"Mas, apa sebaiknya kita obatin dulu lukamu?" Mas Salman kembali mengehentikan aktivitasnya, lalu membalikkan badanku dan menatapku dalam. "Tidak, tidak perlu karena ini tidak sakit. Akan lebih sakit jika yang di sini yang terluka," ucapnya menekan dadaku dengan lembut. Sejenak aku terdiam dan teringat pada Mas Azzam. "Mas Azzam," ucapku pelan tapi masih terdengar oleh Mas Salman. "Maafkan aku, Mas." Aku menunduk pilu karena walau bagaimanapun selama ini Mas Azzam lah yang selalu menemaniku. Mas Salman mengangkat daguku. "Apa kamu menyesal tidak ikut dengannya, Ana?" "Bukan, bukan aku menyesal karena tidak ikut bersamanya, Mas. Aku menyesalkan harus menyakiti hatinya." Aku menekan dadaku yang sesak, sesak karena buatku ini terlalu sulit. "Maaf kan, Mas. Semua karena kesalahan Mas. Karena Mas, kita jadi terjebak Cinta segitiga." Aku menatap Mas Salman sedikit mengerutkan kening. "Cinta segitiga?" Mas Salman mengangguk. "Ya, Cinta segitiga. Azzam mencintai kamu, tapi kamu mencint
"Iya, Sa. Nanti aku ke sana." Aku menutup telepon dan menatap Mas Salman. "Mas Azzam mabuk. Padahal dia tidak pernah minum." Mas Salman terlihat menghembuskan nafasnya panjang. "Lalu?" "Mas, aku boleh ke sana? Walau bagaimanapun Mas Azzam selalu ada buatku Mas." Mas Salman menatapku sejenak. "Iya, tentu saja boleh. Tapi ...." Mas Salman mendekatkan mulutnya ke telingaku. "Aku ingin menjamah mu terlebih dahulu Ana. Agar aku yakin jika perhatianmu padanya hanya sebatas teman saja." Aku menatap Mas Salman. Tanpa aku sadari ternyata aku menganggukkan kepala dan itu artinya aku sudah siap menerima Mas Salman sepenuhnya. Entah karena pikiranku yang khawatir pada Mas Azzam atau karena aku memang sudah bisa menerima Mas Salman. Mas Salman tersenyum manis dan tanpa menunggu lama lagi Mas Salman kembali menempelkan bibirnya pada bibirku dengan sebegitu lahapnya. Entahlah, bahkan kali ini aku masih memikirkan keadaan Mas Azzam yang katanya tidak sadarkan diri akibat minum-minuman keras yang
Mas Azzam menepiskan tanganku dari tangannya. "Pergilah, Ana! Aku tidak butuh kamu." Ada rasa nyeri di hatiku saat Mas Azzam sudah tak menganggapku sebagai temannya. "Mas, kenapa kamu minum? Bukannya kamu tidak pernah minum?" Mas Azzam menatapku tajam. "Apa pedulimu, Ana?" Mas Azzam kembali menatapku lalu menarik tanganku sampai aku terjatuh pada pelukannya. "Kamu milikku, Ana! Pria itu tidak pantas untukmu, Ana!"Mas Salman dengan sigap kembali menarik tubuhku dari dekapan Mas Azzam. "Jangan kurang ajar! Dia isteriku!" Mas Azzam berdecak mengejek. "Ck, ya, Ana istrimu. Isteri yang kamu sia-siakan bahkan belum pernah kamu sentuh," ejek Mas Azzam dengan sunggingan berarti. Mas Salman ingin sekali memukul Mas Azzam, tapi aku menghentikannya. "Jangan, Mas. Aku mohon jangan." Elsa terbingung karena dia tidak tahu yang terjadi di antara kami. "An, ini ada apa sih? Aku jadi bingung." Aku menatap Elsa dengan bingung juga. Aku juga bingung apa aku harus mengatakan semuanya pada Elsa ata
