_"Sikapnya terkadang menyebalkan. Tapi, dia mau membela orang yang terbully."_
~~~
Senja sudah berjalan keluar koridor. Gadis itu sudah melepas kuncirannya. Menaruh kunciran di lengannya. Banyak mata yang menatap gadis itu sinis. Tapi, Senja sebisa mungkin tidak emosi.
Gadis berambut bergelombang sebahu itu berjalan sendirian. Karena, sahabatnya sudah keluar terlebih dahulu.
Rangkulan di pundak Senja membuatnya terkejut dan menatap laki-laki tinggi itu, yang tersenyum ke arahnya.
"Kenapa?" Tanyanya.
Gadis itu tersenyum tipis. Menampilkan lesung pipinya meski hanya sedikit. "Gapapa. Mau kemana?" Tanya balik Senja.
Kini, tatapannya tepat di rentina mata hitam Aldi. Laki-laki itu sudah memakai kaos abu-abu dan terselip headset di telinganya.
"Jadwal aku latihan basket. Masa kamu lupa? Kamu mau temenin aku, kan?"
"Inget kok. Tapi, hari ini aku ada kerja kelompok. Jadi, enggak bisa nemenin kamu dulu. Gapapa?" Ujar Senja diselingin dengan pertanyaan.
Aldi menganggukkan kepalanya "Em... oke. Ga masalah. Aku anter ke parkiran ya?" Ujarnya sambil menggenggam tangan kecil Senja.
Keduanya berjalan beriringan, masih ditatap sinis oleh beberapa murid yang berlalu-lalang. Namun, di antara Senja atau pun Aldi tidak mempedulikan hal itu.
"Sama siapa aja?" Tanya Aldi. Memecah keheningan beberapa detik lalu.
"Sama Asta, Galuh terus Gafi," jawab Senja. Yang sudah mendongak. Karena, tubuh Aldi yang tinggi yaitu, 175 cm.
Aldi menghentikan langkahnya menatap gadis itu lekat. "Gafi? Cowok songong yang ngajak ribut itu?" Anggukan dari Senja membuat rahang Aldi mengeras.
"Kenapa harus sekelompok sama dia sih?!"
Mendengar nada suara Aldi yang kesal itu, membuat Senja mengernyitkan dahinya.
"Emang kenapa, kalo aku sekelompok sama dia? Enggak ada masalahnya, kan?"
"Ada! Kamu ga liat tadi pas istirahat dia udah ngajak ribut temen-temen aku? Mana songong lagi," kesal Aldi.
"Aku liat. Terus, aku juga denger. Temen kamu ngehina aku, dia ngebela aku. Kenapa kamu jadi marah sama dia? Yang harusnya kamu keselin itu ya temen kamu! Yang asal bilang tanpa tau kenyataannya!" Emosi Senja tiba-tiba muncul.
Membuat Aldi terdiam. "Emang dia ngeselin. Tapi, dia tau harus ngebela siapa. Enggak kayak kamu!" Lanjut Senja.
Senja berlalu dari hadapan Ivan, dengan amarahnya. Wajah mulusnya, kini sudah merah padam. Senja tidak habis pikir dengan pemikiran laki-laki berkulit putih itu.
"Lama pisan euy. Ampe lumutan ini mah." Oceh Gafi setelah melihat gadis itu sudah berjalan ke arah mereka bertiga.
Senja menatap malas laki-laki yang berdiri di motor hitam itu. "Muka maneh kunaon? Kusut kitu. Mirip jeung jemuran yang di peres," lanjut Gafi.
"Kepo banget. Bukan urusan lu!"
Asta menggenggam tangan Senja yang terasa dingin. Sebenarnya, Asta melihat perdebatan kecil antara Senja dan juga Aldi.
"Habis berantem ya? Masalah apa?" Tanya Asta berbisik ke telinga Senja.
"Gapapa. Masalah sepele aja. Yaudah, mending kita berangkat. Nanti ada yang ngoceh lagi!" Sindir Senja sambil melirik Gafi. Yang dilirik hanya memutarkan kedua bola matanya malas.
"Maneh sama urang we, Nja. Biar urang kalo ketinggalan henteu nyasar kitu. Kali aja urang teh nyasar ke diskotik," ujar Gafi dengan senyum tipisnya.
