"... Nggak perlu lagi diajarin caranya, kan?"Adam dan Aline kompak terbelalak, jika wajah Aline seketika berubah memerah, maka berbeda dengan suaminya. Adam kontan nyengir lebar, memamerkan gigi rapi nan putih itu pada sang papa. "Ah ... nggak perlu, Pa. Udah jago kok!" jawab Adam yang kontan mendapat hadiah sebuah sikutan di perut dari sang istri. Budi dan Erma kompak terbahak, dengan gemas Budi menepuk bahu anak semata wayangnya yang selalu sukses membuat dia sakit kepala sejak dulu sekali. Bahkan sampai hari ini, rasanya Adam masih menjadi salah satu penyebab Budi sakit kepala berkepanjangan. "Kalo gitu sono dipraktekin, gih! Mama mau punya cucu lebih dari satu." gumam Erma yang makin membuat Aline kikuk setengah mati. "Empat mau, Ma? Atau setengah lusin sekalian? Nggak masalah sih, Aline kan masih muda." kembali sebuah jawaban santai itu keluar dari mulut Adam, membuat Aline melotot dan rasanya ingin menelan suaminya itu bulat-bulat. "Mas!" tukas Aline gemas. "Dikira melahir
Aline mengulurkan tangan, meraih ponsel yang dia letakkan di nakas samping tempat tidur lalu mematikan alarm yang berdering cukup nyaring. Sudah pukul empat pagi! Ini adalah rekor di mana pada akhirnya Aline harus merubah siklus hidupnya.“Padahal lagi enak-enaknya tidur!” desisnya sambil menguap, ia kembali meletakkan ponsel itu ke tempat semula setelah memastikan matanya terbuka sempurna.Pandangan Aline beralih ke arah sang suami, dengan lembut ia mengelus pipi Adam. Dia harus sudah sampai di rumah sakit pukul enam pagi. Oleh karena itu, Aline tentu tidak akan lupa membangunkan suaminya juga agar Adam bisa bersiap-siap dan tidak lupa sarapan.“Mas ... bangun yuk! Udah pagi, loh!” gumam Aline lirih sambil menggoyangkan bahu lelaki itu.Nampak Adam bereaksi. Tubuhnya bergerak, namun rupanya hanya mengubah posisi. Matanya masih terpejam dan ia masih belum terjaga. Aline menghela napas panjang, ia segera bangkit, duduk lalu menarik selimut yang menutupi tubuh Adam.“Mas! Masih pengen j
"Mas, ini nggak lucu!"Aline mencebik, wajah yang sudah dia rias tipis dengan make-up tampak begitu masam menatap Adam yang tengah mengenakan kemeja biru, seragam wajib dari rumah sakit. Nampak Adam hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada cermin yang ada di depannya. "Memang nggak lucu, Sayang." komentarnya dengan begitu santai."Ini gede banget, Mas!" kembali protes itu Aline layangkan, seolah-olah hendak menampar Adam agar lelaki itu tersadar dan menyadari masalah yang sejak tadi Aline layangkan kepadanya. "Memang! Kan tadi Mas udah bilang, nggak ada pakaian ketat, oke?" agaknya segala upaya protes yang Aline layangkan tidak berguna sama sekali. Adam tetap pada pendiriannya, tidak berubah sedikitpun. Aline mendesah, andai sana ia tidak kadung janji, Aline tidak akan pergi hari ini! Tapi masalahnya, kan .... "Tapi ini gedenya kebangetan, Mas!" bagaimana tidak? Celana bahan warna hitam yang kini Aline pakai merupakan punya mak Surati! Dengan tubuh Aline yang tinggi dan lang
Aline tersenyum menatap bayangan dirinya di cermin. Celana super besar dan kemeja tadi sudah berganti dengan celana bahan yang pas di badan. Tidak terlalu ketat, tapi juga tidak terlalu besar. Untuk atasan, Aline memilih blouse polos yang dia beri tambahan blazer. "Nah gini kan mendingan!" gumam Aline sambil memutar tubuh di depan cermin. Celana dan kemeja yang tadi dia kenakan, sudah Aline bungkus dengan paper bag dan siap dia bawa pulang kembali. Aline meraih bedak dalam tasnya, menepuk-nepuk spon bedak ke wajah lalu bergegas melangkah keluar dari kamar. "Eh udah ganti kostum?" tanya Aleta yang nampak mengulum senyum. "Bawel! Dah ah pergi dulu!" balas Aline dengan bibir mengerucut. Tawa Aleta pecah, ia kembali terbahak-bahak membuat Aline mempercepat langkahnya. Ia harap sudah tidak ada lagi hal menyebalkan yang terjadi hari ini. Cukup dengan sikap Adam yang terlalu over macam tadi. "Ma, Aline pamit dulu, ya?" pamit Aline yang langsung meraih tangan sang mama. "Udah ganti baj
