Rosa tersenyum ketika beres memakaikan setelan hem dan celana jeans di tubuh Refal. Makin lama anak lelaki kesayangannya itu makin mirip bapaknya! Raut wajah yang membuat Rosa selalu merindukan lelaki yang sangat dia cintai. "Papa mau ke sini, Ma?" tanya Refal membuyarkan lamunan Rosa akan mendiang suaminya. "Iya. Kita mau dijemput papa habis ini." jelas Rosa yang masih bingung, bagaimana menjelaskan pada Refal bahwa sebenarnya lelaki yang selama ini dia panggil papa itu bukanlah ayah kandung Refal. "Kita mau kemana?" tanya bocah itu nampak sangat ingin tahu. "Kerumah papa. Sekalian nanti kenalan sama mama Refal yang satunya." jelas Rosa sambil mengigit bibir. Benarkah caranya dia memperkenalkan Aline ini? "Mama Refal ada dua?" mata bocah itu membulat, membuat Rosa tersenyum getir karena tidak tahu lagi harus menjelaskan yang seperti apa. Rosa mengangguk, mungkin dia perlu membahas hal ini dengan Adam nanti. Akan bagaimana Rosa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di antara m
"Sudah siap?"Bisa Adam lihat, bocah yang tadinya tengah menyusun lego di atas sofa, segera melompat turun dan berlari ke arahnya. Adam langsung merentangkan kedua tangan, menyambut Refal yang langsung melompat ke dalam pelukan. "Jadi pergi?" tanya bocah itu dengan mata berbinar. "Tentu dong! Kan udah papa jemput!" jawab Adam seraya menaikkan Refal ke dalam gendongan. "Mama mana?"Refal segera memalingkan wajah, "MAMA!" teriaknya kencang tanpa mengendurkan gendongan, ia mengalungkan kedua tangan di leher Adam. Adam tertawa, ia mendekap tubuh itu erat-erat, menciumi pipi gembul Refal dengan gemas. Tidak selang lama, suara derap langkah itu terdengar. "Udah datang?" sapa Rosa yang nampak tengah mengenakan jam tangan di pergelangan tangan. "Udah ditunggu di rumah. Berangkat sekarang, kan?"Rosa meraih tas selempang, ia lantas melangkah mendekati Adam yang tengah menggendong Refal di dekat sofa ruang tamu. "Iya lah. Kita udah nungguin dari tadi!""Kata mama, Refal mau ketemu sama ma
"Refal, Sayang ... kamu seriusan mau nginep di sini? Mama mau pulang loh!" ada sedikit perasaan tidak rela meninggalkan Refal di sini. Hati Rosa macam diiris-iris pedih. "Hoo. Mau bobo sama papa sama mama Aline. Mama pulang aja!" jawab bocah itu lugas. Rosa tersenyum getir, ia menoleh dan melirik ke arah Adam yang hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. "Iya nggak apa-apa, Mbak. Biar Refal nginep di sini malam ini. Besok aku antar pulang." gumam Aline yang seketika membuat bocah itu tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Iya, Ros. Biar sekali-kali nginep di sini nggak apa-apa. Ayo ku antar pulang." Adam sudah muncul dengan kunci mobil di tangan. Rosa mendesah, ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengiyakan semua permintaan yang ditujukan kepadanya. Refal menginap di sini, dan dia yang akan diantar pulang sendiri tanpa Refal. "Baiklah. Mama pulang dulu, Sayang!" Rosa jongkok tepar di depan bocah itu, membuat Refal segera memeluk sang mama erat-era
"... dan akhirnya, semua warga yang hidup di hutan Natura kembali damai seperti sedia kala."Aline mengakhiri dongengnya, senyum Aline merekah ketika menyadari Refal sudah terlelap dengan memeluk tubuhnya. Raut wajah tampan itu begitu menggemaskan. Tidak salah kalau Adam, suaminya, begitu jatuh hati pada Refal. Selain tampan menggemaskan, Refal anak yang cerdas, penurut dan bukan tipe anak yang susah diatur. Aline pun langsung jatuh hati pada Refal bahkan sejak anak tampan itu muncul di depan wajahnya dan mencium tangan Aline dengan penuh hormat. "Manis banget sih, Sayang!" gumam Aline sambil mencubit gemas pipi Refal. "Nggak salah kalo papamu sampai sesayang itu sama kamu, kamu gemas banget!"Aline mencium pipi gembul itu, apakah rasanya akan seperti ini ketika nanti Aline punya anaknya sendiri? Anak? Aline tertegun, bayangan bagaimana Adam mencumbu dan membuatnya melayang-layang kembali terngiang. Satu tangan Aline mengelus perutnya dengan perlahan. Kapan perjuangan mereka akan