"Jadi, dia adalah adik perempuannya?" tanya Mas Azzam pada pria berbaju hitam yang memberikan informasi tentang foto yang di pegangnya. "Benar, Bos. Dia masih kuliah akhir semester. Dia juga salah satu orang yang disayangi oleh pria yang Bos bilang." Mas Azzam tersenyum menyungging penuh arti. "Baiklah, terima kasih informasinya. Terus awasi dia dan laporkan apa saja tentangnya." "Siap, Bos!" Pria berbaju hitam itu pun keluar dari ruangan Mas Azzam. Mas Azzam kembali menatap foto gadis yang diberikan oleh pria suruhannya tadi. "Cantik, tapi Ana tetap paling cantik. Sorry, jika kamu harus menjadi korban karena ulah Abang mu, cantik, he he." Mas Azzam meremas foto itu dan kembali mengambil foto ku yang dia ambil saat masih bersamanya dulu. "Cintaku tetap untuk mu, Ana. Kamu tidak akan tergantikan oleh siapapun. Dan kamu adalah milikku, milikku, Ana." Mas Azzam berkali-kali mengecup foto itu dan menyimpannya di dada dengan dekapan erat. Entah apa rencana Mas Azzam pada foto yang dib
Akilah menatap pria itu dengan berpikir sejenak. "Mas Azzam?" tebaknya. Mas Azzam pun tersenyum senang karena ternyata Akilah mengenalinya. "Mobil kamu bocor?" Mas Azzam menoleh pada mobil Akilah. "Saya antar kamu kalau tidak keberatan. Ke kampus kan?" Akilah masih belum menjawab pertanyaan Mas Azzam. Namun, setelah beberapa detik Akilah berpikir. Akhirnya senyuman itu pun terukir dari bibirnya membuat Mas Azzam pun tersenyum senang. "Enggak ngerepotin nih, Mas?" "Enggak, saya kebetulan lagi santai hari ini. Sebenarnya masih belum ingin masuk kantor, hanya saja kalau di rumah malah terasa banget sesaknya, he he."Akilah kembali terdiam sejenak mencerna ucapan Mas Azzam. Tentu saja Akilah mengerti maksud ucapan sesaknya dari mulut Mas Azzam. Ada rasa iba terbesit dari hati Akilah pada Mas Azzam. Akilah tentu saja mengerti bagaimana rasanya patah hati. "Ya udah deh, Pak Jon Kila ikut Mas Azzam ya. Soalnya jam nya udah mepet takut telat."Pak Jon pun mengangguk. "Oh, iya, Non. Maafi
Hari berganti hari dengan begitu cepat karena mungkin kini aku begitu menikmati hidup dalam kebahagiaan bersama Mas Salman. Walau kini aku dibuat dilema oleh kabar dari Dokter perihal keadaan Ibu. Aku bingung, keputusan apa yang harus aku ambil. Dokter mengatakan jika keadaan Ibu memang sudah tidak bisa dikatakan baik. Karena jiwa dan raganya seperti tidak menginginkannya untuk kembali hidup. Mungkin itu karena fisik Ibu yang sudah melemah akibat penyakit hati yang dideritanya. "Ada apa, sayang?" Mas Salman memelukku dari belakang seperti biasanya. "Apa yang kamu pikirkan, Ana?" Aku menarik tangan Mas Salman agar mendekapku lebih erat. "Aku tidak apa-apa, Mas." Mas Salman melonggarkan pelukannya dan membalikkan badanku agar kami saling berhadapan. "Apa kamu masih tidak percaya padaku, Ana?" Mas Salman mengecup bibirku lembut. "Jangan anggap aku seperti dulu, Ana. Aku dulu memang tidak peduli padamu sama sekali, tapi tidak untuk sekarang." Mas Salman menyisipkan rambutku di belakang
"Jadi seperti itu, Dok? Apa tidak ada jalan lain? Apa kemungkinan untuk sembuh itu tidak ada?" Mas Salman memegang erat tanganku saat tengah berbicara dengan dokter yang menangani Ibu. "Saya minta maaf, Tuan Emir. Rumah sakit di sini sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi sepertinya memang dari pasien sudah tidak berkeinginan untuk hidup." Aku terus mengeluarkan air mata karena sudah tak mampu membendungnya. Mas Salman langsung memeluk tubuhku bahkan terus mengecup wajahku di depan sang dokter. Aku berpikir mungkin Ibu saat ini sudah merasa tenang meninggalkanku karena perubahan Mas Salman yang sudah benar-benar mencintaiku. Aku pun masuk ke ruangan Ibu dengan kaki yang lesu. "Buu." Aku mengambil tangan Ibu, lalu mengecupnya dengan deraian air mata karena aku yang begitu merindukan belaian dari tangan Ibu. "Ana rindu, Ibu. Bangun, Bu." Mas Salman kembali memelukku. "Kamu harus kuat, sayang. Ibu akan bahagia kalau kamu kuat. Begitu pun sebaliknya." Sungguh, aku begitu bahagia men
