_"Masalah datang tanpa diduga."_
~~~Sesampainya di atas. Terlihat begitu simple. Kursi tertata sedemikian rupa. Dengan meja bulat berisi kursi untuk empat orang. Karena, hari ini kafe itu lumayan ramai. Mereka berempat akhirnya memilih tempat yang ada paling ujung.
Gaya modern kekinian begitu terasa di kafe kenangan itu. Untuk bagian lantai dua merupakan kafe outdoor. Lebih terlihat alami. Dinding-dinding kafe terlihat seperti batu bata asli. Padahal, itu hanya wallpaper biasa. Di dinding itu juga terpasang bingkai tulisan motivasi dan sejenisnya.
"Urang teh, henteu resep sebenernya. Kalo harus kerja kelompok di dieu," ujar Gafi yang sudah menatap Senja intens. Setelah mereka berempat duduk di bangku paling pojok.
Kerutan di dahi Senja terlihat jelas. "Terus masalahnya apa?"
"Banyak masalahnya da. Salah satunya berisik!" Ucap Gafi yang menekankan kata berisik itu.
Asta yang mendengar ucapan Gafi langsung menatap laki-laki dihadapannya itu. "Ga usah lu dengerin, lah! Gampang, kan? cukup fokus aja," sambung Asta.
"Yang penting pesen makan bebas! Ya ga, Ta?" Imbuh Galuh yang sudah membolak-balik buku menu, yang di angguki oleh Asta dengan malas.
Helaan nafas kasar keluar dari mulut Gafi. "Terserah. Kalo kerjaan bagian urang teh ga bener. Anjeun tiluan henteu usah komen, (Kalian bertiga enggak usah komen)," celetuk Gafi yang sudah bersedekap sambil menyenderkan badannya.
"Gampang. Nanti tinggal kita koreksi. Ya kan, Nja?" Tanya Asta sambil menatap Senja dengan cengirannya.
"Iyaiya. Yaudah, mau makan dulu atau mau ngerjain dulu?" Tanya Senja.
Gadis itu mengambil bukunya di dalam tas, sambil menunggu jawaban ketiga temannya itu.
"Makan!"
"Kerjain!"
Jawaban Gafi dan Galuh bersamaan. "Eh.. kerjain dulu! Makan mulu pikiran lu!" Celetuk Asta.
Galuh menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Kalo laper gua kaga bisa mikir. Jadi, mending makan dulu," jawab Galuh semangat.
"Terus kalo kenyang ngantuk? Kapan dong dikerjainnya!" Kesal Asta.
Gafi dan Senja hanya menghela nafas melihat keributan kedua orang itu. "Yaudah, Luh. Mending lu pesen duluan. Yang mau ngerjain tugas. Silahkan, dikerjain. Nanti baru makan," lerai Senja. Gadis itu sudah meletakkan buku dan pulpen hitamnya di atas meja.
"Yaudah, gua pesen makan. Yok! Fi. Makan dulu," ajak Galuh. Menyodorkan buku menu yang sejak tadi dia pegang.
Gafi menatap buku menu itu dan langsung menggesernya. "Ga bisa gitu atuh, Nja. kalo satu makan semua harus makan. Jadi, kita teh kerjain dulu aja. Masalah makan mah belakangan," jelas Gafi.
Mendengar penjelasan Gafi membuat wajah Galuh yang semangat menjadi cemberut. "Ide bagus. Gua setuju sama Gafi!!" Semangat Asta.
"Ga perlu teriak juga, Ta." Gadis bermata hitam kecoklatan itu menegur Asta. Mereka menjadi pusat perhatian karena suara lantang dari gadis berambut tergerai itu. Yang ditegur hanya menampilkan gigi putihnya.
"Gapapa, Luh?" Tanya Senja yang merasa tidak enak.
"Yaudah, kaga ngapa. Gua masih bisa nahan. Tapi, kalo gua pingsan. Lu semua tanggung jawab!" Ancam Galuh.
"Emang ya. Lu tuh, otaknya makan mulu. Yaudah, mending pesen makan. Daripada lu pingsan bikin repot!" Kesal Asta.
"Yes!! Gitu dong! Gua jadi semangat," ujar Galuh dengan wajah berbinar-binar.
