Rosa baru saja selesai mengganti selang infus salah seorang pasien di bangsal anak ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Ia segera melepas handscoon yang dia kenakan dan merogoh saku seragam."Eh, udah beres urusanmu?" spontan Rosa bergumam sendiri ketika mendapati nama Adam lah yang muncul di layar ponsel. "Halo, kenapa? Udah ketemu Aline-nya?" Tentu itu yang Rosa tanyakan. Masalah yang terjadi kemarin adalah kaburnya istri Adam karena salah paham dengan hubungan Rosa dengan sang suami. Masalah yang sampai menyeret Rosa ke depan bapak Adam dan tentu saja Aline. "Udah. Ini udah di rumah. Kamu masuk apa hari ini? Reval gimana?" tanya suara itu yang kontan membuat Rosa menghela napas panjang. "Kalian baik-baik saja, kan? Aku nggak mau dapat masalah kalau sampai pernikahan kamu kenapa-kenapa." Rosa mengabaikan pertanyaan Adam, ada sesuatu hal yang penting dan harus dia pastikan daripada menjawab pertanyaan itu. "Baik. Justru itu yang ingin aku bicarakan sekarang, Ros."Jantung Rosa
"Jadi apakah nanti kalo aku punya anak kembar perempuan, aku akan dibuat pusing karena masalah rebutan gincu?" tanya Adam dari balik kemudi.Mereka sedang dalam perjalanan menuju sebuah mall di tengah kota, hendak memberi sebuah hadiah manis untuk Reval yang akan berkunjung besok."Ya nggak cuma rebutan gincu aja sih. Rebutan kamar, saling berebut barang-barang lucu satu sama lain, bahkan kadang masalah sendok buat makan pun kami rebutan." jelas Aline yang nampak senyam-senyum mengingat momen absurb-nya bersama Aleta."Astaga, tujuannya apa coba?" Adam terkekeh, tidak habis pikir dengan apa yang barusan dijelaskan oleh sang istri."Ya tujuannya cari ribut. Kita suka aja ribut terus bikin mama sama papa pusing. Seru gitu dan kalau nggak ribut barang sehari, rasanya kayak ada yang kurang!Tawa mereka kembali pecah. Mereka kompak tertawa bersama-sama. Sebuah tanda dan bukti bahwa masalah di antara mereka sudah tidak ada lagi. Bahwa mereka kini lebih dekat dan hangat dari sebelumnya."Bay
“Kamu yakin beli sebanyak itu, Sayang?” tanya Adam sambil menatap sang istri dengan tatapan terkejut.Aline hanya tersenyum sambil mengangguk pelan. Ia segera menyodorkan mainan-mainan itu ke meja kasir dan memberi kode pada Adam untuk segera membuka dompet dan menyelesaikan pembayaran.“Bakal seneng banget tuh bocah.” gumam Adam sambil merogoh dompetnya.“Sejenis sogokan sih, aku yakin dia nanti bakalan terkejut dan bingung ketika harus berkenalan dengan istri papanya ini.” Aline menerima kartu berwarna hitam itu dari tangan Adam, menggenggam kartu itu di tangan sambil menatap barang belanjaannya yang tengah dihitung oleh petugas kasir.“Cepat atau lambat memang dia harus tau sih. Ya walaupun di usianya yang sekarang tentu dia belum bisa paham.” Adam mendesah, ia kembali merangkul pinggang sang istri, tidak peduli pada banyak orang yang ada di sekitar mereka.Adam hanya merangkul pinggang istrinya, tidak sedang mencumbunya di tempat ini!“Ia bahkan belum pernah lihat bapaknya, ya? Di
“Mandi dan siap-siap, nggak lupa, kan, kalo nanti mama sama papa mau kesini?” mobil Adam sudah berhenti di depan halaman rumah, mereka sudah kembali dari perburuan mencari hadiah untuk Reval besok sore.“Nggak bakalan lupa dong, Sayang!” Aline tersenyum, ia melepaskan seat belt, hendak melangkah turun ketika tangan Adam mencengkeram lengannya.“Mainannya di bawa ke kamar, ya? Takut mama liat dan tanya aneh-aneh.”Kepala Aline terangguk, tentu ia paham dengan maksud di balik perintah yang Adam berikan ke padanya. Cengkeraman tangan itu melonggar, membuat Aline lantas melangkahkan kaki turun setelah membuka pintu mobil. Ia segera mengambil belanjaan yang dia letakkan di bagasi, membawa tas-tas itu masuk ke dalam sesuai perintah yang Adam berikan kepadanya.“Mbak ... ini beneran nanti ibu besar mau kesini?” mak Surati langsung menyambut kedatangan Aline, wajahnya nampak penasaran dengan pertanyaan yang baru saja dia tanyakan.“Iya bener, Mak. Udah siap, kan? Seadanya aja. Mama juga sih n
