Budi hendak melangkah keluar dari hotel ketika ia melihat ada taksi berhenti di depan lobi. Wajahnya tersenyum penuh arti ketika melihat menantunya turun dari mobil hitam itu. Padahal ia baru saja hendak menyusul Aline di rumah sang besan, kebetulan sekali kalau Aline lantas malah datang sendiri kembali ke sini. "Papa? Aline minta maaf tadi--""Adam udah cerita semua, Lin. Papa baru aja mau nyusul kamu!"Nampak Aline tersenyum, ada sedikit perasaan canggung dan tak enak hati tergambar di wajah itu. Budi menghela napas panjang, tangannya terulur menepuk bahu menantunya itu dengan lembut. "Sudahlah, sana balik ke ruangan. Nggak usah mikir Adam." gumam Budi sambil tersenyum. "Yaudah kalo gitu Aline balik ke ruangan dulu, Pa. Per--""Lin!" panggil Budi ketika menantunya itu hendak pergi dari hadapannya. "Ya, Pa?" alis itu berkerut, menatap Budi dengan tatapan serius. "Sampai rumah packing. Kita jadi berangkat ke Bali, ya!"***"Mampus!"Aline menjatuhkan diri di atas kursi, memijit p
Adam menghela napas panjang, masa kritis bisa dia atasi. Kondisi pasien sudah stabil dan jangan lupa, operasinya selesai. Adam refleks menjatuhkan scalpel yang dia pegang, mengangkat tangan dengan mata terpejam. "Lanjutkan, ya?" desis Adam pas asistennya lalu beringsut pergi dari sana. Mata Adam memerah, tekanan pada operasi kali ini begitu luar biasa. Hampir saja Adam mencelakakan orang. Setelah berhasil mengganti gema suara papanya dengan gema ketika dia melafazkan sumpah dulu, Adam bisa kembali tenang dan fokus hingga semuanya selesai tanpa ada kejadian tidak diinginkan. "Dam ... kamu kenapa sih?"Adam menoleh, melepaskan handscoon dan nurse cap yang ia kenalan dan melemparkan benda itu ke dalam ke tempat sampah. "Biasalah, bukan manusia namanya kalo nggak ada masalah, Ren!" Adam tersenyum, mencuci bersih-bersih kedua tangannya lalu mengeringkan di mesin. "Kayaknya banyak kali masalah kau ini? Bini ngambek?" sosok itu ikut mencuci tangan, mengekor di belakang langkah Adam masu
Adam tertegun mendengar permintaan itu. Kembali ia teringat obrolan dan tentu saja segala macam protes Rosa atas kedekatan Refal dengan Aline. Rosa sedikit keberatan Refal begitu dekat dengan Aline. Dan sekarang ... Adam harus jawab apa? "Refal udah izin mama?" tanya Adam mencoba tenang. "Udah! Boleh kok sama mama?"Alis Adam berkerut, benarkah Rosa mengizinkan? Bukankah kemarin ... Adam menghela napas panjang, ia bersandar di kursi, masih dengan satu tangan menempelkan ponsel di telinga. "Yakin? Coba sini papa pengen ngomong sama mama!" Adam tentu tidak mau gegabah. Pikiran dan masalahnya sudah cukup banyak, dia tidak mau menambah masalah lagi. "Ini! Papa ngomong aja sama mama!""Halo, Dam?""Yakin Refal boleh aku ajak nginep lagi?" tanya Adam memastikan. Adam tentu tidak masalah kalau Refal hendak menginap di rumah, hanya saja kalau Rosa tidak mengizinkan, mana Adam berani? Tidak ada jawaban. Terdengar helaan napas panjang dari seberang, membuat Adam tersenyum getir dan secara t
"Lin!"Aline yang baru saja keluar dari ruang kerjanya kontan menoleh ke arah panggilan itu. Budi melangkah keluar menghampirinya, membuat Aline berharap-harap cemas semoga tidak ada sesuatu yang membuatnya harus terlambat pulang. "Iya, Pa? Ada yang bisa Aline bantu?" sebuah penawaran basa-basi, Aline sebenarnya ingin segera pulang. Bukankah Refal akan datang? "Nggak. Papa cuma mau ingetin kamu, sampai rumah langsung packing. Lusa fix kita berangkat."Aline tersenyum, kepalanya terangguk cepat. Ia mengulurkan tangan, hendak berpamitan pada Budi dan segera pulang."Nggak dijemput sama Adam? Kamu pulang sendiri?" tanya Budi dengan alis berkerut. "Iya, kan pagi tadi bawa mobil sama ini mas Adam mau jemput Refal. Mau nginep lagi di rumah." jelas Aline tanpa diminta. Budi tersenyum, seketika wajah itu langsung paham dengan apa yang dijelaskan menantunya itu. "Kalo begitu Al--""Lin!" potong Budi cepat, membuat mata Aline membulat dan menatap Budi dengan saksama. "Cepet bikin sendiri, b
