Savanah terkejut mendengar panggilan yang diberikan Roni, tetapi dia hanya membalas dengan senyuman tipis.
"Tapi saya harap kamu tahu bahwa kamu tidak harus menghadapi semua ini sendirian. Saya akan ada di setiap saat di mana saja dan kapan saja kamu butuhkan.” Roni berkata dengan tegas dan suara datar. Kedua matanya menatap Savanah dengan serius dan penuh kasih.
Savanah menatap Roni sejenak, lalu mengangguk pelan lalu tertawa kecil, "mengapa terdengar seperti drama korea ya?"
Roni ikut tersenyum atas gurauan Savanah. Kedua insan itu kembali berada dalam keheningan koridor Rumah Sakit dan menyapa sang Dokter yang menjadi penonton sedari tadi.
"Bagaimana keadaannya tadi, Dokter?" tanya Roni.
"Oh, pasien terlalu gemuk. Dia akan mengalami kesulitan dalam hal pernapasan apabila tidak menjaga kondisi tubuhnya dan merusaknya dengan minuman keras serta merokok. Saya hanya bisa memberikan resep untuk pemulihan, tetapi nasehat untuk kelu
Keributan itu terus berlanjut hingga akhirnya suara langkah kaki terdengar dari tangga yang menghubungkan lantai atas ke ruang utama.Ibu Savanah, Suzie Brown, yang sedang berada di kamarnya, terpaksa turun setelah mendengar kekacauan ini.Wajahnya yang lelah tampak semakin tegang begitu ia menyadari bahwa suara itu berasal dari Damian. Melihat pria itu terlihat kacau, ia menghela napas panjang, merasa frustrasi.“Damian!” panggil Suzie Brown dengan nada tajam, suaranya cukup lantang untuk mengalahkan keributan di ruangan itu.Damian menoleh, terkejut melihat sosok wanita paruh bayar yang dikenalnya sebagai ibu Savanah berdiri di sana. Matanya membelalak sejenak, lalu ekspresinya berubah menjadi dingin.“Ahhh, Ibu mertuaku?” tanyanya dengan nada mencemooh. “Jadi kau di sini. Kau tinggal di tempat ini sekarang bersama Savanah? Di dalam bar? Atau di atas bar? Eh, di
"Baik, Bu. Nina, tuntun Nyonya ke atas," perintah Savanah kepada Nina.Wanita cantik itu segera maju dan melaksanan perintahnya, sementara Damian melambaikan tangan kepada sang mertua dengan senyuman yang ramah, tetapi menandakan bahwa pria itu benar-benar mabuk.Setelah menyaksikan sang ibu naik ke tangga, Savanah menoleh ke arah Damian, "sekarang, apa yang kau inginkan, Damian? Apakah kamu mau diantar pulang?""Pulang? Tidak! Aku ingin bicara denganmu, Cantik!"Damian segera menarik tangan Savanah lalu menekan tubuhnya sehingga menempel ke atas sebuah meja."Damian! Lepaskan! Ini sakit!" pekik Savanah dengan takut. Dia khawatir terjadi sesuatu pada bayinya.Damian mendekatkan diri untuk mencium aroma tubuh Savanah dari belakang, merasakan posisi yang pernah dia alami dengan wanita perawan di malam dia mabuk tersebut."Mengapa bukan kamu?" tanya Damian sambil mengendus aroma sampo yang menguak dari rambut Savanah.Tidak ada ya
"Silakan kalian pergi setelah puas menghibur diri. Ini adalah bar penuh hiburan, untuk setiap material yang rusak, Nina akan membantu dalam hal pencatatan biayanya," lanjutnya sembari menapaki tangga.Damian mendengus, lalu meraih jaketnya di kursi. “Kau pikir aku mau tinggal lebih lama di sini? Tempat ini tidak ada artinya bagiku!"Tanpa berkata apa-apa lagi, Damian berjalan keluar dari bar, membanting pintu dengan keras di belakangnya.Savanah mengusap wajahnya dengan tangan, mencoba menenangkan dirinya. Namun langkahnya tegas sampai ke lantai atas.Roni terpaku dengan gerakan Savanah yang benar-benar dingin dan terlihat tidak peduli. Kedua matanya memperhatikan Savanah sampai bayangannya tidak tampak. Dia bisa merasakan betapa hancur dan remuknya diri Savanah saat itu dan dia sangat ingin sekali merangkulnya dalam pelukan. Wanita itu berpura-pura tegar dengan sifatnya yang dingin.Para staf bar mendekat, menatap
