Adam segera turun dari mobil begitu beres memarkirkan mobil kesayangannya di parkiran yang ada di depan loby. Nampak seorang security mendekati Adam, sebuah hal yang akan terjadi jika dia parkir di sini. Tapi bukankah Adam punya hak khusus? Dan benar saja, security yang sudah pasang wajah on duty mendadak lembek dan tersenyum manis ke arahnya. "Loh, mas Adam toh? Saya kirain siapa, Mas. Mau ketemu bapak?" sapanya ramah dengan senyum full face. Hilang sudah tujuan awal security itu yang hendak meminta Adam memindahkan mobil ke parkir basement. "Jemput istri, Pak. Kalau ketemu papa sih, agak males. Palingan juga diomelin." jawab Adam asal sambil menjabat tangan security itu. "Ah mas Adam bisa aja! Nyonya di dalam, tadi pagi udah diajak keliling sama bapak. Dikenalin ke semua karyawannya."Mata Adam sontak membulat. "Iyakah? Nggak ada yang macem-macem sama istri saya, kan, Pak?" tanya Adam sedikit terkejut. Lelaki dengan postur tegap itu kontan tertawa terbahak, lucu sekali anak bosn
Rosa tersenyum ketika beres memakaikan setelan hem dan celana jeans di tubuh Refal. Makin lama anak lelaki kesayangannya itu makin mirip bapaknya! Raut wajah yang membuat Rosa selalu merindukan lelaki yang sangat dia cintai. "Papa mau ke sini, Ma?" tanya Refal membuyarkan lamunan Rosa akan mendiang suaminya. "Iya. Kita mau dijemput papa habis ini." jelas Rosa yang masih bingung, bagaimana menjelaskan pada Refal bahwa sebenarnya lelaki yang selama ini dia panggil papa itu bukanlah ayah kandung Refal. "Kita mau kemana?" tanya bocah itu nampak sangat ingin tahu. "Kerumah papa. Sekalian nanti kenalan sama mama Refal yang satunya." jelas Rosa sambil mengigit bibir. Benarkah caranya dia memperkenalkan Aline ini? "Mama Refal ada dua?" mata bocah itu membulat, membuat Rosa tersenyum getir karena tidak tahu lagi harus menjelaskan yang seperti apa. Rosa mengangguk, mungkin dia perlu membahas hal ini dengan Adam nanti. Akan bagaimana Rosa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di antara m
"Sudah siap?"Bisa Adam lihat, bocah yang tadinya tengah menyusun lego di atas sofa, segera melompat turun dan berlari ke arahnya. Adam langsung merentangkan kedua tangan, menyambut Refal yang langsung melompat ke dalam pelukan. "Jadi pergi?" tanya bocah itu dengan mata berbinar. "Tentu dong! Kan udah papa jemput!" jawab Adam seraya menaikkan Refal ke dalam gendongan. "Mama mana?"Refal segera memalingkan wajah, "MAMA!" teriaknya kencang tanpa mengendurkan gendongan, ia mengalungkan kedua tangan di leher Adam. Adam tertawa, ia mendekap tubuh itu erat-erat, menciumi pipi gembul Refal dengan gemas. Tidak selang lama, suara derap langkah itu terdengar. "Udah datang?" sapa Rosa yang nampak tengah mengenakan jam tangan di pergelangan tangan. "Udah ditunggu di rumah. Berangkat sekarang, kan?"Rosa meraih tas selempang, ia lantas melangkah mendekati Adam yang tengah menggendong Refal di dekat sofa ruang tamu. "Iya lah. Kita udah nungguin dari tadi!""Kata mama, Refal mau ketemu sama ma
"Refal, Sayang ... kamu seriusan mau nginep di sini? Mama mau pulang loh!" ada sedikit perasaan tidak rela meninggalkan Refal di sini. Hati Rosa macam diiris-iris pedih. "Hoo. Mau bobo sama papa sama mama Aline. Mama pulang aja!" jawab bocah itu lugas. Rosa tersenyum getir, ia menoleh dan melirik ke arah Adam yang hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. "Iya nggak apa-apa, Mbak. Biar Refal nginep di sini malam ini. Besok aku antar pulang." gumam Aline yang seketika membuat bocah itu tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Iya, Ros. Biar sekali-kali nginep di sini nggak apa-apa. Ayo ku antar pulang." Adam sudah muncul dengan kunci mobil di tangan. Rosa mendesah, ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengiyakan semua permintaan yang ditujukan kepadanya. Refal menginap di sini, dan dia yang akan diantar pulang sendiri tanpa Refal. "Baiklah. Mama pulang dulu, Sayang!" Rosa jongkok tepar di depan bocah itu, membuat Refal segera memeluk sang mama erat-era