Acara makan malam sudah selesai. Ruang tengah di lantai atas lah yang menjadi tempat yang dipilih Budi dan Erma untuk duduk menikmati secangkir teh hangat sambil bercengkrama dengan anak dan menantunya.Budi tidak bisa memungkiri bahwa ia begitu bahagia melihat bagaimana Adam dan Aline yang sekarang ini. Raut dan sorot mata mereka menunjukkan bagaimana mereka begitu bahagia dengan pernikahan mereka, tidak peduli kemarin sempat terjadi kesalahpahaman yang membuat keduanya hampir saja tercerai-berai.“Nah Dam ... Lin, mama sama papa kemari itu bukan cuma buat ngungsi makan aja, ada sesuatu yang pengen kami bicarakan dengan kalian.” Jelas Budi setelah meletakkan cangkir di atas meja.“Ah ... papa bahasanya, ngungsi makan katanya!” Adam terkekeh, ia sendiri sudah duduk di sebelah sang istri. “Papa lupa kalau hampir seumur hidup Adam ini, papa sama mama yang kasih makan?”Semua yang ada di sana kompak tertawa, namun tidak lama karena kemudian Budi segera menghentikan tawanya dan menatap ke
"... Nggak perlu lagi diajarin caranya, kan?"Adam dan Aline kompak terbelalak, jika wajah Aline seketika berubah memerah, maka berbeda dengan suaminya. Adam kontan nyengir lebar, memamerkan gigi rapi nan putih itu pada sang papa. "Ah ... nggak perlu, Pa. Udah jago kok!" jawab Adam yang kontan mendapat hadiah sebuah sikutan di perut dari sang istri. Budi dan Erma kompak terbahak, dengan gemas Budi menepuk bahu anak semata wayangnya yang selalu sukses membuat dia sakit kepala sejak dulu sekali. Bahkan sampai hari ini, rasanya Adam masih menjadi salah satu penyebab Budi sakit kepala berkepanjangan. "Kalo gitu sono dipraktekin, gih! Mama mau punya cucu lebih dari satu." gumam Erma yang makin membuat Aline kikuk setengah mati. "Empat mau, Ma? Atau setengah lusin sekalian? Nggak masalah sih, Aline kan masih muda." kembali sebuah jawaban santai itu keluar dari mulut Adam, membuat Aline melotot dan rasanya ingin menelan suaminya itu bulat-bulat. "Mas!" tukas Aline gemas. "Dikira melahir
Aline mengulurkan tangan, meraih ponsel yang dia letakkan di nakas samping tempat tidur lalu mematikan alarm yang berdering cukup nyaring. Sudah pukul empat pagi! Ini adalah rekor di mana pada akhirnya Aline harus merubah siklus hidupnya.“Padahal lagi enak-enaknya tidur!” desisnya sambil menguap, ia kembali meletakkan ponsel itu ke tempat semula setelah memastikan matanya terbuka sempurna.Pandangan Aline beralih ke arah sang suami, dengan lembut ia mengelus pipi Adam. Dia harus sudah sampai di rumah sakit pukul enam pagi. Oleh karena itu, Aline tentu tidak akan lupa membangunkan suaminya juga agar Adam bisa bersiap-siap dan tidak lupa sarapan.“Mas ... bangun yuk! Udah pagi, loh!” gumam Aline lirih sambil menggoyangkan bahu lelaki itu.Nampak Adam bereaksi. Tubuhnya bergerak, namun rupanya hanya mengubah posisi. Matanya masih terpejam dan ia masih belum terjaga. Aline menghela napas panjang, ia segera bangkit, duduk lalu menarik selimut yang menutupi tubuh Adam.“Mas! Masih pengen j
"Mas, ini nggak lucu!"Aline mencebik, wajah yang sudah dia rias tipis dengan make-up tampak begitu masam menatap Adam yang tengah mengenakan kemeja biru, seragam wajib dari rumah sakit. Nampak Adam hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada cermin yang ada di depannya. "Memang nggak lucu, Sayang." komentarnya dengan begitu santai."Ini gede banget, Mas!" kembali protes itu Aline layangkan, seolah-olah hendak menampar Adam agar lelaki itu tersadar dan menyadari masalah yang sejak tadi Aline layangkan kepadanya. "Memang! Kan tadi Mas udah bilang, nggak ada pakaian ketat, oke?" agaknya segala upaya protes yang Aline layangkan tidak berguna sama sekali. Adam tetap pada pendiriannya, tidak berubah sedikitpun. Aline mendesah, andai sana ia tidak kadung janji, Aline tidak akan pergi hari ini! Tapi masalahnya, kan .... "Tapi ini gedenya kebangetan, Mas!" bagaimana tidak? Celana bahan warna hitam yang kini Aline pakai merupakan punya mak Surati! Dengan tubuh Aline yang tinggi dan lang
