samar-samar melihat seseorang sedang dipukuli secara bru tal sesekali juga ditendang. Namun yang membuat Ayra merasa heran, dia merasa tidak asing dengan mereka. "Sebenarnya mereka siapa, kenapa aku merasa familiar?" Gumam Ayra lirih merasa penasaran. "Hentikan!" Refleks Ayra berteriak ketika melihat orang yang tadi memukul secara brutal kini menodongkan pistol ke arah pria yang sudah tidak berdaya tergeletak begitu saja di atas lantai.Ayra terbangun dari tidurnya dengan nafas memburu serta tub uh bergetar ketakutan. Dia mengedarkan pandangannya mengamati sekelilingnya, hingga akhirnya dia menyadari ternyata dirinya berada di atas ranjang. "Siapa yang membawaku ke sini, bukankah tadi aku berada di ....." "Sayang, kenapa?" Arland merasa heran menyadari tub uh istrinya bergetar seperti sedang ketakutan. "Apakah Mas yang membawaku ke sini?" Arland mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Ayra. "Membawamu darimana? Dari tadi kita tidur bersama di sini." "Tidur, jadi semua hanya mimpi tapi kenapa seperti nyata?" Gumam Ayra heran. "Kamu mimpi buruk?" Pertanyaan Arland mengagetkan Ayra, refleks menoleh ke arahnya. Ayra tampak terkejut ketika tanpa sengaja pandangan saling bertemu dengan pandangan Arland. "Mata itu, sepertinya aku pernah melihatnya tapi dimana?" Bukannya menjawab pertanyaan Arland, Ayra justru mengamati ke dua bola mata suaminya itu. "Awh!"Teriak Ayra dengan keras entah kenapa tiba-tiba ke
"Non kenapa?" Bi Asih terlihat begitu panik sekaligus khawatir. "Kepalaku pusing banget Bi." Jawab Ayra lirih hampir saja tub uhnya merosot ke lantai, beruntung dengan sigap Bi Asih menahannya lalu memeluknya. Lisa dan Kevin yang melihatnya segera menghampiri mereka. "Ayra kenapa, Bi?" Tanya Lisa terlihat begitu khawatir. "Katanya pusing kepalanya. Kalian siapa sepertinya kenal dengan non Ayra?" Bi Asih melihat ke arah Lisa dan Kevin bergantian. "Kami temannya Ayra Bi." Jawab Lisa dan Kevin tersenyum ke arah Bi Asih. "Oh." "Bi, apa kami boleh ikut mengantar Ayra ke rumah sakit?" Bi Asih mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan yang diucapkan oleh Lisa. "Non Ayra tidak dibawa ke rumah sakit, dia biasanya menggunakan dokter pribadi." Lisa hanya mengangguk mendengarnya sambil membantu memapah Ayra menuju ke mobil. "Meskipun kamu berulang kali menyangkalnya, entah kenapa aku yakin kamu adalah Ayra sahabatku." Batin Lisa menatap mobil yang dinaikki oleh Ayra berjalan pe
"Mas, lepas! Aku mau tidur." Ayra meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari Arland, namun usahanya sia-sia karena tenaganya tidak sebanding dengan tenaga Arland. "Ayra diam! Kamu marah sama Mas?" Arland menatap tajam ke arah Ayra seolah sedang mengintimidasinya. Tok ... tok ... tok! Terdengar suara pintu diketuk dari luar. "Masuk saja Bi, pintunya nggak dikunci!" Bi Asih membuka pintunya dari luar sambil membawa nampan. Dia sedikit terkejut melihat Ayra duduk di pangkuan Arland, namun dengan cepat menundukkan pandangannya. "Tuan ini makanannya?" "Bawa ke sini!" Bi Asih berjalan ke arah Arland dan Ayra lalu menyodorkan sepiring makanan ke arah Arland. Arland yang melihatnya segera meraihnya. Setelah memberikan makanannya Bi Asih segera keluar dari sana. "Makan!" Titah Arland menyodorkan sesendok makanan ke mulut Ayra. Namun Ayra enggan membuka mulutnya sambil menggelengkan kepalanya pelan. "Ayra, jangan membuat Mas semakin marah kepadamu!" Arland meninggikan nada bi