"... dan akhirnya, semua warga yang hidup di hutan Natura kembali damai seperti sedia kala."Aline mengakhiri dongengnya, senyum Aline merekah ketika menyadari Refal sudah terlelap dengan memeluk tubuhnya. Raut wajah tampan itu begitu menggemaskan. Tidak salah kalau Adam, suaminya, begitu jatuh hati pada Refal. Selain tampan menggemaskan, Refal anak yang cerdas, penurut dan bukan tipe anak yang susah diatur. Aline pun langsung jatuh hati pada Refal bahkan sejak anak tampan itu muncul di depan wajahnya dan mencium tangan Aline dengan penuh hormat. "Manis banget sih, Sayang!" gumam Aline sambil mencubit gemas pipi Refal. "Nggak salah kalo papamu sampai sesayang itu sama kamu, kamu gemas banget!"Aline mencium pipi gembul itu, apakah rasanya akan seperti ini ketika nanti Aline punya anaknya sendiri? Anak? Aline tertegun, bayangan bagaimana Adam mencumbu dan membuatnya melayang-layang kembali terngiang. Satu tangan Aline mengelus perutnya dengan perlahan. Kapan perjuangan mereka akan
"Mas!" Aline memekik keras-keras, Adam benar-benar gila malam ini! Ia merasakan tubuhnya mengejang hebat bersamaan dengan melelehnya cairan hangat yang sangat terasa. Lututnya terasa sangat lemas, ia hampir saja tersungkur kalau saja Adam tidak menahan tubuhnya. "Lin ... kuat banget kamu, Lin!" Adam mengeram sambil menahan tubuh sang istri. Ia merasakan miliknya dipijit dengan begitu kuat di dalam sana. Bersamaan dengan sapaan cairan hangat dari inti tubuh Aline. "Mas ... udah nggak kuat lagi!" Aline merintih, entah sudah berapa kali dia dibuat Adam seperti ini, yang jelas sekarang kaki Aline sudah tidak lagi sanggup menahan beban tubuhnya sendiri. "Keluar sekarang?" tanya Adam setengah menggoda. Dia belum kembali bergerak, diam dengan miliknya yang masih terbenam sempurna di dalam tubuh Aline. Aline membuka mata sedikit, mengangguk lemah sambil menggerakkan bibir mengiyakan tawaran Adam barusan. Adam harus segera keluar agar permainan gila mereka ini selesai. Adam terkekeh, men
"Fal ... Sayang, bangun dong!"Adam tersenyum, agak tidak rela sebenarnya panggilan sayang untuknya harus terbagi. Eh tapi, masa iya sih Adam cemburu sama Refal? "Biar nanti aku yang antar, dia belum pakai seragam, kan?" desisnya sambil mengancingkan kemeja. Baik dia maupun Aline sudah rapi masing-masing dengan baju dinas. Ada asyiknya sih Aline bekerja begini. Pagi hari dia sudah tampak rapi dan wangi, kalau dulu? Jangan ditanya. "Oke, biar aku mandiin dulu. Jadi sampai ru--""Eh! Refal kamu mandiin tapi aku enggak?" protes Adam yang langsung seketika menoleh menatap istrinya. Aline mendengus, dibalasanya tatapan itu dengan sangat kesal. Apaan sih suaminya ini? Kenapa jadi absurb begini? Adam masih menatap Aline dengan tatapan tidak terima, sementara Aline mencibir dengan sangat gemas. "Mas, kamu bayi tiga puluh lima tahun! Jadi nggak usah manja, mandi sendiri!" tukas Aline gemas, ia kembali fokus membangunkan Refal. Adam mencebik, menoleh kembali ke cermin dan fokus mempersiap
"Jadi bagaimana? Ada kesulitan?"Aline tersenyum, ia membuka pintu dan mempersilahkan tamu spesialnya itu masuk ke dalam. Mendapat kunjungan dadakan dari papanya? Siapa yang kira? "Belum ada seminggu, Pa. Semua baik." jawab Aline lalu duduk di kursinya. Beni tersenyum, ia menatap Aline dengan tatapan penuh rasa bangga. "Sejak dulu papa ingin lihat kamu berkarir macam ini, Lin. Lihat ... kau tampak anggun dan berwibawa dengan setelan blazermu."Kontan Aline tertawa, ia menghela napas panjang tanpa melepaskan pandangan dari wajah sang ayah. "Tapi jujur enak pekerjaan Aline sebelumnya, Pa. Bisa bangun siang, bisa rebahan sambil kerja dan nggak harus pusing mikir meeting dan lain-lain." jawab Aline jujur, ia melakukan ini semua semata-mata demi suaminya. Beni tertawa, kepalanya mengangguk pelan seolah memahami apa yang dikatakan anak kembarnya barusan. Beni menghela napas panjang, lalu melipat kedua tangan di dada. "Tapi sekali-kali kau perlu bekerja seperti ini. Papa suka dan setuj