"Astaga!"Beni menghela napas panjang, sementara Aleta, ia bersandar di kursi teras dengan wajah lesu. Selesai sudah ia menceritakan rahasia terbesar dalam hidup Kelvin. Ia sedikit takut sebenarnya, takut Kelvin marah karena Aleta sudah ingkar janji untuk menjaga rahasia ini dari siapapun. Tapi Aleta lakukan ini juga demi Kelvin! "Jadi secara nggak langsung, kamu minta papa tarik Kelvin dari proyek papa sama dia?"Aleta segera menoleh, kepalanya terangguk dengan cepat. Wajahnya berubah, menyorotkan sebuah permohonan. "Tapi belum tentu juga, kan, si Irfan tahu kalau Kelvin ini anak kandung dia, Ta?" wajah Beni nampak ragu. "Pa ... dia udah tahu siapa mama Kelvin, kalaupun sekarang dia belum tahu, cepat atau lambat dia akan tahu!" kekeuh Aleta tidak ingin di bantah. "Coba nanti papa carikan ganti dulu, sebenarnya ini proyek pas banget dan bagus buat Kelvin, Ta." desis Beni lirih. "Nggak bagus kalau nanti dia sampai kenapa-kenapa, Pa! Aku nggak mau itu kejadian!" tegas Aleta mengult
"Bagaimana kerjasama mu dengan Beni, Fan? Sudah sampai mana?"Irfan tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati wajah lelaki itu tengah menatap lurus ke arahnya. Dia adalah Setiawan, papa kandung Irfan, orang yang mewariskan segala macam kekayaan dan kekuasaan yang sekarang ada di tangan Irfan. "Baik, Pa. Semua baik. Lusa mungkin kami sudah harus ada di lokasi untuk meninjau dan memantau secara langsung proyek berjalan." jawab Irfan mencoba fokus dan mengenyahkan bayangan Yeni dan Kelvin yang terus bercokol dalam kepalanya. Di meja makan itu tidak hanya ada Irfan dan Setiawan, ada Mery, istri Irfan dan Clarisa, anak bungsu Irfan. Orang-orang ini adalah orang yang tidak boleh tahu, rahasia apa yang selama ini tersimpan, bahwa sebenarnya Irfan memiliki anak lain di luar pernikahannya. "Jangan sampai mengecewakan Beni, papa sudah peringatkan kamu berulang kali, kan? Dia bisa menjadi tonggak supaya perusahaan kita makin kokoh." ucap Setiawan yang entah sudah keberapa kali. Irfan hany
"Dia habis nemuin kamu? Serius? Tapi kamu nggak apa-apa kan?" Seketika Aleta panik. Bagaimana tidak kalau calon suaminya ditemui oleh lelaki yang sejak dulu sekali ingin membunuhnya tak peduli dia adalah ayah kandung dari Kelvin. "Emang dia mau ngapain aku sih, Yang? Aku malah takut dia nekat nyari mama, ganggu mama lagi." jelas suara itu risau. "Dia ngomong apa emang?" kejar Aleta penasaran, harusnya tadi dia tidak langsung pulang, jadi dia bisa melihat dan mendengar langsung apa yang lelaki itu katakan pada Kelvin. "Cuma nanya aku bener anak mama apa bukan. Entah dia tahu dari mana, keceplosan juga tadi dia ngomong kalau dia itu dulu temen deket mama." Aleta mendengus perlahan, baru tahu dia kalau Irfan ini orangnya sedikit tidak tahu malu. "Kamu jawab apa? Kamu pura-pura nggak tahu soal rahasia mama sama Irfan, kan?" kekhawatiran mulai menyelimuti hati Aleta, ia benar-benar takut kalau sampai Irfan tega menyakiti Kelvin! "Ya aku berlagak bodoh, sekalian mau mancing reaksi di