"An, ibu perhatikan kok kamu seperti tidak semangat begitu? Wajahnya pucet." Ibu mengapit wajahku. "Apa Al tahu ini?" "Tahu apa, Bu?" sahut Mas Salman baru datang dari kantor. "Waalaikum salam," kata Ibu menyindir Mas Salman yang lupa mengucapkan salam. "Astaghfirullah ... maaf Bu, Al lupa." Mas Salman mengecup punggung tangan Ibu lalu mengecup keningku. "Kamu kenapa sayang?" "Loh, kamu enggak tahu, Al?" "Tadi pagi Ana baik-baik saja, Bu." "Buu, Ana tidak apa-apa. Hanya sedikit kurang enak badan." "Kita ke dokter, sayang," tawar Mas Salman langsung khawatir padaku. "Kamu beneran pucat ini." Mas Salman meraba semua bagian wajah dan tubuhku. "Aku tidak apa-apa, Mas." Mas Salman tak menghiraukan ucapanku dan langsung menggendongku menuju mobilnya. Padahal Mas Salman baru pulang dari kantor. Bahkan Mas Salman belum minum apalagi sampai ke dalam kamar, Mas Salman baru sampai di ruang tengah dan langsung berangkat lagi karena khawatir pada keadaanku. Aku mengucap syukur bahagia Ma
Aku, Mas Al dan Ibu juga Ayah hanya menatap bingung pada Akilah yang begitu kekeh ingin mempertahankan pernikahannya dengan Mas Azzam. Walau aku tahu mungkin karena besarnya cinta Akilah pada Mas Azzam. Seperti halnya dulu saat Mas Al meminta maaf padaku.Akikah menarik napasnya. "Mas, aku tanya sama kamu. Apa kamu benar-benar tidak bisa mencintaiku, Mas? Aku tahu mungkin cintamu hanya untuk Kak Ana. Tapi, Kak Ana itu istri dari Mas Al. Jika saja kamu bisa menerimaku seperti hal nya Mas Al dulu menerima Kak Ana, insya Allah aku akan memaafkanmu dan menerimamu."Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar penuturan dari Akilah. "Astaghfirullah, Kila.""Kila, putri Ayah, pikirkan baik-baik tentang keputusanmu, Nak." Ayah merangkul Akilah meyakinkan keputusan Akilah.Mas Azzam menatap Akilah. "Kila, apa kamu benar-benar mau memaafkanku?"Semua orang pun menoleh pada Mas Azzam. Ada hati yang tergores mendengar ucapan Mas Azzam karena aku pikir apa yang dilakukan oleh Mas Azzam sungguh j
"Aaarrggghh!" Bugh!Bugh! Bugh! Mas Al memukul Mas Azzam tanpa henti. Amarahnya mungkin sudah tidak bisa ditahannya lagi setelah beberapa menit Mas Al menahannya. Aku dan Akilah pun berusaha untuk menarik tubuh Mas Al karena Mas Azzam semakin babak belur sebab tidak melawan sama sekali. "Mas, hentikan!" Kami menarik tubuh Mas Al dengan sekuat tenaga kami, namun, tenaga Mas Al masih bukan tandingan untuk kami. "Mas, Ku mohon hentikan! Jangan sakiti suamiku, Mas!" Akilah akhirnya menghalangi tubuh Mas Azzam dari depan, sehingga pukulan itu terkena juga pada Akilah. "Aw!" "Kila, astaghfirullah. Hentikan, Mas!" Aku menghalangi Mas Salman. Perlahan Mas Al pun berhenti memukul wajah Mas Azzam. "Aku akan menghabisimu." Bugh! "Akh!" Aku terkena pukulan Mas Al, setelah Akilah kini aku pun terjatuh karena terpukul oleh Mas Al. "Ana." Mas Al segera menghampiriku. "Maaf, sayang."Akilah kembali menghampiri Mas Azzam. "Mas, kamu tidak apa-apa? Kita ke dokter sekarang." Akilah merangkul t