Aline segera turun dari mobil. Ia setengah berlari masuk ke dalam bangunan mewah dengan belasan lantai yang akan menjadi kantornya bekerja.Seraya terus melangkahkan kaki, Aline melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Terlambat 15 menit dan itu semua karena Adam, suaminya! "Selama pagi, Bu. Udah ditunggu Bapak di ruangan beliau."Aline tersenyum, ia menganggukkan kepala lalu masuk ke ruang manajemen. Ia harus menyusuri lorong dan naik dengan lift khusus untuk sampai ke ruangan mertuanya itu. "Awas aja kalo pagi-pagi besok masih nyari masalah, ku gepuk!" gerutu Aline mempercepat langkahnya. Ia segera memencet tombol lift begitu sampai di depan pintu lift. Jantung Aline berdegup dua kali lebih cepat, ini adalah kali pertama Aline masuk ke dalam ruangan ini. Pertama kalinya juga untuk Aline kemudian berkerja di tempat yang bahkan tidak pernah hinggap di dalam benak Aline, tidak peduli bapaknya bekerja di industri yang sama. "Ayolah ... jangan ada hal-hal aneh hari in
Adam segera turun dari mobil begitu beres memarkirkan mobil kesayangannya di parkiran yang ada di depan loby. Nampak seorang security mendekati Adam, sebuah hal yang akan terjadi jika dia parkir di sini. Tapi bukankah Adam punya hak khusus? Dan benar saja, security yang sudah pasang wajah on duty mendadak lembek dan tersenyum manis ke arahnya. "Loh, mas Adam toh? Saya kirain siapa, Mas. Mau ketemu bapak?" sapanya ramah dengan senyum full face. Hilang sudah tujuan awal security itu yang hendak meminta Adam memindahkan mobil ke parkir basement. "Jemput istri, Pak. Kalau ketemu papa sih, agak males. Palingan juga diomelin." jawab Adam asal sambil menjabat tangan security itu. "Ah mas Adam bisa aja! Nyonya di dalam, tadi pagi udah diajak keliling sama bapak. Dikenalin ke semua karyawannya."Mata Adam sontak membulat. "Iyakah? Nggak ada yang macem-macem sama istri saya, kan, Pak?" tanya Adam sedikit terkejut. Lelaki dengan postur tegap itu kontan tertawa terbahak, lucu sekali anak bosn
Rosa tersenyum ketika beres memakaikan setelan hem dan celana jeans di tubuh Refal. Makin lama anak lelaki kesayangannya itu makin mirip bapaknya! Raut wajah yang membuat Rosa selalu merindukan lelaki yang sangat dia cintai. "Papa mau ke sini, Ma?" tanya Refal membuyarkan lamunan Rosa akan mendiang suaminya. "Iya. Kita mau dijemput papa habis ini." jelas Rosa yang masih bingung, bagaimana menjelaskan pada Refal bahwa sebenarnya lelaki yang selama ini dia panggil papa itu bukanlah ayah kandung Refal. "Kita mau kemana?" tanya bocah itu nampak sangat ingin tahu. "Kerumah papa. Sekalian nanti kenalan sama mama Refal yang satunya." jelas Rosa sambil mengigit bibir. Benarkah caranya dia memperkenalkan Aline ini? "Mama Refal ada dua?" mata bocah itu membulat, membuat Rosa tersenyum getir karena tidak tahu lagi harus menjelaskan yang seperti apa. Rosa mengangguk, mungkin dia perlu membahas hal ini dengan Adam nanti. Akan bagaimana Rosa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di antara m
"Sudah siap?"Bisa Adam lihat, bocah yang tadinya tengah menyusun lego di atas sofa, segera melompat turun dan berlari ke arahnya. Adam langsung merentangkan kedua tangan, menyambut Refal yang langsung melompat ke dalam pelukan. "Jadi pergi?" tanya bocah itu dengan mata berbinar. "Tentu dong! Kan udah papa jemput!" jawab Adam seraya menaikkan Refal ke dalam gendongan. "Mama mana?"Refal segera memalingkan wajah, "MAMA!" teriaknya kencang tanpa mengendurkan gendongan, ia mengalungkan kedua tangan di leher Adam. Adam tertawa, ia mendekap tubuh itu erat-erat, menciumi pipi gembul Refal dengan gemas. Tidak selang lama, suara derap langkah itu terdengar. "Udah datang?" sapa Rosa yang nampak tengah mengenakan jam tangan di pergelangan tangan. "Udah ditunggu di rumah. Berangkat sekarang, kan?"Rosa meraih tas selempang, ia lantas melangkah mendekati Adam yang tengah menggendong Refal di dekat sofa ruang tamu. "Iya lah. Kita udah nungguin dari tadi!""Kata mama, Refal mau ketemu sama ma