Mungkin karena kelelahan dengan aktivitas yang baru saja mereka lakukan. Riska langsung tertidur pulas, berbeda dengan Arland yang turun dari ranjang masuk ke dalam kamar mandi membersihkan tub uhnya yang terasa lengket. Sepuluh menit kemudian Arland keluar dari kamar mandi dengan tub uh terbalut bathrobe. Seulas senyum tipis terbit di bibirnya melihat Riska masih terlelap dalam tidurnya. Dia segera membuka tas milik Riska mengambil laptop yang tersimpan di dalamnya. Sambil membawa laptop di tangannya, Arland berjalan menuju kursi lalu duduk di atasnya. Dengan gerakan cepat dia membuka laptop sesekali melirik ke arah Riska, memastikan Riska tidak melihat apa yang sedang dilakukan olehnya. Dengan cepat Arland mengirim data-data Phoenix Group ke laptop miliknya yang saat ini sedang diakses oleh Mark (asisten/orang kepercayaannya). "Mark, aku sudah mengirim data-data Phoenix Group." "Ya, sudah masuk Bos." Arland menarik salah satu sudut bibirnya ke atas mendengar ucapan Mark, d
Mendengar suara pintu ditutup Ayra menoleh ke belakang. Ternyata Arland sudah berada di belakangnya."Mas, kenapa pintunya ditutup?" tanya Ayra heran."Mau mandi." jawab Arland singkat."Tapi aku belum keluar?" Ayra merasa heran pintunya sudah ditutup, padahal dirinya masih berada di dalam kamar mandi.Arland berjalan mendekat ke arah Ayra, hingga akhirnya berada tepat di belakangnya."Kita mandi bersama." bisik Arland tepat di samping telinga Ayra lalu mengangkatnya, menaruhnya ke dalam bathtub yang sudah terisi dengan air hangat.Ayra tampak terkejut menyadari dirinya sudah berada di bathtub, refleks melotot tajam ke arah Arland. Yang dibalas dengan senyuman misterius olehnya. Dengan santainya Arland melepaskan pakaiannya lalu masuk ke dalam bathtub ikut bergabung dengan istrinya.Melihat Arland masuk ke dalam bathtub, Ayra segera beranjak dari duduknya. Ketika kakinya hendak melangkah keluar dari bathtub, Arland menarik pergelangan tangannya sehingga jatuh di atas pangkuannya denga
Mobil yang dinaikki oleh Arland dan Ayra memasuki basement Plaza Indah Mall, pusat perbelanjaan terbesar yang berada di pusat kota. Arland lebih dulu turun dari mobil lalu mengitarinya, membuka pintu sebelah kiri mempersilahkan Ayra untuk turun dari mobil. Ayra mengedarkan pandangannya membuat Arland merasa heran. "Kenapa Sayang?" "Nggak apa-apa." "Sepertinya sudah lama kita tidak ke sini, Ayo masuk!" Arland merangkul Ayra mengajaknya masuk ke dalam Mall. Ayra mendongak menatap sejenak wajah Arland. "Ternyata bukan cuma aku yang diperlakukan seperti ini oleh Mas Arland, ada wanita lain yang mendapat perlakuan yang sama seperti ini atau bahkan lebih." monolong Ayra dalam hati, sakit rasanya sangat sakit menyadari perhatian, cinta serta kasih sayang suaminya telah terbagi dengan wanita lain. "Sayang, apa kamu baru sadar kalau suamimu sebenarnya sangat tampan." Mendengar ucapan Arland, dengan cepat Ayra memalingkan wajahnya merasa malu seperti seorang pencuri yang tertangkap basah
"Boleh, silahkan duduk saja! Kamu wanita yang di supermaket waktu itu ya?" tebak Ayra teringat dengan wanita yang ditemui olehnya di supermarket."Iya, senang bisa bertemu kembali denganmu. Panggil saja Lisa!""Maaf tadi aku lupa dengan namamu." Ayra tersenyum kikuk."Nggak apa-apa." Lisa tersenyum menjatuhkan bobot tub uhnya di kursi duduk berhadapan dengan Ayra. Dia juga mulai menikmati es krimnya seperti halnya Ayra.Lisa sesekali menatap ke arah Ayra yang sedang makan es krim, mengingatkannya pada sosok Ayra sahabatnya dulu. Mulai dari rasa es krim yang dimakannya ataupun cara memakannya."Kamu suka makan es krim?" tanya Lisa basa-basi mencairkan suasana."Sangat suka, aku pencinta makanan manis.""Pencinta makanan manis sama seperti Ayra, apakah benar mereka merupakan satu orang yang sama tapi ...?" monolog Tasya dalam hati.Suara Ayra membuyarkan lamunannya. "Kenapa malah bengong? Es krimnya dibiarkan begitu nanti meleleh loh!" ujar Ayra mengingatkan."Eh iya." Lisa tersenyum ki