"Diskotik, diskotik palelu. Punya KTP juga belom. Gaya-gayaan lu!" Celoteh Galuh.
"Nyamber wae maneh teh," sahut Gafi dengan wajah masam.
"Lu berdua. Ga usah ribut!" Tegur Asta yang sudah berdiri tepat di sebelah Gafi.
"Yaudah sama Asta aja. Ayok Galuh, udah ditunggu," ajak Senja yang dibalas anggukan oleh laki-laki itu. Gadis berambut tergerai itu ingat cerita Asta setelah istirahat tadi. Membuat gadis itu menyuruh Gafi untuk membonceng Asta.
"Oke deh," jawab Asta semangat.
Sementara Gafi memasang wajah masamnya. "Ga jadi. Maneh teh bareng mereka aja. Berat bonceng maneh mah."
Asta berdecak sebal. "Enak aja! Lu kira badan gua segede apa?!" Kesal Asta.
"Serah maneh we. Intinya mah urang ga mau boncengan sama cewek ribet."
"Oh gitu. Lu tega? Biarin gua jalan kaki?" Ujar Asta yang sudah memasang wajah melasnya.
Helaan nafas laki-laki itu terdengar, dengan cepat Gafi memakai helmnya. "Buru naik. Lama urang tinggal," tutur Gafi yang sudah duduk anteng di motornya.
"Nah, gitu dong. Kan, jadi ganteng," puji Asta yang sudah memegang pundak Gafi untuk bisa duduk di jok belakang.
"Makasih pujiannya. Tapi, urang da emang ganteng dari dulu," jawab Gafi dengan sorot matanya yang tajam.
"Iyain aja biar cepet," imbuh Asta dengan malas. Asta menyesal telah memuji laki-laki di hadapannya.
Gafi menyalakan mesin motornya, membawa motornya dengan kecepatan sedang. Jalanan kali ini tidak begitu ramai. Membuat Gafi bisa meliuk-liuk membelah jalanan. Tanpa harus terkena macet.
"Rumah Senja teh, jauh dari sekolah?!" Tanya Gafi dengan sedikit berteriak.
Asta yang menyadari itu langsung sedikit memajukan wajahnya ke dekat helm laki-laki itu. "Lumayan. Ga terlalu jauh juga kok!!!" Balik teriak Asta.
Gafi hanya menganggukkan kepalanya, laki-laki itu menambahkan kecepatan kendaraannya.
Jalan sore ini terlihat lebih lengang dari biasanya, 'Kenapa mobil Senja belok ke kafe?' Batin Gafi.
Merasa heran, Gafi langsung memarkirkan motornya. Asta juga terlihat mengerutkan dahinya.
Melihat Senja yang sudah turun dari dalam mobil, disusul Galuh yang juga memasang wajah kebingungan.
Gafi tanpa pikir panjang langsung menghampiri gadis itu. Setelah memarkirkan motornya. "Ini kenapa kita berhenti di kafe? Bukannya kita udah sepakat di rumah maneh?" Tanya Gafi.
"Gua kan cuma ngeiyain. Tapi, gua enggak setuju. Kalo, kerja kelompok di rumah gua. Jadi, yaudah disini aja. Sekalian pesen makan," jelas Senja
Ucapan Senja membuat Galuh berbinar-binar. "Ide bagus tuh, Nja. Pas bener perut gua juga keroncongan." Semangat Galuh sambil menepuk-nepuk perutnya.
Asta menggelengkan kepalanya. Melihat tingkah Galuh. "Emang dari dulu sukanya gratisan," sindir Asta.
"Karna yang gratis itu nikmat," jawab Galuh.
"Yaudah, masuk aja. kalo ngobrol terus enggak kelar-kelar nanti," celetuk Senja.
Gafi langsung saja menarik leher Galuh untuk masuk terlebih dahulu meninggalkan kedua gadis itu.
Kafe dengan nuansa milenial itu terlihat begitu mengagumkan. Kafe dua lantai yang juga cocok untuk berswafoto. Karena, di bagian pojok kafe terdapat dinding tanaman. Ada yang menempel dengan dinding dan ada juga yang di gantung yang membuat tempat itu terlihat aesthetic.