Asta hanya mencebikkan bibirnya. "Pesen makanan yang sama we, biar cepet. Urang teh masih ada urusan," sambung Gafi dengan wajah datarnya.
Senja yang melihat raut wajah Gafi begitu flat, membuat gadis itu merasa tidak enak. "Yaudah. Anterin gua." Ajak Galuh ke arah gadis berambut gelombang itu.
"Mau ngapain? Segala di anter. Kayak cewek!" Ledek Asta.
"Lu kaga mau makan? Yaudah kaga bakal gua pesenin!" Ancam Galuh.
"Iya. Ngancem mulu jadi orang!"
Keduanya berlalu untuk memberikan tulisan pesanan milik mereka. "Lu bete ya?" Tanya Fira dengan hati-hati.
Gafi melirik gadis itu sekilas. Laki-laki berambut hitam pekat belah tengah itu sedikit berpikir dan menatap kembali Senja dengan alis yang berkerut. "Maneh teh, nanya urang?" Tanyanya dengan menunjuk dirinya sendiri.
"Enggak. Gua nanya tembok!" Ketus Senja. Kini pandangannya beralih kemana saja. Yang terpenting tidak menatap wajah menyebalkan dihadapannya.
Laki-laki itu terkekeh pelan. Membuat Senja menatap bingung Gafi. "Kenapa lu, ketawa?" Lanjut Senja. Tatapan Senja semakin terlihat bingung.
Gafi meletakkan kedua tangannya bertopang dagu. "Maneh teh, lagi ke sambetnya?" Tanya Gafi yang sudah tersenyum menampilkan sederet gigi putihnya.
Sejenak Senja terpaku dengan senyum manis laki-laki bermata coklat gelap itu. "Biasa we, atuh. Emang urang mah kasep," sambung Gafi. Tingkah pedenya kembali hadir.
"Geer banget. Biasa aja, tuh!" Jutek Senja.
Senyum Gafi tetap terbit yang kini hanya membentuk bulan sabit. "Ngomong-ngomong. kunaon, maneh teh di bully?" Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Senja menatap Gafi datar.
Gadis itu tidak suka dengan pertanyaan laki-laki dihadapannya. Terlalu ikut campur. "Bukan urusan lu!" Jawabnya dengan datar.
"Urang da, nanya we. Habis rumorna mah, teu enak didenger. Jatohnya teh pitnah," jelas Gafi. Yang kembali menyenderkan tubuhnya ke kursi.
"Intinya, masalah tadi siang di koridor. Enggak perlu lu denger. Itu semua hoax," tutur Senja. Pipi yang tidak begitu tembam terlihat memerah. Tatapannya terlihat begitu banyak rahasia.
Gafi menghela nafasnya. Tidak habis pikir dengan rumor yang tersebar luas. Padahal, itu hanya berita burung. "Saya enggak percaya. Kalo, saya belum liat yang sebenarnya," imbuh laki-laki berahang tegas itu.
Senja hanya diam, menatap sembarang arah. Moodnya kini sedikit memburuk. Akibat pertanyaan yang dilontarkan Gafi.
Laki-laki beralis tebal itu menatap Senja intens. Tidak ingin merasakan suasana canggung seperti ini. Tapi, Gafi yakin. Gadis dihadapannya malas meladeni ucapannya.
"Maneh teh, suka nasi goreng? Pedes atau asin?" Seru Gafi tiba-tiba.
Gadis berambut hitam bergelombang sebahu itu mengernyitkan dahinya. Sedangkan, yang ditatap hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kenapa? Ada yang salah kitu, sama pertanyaan urang?"
Senja menggelengkan kepalanya. "Enggak. Tapi, lu keliatan engga punya topik," jelas Senja.
Gafi tersenyum mendengar penuturan Senja. "Hahah... Urang da bingung, maneh teh keliatan bete. Udah we atuh, bilang apa yang terlintas di otak urang," imbuhnya dengan senyum yang terlihat begitu manis.
"Wedeh... Ngape lu senyum-senyum, Fi?" Celetuk Galuh yang sudah datang dengan nampan di kedua tangannya.
Beberapa langkah dari Galuh terdapat Asta yang sedang membawa nampan juga berisi nasi goreng milik Senja. Termasuk, minuman dan makanan miliknya.