Ayra memutuskan menyewa detektif untuk mencari tahu apa yang dilakukan oleh Arland selama ini di belakangnya. Mendengar hp-nya berbunyi Ayra segera meraihnya. Seulas senyum tipis terbit di bibirnya melihat nama Joni (detektif yang disewa oleh Ayra) tertera di layar hp-nya."Bu, saya melihat Pak Arland masuk ke dalam kelab." Ayra terkejut mendengar ucapan Joni hp yang sedang dipegang olehnya hampir saja terjatuh."Kelab?" Ayra memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar."Iya.""Sejak kapan Mas Arland suka pergi ke kelab?" batin Ayra tidak menyangka suaminya pergi ke club."Di kelab mana?" Ayra bertanya dengan bibir bergetar."Paradise night.""Aku akan segera ke sana." Ayra memutuskan sambungan teleponnya."Benarkan Mas Arland pergi ke kelab? Jangan-jangan selama ini Mas Arland sering tidur bersama dengan para wanita yang ada di sana. Noda lipstik serta tanda kissmark pasti ulah wanita yang menjadi partner ranjangnya." monolong Ayra mengusap wajahnya dengan kasar."Setelah tidur denga
Dokter Feni mengerutkan kening setelah memeriksa Ayra."Kamu nggak hamil, jadi kenapa mau melakukan aborsi?" tanyanya heran.Ayra menatap dokter Feni dengan bingung."Maksudnya, Dok?"Bukannya langsung menjawab, dokter Feni justru bertanya balik."Kamu mengalami tanda-tanda kehamilan?"Ayra menggeleng pelan. "Tadi perutku terasa sakit...""Hanya karena sakit perut kamu berpikir sedang hamil?" Dokter Feni menatapnya dengan tatapan tak percaya.Ayra terdiam. Dia sendiri tidak tahu apakah dia benar-benar hamil atau tidak. Pak Revan langsung menuduhnya hamil hanya karena dia mengeluh sakit perut, lalu menyeretnya ke rumah sakit untuk melakukan aborsi. Kalau dipikir-pikir, suaminya benar-benar aneh."Orang sakit perut belum tentu hamil. Kamu sakit perut karena akan datang bulan. Bukannya kamu pernah mengalami ini sebelumnya?" jelas dokter Feni.Ayra akhirnya mengerti. Memang, sebelum atau saat datang bulan, dia sering mengalami sakit perut dan pusing."Jadi saya nggak hamil, Dok?" tanyanya
Keputusan yang Kejam Menyadari wajah Pak Revan begitu dekat, bahkan hembusan napasnya terasa hangat di kulit, Ayra berusaha mundur. Namun, tangannya lebih dulu ditahan, membuatnya tak bisa menghindar saat bibir mereka bertemu dalam ciuman yang dalam. Kamar hotel Sonata menjadi saksi atas kebersamaan mereka malam itu, hingga tiba-tiba Ayra mengerang pelan. Wajahnya menegang, tangannya refleks meremas perutnya yang terasa sakit. Pak Revan menghentikan gerakannya. Matanya menatap tajam, bukan dengan kekhawatiran, melainkan dengan kecurigaan. "Kamu hamil?" bentaknya, suaranya penuh emosi. Ayra menegang. Jantungnya serasa berhenti berdetak sesaat. Sakit di perutnya semakin menjadi, tetapi lebih menyakitkan lagi adalah tatapan pria itu—suaminya sendiri. Tanpa menjawab, Ayra perlahan merapikan pakaian yang sempat berantakan, lalu berusaha turun dari ranjang dengan hati-hati. Namun, baru saja kakinya menyentuh lantai, Pak Revan langsung menarik pergelangan tangannya. "Kita ke rum