"Pak, enggak usah ditungguin ya? Nanti kalo pulang saya kabarin," ujar Senja sopan.
"Baik non," jawab supir pribadi Senja yang sudah bertahun-tahun mengantarnya kesana kemari.
Setelah menganggukkan kepalanya. Asta berkata kepada Senja, "Ayo, Nja. Padahal gua pikir. Kita ke rumah lu. Eh malah kesini."
"Gua lagi males di rumah, Ta. Makanya gua pilih kesini aja deh. Lagian kalian juga pasti laper. Daripada nanti di rumah enggak ada apa-apa. Soalnya, bibi lagi pulang kampung," jelas Senja.
"Oh. Bi Endah lagi pulkam. Pantes aja lu ajak kita kesini. Mukanya Gafi tadi bete banget. Ngerasa ditipu kali dia hahaha." Ujar Asta dengan kekehannya.
"Biarin aja. Manusia kayak dia emang pantes dikerjain heheh," balas Senja yang ikut tertawa.
Keduanya sudah memasuki kafe, mencari keberadaan dua laki-laki menyebalkan itu.
"Mereka tuh ya. Bukannya nungguin. Kalo gini kan, kita juga harus nyari. Mana rame banget lagi nih kafe," gerutu Asta sambil celingukan kesana-kemari.
Senja menepuk bahu Asta pelan. "Udah enggak usah kesel gitu. Mending sekarang coba lu chat Gafi,"
"Ide bagus," celetuk Asta yang sudah merogoh saku roknya. Mengambil benda pipih itu. Karena, Senja ingat Gafi sudah masuk ke grup kelas.
"Yah, Nja. Batre gua low. Gimana dong?" Panik Asta yang sudah memasang wajah melasnya. Benda pipih itu kini hanya menampilkan layar hitam. Senja menghela nafasnya.
"Maaf mbak. Dimohon jangan menghalangi jalan. Silakan, mencari tempat. Terima kasih," Tegur satpam yang tepat berdiri di antara keduanya.
Mereka berdua saling tatap. Malu di tegur satpam karena memang keduanya berdiri tepat di pintu masuk kafe. "Maaf ya, Pak. Seloroh Senja.
"Sabar Asta, huuuh. Awas aja lu berdua. Kalo ketemu gua jitak palanya satu-satu," gerutu Asta.
Senja tidak mengubris ucapan Asta. Gadis itu langsung menarik tangan gadis berpipi tirus itu. "Kita mau kemana, Nja? Galuh sama Gafi aja belum ketemu. Masa naik ke atas. Ntar kalo mereka nyariin kita gimana? Masa kita kesini main cari-carian."
Ocehan dari mulut gadis itu tidak ada henti-hentinya. "Tuh Gafi. Udah berdiri di tangga. Jadi, enggak perlu ngedumel," cetus Senja sambil menunjuk laki-laki yang berdiri di tangga kafe dengan wajah datarnya.
"Aduh. Ganteng banget, Nja. Kalo gini sih gua ga jadi marah," ungkap Asta yang berbinar-binar.
"Terserah lu aja, Ta. Ayok keburu tuh cowok ngoceh-ngoceh." Senja kembali menarik tangan Asta menaiki tangga.
"Maneh berdua teh ngapain da? Lama pisan. Pegel atuh nunggunya.."
Benar yang diucapkan Senja di bawah tadi. Membuat Asta menatap tajam laki-laki itu. "Heh. Gafi yang terhormat, yang ada lu berdua ngapain berdiri disini? Gimana gua sama Senja bisa liat keberadaan lu? Kalo ga inget ini di tempat umum. Udah gua hajar kepala lu berdua!" Kesal Asta.
"Bawel," cibir Gafi yang sudah berlalu terlebih dahulu. Dibuntuti oleh Galuh.
"Apa dia bilang?! Ishh... Ga jadi, gua muji lu ganteng!!" Ujar Asta sedikit berteriak.
Membuat beberapa orang yang berlalu lalang menatap Asta dengan kerutan di dahinya. "Udah, Ta. Malu, diliatin," lerai Senja sambil menarik gadis itu mengikuti langkah besar Gafi.