Wajah Asta terlihat kusut. Namun, di antara ketiganya tidak ada yang menyadari hal itu. "Ini punya urang teh, pedes teu?" Tanya Gafi merubah topik pembicaraan Galuh tadi.
"Kata lu samain. Ye gua pilihin yang pedes," sahut Galuh. Yang sudah menarik kursinya untuk duduk.
"Kenapa?" Tanya Asta yang sudah menatap wajah Gafi.
Laki-laki itu melirik sekilas Asta. "Gapapa," jawabnya singkat.
Sedangkan Senja, gadis itu tidak peduli dengan pembicaraan ketiganya. Saat ini yang ada dipikirannya hanya ingin cepat pergi dari tempat itu.
Selamat membaca...
_"Terkadang, apa yang kita harapkan tidak berjalan dengan baik."_~~~ Kepulan asap berbau tembakau itu, menari mengerumuni beberapa orang yang sedang duduk santai di atas meja tak terpakai. Bangunan yang sudah terbengkalai di belakang sekolah, terlihat begitu berantakan. Kursi yang sudah rusak tergeletak begitu saja. Tembok di sekeliling bangunan terlihat penuh dengan coretan. Wajah dingin terlihat jelas, rahang tegasnya menampilkan amarah yang tertahan. Laki-laki dengan penampilan acak-acakan itu sedang asik menyesap rokoknya. Sedangkan beberapa orang lainnya saling bercengkraman. "Eh, Van. Muka lu napa ditekuk gitu?" Tanya laki-laki botak itu sambil merangkul leher lawan bicaranya. "Kita harus pantau terus, pelaku yang nyebarin berita
_"Terkadang membahagiakan seseorang yang kita sayang, bisa dengan cara sederhana."_~~~"Nja," panggilan itu memotong ucapan Senja. Keduanya menatap sumber suara. Yang ternyata laki-laki dengan baju basketnya. Siapa lagi kalau bukan Aldi.Tatapan tajam dari Gafi terarah ke laki-laki yang berada tepat di belakang Senja. Rasa kesalnya masih terasa sampai saat ini."Aldi? Kok kamu tau aku di sini?" Tanya Senja. Ucapan gadis itu terdengar oleh pendengaran Gafi. Membuatnya berdecak kesal.Aldi tersenyum membuat matanya semakin menyipit. "Dari Asta. Aku tanya soal kamu ke dia. Yuk pulang," ujar Aldi sambil menyentuh jari-jemari Senja dengan lembut.Senja memikirkan ucapan laki-laki bermata sipit itu. Mana mungkin Asta
_"Apa yang menurut kita benar, belum tentu benar di mata orang lain."_~~~Aldi sudah menatap nasi goreng buatannya yang tidak terlihat buruk. Senyum lebarnya kini terpancar dengan jelas. Laki-laki sipit itu sedang duduk di meja makan yang terdapat enam kursi. Meja berbentuk oval itu terbuat dari kayu yang atasnya terdapat kaca.Tangan besarnya kini mengambil buah berwarna merah. Rumah ini terlihat begitu sepi, dan baru kali ini Aldi menginjakkan kakinya di dalam rumah Senja. Biasanya, hanya sampai parkiran saja. Foto-foto terpajang rapih di dinding. Ada juga yang tersusun di sudut meja.Tatapan Aldi terarah pada satu orang anak laki-laki yang sepertinya, ia mengenali wajah itu. Tapi, perasaannya berkata itu tidak mungkin. Bisa saja, ia salah orang. Karena, di sekolah pun keduanya tidak saling berinteraksi
"Semua rencana butuh proses, yang tertata, tersusun dan yang terpenting tidak tergesa-gesa."~~~ Pagi itu cuaca terlihat begitu cerah. Jalanan Ibukota Jakarta terasa begitu ramai. Klakson kendaraan saling bersautan. Laki-laki bermata coklat gelap berbentuk almond itu sedang berdesak-desakan di dalam kendaraan umum. Motornya mogok. Karena, semalam ia terjebak banjir dan terpaksa menerobos. Mengakibatkan mesin motornya mati. Sialnya lagi, ia harus mendorong motornya sampai rumah. Rasa pegal di kakinya semakin terasa. Sejak semalam ia harus jalan sejauh itu, ditambah lagi hujan cukup deras. Sekarang harus berdiri berhimpitan seperti ini. Rasanya kakinya ingin lepas. Seharusnya ia sudah bisa menempuh waktu 15 menit untuk sampai di sekolahny