"Mas, kamu kenapa sih? Aku lihat kamu itu murung terus? Ada apa?" Aku mengapit wajah Mas Salman dengan lembut. "Aku mohon jangan ada rahasia diantara kita." Mas Salman menatapku begitu dalam. "Tidak ada, sayang. Aku hanya tidak ingin banyak bicara aja." Aku menatap Mas Salam tak percaya. Setelah semua yang terjadi, aku tahu bagaimana keadaan raut wajah suamiku saat kesal, saat marah dan saat bahagia. Aku yakin Mas Salman menyembunyikan sesuatu dariku. "Ooh. Mas, aku ...." Aku menggantung ucapanku. "Enggak jadi deh." Aku pun beranjak dari duduk, namun, Mas Salman tak membiarkanku pergi dan menarik tubuhku. "Kamu apa, Ana?" tanya Mas Salman yang begitu penasaran karena ucapanku yang tergantung. Aku menarik napas panjang. "Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin menghirup udara sore di balkon," dalihku kembali beranjak, namun, lagi-lagi Mas Salman tak membiarkanku. "Jangan bohong, Ana. Kamu tidak bisa membohongiku." Aku pun kembali menarik napas dan duduk di samping Mas Salman dan mera
"Aw!" Akilah sedikit terkejut karena tangannya di tarik oleh Mas Azzam. "Ada apa sih, Mas?" Mas Azzam menatap tajam Akilah dengan cekalan tangan yang semakin kuat. "Jika sampai mereka tahu keadaan rumah tangga kita. Itu berarti salah kamu, Kila!" Akilah meringis karena cengkeraman tangan Mas Azzam tidak main-main. "Kamu benar-benar sakit, Mas. Aku pikir pria sepertimu tidak memiliki penyakit seperti itu, tapi nyatanya kamu benar-benar gila." Mendengar cemohan Akilah, tangan Mas Azzam beralih mencengkram dagu Akilah. "Ya, aku memang sakit. Dan itu semua karena Kakakmu, Kila. Jadi, kamu yang harus menanggung akibatnya. Jika aku sakit dan gila karena aku tidak bisa memiliki Ana, maka kamu pun harus merasakan hal yang sama." Akilah kembali merembeskan air matanya, dengan sekuat tenaga Akilah mencoba untuk menghentikan cengkeraman Mas Azzam. "Sakit, Mas, hiks! Kenapa? Kenapa harus aku yang harus menanggung akibatnya? Aku mencintaimu tapi kenapa kamu memperlakukanku seperti ini, Mas? Ji
Setelah Akilah akhirnya hilang dari pandangan kami, aku dan Mas Al bersiap-siap untuk membereskan barang-barangku. Pandanganku tertuju pada benda pipih yang tergeletak di kursi tempat Akilah tadi. Aku mengambilnya dan benar saja itu adalah handphone milik Akilah."Astaghfirullah, ini handphonenya Akilah ketinggalan, Mas." "Handphone Kila?" "Heem,, ini." Aku memberikan handphonenya itu pada Mas Al."Heeh dasar, masih muda udah pikun!" "Ist, ko gitu amat sih, Mas? He he. Nanti kita mampir dulu aja ke rumah mereka gimana? Kita juga akhirnya enggak jadi ikut antar mereka kan kemaren?"Mas Al terlihat berpikir. "Ya, baiklah." Setelah selesai membereskan barang-barangku, Mas Al membereskan administrasi terlebih dahulu sebelum kami keluar dari rumah sakit. Setelah itu kita pun segera menuju rumah Akilah karena kebetulan letak rumah Akilah lebih dekat dari rumah sakit di banding ke rumahku atau Ibu. Hanya beberapa menit kita pun sampai di rumah baru Akilah. "Assalamualaikum, Bi, Kila ada
"Mas, alhamdulillah." Aku segera memeluk Mas Al saat Mas Al datang setelah beberapa jam menghilang. "Kamu ke mana aja, Mas? Aku khawatir." Mas Al memeluk dan mengecupi wajahku. "Maafkan aku, Ana. Aku terlalu lemah dan tidak bisa mengendalikan diriku."Aku mengapit wajah Mas Al. "Aku takut kamu melakukan hal bodoh, Mas."Mas Al menatapku dengan sendu. "Tidak, Ana. Aku tidak akan membiarkanmu menjanda." Aku mengerutkan kening dan sedikit mengerucutkan bibirku. "Apa maksudmu, Mas?"Mas Al tersenyum tipis penuh arti. "Bukankah kamu pikir aku akan melakukan hal bodoh? Kamu pikir aku akan bunuh diri begitu?""Ist, bukan itu. Aku pikir kamu sama Santi ...." Aku menunduk tak sanggup melanjutkan ucapanku. Mas Al menatapku dengan tersenyum getir. Nyatanya tidak hanya bagiku, trauma masa lalu itu tidak mudah bagi Mas Al. Sungguh, luka itu tidak hanya untukku, tapi juga untuk Mas Al. "Maaf, Mas. Maaf aku membuatmu-" Cup!"Kamu tidak salah, sayang. Aku yang salah." Dalam sejenak kami terdiam