"Hehehe. Kelepasan, Nja."
Senja hanya menggelengkan kepalanya. Sudah terbiasa dengan tingkah abstrak sahabat satu-satunya itu.
Hallo semua. Semoga suka sama cerita yang aku buat ini.
_"Masalah datang tanpa diduga."_~~~ Sesampainya di atas. Terlihat begitu simple. Kursi tertata sedemikian rupa. Dengan meja bulat berisi kursi untuk empat orang. Karena, hari ini kafe itu lumayan ramai. Mereka berempat akhirnya memilih tempat yang ada paling ujung. Gaya modern kekinian begitu terasa di kafe kenangan itu. Untuk bagian lantai dua merupakan kafe outdoor. Lebih terlihat alami. Dinding-dinding kafe terlihat seperti batu bata asli. Padahal, itu hanya wallpaper biasa. Di dinding itu juga terpasang bingkai tulisan motivasi dan sejenisnya. "Urang teh, henteu resep sebenernya. Kalo harus kerja kelompok di dieu," ujar Gafi yang sudah menatap Senja intens. Setelah mereka berempat duduk di bangku paling pojok. Kerutan di dahi Senja terl
_"Terkadang, apa yang kita harapkan tidak berjalan dengan baik."_~~~ Kepulan asap berbau tembakau itu, menari mengerumuni beberapa orang yang sedang duduk santai di atas meja tak terpakai. Bangunan yang sudah terbengkalai di belakang sekolah, terlihat begitu berantakan. Kursi yang sudah rusak tergeletak begitu saja. Tembok di sekeliling bangunan terlihat penuh dengan coretan. Wajah dingin terlihat jelas, rahang tegasnya menampilkan amarah yang tertahan. Laki-laki dengan penampilan acak-acakan itu sedang asik menyesap rokoknya. Sedangkan beberapa orang lainnya saling bercengkraman. "Eh, Van. Muka lu napa ditekuk gitu?" Tanya laki-laki botak itu sambil merangkul leher lawan bicaranya. "Kita harus pantau terus, pelaku yang nyebarin berita
_"Terkadang membahagiakan seseorang yang kita sayang, bisa dengan cara sederhana."_~~~"Nja," panggilan itu memotong ucapan Senja. Keduanya menatap sumber suara. Yang ternyata laki-laki dengan baju basketnya. Siapa lagi kalau bukan Aldi.Tatapan tajam dari Gafi terarah ke laki-laki yang berada tepat di belakang Senja. Rasa kesalnya masih terasa sampai saat ini."Aldi? Kok kamu tau aku di sini?" Tanya Senja. Ucapan gadis itu terdengar oleh pendengaran Gafi. Membuatnya berdecak kesal.Aldi tersenyum membuat matanya semakin menyipit. "Dari Asta. Aku tanya soal kamu ke dia. Yuk pulang," ujar Aldi sambil menyentuh jari-jemari Senja dengan lembut.Senja memikirkan ucapan laki-laki bermata sipit itu. Mana mungkin Asta
_"Apa yang menurut kita benar, belum tentu benar di mata orang lain."_~~~Aldi sudah menatap nasi goreng buatannya yang tidak terlihat buruk. Senyum lebarnya kini terpancar dengan jelas. Laki-laki sipit itu sedang duduk di meja makan yang terdapat enam kursi. Meja berbentuk oval itu terbuat dari kayu yang atasnya terdapat kaca.Tangan besarnya kini mengambil buah berwarna merah. Rumah ini terlihat begitu sepi, dan baru kali ini Aldi menginjakkan kakinya di dalam rumah Senja. Biasanya, hanya sampai parkiran saja. Foto-foto terpajang rapih di dinding. Ada juga yang tersusun di sudut meja.Tatapan Aldi terarah pada satu orang anak laki-laki yang sepertinya, ia mengenali wajah itu. Tapi, perasaannya berkata itu tidak mungkin. Bisa saja, ia salah orang. Karena, di sekolah pun keduanya tidak saling berinteraksi