Pak Revan mengajak Ayra masuk ke dalam kamar yang telah dipersiapkan untuk malam pertama pernikahannya. Ketika pintu dibuka Ayra langsung dibuat takjub melihat kamar yang sudah dirias sedemikian rupa. Kelopak-kelopak bunga mawar merah segar bertaburan di atas ranjang, harum semerbaknya menusuk indera penciuman mereka. "Kenapa berhenti?" tanya Pak Revan heran melihat Ayra menghentikan langkah kakinya di ambang pintu."Nggak apa-apa." jawab Ayra menggelengkan kepalanya pelan."Yakin, kalau kamu tidak suka katakan saja! Kita bisa pindah ke kamar yang lain."Ayra tercengang mendengar penuturan Pak Revan. "Suka kok, siapa yang bilang nggak suka?" ujarnya setelah beberapa saat kemudian."Oh, kirain nggak suka. Kenapa kamu nggak mau masuk ke dalam?"Ayra akhirnya melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar walaupun awalnya merasa ragu. Dia benar-benar merasa lelah ingin rasanya segera menjatuhkan tu buhnya di atas ranjangnya. Baru saja berdiri di dekat ranjang terdengar suara Pak Revan menyad
Seulas senyum tipis terbit di bibir Arland melihat Ayra sedang berada di dapur, dia segera menghampirinya. Setelah tepat berada di belakang Ayra, Arland segera memeluknya lalu mengecup singkat kedua pipinya.DEGAyra tersentak kaget dipeluk oleh seseorang dari belakang, namun perlahan dia menyadari kalau yang sedang memeluknya adalah Arland."Mas, sudah pulang?""Iya, ini baru sampai. Kamu bikin apa?" Arland mengintip ke dalam adonan yang sedang diaduk-aduk menggunakan mixer oleh Ayra."Bolu panggang." Jawab Ayra menuangkan adonan yang sudah selesai diaduk ke dalam loyang."Tumben bikin bolu panggang, mau ada acara apa?" Arland merasa heran melihat Ayra membuat bolu panggang."Tadi lihat resep di tik_tok, lalu memutuskan untuk mencoba membuatnya."Setelah memasukan loyang berisi adonan bolu ke dalam oven, Ayra membalikkan badannya menatap ke arah Arland."Mas, mau mandi atau makan dulu?""Mandi.""Sebentar aku siapkan airnya dulu!" Ayra berjalan menuju ke kamar mandi seketika menghent
Dua orang pramusaji menghidangkan berbagai macam makanan di atas meja depan Ayra dan Pak Revan duduk."Mari makan!" Pak Revan mulai menikmati makanannya.Ayra sesekali menoleh ke arah pintu, berharap melihat Zavier datang. Makanan di depannya dibiarkan begitu saja, dia akan memakannya setelah putranya datang agar bisa makan bersama begitulah pikirnya.Pak Revan merasa heran melihat makanan di depan Ayra masih utuh belum disentuh sama sekali. "Ay, kenapa nggak makan? Kamu nggak suka, atau mau pesan yang lain?" tanyanya."Ini saja sudah cukup, Kak." jawab Ayra, namun pandangannya tertuju ke arah pintu."Apa mau disuapi?" tawar Pak Revan tersenyum misterius ke arah Ayra."Nggak, Kak." Ayra menggelengkan kepalanya pelan."Makan sekarang!" titah Pak Revan tegas.Ayra akhirnya menyantap makanannya sambil sesekali menoleh ke arah pintu. Menit demi menit telah berlalu, namun Zavier belum juga datang."Kenapa Zavier nggak datang-datang, apa Pak Revan membohongiku?" batin Ayra menoleh sekilas k
Semalam Ayra tidak jadi pulang, akhirnya dia memutuskan untuk pulang di pagi harinya. Beruntung hpnya tidak kenapa-kenapa begitu juga dengan dompetnya. Sedangkan tasnya sudah dibuang ke tong sampah oleh Pak Revan, kemudian Pak Revan memberikan tas baru untuknya.Diamatinya tas yang kini ada di tangannya, tas pemberian dari Pak Revan beberapa waktu yang lalu menggantikan tasnya yang telah dibuang ke tong sampah."Bagus." gumamnya lirih."Bu!" panggil Zavier, seketika Ayra menoleh ke arahnya. "Zavier sudah bangun?" tanya Ayra dengan seulas senyum terbit di bibirnya.Bukannya menjawab pertanyaan ibunya, Zavier justru balik bertanya. "Ibu mau kemana?" tanya Zavier heran melihat ibunya sudah bersiap-siap seperti hendak pergi."Pulang."Zavier mengerucutkan bibirnya mendengarnya. "Bu, kita tinggal di sini saja ya, please! Zavier betah tinggal di sini ada kolam renangnya, om ganteng juga baik sama Zavier." Zavier menatap penuh harap ke arah ibunya."Iya Zavier tetap tinggal di sini, ibu yan