_"Saat orang lain memperlakukan kita secara tidak baik. Bukan berarti, kita melakukan hal yang sama."_~~~Hening tercipta di dalam kelas 10 IPA 2. Sampai suara tegas, menginterupsi ruangan persegi itu."Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh. Selamat pagi semuanya," sapa guru berkacamata tebal itu."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh. Selamat pagi bu," serempak siswa-siswi di kelas."Baik semuanya. Kumpulkan tugas kelompok kemarin. Untuk tugas kelompok itu, kita bahas minggu depan!"Gafi yang sudah menyatukan semua lembaran soal di kelompoknya, langsung memberikan lembaran tugas itu ke Senja.Gadis berlesung pipi itu tanpa berkata apa pun langsung berdiri meletakkan tugasnya di atas meja. "Oh iya Senja! Bisa bantu ibu?" Tanya Indah, guru fisika itu.Senja menganggukkan kepalanya. "Tolong, ambilkan buku
_"Terkadang emosi memenuhi pikiran. Mengakibatkan emosi yang tidak stabil."_~~~ Suara bising di kantin terdengar begitu riuh. Ada yang berebut antrian. Ada yang tertawa terbahak-bahak. Karena, lelucon salah satu di antara mereka. Ada juga yang menjadikan kantin tempat konser dadakan. "Bang. Gorengan satu, ya! Duitnya gua taro meja!" Teriak Revan—biang onar di sekolah. Penampilannya terbilang berantakan. Dasi yang tidak ada di kerah bajunya. Bahkan, baju kemeja putih berlogo SMA itu sudah keluar kesana-sini. Terlebih lagi, laki-laki bermata tajam bagaikan pisau itu hanya membayar gorengan seharga seribu rupiah. Padahal, Revan mengambil gorengan dua buah. "Gimana? Udah dapet infonya?" Revan sudah duduk di antara sahabat-sahabatnya, di paling ujung kantin. "Belum, Van. Hari ini aja, ga ada yang nyoba ngebully Senja. Keliatannya har
_"Kita tidak akan mudah untuk bisa mengubah pandangan buruk orang lain, terhadap diri kita sendiri."_~~~Suasana di koridor dekat ruang BK terlihat ramai. Semua siswa-siswi saling berbondong-bondong memperhatikan dua siswa yang wajahnya sudah babak belur, dan ketiga teman Revan yang memasang wajah masamnya."Lu liat sendiri, pan? Revan yang berantem, mereka bertiga kena imbasnye. Lu masih mau temenan sama mereka?" Ujar laki-laki berkacamata minus itu.Gafi yang sedang berdiri duduk di pinggir lapangan, dengan bola voli ditangannya. "Nanti lu kebawa jeleknya," lanjut Galuh yang menepuk pundak kokoh laki-laki tinggi itu."Revan berantem, pasti ada sebabnya. Urang teh, tetep mau jadi temen mereka," jawab Gafi."Terserah, lo aja dah! Tapi inget, Fi. Sekalipun mereka baik, di mata orang lain mereka udah buruk. Lu kaga bisa ubah
_"Cemburu berlebihan itu tidak baik."_~~~Suara riuh kian memenuhi tribun penonton. Di karenakan, sore ini sepulang sekolah diadakan pertandingan latihan basket. Banyak siswa-siswi yang saling bersorak menyebutkan pemain yang mereka dambakan.Sama seperti Senja, yang meneriaki nama Aldi dengan semangat. Sedangkan Asta, gadis bermata coklat gelap itu sibuk menatap lapangan voli yang bersebelahan dengan lapangan basket SMA Garuda itu."Nja!" Teriak Asta."Kenapa, Ta?" Tanya Senja.Gadis berkuncir kuda itu langsung duduk di kursinya. Menatap Asta yang juga sedang menatapnya. "Gafi, ikut eskul voli?"Mendengar penuturan sahabatnya, mata Senja mulai mengedarkan pandangannya dan benar saja. Laki-laki bermata almond itu sedang berbaris dengan anggota eskul voli yang lain."Iya mungkin. Emang kena