"Semua rencana butuh proses, yang tertata, tersusun dan yang terpenting tidak tergesa-gesa."~~~ Pagi itu cuaca terlihat begitu cerah. Jalanan Ibukota Jakarta terasa begitu ramai. Klakson kendaraan saling bersautan. Laki-laki bermata coklat gelap berbentuk almond itu sedang berdesak-desakan di dalam kendaraan umum. Motornya mogok. Karena, semalam ia terjebak banjir dan terpaksa menerobos. Mengakibatkan mesin motornya mati. Sialnya lagi, ia harus mendorong motornya sampai rumah. Rasa pegal di kakinya semakin terasa. Sejak semalam ia harus jalan sejauh itu, ditambah lagi hujan cukup deras. Sekarang harus berdiri berhimpitan seperti ini. Rasanya kakinya ingin lepas. Seharusnya ia sudah bisa menempuh waktu 15 menit untuk sampai di sekolahny
_"Saat orang lain memperlakukan kita secara tidak baik. Bukan berarti, kita melakukan hal yang sama."_~~~Hening tercipta di dalam kelas 10 IPA 2. Sampai suara tegas, menginterupsi ruangan persegi itu."Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh. Selamat pagi semuanya," sapa guru berkacamata tebal itu."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh. Selamat pagi bu," serempak siswa-siswi di kelas."Baik semuanya. Kumpulkan tugas kelompok kemarin. Untuk tugas kelompok itu, kita bahas minggu depan!"Gafi yang sudah menyatukan semua lembaran soal di kelompoknya, langsung memberikan lembaran tugas itu ke Senja.Gadis berlesung pipi itu tanpa berkata apa pun langsung berdiri meletakkan tugasnya di atas meja. "Oh iya Senja! Bisa bantu ibu?" Tanya Indah, guru fisika itu.Senja menganggukkan kepalanya. "Tolong, ambilkan buku
_"Terkadang emosi memenuhi pikiran. Mengakibatkan emosi yang tidak stabil."_~~~ Suara bising di kantin terdengar begitu riuh. Ada yang berebut antrian. Ada yang tertawa terbahak-bahak. Karena, lelucon salah satu di antara mereka. Ada juga yang menjadikan kantin tempat konser dadakan. "Bang. Gorengan satu, ya! Duitnya gua taro meja!" Teriak Revan—biang onar di sekolah. Penampilannya terbilang berantakan. Dasi yang tidak ada di kerah bajunya. Bahkan, baju kemeja putih berlogo SMA itu sudah keluar kesana-sini. Terlebih lagi, laki-laki bermata tajam bagaikan pisau itu hanya membayar gorengan seharga seribu rupiah. Padahal, Revan mengambil gorengan dua buah. "Gimana? Udah dapet infonya?" Revan sudah duduk di antara sahabat-sahabatnya, di paling ujung kantin. "Belum, Van. Hari ini aja, ga ada yang nyoba ngebully Senja. Keliatannya har
_"Kita tidak akan mudah untuk bisa mengubah pandangan buruk orang lain, terhadap diri kita sendiri."_~~~Suasana di koridor dekat ruang BK terlihat ramai. Semua siswa-siswi saling berbondong-bondong memperhatikan dua siswa yang wajahnya sudah babak belur, dan ketiga teman Revan yang memasang wajah masamnya."Lu liat sendiri, pan? Revan yang berantem, mereka bertiga kena imbasnye. Lu masih mau temenan sama mereka?" Ujar laki-laki berkacamata minus itu.Gafi yang sedang berdiri duduk di pinggir lapangan, dengan bola voli ditangannya. "Nanti lu kebawa jeleknya," lanjut Galuh yang menepuk pundak kokoh laki-laki tinggi itu."Revan berantem, pasti ada sebabnya. Urang teh, tetep mau jadi temen mereka," jawab Gafi."Terserah, lo aja dah! Tapi inget, Fi. Sekalipun mereka baik, di mata orang lain mereka udah buruk. Lu kaga bisa ubah
