"Jadi bagaimana? Ada kesulitan?"Aline tersenyum, ia membuka pintu dan mempersilahkan tamu spesialnya itu masuk ke dalam. Mendapat kunjungan dadakan dari papanya? Siapa yang kira? "Belum ada seminggu, Pa. Semua baik." jawab Aline lalu duduk di kursinya. Beni tersenyum, ia menatap Aline dengan tatapan penuh rasa bangga. "Sejak dulu papa ingin lihat kamu berkarir macam ini, Lin. Lihat ... kau tampak anggun dan berwibawa dengan setelan blazermu."Kontan Aline tertawa, ia menghela napas panjang tanpa melepaskan pandangan dari wajah sang ayah. "Tapi jujur enak pekerjaan Aline sebelumnya, Pa. Bisa bangun siang, bisa rebahan sambil kerja dan nggak harus pusing mikir meeting dan lain-lain." jawab Aline jujur, ia melakukan ini semua semata-mata demi suaminya. Beni tertawa, kepalanya mengangguk pelan seolah memahami apa yang dikatakan anak kembarnya barusan. Beni menghela napas panjang, lalu melipat kedua tangan di dada. "Tapi sekali-kali kau perlu bekerja seperti ini. Papa suka dan setuj
Adam melangkah turun dari mobil. Jika dulu dia begitu malas kalau harus pergi ke sini, sekarang Adam begitu rajin pergi ke tempat ini. Ia perlu menjemput istrinya untuk di bawah makan siang berdua. "Siang mas Adam, mau jemput bu Aline, ya?" sapa salah satu security yang kini Adam berada di depan Adam. "Iya dong, Pak. Istri saja masih di dalam, kan?" meskipun tidak yakin kalau security ini tahu di mana keberadaan sang istri, tapi tidak ada salahnya Adam bertanya, kan? "Mobil bu Aline masih di parkiran, Pak. Kemungkinan masih di dalam. Soalnya saya dari pagi malah belum ketemu sama bu Aline."Adam tersenyum, ia mengangguk pelan lalu melangkah masuk ke dalam gedung. Rasanya sekarang ia tidak lagi antipati pada tempat ini. Hatinya pun bisa tenang ketika ia melenggang masuk ke dalam. Dan semua ini karena pengorbanan istrinya! "Siang mas Adam."Sapaan demi sapaan Adam terima, ia hanya tersenyum sambil mengangguk sebagai tanda bahwa ia menerima dan membalas semua keramahan itu dengan bai
"Mas nggak bisa izin libur? Papa pengen begitu sebenarnya. Mas libur, ikut kesana sama-sama."Adam mengurungkan niat menyuapkan makanan ke dalam mulut. Mengangkat wajah dan menatap istrinya yang bahkan belum menyentuh makanan. Mata Aline menatap dalam, membuat Adam lantas menghela napas panjang dan memutuskan untuk fokus pada sang istri dibanding makanan yang tadi dia pesan. "Cuma papa yang pengennya begitu? Kamu sendiri bagaimana?" tanya Adam yang entah kenapa mood-nya jadi begitu jelek setelah mendengar kabar tadi. Kontan wajah itu terkejut bukan main. Ada kerutan di dahi, mengidentifikasi bahwa Aline begitu terkejut dan tidak menyangka Adam akan berkata demikian. "Ya aku sebenarnya pengen juga, Mas. Ta--""Sudahlah! Jangan dibahas lagi!" potong Adam cepat lalu menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mengalihkan fokusnya sementara dari Aline. Ia benar-benar tidak suka! Ternyata membiarkan Aline berkerja menggantikan dirinya itu sama sekali bukan solusi yang bagus! Kenapa Adam benc
"Loh, Aline mana, Dam?"Tentu saja Budi bertanya, ia melihat anak lelakinya yang masih dengan jaket hitam dan celana bahan itu masuk ke dalam ruangan seorang diri. Adam tidak segera menjawab, ia langsung duduk duduk di kursi tanpa menunggu Budi perintahkan. "Ngambek, Pa. Balik pulang." jawab Adam lirih. Kontan Budi melotot, ia yang tengah berdiri di depan kaca jendela segera menjatuhkan diri dan duduk di kursi, menatap Adam dengan tatapan terkejut, tentu saja Budi penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi? "Kenapa? Kok bisa?" bukan salah kalau Budi kalau dia penasaran, tadi menantunya itu baik-baik saja. Adam menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Ditatapnya Budi dengan tatapan lesu."Harus banget sih, Pa, dia tugas luar? Nggak bisa yang lain apa?" protes Adam yang langsung dipahami oleh Budi. Budi tersenyum, ia menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Sudah dia duga, Adam akan protes perihal perintah tersebut. "Ya harus lah! Dia harus tau gimana kond