Jantung Savanah berdegup kencang. Ia merasa perutnya seperti diikat erat-erat, sesak hingga napasnya tertahan. Matanya terpaku pada pasangan itu, meskipun hatinya berteriak agar ia segera pergi.Kenapa aku harus melihat ini? pikirnya, sambil mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.Damian tampak acuh, wajahnya dingin dan tidak menunjukkan emosi apa pun. Namun, Keisha, yang menyadari keberadaan Savanah di ujung lorong, langsung memasang senyum lebar yang penuh kepura-puraan.“Oh, lihat siapa yang ada di sini,” kata Keisha dengan nada manis tetapi menusuk, suaranya cukup keras untuk memastikan Savanah mendengarnya.Damian menoleh sejenak, matanya bertemu dengan Savanah. Tetapi tatapan itu hanya berlangsung sesaat sebelum ia kembali menatap lurus ke depan, dingin dan tak peduli.Keisha menarik lengan Damian dengan lembut, memeluknya seolah-olah ia tidak ingin pria itu pergi
Keisha tampak senang, senyum lebarnya semakin melebar. “Kau benar-benar memikirkan semuanya, Damian. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu.”Tanpa menjawab, Damian melangkah pergi menuju minimarket di dekat parkiran rumah sakit. Namun, pikirannya tidak tertuju pada Keisha. Ia mengingat wajah Savanah yang penuh kesedihan di koridor tadi, dan sesuatu dalam dirinya terasa bergemuruh.Damian mengambil dua botol air mineral dan dua bungkus roti dari rak, lalu berjalan ke kasir. Saat meletakkan barang-barang itu di meja kasir, ia berhenti sejenak, menatap botol-botol itu dengan ragu.Kenapa aku melakukan ini? tanyanya dalam hati.Ia tahu Keisha akan senang dengan perhatian kecil itu, tetapi kenyataannya, yang ada dalam pikirannya adalah Savanah. Ia melihatnya tadi—lelah, rapuh, dan penuh kesedihan yang tidak bisa ia abaikan.Setelah membayar, Damian keluar da
Ketika Damian dan Keisha berjalan pergi, Savanah membuka botol air mineral yang diberikan Damian, lalu meminumnya perlahan. Ia tahu, air itu tidak akan menghapus luka di hatinya. Tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin, meskipun kecil, Damian masih peduli padanya.Namun, kepedulian itu tidak akan pernah cukup untuk memperbaiki apa yang telah hancur di antara mereka."Anakku, bagaimanapun Damian adalah Ayahmu. Nama keluargamu adalah Pangestu dan aku tidak dapat mengubah apa pun," ucap Savanah dengan suara kecil dan terdengar lirih, "tapi, aku akan... memperjuangkanmu supaya bisa bernama Brown."Suara Savanah bergetar.Dia berada sendirian di sana, walaupun ada beberapa perawat yang lalu lalang dalam kesibukan mereka masing-masing, Savanah tidak berdaya untuk menahan tangisannya, menyesali hubungan yang tidak dapat dia kuasai.Setelah hampir satu jam menunggu, pintu ruang periksa terbuka. Suzie keluar dengan wajah tenang, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Savanah
