Aline tersenyum menatap bayangan dirinya di cermin. Celana super besar dan kemeja tadi sudah berganti dengan celana bahan yang pas di badan. Tidak terlalu ketat, tapi juga tidak terlalu besar. Untuk atasan, Aline memilih blouse polos yang dia beri tambahan blazer. "Nah gini kan mendingan!" gumam Aline sambil memutar tubuh di depan cermin. Celana dan kemeja yang tadi dia kenakan, sudah Aline bungkus dengan paper bag dan siap dia bawa pulang kembali. Aline meraih bedak dalam tasnya, menepuk-nepuk spon bedak ke wajah lalu bergegas melangkah keluar dari kamar. "Eh udah ganti kostum?" tanya Aleta yang nampak mengulum senyum. "Bawel! Dah ah pergi dulu!" balas Aline dengan bibir mengerucut. Tawa Aleta pecah, ia kembali terbahak-bahak membuat Aline mempercepat langkahnya. Ia harap sudah tidak ada lagi hal menyebalkan yang terjadi hari ini. Cukup dengan sikap Adam yang terlalu over macam tadi. "Ma, Aline pamit dulu, ya?" pamit Aline yang langsung meraih tangan sang mama. "Udah ganti baj
Aline segera turun dari mobil. Ia setengah berlari masuk ke dalam bangunan mewah dengan belasan lantai yang akan menjadi kantornya bekerja.Seraya terus melangkahkan kaki, Aline melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Terlambat 15 menit dan itu semua karena Adam, suaminya! "Selama pagi, Bu. Udah ditunggu Bapak di ruangan beliau."Aline tersenyum, ia menganggukkan kepala lalu masuk ke ruang manajemen. Ia harus menyusuri lorong dan naik dengan lift khusus untuk sampai ke ruangan mertuanya itu. "Awas aja kalo pagi-pagi besok masih nyari masalah, ku gepuk!" gerutu Aline mempercepat langkahnya. Ia segera memencet tombol lift begitu sampai di depan pintu lift. Jantung Aline berdegup dua kali lebih cepat, ini adalah kali pertama Aline masuk ke dalam ruangan ini. Pertama kalinya juga untuk Aline kemudian berkerja di tempat yang bahkan tidak pernah hinggap di dalam benak Aline, tidak peduli bapaknya bekerja di industri yang sama. "Ayolah ... jangan ada hal-hal aneh hari in
Adam segera turun dari mobil begitu beres memarkirkan mobil kesayangannya di parkiran yang ada di depan loby. Nampak seorang security mendekati Adam, sebuah hal yang akan terjadi jika dia parkir di sini. Tapi bukankah Adam punya hak khusus? Dan benar saja, security yang sudah pasang wajah on duty mendadak lembek dan tersenyum manis ke arahnya. "Loh, mas Adam toh? Saya kirain siapa, Mas. Mau ketemu bapak?" sapanya ramah dengan senyum full face. Hilang sudah tujuan awal security itu yang hendak meminta Adam memindahkan mobil ke parkir basement. "Jemput istri, Pak. Kalau ketemu papa sih, agak males. Palingan juga diomelin." jawab Adam asal sambil menjabat tangan security itu. "Ah mas Adam bisa aja! Nyonya di dalam, tadi pagi udah diajak keliling sama bapak. Dikenalin ke semua karyawannya."Mata Adam sontak membulat. "Iyakah? Nggak ada yang macem-macem sama istri saya, kan, Pak?" tanya Adam sedikit terkejut. Lelaki dengan postur tegap itu kontan tertawa terbahak, lucu sekali anak bosn
Rosa tersenyum ketika beres memakaikan setelan hem dan celana jeans di tubuh Refal. Makin lama anak lelaki kesayangannya itu makin mirip bapaknya! Raut wajah yang membuat Rosa selalu merindukan lelaki yang sangat dia cintai. "Papa mau ke sini, Ma?" tanya Refal membuyarkan lamunan Rosa akan mendiang suaminya. "Iya. Kita mau dijemput papa habis ini." jelas Rosa yang masih bingung, bagaimana menjelaskan pada Refal bahwa sebenarnya lelaki yang selama ini dia panggil papa itu bukanlah ayah kandung Refal. "Kita mau kemana?" tanya bocah itu nampak sangat ingin tahu. "Kerumah papa. Sekalian nanti kenalan sama mama Refal yang satunya." jelas Rosa sambil mengigit bibir. Benarkah caranya dia memperkenalkan Aline ini? "Mama Refal ada dua?" mata bocah itu membulat, membuat Rosa tersenyum getir karena tidak tahu lagi harus menjelaskan yang seperti apa. Rosa mengangguk, mungkin dia perlu membahas hal ini dengan Adam nanti. Akan bagaimana Rosa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di antara m