Budi hendak melangkah keluar dari hotel ketika ia melihat ada taksi berhenti di depan lobi. Wajahnya tersenyum penuh arti ketika melihat menantunya turun dari mobil hitam itu. Padahal ia baru saja hendak menyusul Aline di rumah sang besan, kebetulan sekali kalau Aline lantas malah datang sendiri kembali ke sini. "Papa? Aline minta maaf tadi--""Adam udah cerita semua, Lin. Papa baru aja mau nyusul kamu!"Nampak Aline tersenyum, ada sedikit perasaan canggung dan tak enak hati tergambar di wajah itu. Budi menghela napas panjang, tangannya terulur menepuk bahu menantunya itu dengan lembut. "Sudahlah, sana balik ke ruangan. Nggak usah mikir Adam." gumam Budi sambil tersenyum. "Yaudah kalo gitu Aline balik ke ruangan dulu, Pa. Per--""Lin!" panggil Budi ketika menantunya itu hendak pergi dari hadapannya. "Ya, Pa?" alis itu berkerut, menatap Budi dengan tatapan serius. "Sampai rumah packing. Kita jadi berangkat ke Bali, ya!"***"Mampus!"Aline menjatuhkan diri di atas kursi, memijit p
Adam menghela napas panjang, masa kritis bisa dia atasi. Kondisi pasien sudah stabil dan jangan lupa, operasinya selesai. Adam refleks menjatuhkan scalpel yang dia pegang, mengangkat tangan dengan mata terpejam. "Lanjutkan, ya?" desis Adam pas asistennya lalu beringsut pergi dari sana. Mata Adam memerah, tekanan pada operasi kali ini begitu luar biasa. Hampir saja Adam mencelakakan orang. Setelah berhasil mengganti gema suara papanya dengan gema ketika dia melafazkan sumpah dulu, Adam bisa kembali tenang dan fokus hingga semuanya selesai tanpa ada kejadian tidak diinginkan. "Dam ... kamu kenapa sih?"Adam menoleh, melepaskan handscoon dan nurse cap yang ia kenalan dan melemparkan benda itu ke dalam ke tempat sampah. "Biasalah, bukan manusia namanya kalo nggak ada masalah, Ren!" Adam tersenyum, mencuci bersih-bersih kedua tangannya lalu mengeringkan di mesin. "Kayaknya banyak kali masalah kau ini? Bini ngambek?" sosok itu ikut mencuci tangan, mengekor di belakang langkah Adam masu
Adam tertegun mendengar permintaan itu. Kembali ia teringat obrolan dan tentu saja segala macam protes Rosa atas kedekatan Refal dengan Aline. Rosa sedikit keberatan Refal begitu dekat dengan Aline. Dan sekarang ... Adam harus jawab apa? "Refal udah izin mama?" tanya Adam mencoba tenang. "Udah! Boleh kok sama mama?"Alis Adam berkerut, benarkah Rosa mengizinkan? Bukankah kemarin ... Adam menghela napas panjang, ia bersandar di kursi, masih dengan satu tangan menempelkan ponsel di telinga. "Yakin? Coba sini papa pengen ngomong sama mama!" Adam tentu tidak mau gegabah. Pikiran dan masalahnya sudah cukup banyak, dia tidak mau menambah masalah lagi. "Ini! Papa ngomong aja sama mama!""Halo, Dam?""Yakin Refal boleh aku ajak nginep lagi?" tanya Adam memastikan. Adam tentu tidak masalah kalau Refal hendak menginap di rumah, hanya saja kalau Rosa tidak mengizinkan, mana Adam berani? Tidak ada jawaban. Terdengar helaan napas panjang dari seberang, membuat Adam tersenyum getir dan secara t
"Lin!"Aline yang baru saja keluar dari ruang kerjanya kontan menoleh ke arah panggilan itu. Budi melangkah keluar menghampirinya, membuat Aline berharap-harap cemas semoga tidak ada sesuatu yang membuatnya harus terlambat pulang. "Iya, Pa? Ada yang bisa Aline bantu?" sebuah penawaran basa-basi, Aline sebenarnya ingin segera pulang. Bukankah Refal akan datang? "Nggak. Papa cuma mau ingetin kamu, sampai rumah langsung packing. Lusa fix kita berangkat."Aline tersenyum, kepalanya terangguk cepat. Ia mengulurkan tangan, hendak berpamitan pada Budi dan segera pulang."Nggak dijemput sama Adam? Kamu pulang sendiri?" tanya Budi dengan alis berkerut. "Iya, kan pagi tadi bawa mobil sama ini mas Adam mau jemput Refal. Mau nginep lagi di rumah." jelas Aline tanpa diminta. Budi tersenyum, seketika wajah itu langsung paham dengan apa yang dijelaskan menantunya itu. "Kalo begitu Al--""Lin!" potong Budi cepat, membuat mata Aline membulat dan menatap Budi dengan saksama. "Cepet bikin sendiri, b