“Bu,” kata Savanah lembut, duduk di tepi tempat tidur ibunya. “Ibu harus menjaga diri. Saya tidak bisa kehilangan Ibu. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang saya miliki.”Suzie tersenyum lemah. “Sayang, aku sudah menjalani hidup yang penuh liku. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja.”Mata Savanah memanas mendengar itu. Ia menggenggam tangan ibunya dengan erat, seolah-olah itu bisa mencegah waktu merenggutnya.“Bu, saya akan melakukan apa saja untuk memastikan Ibu sehat kembali,” kata Savanah, suaranya penuh tekad.Suzie memandang putrinya dengan mata lembutlalu menoleh ke arah Roni. Roni mengangguk kecil seolah-olah menjawab tatapan penuh arti dari sang ibu. “Aku tahu kau akan melakukan segalanya untukku, Savanah. Tapi jangan lupa, kau juga harus menjaga dirimu sendiri. Kau memiliki sesuatu yang sangat berharga untuk diperjuangkan.”Savanah menunduk, menyadari apa yang dimaksud ibunya—bayi yang kini tumbuh di dalam kandungannya.“Saya akan melindungi bayi
Roni menatap Savanah dengan ekspresi lembut, tetapi juga penuh tekad. Ia tahu bahwa ketakutan wanita itu bukanlah sesuatu yang mudah dihapuskan.“Aku mengerti,” katanya pelan. “Baiklah, aku tidak akan mengatakan apa-apa kepada Damian. Ini adalah rahasiamu, dan aku akan menghormatinya.”"Belum saatnya, maksudku, belum saatnya Damian tahu, dia akan tahu nanti, tetapi setelah aku melahirkan anak ini dan mencantumkan nama keluargaku!" tegas Savanah dalam isak tangisnya.Tubuhnya berguncang dalam pelukan Roni."Diamlah, jangan terlalu terbawa emosi. Rahasiamu aman bersamaku, Savanah," hibur Roni.Savanah mengangguk pelan, merasa lega mendengar kata-kata itu. Namun, perasaan bersalah tetap menghantuinya. Ia tahu bahwa Damian, dengan segala kekurangannya, tetap memiliki hak untuk tahu tentang anak mereka. Tetapi rasa takutnya lebih besar daripada rasa bersalah itu.“Terima kasih, Roni,” bisiknya. “Aku tahu aku egois. Tapi ini yang terbaik untuk sekarang.”Roni menepuk bahunya dengan lembut.
Bab 238Saat bulan-bulan berlalu, Damian dan Savanah semakin mantap menghadapi masa depan bersama. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi dengan cinta dan komitmen yang telah mereka bangun, mereka merasa siap untuk menghadapi apa pun yang datang.Pada akhirnya, cinta mereka yang diuji oleh waktu dan rintangan akhirnya menemukan jalannya kembali. Mereka tidak hanya menjadi pasangan suami istri, tetapi juga menjadi keluarga yang utuh, siap menyambut anggota baru yang akan membawa kebahagiaan lebih besar dalam hidup mereka.Malam itu, mereka berdua tertidur dalam pelukan yang tenang tetapi penuh dengan emosi yang belum sepenuhnya terselesaikan.Damian merasa lebih yakin bahwa ia harus melindungi keluarga kecilnya, sementara Savanah berusaha menguatkan dirinya untuk menghadapi masa depan bersama pria yang ia cintai, meskipun penuh dengan tantangan dan keraguan.Dalam keheningan malam, hanya s
"Dia mengandung anakku, dia istriku dan tidak ada bagian darimu di sana! Kau paham?!" Damian mengatakan semua gundahan hatinya dengan suara keras dan tegas.Roni menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Damian, aku tidak ingin membuat masalah. Jika itu yang kau inginkan, aku akan menjauh. Tapi bukan karena aku takut padamu. Aku melakukannya karena aku peduli pada Savanah, dan aku ingin yang terbaik untuknya.”Cuih!Damian membuang salivanya ke samping dengan rasa jijik. "Akhirnya kau paham!""Ingat ucapanmu! Jangan pernah dekat dengannya lagi!"Roni mengangguk perlahan dengan perasaan terpuruk.“Bagus!" lanjut Damian. "Tapi ingat, jika aku melihatmu mendekati istriku lagi, kau tidak akan mendapatkan peringatan kedua.”Dengan itu, Damian berbalik dan meninggalkan gym, meninggalkan Roni dengan wajah penuh kekecewaan dan rasa sakit yang mendalam. Ke