_"Perlakuan sederhana terkadang membuat bahagia."_~~~Cuaca begitu mendukung untuk beraktivitas di hari libur. Termasuk gadis berambut cepol dengan setelan traningnya. Senja baru saja selesai melakukan yoga. Helaan nafasnya terdengar, peluh yang membanjiri wajahnya begitu terlihat. Gadis itu menengguk botol minum berisi air mineral hingga 'tak tersisa.Bunyi ponsel terdengar nyaring. Senja melirik sebentar ke arah benda pipih yang tergeletak manis di atas meja belajarnya. Selesai menyimpan botol minum, dan mengelap keringatnya ia langsung meraih benda itu. Senyum yang menampilkan lesungnya, kini muncul begitu dalam.Gadis itu langsung menarik handuk, yang tergantung rapih di dekat pintu. Setelah melihat pesan yang entah dari siapa, gadis itu langsung bergegas mandi. Mungkin orang spesial yang akan datang.Sudah hampir setengah jam, akhirnya Senja se
_"Hidup itu tidak selalu berjalan dengan mulus. Pasti, selalu ada masalah dalam hidup. Masalah ringan, sedang, hingga masalah yang begitu rumit. Tapi, semua itu punya jalan keluarnya."_~~~"Ikut gua!"Suara berat, membuat gadis berambut pirang itu menatap ketiga orang dihadapannya dengan tatapan aneh."Mau apa sih lu?! Punya urusan sama gua?""Udah lah, lu engga usah banyak bacot!" Bentak laki-laki berkulit sawo matang itu."Ngapain sih?! Gua ga mau!" Berontak gadis itu.Namun, laki-laki bertubuh tinggi itu menyuruh kedua temannya membawa paksa Viola."Bagas!!! Lu mau ngapain gua?"Laki-laki yang dipanggil Bagas itu hanya mengedikan pundaknya, dan berjalan mengikuti kedua temannya itu.Viola, gadis itu mencoba melepas cengkraman kuat dari kedua kakak kelasnya. Namun
_"Apa yang kita pikirkan benar, belum tentu benar. Bahkan, bisa saja yang kita anggap tindakan yang benar ternyata malah sebaliknya. Sebuah kesalahan."_~~~Hujan sore di ibukota Jakarta terlihat begitu deras. Awan yang tadinya cerah, kini terlihat begitu gelap. Seharusnya semua siswa-siswi SMA GARUDA sudah pulang sejak sejam yang lalu. Namun, mereka harus menetap di ruang kelas menunggu hujan mereda."Ta, gua perlu ngomong sama lu."Ucapan itu membuyarkan lamunan Asta. Suara berat dan khas itu, menyadarkan Asta bahwa bukan lagi Senja yang duduk di sebelahnya, melainkan Galuh."Hem..."Galuh langsung duduk di sebelah gadis itu, tadi ia meminta Senja untuk berpindah tempat duduk sebentar selagi gadis itu menunggu dijemp
_"Apa pun perkataan orang lain, tidak perlu kita hiraukan. Jika itu hanya melukai diri kita. Dengarkan saja yang perlu didengar, anggap angin lalu yang tidak perlu untuk didengar."_~~~Suara riuh terdengar begitu gaduh di kelas IPA 2. Senja yang berjalan dengan penampilan yang sangat berantakan, melewati beberapa temannya yang menatapnya dengan sinis.Cangkang telur serta putih telur bercampur dengan kuningnya, bertengger manis di rambut sebahu gadis itu. Aroma menyengat menusuk indra penciuman semua orang yang ada di dalam ruang kelas.Galuh hanya mengekor dari belakang, sedangkan Gafi hanya diam duduk di kursinya. Laki-laki bermata almond itu tidak lepas memandang Senja yang terlihat tidak baik-baik saja."Bau banget badan lu, Nja. Bikin kelas bau busuk! Bersihin dul
_"Orang yang kita anggap akan ada dipihak kita ternyata sama saja dengan yang lain. Rasa kecewa itu benar-benar terasa, menyakitkan."_~~~"Enggak perlu lu anter. Gua kesini sama supir," ujar gadis berambut hitam itu. Sejak Revan dan yang lainnya pergi, keduanya sudah memutuskan untuk duduk di trotoar dekat penjual minuman dingin keliling dan tukang somay."Maneh teh kunaon, sewot terus sama urang? Urang teh punya salah kitu?" Tanya Gafi.Senja menghela nafasnya, ditatap laki-laki yang tingginya 176 cm itu. Memang Gafi tidak pernah melakukan kesalahan. Tapi bagi Senja, laki-laki itu memang harus ia jauhin. Lebih tepatnya jangan sampai berurusan dengan laki-laki dihadapannya ini."Lu enggak punya salah. Gua harap, ucapan gua di sekolah bisa lu lakuin ya? Gua enggak mau p