Angin semilir berhembus, menyibak rambut Rosa yang sengaja ia gerai. Bukankah Romi sangat suka rambut Rosa yang tergerai panjang seperti ini? Rosa menyusut air matanya, entah sudah yang keberapa kali, Rosa sampai tidak bisa menghitung. Langit yang menggelap sama sekali tidak membuat Rosa lantas bangkit dari depan makam dan beranjak pergi. Rosa masih diam di sana, sesekali berbicara dan menyeka air mata. "Aku akan jaga dia baik-baik, Bang. Pegang janjiku bahwa tidak akan ada yang bisa mengambil mereka selama aku masih hidup."Rosa menatap sekitar, agaknya ia mulai merasa tidak nyaman dengan kegelapan. Ia kembali fokus pada batu nisan itu, mengelus lembut nisan bertuliskan nama suaminya. "Kangen banget sama kamu, Bang. Pengen banget bisa ketemu sama kamu. Dalam mimpi pun tak apa." desis Rosa yang jujur sebenarnya ia belum ingin pergi. "Aku pamit pulang ya, Bang. Refal sama Adam sekarang. Dia bener-bener jaga Refal dengan baik."Rosa tersenyum, membetulkan letak mawar yang dia sengaja b
"Dia sudah tidur?" bisik Adam sambil tersenyum melihat betapa lelap Refal terlelap dalam pelukan sang istri. "Kau adalah satu-satunya lelaki yang boleh tidur dalam pelukan istriku, Fal!" gumam Adam yang kontan mendapat gebukan gemas di lengan Adam. "Eh serius, Sayang! Mana boleh ada yang tidur kamu keloni gini kecuali Refal sama anak kita besok?" gumam Adam tidak terima. Aline tampak menahan tawa, ia perlahan-lahan melepaskan tangan Refal yang memeluknya, menggeser duduknya perlahan lalu menatap Adam dengan tatapan serius. "Mas, aku rasa ini waktunya kita bi--""I see! Kita pindah ke depan!" potong Adam cepat. Nadanya nampak serius, membuat Aline telah senyum lalu bangkit dari duduknya. Dengan lembut Adam membawa istrinya keluar dari kamar, duduk di sofa yang tadi mereka gunakan untuk mengobrol bersama Refal sebelum bocah itu lantas mengantuk dan tertidur lelap. "Jadi, gimana?" tanya Aline membuka pembicaraan lebih dulu. Adam menoleh, menatap istrinya dengan saksama. "Papa ada
"Aku pengen punya anak lebih dari dua."Aline yang tengah menikmati sisa-sisa pelepasan dan tengah mencoba menetralkan napas kontan membelalak. Ia menoleh, menatap sang suami yang nampak tengah melakukan hal yang sama. "Hah? Lebih dari dua? Emang mau berapa, Mas?" tanya Aline terkejut."Tiga atau empat mungkin. Jadi papa tidak perlu pusing memikirkan calon pewaris. Cucunya banyak." jawabnya santai. Aline mendengus perlahan. Ada banyak sanggahan yang ingin dia katakan, namun lemas dan letih yang menderanya seolah-olah membungkam Aline dan membuatnya memilih diam sekarang. Ia kembali fokus menenangkan diri, hingga kemudian Aline membelalak seperti teringat sesuatu. "Kenapa?" tanya Adam ketika Aline bangkit dan meraih satu persatu pakaiannya. "Refal kita tinggal sendirian, Mas!" ujar Aline seraya cepat-cepat memakai baju. Tanpa menunggu jawaban dari Adam, Aline segera melesat keluar dari kamar. Tak peduli kasur mereka ukuran besar, meninggalkan anak seusia Refal sendirian itu cukup
Aline tersenyum melihat betapa lahap Refal menyantap roti selai cokelat yang tadi dia siapkan sendiri. Mulutnya menggembung, sangat mengemaskan sekali sampai-sampai Aline mengabaikan roti miliknya. "Mama nggak makan?"Kontan pertanyaan itu membuat Aline tersentak. Ia tersenyum sambil menatap sosok itu dengan begitu lembut. "Iya, ini mau makan kok. Abisnya kamu gemesin banget sih?" Aline mencubit pipi gembul itu dengan gemas, sementara Adam hanya melirik sekilas sambil mengulum senyum. Tidak pernah Adam bayangkan Aline akan bisa mengerti dan menerima Refal dengan sebaik ini. Dulu Adam kira, Aline akan pergi darinya karena kebohongan yang sudah Adam lakukan. Tapi nampaknya mereka masih berjodoh sampai sekarang. Sampai maut memisahkan kalau Adam boleh meminta.Refal hanya nyengir lebar, sisi mulutnya belepotan cokelat membuat Aline buru-buru meraih tisu guna memberikan cokelat yang mengotori mulut. "Habiskan, nanti mama anter pulang habis ini."Dengan patuh Refal mengangguk, ia kemba