"Mas, Al-ku." Santi dengan cepat membuka pintu apartemennya saat tahu Mas Salman menuju ke kamarnya. "Mas Al, aku yakin kamu juga tidak bisa hidup tanpaku," ucapnya lagi dengan merapikan bajunya. Mas Salman terdiam sejenak menatap pintu kamar apartemen Santi. Matanya memejam dengan kepalan tangan yang erat. Entah apa yang membuatnya mengepalkan tangan yang jelas Mas Salman begitu terlihat marah. Ting! tong! "Mas Al." Santi hendak memeluk Mas Salman, namun, Mas Salman menepis tubuhnya hingga terjatuh. "Aw, Mas. Kok kamu dorong aku sih? Kamu jahat deh." "Bangun, Santi! Kamu itu jagoan bukan? Kamu sudah melakukan hal kriminal pada anak dan istriku!" sentak Mas Salman dengan emosinya. Santi menatap Mas Salman dengan sendu. "Apa sih maksudmu, Mas?" Mas Salman menatap Santi dengan sorot mata merah tajam. Tangannya tak bisa lagi menahan amarahnya. Mas Salman menarik tubuh Santi dan mencengkeram kerah baju Santi. "Apa yang kamu lakukan pada istri dan anakku, hah?" Tubuh Santi bergeta
"Berani kamu menyakiti Ana-ku, hah?" sentak Mas Azzam pada Santi dengan tangan mencengkram erat pada leher Santi. Santi meringis matanya pun sedikit terbelalak. "Le-pas-sin!" Mas Azzam semakin mencengkeram leher Santi dengan begitu emosi. Untung saja handphonenya berbunyi. Mas Azzam pun mau tidak mau harus melepaskan cengkraman tangannya dari leher Santi."Uhuk! Uhuk! Hampir saja aku mati." Santi mengusap lehernya yang sakit akibat cengkeraman Mas Azzam. "Ya, bagaimana keadaan Ana, Kila?" ucap Mas Azzam pada sambungan teleponnya. "Baiklah, aku akan segera ke sana." Santi menatap takut pada Mas Azzam. Santi mengangkat wajahnya menatap Mas Azzam sejenak, lalu kembali menunduk karena takut. Mas Azzam masih menatap Santi dengan amarah. "Ini adalah awal peringatan untukmu! Jika sampai terjadi apa-apa pada Ana-ku. Maka aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu, ingat itu!" Mas Azzam beranjak pergi meninggalkan Santi yang masih memegang lehernya yang sakit. "Dasar gila, kalau memang
"Mas, aku jadi pergi ya sama Ibu. Jangan telponin aku terus ya. Nanti enggak jadi-jadi aku berburu diskonnya," ucapku pada Mas Salman, tentu saja membuat semua orang tertawa. "Ha ha, kamu ini, Al. Tenang aja, sekarang kan perginya sama Ibu. Tenang pasti Ibu jagain, iya'kan, Bu?" "He he, iya, Ayah. Siap! Tenang saja kalau soal jaga menjaga dari para pria jelalatan mah, ibu jagonya," ujar Ibu, kembali membuat semua orang tertawa renyah, termasuk Akilah. "Kila, apa Mas Azzam mau berangkat kerja juga?" tanyaku melihat Mas Azzam berjalan ke arah meja makan dengan sudah berpakaian lengkap ke kantor. "Iya, Kak. Katanya jenuh di rumah," ujar Akilah, "oh iya, apa Ayah dan Ibu sudah bilang aku akan pulang ke rumah kami nanti sore?" Aku dan Mas Salman menoleh pada Ayah dan Ibu. "Belum," ucap kami serentak.Ayah memalingkan wajahnya. "Mau bagaimana lagi, Kila? Mereka itu berada di kamar terus, bahkan melebihi kalian yang pengantin baru," ujar Ayah menyindir kamu. Aku pun menunduk malu karen