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak
'Kenapa wajah itu ....'Irfan sama sekali tidak tenang. Sejak masuk ruang meeting beberapa saat yang lalu, ia selalu mencuri pandang ke arah itu. Sosok lelaki yang tadi diperkenalkan sebagai calon menantu dari rekan bisnisnya, lelaki yang secara kebetulan sekali duduk tepat di hadapan Irfan. "Jadi untuk pembangunan gedung, rencananya ...."Uraian-uraian itu hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak masuk ataupun hinggap ke dalam otak Irfan. Pikirannya malah melayang jauh menebus waktu, kembali ke masa dimana kesibukan Irfan hanyalah bersenang-senang dan membuang-buang uang. 'Kenapa raut wajah itu begitu mirip? Tapi mana mungkin?'Keringat mengucur dari dahi Irfan, siluet wajah cantik nan sederhana itu tergambar jelas di pikirannya. Gadis sederhana yang mencuri hati Irfan dan membuat egonya berambisi untuk mendapatkan hati gadis itu. 'Tidak! Tidak!' hati Irfan menjerit. 'Aku sudah meminta dia mengugurkan kandungan itu! Jadi sangat tidak mungkin k
"Gimana ini?"Kelvin berkeringat, ia sudah menghabiskan secangkir kopi untuk sekedar membuatnya rileks. Namun ternyata, caranya sama sekali tidak berhasil. Ia sudah bersiap di ruang meeting. Semua dokumen dan berkas-berkas sudah siap. Semua manager yang berkepentingan dalam meeting ini pun sudah terlihat ready. Hanya satu yang belum siap, sama sekali tidak siap, yaitu Kelvin sendiri! "Udah ready semua ya, Vin?"Beni melangkah masuk, nampak tengah merapikan dasi yang dia kenakan. Dengan susah payah Kelvin menghela napas panjang, kepalanya mengangguk sementara ia memaksa suara keluar dari mulutnya tidak peduli sejak tadi lehernya terasa seperti dicekik. "Ready, Pa! Semua udah siap!" jawab Kelvin akhirnya. "Bagus! Mereka udah di bawah. Ikut papa sambut mereka, ya?"Kembali Kelvin membelalak. Ia dengan susah payah menelan ludah dan menganggukkan kepala. Mau bagaimana lagi? Punya kuasa apa Kelvin menolak?Dengan ragu Kelvin bangkit, segera mengekor di belakang langkah Beni. Jantungnya
Kelvin menatap jarum jam yang terus berputar dengan teratur tanpa berhenti barang sedetikpun. Kurang tiga puluh menit lagi dan untuk pertama kalinya, Kelvin akan bertemu langsung dengan lelaki itu. "Aku harus gimana?" Kelvin mendesah, keringat mengucur tidak peduli ruangan ini sudah cukup dingin. Dalam seumur hidup, Kelvin pernah memohon agar tidak dipertemukan dengan lelaki itu. Bukan apa-apa, ingatan Kelvin akan cerita sang mama membuat Kelvin tidak yakin akan bisa menahan emosinya. "Kenapa baru aja dapet kerjaan, dipercaya bos sekaligus calon mertua, cobaan aku udah seberat ini, Tuhan?" Kelvin mendesah, ia diliputi kebimbangan yang luar biasa. 'Kamu harus buktikan dan tampar lelaki itu dengan cara elegan!'Kata-kata yang sejak tadi diucapkan Aleta terus berdegung dalam kepala. Semula Kelvin ingin calon istrinya itu mendukungnya untuk pergi dan menghindari pertemuan itu. Nyatanya, Aleta punya pandangan lain. Tapi apakah pertemuan dengan Irfan akan membuat lelaki itu lantas meny