Di samping gundukan tanah dengan batu nisan bertuliskan nama Reyhan, Ayra berjongkok lalu meletakkan seikat bunga di atas makam. "Mas." panggilannya lirih menatap sendu makam Reyhan, buliran-buliran bening menetes begitu saja dari sudut matanya.Waktu berlalu begitu cepat rasanya baru kemarin Reyhan datang ke rumah orang tuanya untuk melamarnya, namun sekarang jasadnya telah terkubur di dalam tanah. "Mas, kenapa kamu meninggalkan aku sendirian, kenapa nggak mengajakku?" Suara Ayra terdengar begitu memilukan."Bagaimana aku akan menjalani kehidupan ini selanjutnya tanpamu, Mas?" lanjutnya.Dia merasa hampa separuh jiwanya seolah telah menghilang. Buliran-buliran yang membasahi kedua pipinya dibiarkan begitu saja.Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, namun entah kenapa rasanya begitu berat mengikhlaskan seseorang yang selama ini selalu ada di saat suka maupun duka. Meminjamkan bahunya dengan ikhlas di saat diri ini merasa lelah, mendengarkan setiap keluh kesah tentang rumitnya kehid
Ayra tampak terkejut mendengarnya seolah dunianya berhenti saat itu juga, tub uhnya terasa lemas pikirannya kacau. Dia tidak pernah menyangka suaminya pergi meninggalkannya, tanpa bisa dicegah olehnya."Nggak nggak mungkin!" Teriak Ayra menyangkalnya, buliran-buliran bening mengalir deras membasahi kedua pipinya.Beberapa saat kemudian Ayra menghapus buliran-buliran bening yang membasahi kedua pipinya lalu menoleh ke arah Pak Revan."Apa yang sudah kamu lakukan terhadap suamiku?" tanya Ayra menatap penuh kebencian ke arah Pak Revan dadanya naik turun, tidak ada lagi sopan santun amarah telah menguasai dirinya. Dia yakin Pak Revan merupakan dalang dari kematian suaminya.Pak Revan menanggapi pertanyaan Ayra dengan santainya. "Aku tidak melakukan apa-apa, kenapa kamu menyalakanku?" Ayra semakin geram mendengar ucapan Pak Revan. "Breng sek, berani berbuat tapi tidak mau mengakuinya." umpatnya penuh kekesalan.Dia mengambil bantal lalu melemparkannya ke arah Pak Revan. "Seharusnya yang m
Mendengar suara pintu dibuka Ayra segera menoleh ke arah pintu, berharap Reyhan, Zavier atau Bu Rina yang datang. Setelah sadar Ayra belum melihat mereka bertiga sama sekali.DEGBetapa terkejutnya Ayra ketika melihat orang yang datang bukanlah suaminya, putranya ataupun ibunya melainkan seseorang yang tidak pernah dia harapkan kedatangannya."Pak Revan." gumamnya lirih dengan cepat memalingkan wajahnya ke arah lain.Pak Revan berjalan mendekat ke arah Ayra. "Kamu sudah sadar?""Iya." jawab Ayra lirih tanpa sedikitpun menoleh ke arah Pak Revan.Pak Revan tampak kecewa melihat Ayra enggan menatap ke arahnya. Tanpa aba-aba dia menjatuhkan bobot tub uhnya di tepi ranjang dekat Ayra duduk. Ayra tersentak karenanya, refleks menoleh ke arahnya lalu beringsut sedikit menjauh.Pak Revan menatap lekat ke arah Ayra, membuat Ayra merasa tidak nyaman apalagi ketika pandangan mereka saling bertemu tanpa sengaja. Ayra sesekali menoleh ke arah pintu berharap Reyhan atau Bu Rina datang menjenguknya.