Damian tidak terpengaruh. “Kau bebas mencoba, Keisha. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan keluargaku lagi.”Keisha meninggalkan lokasi pertemuan dengan wajah penuh amarah, tetapi Damian merasa lega. Untuk pertama kalinya, ia merasa telah mengambil kendali penuh atas hidupnya.***Setelah mengetahui kebenaran tentang malam di Salvastone, Damian masih merasakan amarah yang tertahan di dalam dirinya. Ia tidak hanya marah kepada Keisha yang mencoba memanipulasi kenyataan, tetapi juga kepada Roni, pria yang berani mendekati istrinya dan bahkan mengklaim hubungan yang tidak pernah ada.Damian memutuskan untuk menghadapi Roni secara langsung. Ia tahu di mana pria itu biasanya berada—gym kecil di pinggiran kota tempat Roni melatih tubuhnya.Dengan langkah cepat, Damian melajukan motornya ke sana, wajahnya mencerminkan ketegasan dan kemarahan yang ia rasakan.Ketika
Savanah tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih memerah. “Ya, Damian. Kau tidak melepaskanku bahkan sesudah berulang kali kamu mendapatkan pelepasan, dan aku… aku tidak bisa mengatakan tidak. Aku tanpa sadar sudah mencintaimu, bahkan saat itu.”Damian menarik napas panjang, rasa bersalah yang selama ini menghantui dirinya perlahan menghilang, digantikan oleh kelegaan dan kebahagiaan yang tak terkira.“Aku bodoh,” katanya dengan suara rendah. “Aku membiarkan Keisha memanipulasiku dengan kebohongannya, sementara wanita yang aku cari selama ini adalah kamu, istriku sendiri.”Savanah menggeleng. “Semua sudah berlalu, Damian. Yang penting sekarang adalah kita tahu kebenarannya.”Damian kembali memeluk Savanah, membiarkan air mata kecil jatuh di pipinya. “Aku mencintaimu, Savanah. Aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan kita lagi. Kamu ad
Damian menyebut tanggalnya, dan Savanah membekap mulutnya sendiri. Hatinya berdebar keras."Damian… itu aku. Aku juga berada di sana malam itu. Aku… aku merasa semuanya begitu aneh, tapi aku ingat. Aku mengalami pelecehan. Lalu Roni mengaku bahwa dia yang melakukannya. Tanggal dan harinya sama! Itu aku.""Kau?""Keisha tidak hadir di malam itu, dia mengambil shift pagi!" pekik Savanah tak percaya.Damian menatapnya dengan penuh kebingungan. "Apa? Savanah, maksudmu…""Ya," potong Savanah dengan tegas. "Wanita itu adalah aku. Aku bahkan memiliki bukti. Petugas sekuriti yang berjaga malam itu melihat kita. Dia mencatat bahwa aku masuk ke ruang ganti untuk mengambil sesuatu. Selain itu, aku menemukan cincin di kantung kemeja kerjaku. Lalu Keisha merampasnya dan saat itu kamu datang lalu...""Astaga!" Savanah menutup bibirnya dengan tangan, dia baru mengerti bahwa Damian mengira Keisha adalah wanit
Savanah mencoba melawan, tetapi kekuatan Damian terlalu besar. Bibir pria itu sudah mencium lehernya dengan rakus, kembali lagi meninggalkan jejak merah yang tidak mungkin disembunyikan.Gigitannya yang intens terasa seperti tanda kepemilikan yang ingin ia tunjukkan kepada dunia. Tangannya memeras bagian depan Savanah dengan kuat sehingga Savanah merasa kesakitan.“Damian, berhenti!” Savanah memohon, suaranya gemetar. “Ini terlalu banyak. Cukup!”Namun, Damian tidak mendengarkan. Tubuhnya terus menekan tubuh Savanah, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa wanita itu tidak pernah lupa siapa yang memiliki dirinya sepenuhnya."Damian, ini menyakitkanku!" teriak Savanah, berusaha melepaskan diri dari tangan Damian yang menyakiti beberapa bagian sensitif miliknya.Dengan cepat, Damian membuka kemeja tidurnya sehingga bagian depannya terekspos dengan indah dan Damian segera melahapnya denga