"Sudah siap?"Bisa Adam lihat, bocah yang tadinya tengah menyusun lego di atas sofa, segera melompat turun dan berlari ke arahnya. Adam langsung merentangkan kedua tangan, menyambut Refal yang langsung melompat ke dalam pelukan. "Jadi pergi?" tanya bocah itu dengan mata berbinar. "Tentu dong! Kan udah papa jemput!" jawab Adam seraya menaikkan Refal ke dalam gendongan. "Mama mana?"Refal segera memalingkan wajah, "MAMA!" teriaknya kencang tanpa mengendurkan gendongan, ia mengalungkan kedua tangan di leher Adam. Adam tertawa, ia mendekap tubuh itu erat-erat, menciumi pipi gembul Refal dengan gemas. Tidak selang lama, suara derap langkah itu terdengar. "Udah datang?" sapa Rosa yang nampak tengah mengenakan jam tangan di pergelangan tangan. "Udah ditunggu di rumah. Berangkat sekarang, kan?"Rosa meraih tas selempang, ia lantas melangkah mendekati Adam yang tengah menggendong Refal di dekat sofa ruang tamu. "Iya lah. Kita udah nungguin dari tadi!""Kata mama, Refal mau ketemu sama ma
"Refal, Sayang ... kamu seriusan mau nginep di sini? Mama mau pulang loh!" ada sedikit perasaan tidak rela meninggalkan Refal di sini. Hati Rosa macam diiris-iris pedih. "Hoo. Mau bobo sama papa sama mama Aline. Mama pulang aja!" jawab bocah itu lugas. Rosa tersenyum getir, ia menoleh dan melirik ke arah Adam yang hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. "Iya nggak apa-apa, Mbak. Biar Refal nginep di sini malam ini. Besok aku antar pulang." gumam Aline yang seketika membuat bocah itu tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Iya, Ros. Biar sekali-kali nginep di sini nggak apa-apa. Ayo ku antar pulang." Adam sudah muncul dengan kunci mobil di tangan. Rosa mendesah, ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengiyakan semua permintaan yang ditujukan kepadanya. Refal menginap di sini, dan dia yang akan diantar pulang sendiri tanpa Refal. "Baiklah. Mama pulang dulu, Sayang!" Rosa jongkok tepar di depan bocah itu, membuat Refal segera memeluk sang mama erat-era
"... dan akhirnya, semua warga yang hidup di hutan Natura kembali damai seperti sedia kala."Aline mengakhiri dongengnya, senyum Aline merekah ketika menyadari Refal sudah terlelap dengan memeluk tubuhnya. Raut wajah tampan itu begitu menggemaskan. Tidak salah kalau Adam, suaminya, begitu jatuh hati pada Refal. Selain tampan menggemaskan, Refal anak yang cerdas, penurut dan bukan tipe anak yang susah diatur. Aline pun langsung jatuh hati pada Refal bahkan sejak anak tampan itu muncul di depan wajahnya dan mencium tangan Aline dengan penuh hormat. "Manis banget sih, Sayang!" gumam Aline sambil mencubit gemas pipi Refal. "Nggak salah kalo papamu sampai sesayang itu sama kamu, kamu gemas banget!"Aline mencium pipi gembul itu, apakah rasanya akan seperti ini ketika nanti Aline punya anaknya sendiri? Anak? Aline tertegun, bayangan bagaimana Adam mencumbu dan membuatnya melayang-layang kembali terngiang. Satu tangan Aline mengelus perutnya dengan perlahan. Kapan perjuangan mereka akan
"Mas!" Aline memekik keras-keras, Adam benar-benar gila malam ini! Ia merasakan tubuhnya mengejang hebat bersamaan dengan melelehnya cairan hangat yang sangat terasa. Lututnya terasa sangat lemas, ia hampir saja tersungkur kalau saja Adam tidak menahan tubuhnya. "Lin ... kuat banget kamu, Lin!" Adam mengeram sambil menahan tubuh sang istri. Ia merasakan miliknya dipijit dengan begitu kuat di dalam sana. Bersamaan dengan sapaan cairan hangat dari inti tubuh Aline. "Mas ... udah nggak kuat lagi!" Aline merintih, entah sudah berapa kali dia dibuat Adam seperti ini, yang jelas sekarang kaki Aline sudah tidak lagi sanggup menahan beban tubuhnya sendiri. "Keluar sekarang?" tanya Adam setengah menggoda. Dia belum kembali bergerak, diam dengan miliknya yang masih terbenam sempurna di dalam tubuh Aline. Aline membuka mata sedikit, mengangguk lemah sambil menggerakkan bibir mengiyakan tawaran Adam barusan. Adam harus segera keluar agar permainan gila mereka ini selesai. Adam terkekeh, men