"APAAA?"Wajah Adam memucat, ia menatap lurus dengan tatapan tidak percaya. Kacau sudah kalau begini! Bayangan bagaimana ribetnya mencelupkan testpack itu satu persatu tengah malam kembali terngiang dan sekarang, semuanya sia-sia. "Kok bisa?" tanya Adam setelah dia tersadar dari rasa terkejutnya. "Aleta ke sini, Mas. Nah kita lagi ngobrol, nyerempet bahas kehamilan aku. Aku nggak tau kalo Mama dateng dan tau-tau udah nonggol di belakang kita."Adam spontan menepuk jidatnya sambil geleng-geleng kepala. Mendadak kepalanya pusing. Setelah ini agaknya dia harus bersiap kena omel, mau bagaimana lagi? "Mama di mana sekarang?" "Lagi di depan, nelpon Papa. Aku masih di ruang makan sama Aleta." jawab suara itu lirih.Dengan sedikit kesal, Adam menghirup udara banyak-banyak. Ia menghembuskan napas perlahan-lahan dengan mata terpejam. Hanya beberapa detik, ia kembali membuka mata sambil menarik napas dalam. "Yaudah kalau begitu, Sayang. Kabari aja kalau ada apa-apa. Mas tutup dulu." desis A
"Morning, Beibs!"Aline hampir saja tersedak teh yang memenuhi mulutnya, ia menoleh dan terkejut mendapati Aleta yang sudah muncul sepagi ini dengan wajah sumringah. "Eh, tumben pagi buta udah sampe sini? Diusir sama mama?" tanya Aline asal, membuat Aleta melotot gemas ke arah saudara kembarnya. "Sembarangan!" desis Aleta yang langsung mencomot selembar roti yang ada di meja. "Nggak tidur di rumah aku kemarin, Lin."Dengan begitu santai ia meraih toples selai kacang, mengoleskan selain kacang di atas selembar roti yang dia ambil. "Eh, terus tidur di mana? Emperan toko?" kembali Aline bertanya asal, membuat Aleta rasanya ingin menelan bulat-bulat saudarinya ini kalau saja dia tidak sedang hamil. "Apartemen Kelvin, jangan ngomong mama tapi, ya?" jawabnya jujur apadanya, dia malas Aline makin ngelantur menebaknya tidur di mana. Mata Aline membulat, ia menatap Aleta dengan tatapan tidak percaya. Sementara Aleta, ia memasang wajah menyebalkan sambil mengoles permukaan roti dengan begi
"Vin ... sorry sebelumnya. Kalo boleh tau, lantas papa kandung kamu siapa, Vin?"Kelvin menghela napas panjang, ia menatap langit-langit kamar, sementara Aleta memeluk erat lengan Kelvin tanpa mengendorkan pelukan tangannya. "Kamu pasti nggak percaya kalo aku bilang ini, Ta!" desis Kelvin setengah tertawa lirih. "Memang siapa, Yang?" renggek Aleta mengeluarkan jurus merayunya. Kelvin meraih ponsel di atas nakas, nampak ia serius dengan ponselnya. Mengabaikan Aleta yang masih begitu penasaran dengan penjelasan Kelvin mengenai jati diri yang sebenarnya. Tak selang berapa lama, Kelvin menyerahkan ponsel ke arah Aleta, ponsel dengan artikel yang terpampang di layar ponsel itu. "Kenal orang ini?" Aleta menerima ponsel itu, menatap foto seorang lelaki yang Aleta sendiri sangat familiar dengan wajah itu. Mata itu membelalak, ia menoleh menatap Kelvin dengan tatapan tidak percaya. Lelaki dalam foto ini .... "Yang ... ini serius papa kandung kamu, Yang?"***"Mama kayaknya bener-bener ke
"Papa Feri itu bukan papa kandung aku, Ta."Suara itu begitu lirih, namun telinga Aleta masih cukup sehat dan normal untuk menangkapnya. Mata Aleta membulat, ia melihat ekspresi sedih yang tergambar di wajah itu. Sementara Aleta, ia masih begitu terkejut dan menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. "Mama sama papa bilang kalo cukup kami aja yang tahu tentang kenyataan ini. Bahkan orang tua mereka pun tidak ada yang tahu. Tapi aku rasa, kamu sebagai calon istri aku berhak tahu, bagaimana asal-usul lelaki yang bakalan nikahin kamu, Ta."Kelvin menghela napas panjang, ia memalingkan wajah, menatap langit-langit kamar dengan wajah sedikit putus asa. Sementara Aleta? Ia masih terkejut dan belum tahu hendak bicara apa. "Selain merasa kalah dalam segalanya sama Adam, fakta ini adalah salah satu faktor yang bikin aku mundur pas denger kamu mau dijodohin." suara itu kembali terdengar. "Memang siapa aku kalo dibandingin sama Adam? Aku cu--""Vin!" Aleta akhirnya bersuara, ia menyingkirkan g