Tanpa tujuan yang jelas, Roni berjalan hingga sampai di sebuah taman kecil yang sepi. Ia duduk di bangku kayu yang teduh di bawah pohon besar, menundukkan kepala sambil memandangi tanah.Seorang ibu dengan anak kecil lewat di depannya, suara tawa anak itu membuat hati Roni terasa semakin hancur. Ia membayangkan seperti apa rasanya jika ia yang berada di tempat Damian—memiliki Savanah dan seorang anak bersama, membangun keluarga kecil yang bahagia.Namun, bayangan itu hanya membuatnya semakin sadar bahwa semua itu adalah mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan."Itu bukan anakku juga, Roni... kamu hanya terlalu berharap," gumamnya sambil tertawa lepas.Roni meraih sebotol air yang ia bawa, meneguknya dengan cepat. Tangannya bergetar, dan tanpa sadar, ia memukul bangku kayu di sebelahnya dengan keras.“Bodoh,” gumamnya."Sungguh bodoh!"“Bodoh karena berpikir aku punya kesempatan.”Roni menunduk, kedua tangannya menutupi wajahnya. Air mata yang selama ini ia tahan mulai mengalir,
Roni mengepalkan tangannya, tetapi ia tetap diam, meskipun tubuhnya jelas menunjukkan ketegangan yang luar biasa.“Savanah masih sehebat dulu,” lanjut Damian dengan nada yang dibuat seolah-olah ia hanya sedang bercakap-cakap santai. “Kami bahkan mengulangnya beberapa kali sampai dia minta ampun. Tubuhnya semakin montok sekarang, mungkin karena dia sedang hamil anakku. Tapi kau tahu? Itu justru membuatnya semakin nikmat.”Roni terdiam dan mengetatkan rahangnya.Kata-kata Damian menghantam Roni seperti pukulan bertubi-tubi. Ia menatap Savanah dengan mata yang penuh luka, tetapi wanita itu hanya bisa menunduk, tidak mampu menghadapi tatapannya.“Kau tahu tentang kehamilannya?” tanya Roni akhirnya, suaranya rendah tetapi penuh dengan rasa kecewa.Damian tersenyum kecil. “Tentu saja. Anak ini milikku, dan aku akan memastikan bahwa dia tumbuh dengan kedua orang tuanya yang lengkap. Jadi, apa yang tersisa untukmu, Roni?”Roni terdiam. Pertanyaan itu menusuk hatinya lebih dalam daripada yang
Damian menatap tubuh Savanah dengan tatapan penuh kekaguman. “Kamu semakin padat, Savanah,” bisiknya dengan suara rendah yang menggoda. “Itu membuatku semakin ingin menempel terus padamu.”Savanah mencoba menghindar, tetapi Damian sudah mendekapnya erat, membuatnya tidak memiliki ruang untuk bergerak. Ia mencium leher Savanah perlahan, meninggalkan jejak kecil yang membuat wanita itu merasa tubuhnya memanas lagi.“Damian, sudahlah,” rengek Savanah dengan suara bergetar. “Kita sudah melakukannya berkali-kali. Aku lapar…”Namun, Damian tidak berhenti. Bibirnya terus menjelajahi tubuh Savanah, memberikan tanda-tanda percintaan yang ia tahu tidak akan mudah hilang. Setiap jejak yang ia tinggalkan terasa seperti pernyataan kepemilikan, seolah-olah ia ingin dunia tahu bahwa Savanah adalah miliknya, tidak ada yang lain.“Damian,” desah Savanah, mencoba menarik diri, tetapi tubuhnya sendiri mulai menyerah pada kehangatan yang diberikan pria itu.“Aku hanya ingin memastikan,” bisik Damian samb