_"Perlakuan sederhana terkadang membuat bahagia."_~~~Cuaca begitu mendukung untuk beraktivitas di hari libur. Termasuk gadis berambut cepol dengan setelan traningnya. Senja baru saja selesai melakukan yoga. Helaan nafasnya terdengar, peluh yang membanjiri wajahnya begitu terlihat. Gadis itu menengguk botol minum berisi air mineral hingga 'tak tersisa.Bunyi ponsel terdengar nyaring. Senja melirik sebentar ke arah benda pipih yang tergeletak manis di atas meja belajarnya. Selesai menyimpan botol minum, dan mengelap keringatnya ia langsung meraih benda itu. Senyum yang menampilkan lesungnya, kini muncul begitu dalam.Gadis itu langsung menarik handuk, yang tergantung rapih di dekat pintu. Setelah melihat pesan yang entah dari siapa, gadis itu langsung bergegas mandi. Mungkin orang spesial yang akan datang.Sudah hampir setengah jam, akhirnya Senja se
_"Hidup itu tidak selalu berjalan dengan mulus. Pasti, selalu ada masalah dalam hidup. Masalah ringan, sedang, hingga masalah yang begitu rumit. Tapi, semua itu punya jalan keluarnya."_~~~"Ikut gua!"Suara berat, membuat gadis berambut pirang itu menatap ketiga orang dihadapannya dengan tatapan aneh."Mau apa sih lu?! Punya urusan sama gua?""Udah lah, lu engga usah banyak bacot!" Bentak laki-laki berkulit sawo matang itu."Ngapain sih?! Gua ga mau!" Berontak gadis itu.Namun, laki-laki bertubuh tinggi itu menyuruh kedua temannya membawa paksa Viola."Bagas!!! Lu mau ngapain gua?"Laki-laki yang dipanggil Bagas itu hanya mengedikan pundaknya, dan berjalan mengikuti kedua temannya itu.Viola, gadis itu mencoba melepas cengkraman kuat dari kedua kakak kelasnya. Namun
_"Apa yang kita pikirkan benar, belum tentu benar. Bahkan, bisa saja yang kita anggap tindakan yang benar ternyata malah sebaliknya. Sebuah kesalahan."_~~~Hujan sore di ibukota Jakarta terlihat begitu deras. Awan yang tadinya cerah, kini terlihat begitu gelap. Seharusnya semua siswa-siswi SMA GARUDA sudah pulang sejak sejam yang lalu. Namun, mereka harus menetap di ruang kelas menunggu hujan mereda."Ta, gua perlu ngomong sama lu."Ucapan itu membuyarkan lamunan Asta. Suara berat dan khas itu, menyadarkan Asta bahwa bukan lagi Senja yang duduk di sebelahnya, melainkan Galuh."Hem..."Galuh langsung duduk di sebelah gadis itu, tadi ia meminta Senja untuk berpindah tempat duduk sebentar selagi gadis itu menunggu dijemp
_"Apa pun perkataan orang lain, tidak perlu kita hiraukan. Jika itu hanya melukai diri kita. Dengarkan saja yang perlu didengar, anggap angin lalu yang tidak perlu untuk didengar."_~~~Suara riuh terdengar begitu gaduh di kelas IPA 2. Senja yang berjalan dengan penampilan yang sangat berantakan, melewati beberapa temannya yang menatapnya dengan sinis.Cangkang telur serta putih telur bercampur dengan kuningnya, bertengger manis di rambut sebahu gadis itu. Aroma menyengat menusuk indra penciuman semua orang yang ada di dalam ruang kelas.Galuh hanya mengekor dari belakang, sedangkan Gafi hanya diam duduk di kursinya. Laki-laki bermata almond itu tidak lepas memandang Senja yang terlihat tidak baik-baik saja."Bau banget badan lu, Nja. Bikin kelas bau busuk! Bersihin dul