"Mas!" Aline memekik keras-keras, Adam benar-benar gila malam ini! Ia merasakan tubuhnya mengejang hebat bersamaan dengan melelehnya cairan hangat yang sangat terasa. Lututnya terasa sangat lemas, ia hampir saja tersungkur kalau saja Adam tidak menahan tubuhnya. "Lin ... kuat banget kamu, Lin!" Adam mengeram sambil menahan tubuh sang istri. Ia merasakan miliknya dipijit dengan begitu kuat di dalam sana. Bersamaan dengan sapaan cairan hangat dari inti tubuh Aline. "Mas ... udah nggak kuat lagi!" Aline merintih, entah sudah berapa kali dia dibuat Adam seperti ini, yang jelas sekarang kaki Aline sudah tidak lagi sanggup menahan beban tubuhnya sendiri. "Keluar sekarang?" tanya Adam setengah menggoda. Dia belum kembali bergerak, diam dengan miliknya yang masih terbenam sempurna di dalam tubuh Aline. Aline membuka mata sedikit, mengangguk lemah sambil menggerakkan bibir mengiyakan tawaran Adam barusan. Adam harus segera keluar agar permainan gila mereka ini selesai. Adam terkekeh, men
"Fal ... Sayang, bangun dong!"Adam tersenyum, agak tidak rela sebenarnya panggilan sayang untuknya harus terbagi. Eh tapi, masa iya sih Adam cemburu sama Refal? "Biar nanti aku yang antar, dia belum pakai seragam, kan?" desisnya sambil mengancingkan kemeja. Baik dia maupun Aline sudah rapi masing-masing dengan baju dinas. Ada asyiknya sih Aline bekerja begini. Pagi hari dia sudah tampak rapi dan wangi, kalau dulu? Jangan ditanya. "Oke, biar aku mandiin dulu. Jadi sampai ru--""Eh! Refal kamu mandiin tapi aku enggak?" protes Adam yang langsung seketika menoleh menatap istrinya. Aline mendengus, dibalasanya tatapan itu dengan sangat kesal. Apaan sih suaminya ini? Kenapa jadi absurb begini? Adam masih menatap Aline dengan tatapan tidak terima, sementara Aline mencibir dengan sangat gemas. "Mas, kamu bayi tiga puluh lima tahun! Jadi nggak usah manja, mandi sendiri!" tukas Aline gemas, ia kembali fokus membangunkan Refal. Adam mencebik, menoleh kembali ke cermin dan fokus mempersiap
"Jadi bagaimana? Ada kesulitan?"Aline tersenyum, ia membuka pintu dan mempersilahkan tamu spesialnya itu masuk ke dalam. Mendapat kunjungan dadakan dari papanya? Siapa yang kira? "Belum ada seminggu, Pa. Semua baik." jawab Aline lalu duduk di kursinya. Beni tersenyum, ia menatap Aline dengan tatapan penuh rasa bangga. "Sejak dulu papa ingin lihat kamu berkarir macam ini, Lin. Lihat ... kau tampak anggun dan berwibawa dengan setelan blazermu."Kontan Aline tertawa, ia menghela napas panjang tanpa melepaskan pandangan dari wajah sang ayah. "Tapi jujur enak pekerjaan Aline sebelumnya, Pa. Bisa bangun siang, bisa rebahan sambil kerja dan nggak harus pusing mikir meeting dan lain-lain." jawab Aline jujur, ia melakukan ini semua semata-mata demi suaminya. Beni tertawa, kepalanya mengangguk pelan seolah memahami apa yang dikatakan anak kembarnya barusan. Beni menghela napas panjang, lalu melipat kedua tangan di dada. "Tapi sekali-kali kau perlu bekerja seperti ini. Papa suka dan setuj
Adam melangkah turun dari mobil. Jika dulu dia begitu malas kalau harus pergi ke sini, sekarang Adam begitu rajin pergi ke tempat ini. Ia perlu menjemput istrinya untuk di bawah makan siang berdua. "Siang mas Adam, mau jemput bu Aline, ya?" sapa salah satu security yang kini Adam berada di depan Adam. "Iya dong, Pak. Istri saja masih di dalam, kan?" meskipun tidak yakin kalau security ini tahu di mana keberadaan sang istri, tapi tidak ada salahnya Adam bertanya, kan? "Mobil bu Aline masih di parkiran, Pak. Kemungkinan masih di dalam. Soalnya saya dari pagi malah belum ketemu sama bu Aline."Adam tersenyum, ia mengangguk pelan lalu melangkah masuk ke dalam gedung. Rasanya sekarang ia tidak lagi antipati pada tempat ini. Hatinya pun bisa tenang ketika ia melenggang masuk ke dalam. Dan semua ini karena pengorbanan istrinya! "Siang mas Adam."Sapaan demi sapaan Adam terima, ia hanya tersenyum sambil mengangguk sebagai tanda bahwa ia menerima dan membalas semua keramahan itu dengan bai