“Jadi gimana?” cecar Irfan begitu Hendra duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Irfan.Nampak Hendra menghela napas panjang, ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Hendra nampak fokus pada benda itu beberapa saat sampai kemudian ia menyodorkan ponselnya ke depan Irfan.Dengan segera Irfan meraih ponsel yang disodorkan padanya. Mata Irfan menyipit membaca rentetan data yang ada di sana, hingga kemudian mata itu membelalak ketika membaca nama orang tua dari lelaki yang hendak menikah dengan putri rekan bisnis Irfan.“Ye-Yeni?” tangan Irfan bergetar hebat, ia mengankat wajah, menatap Hendra yang nampak heran melihat perubahan pada wajah Irfan.“Betul, Pak. Itu ibu kandung dari si Kelvin.” jawab Hendra yang membuat Irfan segera menyandarkan tubuh di kursi.Otaknya mendadak blank. Jadi benar Kelvin adalah anak dari Yeni? Tapi belum tentu itu anak Irfan, kan? Bisa saja Kelvin adalah anak Yeni dengan suaminya, ada nama laki-laki yang tercatat sebagai ayah dari Kelvin d
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak
'Kenapa wajah itu ....'Irfan sama sekali tidak tenang. Sejak masuk ruang meeting beberapa saat yang lalu, ia selalu mencuri pandang ke arah itu. Sosok lelaki yang tadi diperkenalkan sebagai calon menantu dari rekan bisnisnya, lelaki yang secara kebetulan sekali duduk tepat di hadapan Irfan. "Jadi untuk pembangunan gedung, rencananya ...."Uraian-uraian itu hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak masuk ataupun hinggap ke dalam otak Irfan. Pikirannya malah melayang jauh menebus waktu, kembali ke masa dimana kesibukan Irfan hanyalah bersenang-senang dan membuang-buang uang. 'Kenapa raut wajah itu begitu mirip? Tapi mana mungkin?'Keringat mengucur dari dahi Irfan, siluet wajah cantik nan sederhana itu tergambar jelas di pikirannya. Gadis sederhana yang mencuri hati Irfan dan membuat egonya berambisi untuk mendapatkan hati gadis itu. 'Tidak! Tidak!' hati Irfan menjerit. 'Aku sudah meminta dia mengugurkan kandungan itu! Jadi sangat tidak mungkin k
"Gimana ini?"Kelvin berkeringat, ia sudah menghabiskan secangkir kopi untuk sekedar membuatnya rileks. Namun ternyata, caranya sama sekali tidak berhasil. Ia sudah bersiap di ruang meeting. Semua dokumen dan berkas-berkas sudah siap. Semua manager yang berkepentingan dalam meeting ini pun sudah terlihat ready. Hanya satu yang belum siap, sama sekali tidak siap, yaitu Kelvin sendiri! "Udah ready semua ya, Vin?"Beni melangkah masuk, nampak tengah merapikan dasi yang dia kenakan. Dengan susah payah Kelvin menghela napas panjang, kepalanya mengangguk sementara ia memaksa suara keluar dari mulutnya tidak peduli sejak tadi lehernya terasa seperti dicekik. "Ready, Pa! Semua udah siap!" jawab Kelvin akhirnya. "Bagus! Mereka udah di bawah. Ikut papa sambut mereka, ya?"Kembali Kelvin membelalak. Ia dengan susah payah menelan ludah dan menganggukkan kepala. Mau bagaimana lagi? Punya kuasa apa Kelvin menolak?Dengan ragu Kelvin bangkit, segera mengekor di belakang langkah Beni. Jantungnya
Kelvin menatap jarum jam yang terus berputar dengan teratur tanpa berhenti barang sedetikpun. Kurang tiga puluh menit lagi dan untuk pertama kalinya, Kelvin akan bertemu langsung dengan lelaki itu. "Aku harus gimana?" Kelvin mendesah, keringat mengucur tidak peduli ruangan ini sudah cukup dingin. Dalam seumur hidup, Kelvin pernah memohon agar tidak dipertemukan dengan lelaki itu. Bukan apa-apa, ingatan Kelvin akan cerita sang mama membuat Kelvin tidak yakin akan bisa menahan emosinya. "Kenapa baru aja dapet kerjaan, dipercaya bos sekaligus calon mertua, cobaan aku udah seberat ini, Tuhan?" Kelvin mendesah, ia diliputi kebimbangan yang luar biasa. 'Kamu harus buktikan dan tampar lelaki itu dengan cara elegan!'Kata-kata yang sejak tadi diucapkan Aleta terus berdegung dalam kepala. Semula Kelvin ingin calon istrinya itu mendukungnya untuk pergi dan menghindari pertemuan itu. Nyatanya, Aleta punya pandangan lain. Tapi apakah pertemuan dengan Irfan akan membuat lelaki itu lantas meny