_"Orang yang kita anggap akan ada dipihak kita ternyata sama saja dengan yang lain. Rasa kecewa itu benar-benar terasa, menyakitkan."_~~~"Enggak perlu lu anter. Gua kesini sama supir," ujar gadis berambut hitam itu. Sejak Revan dan yang lainnya pergi, keduanya sudah memutuskan untuk duduk di trotoar dekat penjual minuman dingin keliling dan tukang somay."Maneh teh kunaon, sewot terus sama urang? Urang teh punya salah kitu?" Tanya Gafi.Senja menghela nafasnya, ditatap laki-laki yang tingginya 176 cm itu. Memang Gafi tidak pernah melakukan kesalahan. Tapi bagi Senja, laki-laki itu memang harus ia jauhin. Lebih tepatnya jangan sampai berurusan dengan laki-laki dihadapannya ini."Lu enggak punya salah. Gua harap, ucapan gua di sekolah bisa lu lakuin ya? Gua enggak mau p
_"Kecewa itu......"_~~~Beberapa menit setelah Gafi meninggalkan rumah Arya. Keempat anak remaja itu asik dengan kartu dan cemilan di atas meja. Sesekali umpatan-umpatan kasar keluar dari bibir mereka."Sial! Kalah lagi gua!" Celetuk Arya.Tama hanya tertawa merasa senang, karena sejak tadi Arya selalu kalah. "Udah, lu mending maen barbie aja," ledek Banu.Hal itu membuat Arya berdecak kesal, dan melempar batal tepat ke wajah tampan laki-laki itu. "Lu kira gua cowok apaan?" Kesalnya.Banu tertawa sambil memegang perutnya yang terasa kram. "Cowok jadi-jadian hahahaha,""Si anjir! Lu kalo ngomong, perlu gua sumpel mulut lu ya?" Omel Arya."Haha
_"Apa yang kita lakukan, belum tentu orang lain menyukainnya."_~~~Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Gafi sudah duduk di atas motornya. Motor pespa berwarna kream yang jarang ia gunakan. Akhirnya, hari ini ia gunakan.Pandangan tajamnya tidak lepas dari siswa-siswi yang berlalu lalang. Laki-laki berbulu mata lentik itu terlihat sedang menunggu seseorang."Dia aman, ga ada yang bakal macem-macem sama Senja. Kalo dia lagi sama Aldi." Gafi langsung menatap gadis berambut cepol itu dengan alis yang saling bertaut."Dia udah punya pacar, jadi lu ga usah terlalu jagain Senja. Bagi dia, lu cuma orang asing. Mending lu dengerin apa yang dia bilang, jauhin dia. Kalo lu makin deketin dia, masalah Senja makin nambah," lanjut gadis itu.Helaan nafas Gafi bisa dilihat oleh gadis berhidung mancung itu. "Kenapa maneh atau Senja, suka nyuruh urang teh
_"Kehilangan seorang sahabat yang begitu berarti, untuk kesekian kalinya."_~~~Jam istirahat sudah terdengar seantero sekolah. Membuat semua siswa-siswi SMA Garuda saling berhamburan. Berbeda dengan hari biasanya, kelas 10 IPA 2 kembali terdengar gaduh."Eh! Lu harus tanggung jawab!" Bentak perempuan berambut bob itu."Tanggung jawab apa lagi?""Jangan mentang-mentang dompetnya udah balik, lu ngelupain gitu aja!" Ujar gadis bernama Anya.Senja menghela nafasnya, Asta ternyata memilih berlalu dari bangkunya meninggalkan Senja begitu saja. Padahal, Senja berharap Asta membelanya."Gua enggak ngelupain kejadian tadi. Tapi, gua emang enggak ngerasa harus bertanggung jawab," jelas Senja.Anya melipat kedua tangannya di dada. "Jelas-jelas dompetnya ada di elo! Emang kita belum buktiin lewat cctv. Tapi bagi gua, bu
_"Tuduhan itu belum tentu benar adanya. Kebanyakan orang langsung percaya dengan ucapan orang lain. Tapi, mereka lupa tentang apa yang mereka lihat."_~~~Pagi cerah di hari Kamis. Udara segar berhembus lembut pagi ini. Seragam bercorak batik berwarna abu-abu terpasang rapih di tubuh masing-masing siswa-siswi di SMA Garuda.Riuh suasana koridor terdengar gaduh. Laki-laki berambut belah tengah itu tidak ambil pusing dengan keributan yang terjadi. Ia memilih berlalu dan memasuki kelas IPA 2.Keadaan kelas terlihat sepi. Hanya ada Senja yang sedang membaca novel bersampul pink dan kedua daun telinganya terselip AirPods. Senja tenggelam dengan dunianya sampai tidak sadar dengan tatap Gafi.Sejak gadis itu pingsan, Gafi tidak mengajak gadis itu berbicara