_"Kecewa itu......"_~~~Beberapa menit setelah Gafi meninggalkan rumah Arya. Keempat anak remaja itu asik dengan kartu dan cemilan di atas meja. Sesekali umpatan-umpatan kasar keluar dari bibir mereka."Sial! Kalah lagi gua!" Celetuk Arya.Tama hanya tertawa merasa senang, karena sejak tadi Arya selalu kalah. "Udah, lu mending maen barbie aja," ledek Banu.Hal itu membuat Arya berdecak kesal, dan melempar batal tepat ke wajah tampan laki-laki itu. "Lu kira gua cowok apaan?" Kesalnya.Banu tertawa sambil memegang perutnya yang terasa kram. "Cowok jadi-jadian hahahaha,""Si anjir! Lu kalo ngomong, perlu gua sumpel mulut lu ya?" Omel Arya."Haha
_"Apa yang kita lakukan, belum tentu orang lain menyukainnya."_~~~Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Gafi sudah duduk di atas motornya. Motor pespa berwarna kream yang jarang ia gunakan. Akhirnya, hari ini ia gunakan.Pandangan tajamnya tidak lepas dari siswa-siswi yang berlalu lalang. Laki-laki berbulu mata lentik itu terlihat sedang menunggu seseorang."Dia aman, ga ada yang bakal macem-macem sama Senja. Kalo dia lagi sama Aldi." Gafi langsung menatap gadis berambut cepol itu dengan alis yang saling bertaut."Dia udah punya pacar, jadi lu ga usah terlalu jagain Senja. Bagi dia, lu cuma orang asing. Mending lu dengerin apa yang dia bilang, jauhin dia. Kalo lu makin deketin dia, masalah Senja makin nambah," lanjut gadis itu.Helaan nafas Gafi bisa dilihat oleh gadis berhidung mancung itu. "Kenapa maneh atau Senja, suka nyuruh urang teh
_"Kehilangan seorang sahabat yang begitu berarti, untuk kesekian kalinya."_~~~Jam istirahat sudah terdengar seantero sekolah. Membuat semua siswa-siswi SMA Garuda saling berhamburan. Berbeda dengan hari biasanya, kelas 10 IPA 2 kembali terdengar gaduh."Eh! Lu harus tanggung jawab!" Bentak perempuan berambut bob itu."Tanggung jawab apa lagi?""Jangan mentang-mentang dompetnya udah balik, lu ngelupain gitu aja!" Ujar gadis bernama Anya.Senja menghela nafasnya, Asta ternyata memilih berlalu dari bangkunya meninggalkan Senja begitu saja. Padahal, Senja berharap Asta membelanya."Gua enggak ngelupain kejadian tadi. Tapi, gua emang enggak ngerasa harus bertanggung jawab," jelas Senja.Anya melipat kedua tangannya di dada. "Jelas-jelas dompetnya ada di elo! Emang kita belum buktiin lewat cctv. Tapi bagi gua, bu
_"Tuduhan itu belum tentu benar adanya. Kebanyakan orang langsung percaya dengan ucapan orang lain. Tapi, mereka lupa tentang apa yang mereka lihat."_~~~Pagi cerah di hari Kamis. Udara segar berhembus lembut pagi ini. Seragam bercorak batik berwarna abu-abu terpasang rapih di tubuh masing-masing siswa-siswi di SMA Garuda.Riuh suasana koridor terdengar gaduh. Laki-laki berambut belah tengah itu tidak ambil pusing dengan keributan yang terjadi. Ia memilih berlalu dan memasuki kelas IPA 2.Keadaan kelas terlihat sepi. Hanya ada Senja yang sedang membaca novel bersampul pink dan kedua daun telinganya terselip AirPods. Senja tenggelam dengan dunianya sampai tidak sadar dengan tatap Gafi.Sejak gadis itu pingsan, Gafi tidak mengajak gadis itu berbicara