“Bu,” kata Savanah lembut, duduk di tepi tempat tidur ibunya. “Ibu harus menjaga diri. Saya tidak bisa kehilangan Ibu. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang saya miliki.”Suzie tersenyum lemah. “Sayang, aku sudah menjalani hidup yang penuh liku. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja.”Mata Savanah memanas mendengar itu. Ia menggenggam tangan ibunya dengan erat, seolah-olah itu bisa mencegah waktu merenggutnya.“Bu, saya akan melakukan apa saja untuk memastikan Ibu sehat kembali,” kata Savanah, suaranya penuh tekad.Suzie memandang putrinya dengan mata lembutlalu menoleh ke arah Roni. Roni mengangguk kecil seolah-olah menjawab tatapan penuh arti dari sang ibu. “Aku tahu kau akan melakukan segalanya untukku, Savanah. Tapi jangan lupa, kau juga harus menjaga dirimu sendiri. Kau memiliki sesuatu yang sangat berharga untuk diperjuangkan.”Savanah menunduk, menyadari apa yang dimaksud ibunya—bayi yang kini tumbuh di dalam kandungannya.“Saya akan melindungi bayi
Roni menatap Savanah dengan ekspresi lembut, tetapi juga penuh tekad. Ia tahu bahwa ketakutan wanita itu bukanlah sesuatu yang mudah dihapuskan.“Aku mengerti,” katanya pelan. “Baiklah, aku tidak akan mengatakan apa-apa kepada Damian. Ini adalah rahasiamu, dan aku akan menghormatinya.”"Belum saatnya, maksudku, belum saatnya Damian tahu, dia akan tahu nanti, tetapi setelah aku melahirkan anak ini dan mencantumkan nama keluargaku!" tegas Savanah dalam isak tangisnya.Tubuhnya berguncang dalam pelukan Roni."Diamlah, jangan terlalu terbawa emosi. Rahasiamu aman bersamaku, Savanah," hibur Roni.Savanah mengangguk pelan, merasa lega mendengar kata-kata itu. Namun, perasaan bersalah tetap menghantuinya. Ia tahu bahwa Damian, dengan segala kekurangannya, tetap memiliki hak untuk tahu tentang anak mereka. Tetapi rasa takutnya lebih besar daripada rasa bersalah itu.“Terima kasih, Roni,” bisiknya. “Aku tahu aku egois. Tapi ini yang terbaik untuk sekarang.”Roni menepuk bahunya dengan lembut.
“Dengar,” potong Roni dengan nada lembut. “Aku tahu ini bukan keputusan yang bisa kau buat dengan mudah. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak menawarkan ini karena rasa kasihan. Aku menawarkan ini karena aku tulus. Karena aku ingin menjadi pria yang bisa kau andalkan.”Savanah menarik napas panjang, mencoba mengatur pikirannya yang berantakan. Ia tahu bahwa Roni adalah pria yang baik, pria yang selalu ada untuknya di saat ia merasa paling terpuruk. Tetapi tawarannya begitu besar, begitu mendadak, hingga ia merasa seolah dunia di sekelilingnya berputar.“Aku tidak tahu apakah aku bisa menerima itu, Roni,” katanya akhirnya dengan suara bergetar. “Aku bahkan belum tahu apa yang harus kulakukan dengan hidupku sendiri. Bagaimana aku bisa membuat keputusan sebesar ini?”Roni menatapnya dengan lembut, tetapi tegas. “Kau tidak perlu memutuskan sekarang, Savanah. Aku hanya ingin kau tahu
Beberapa hari kemudian, Savanah tidak menyadari masalah baru mulai mengincarnya lagi.Video siaran langsung Sarah terus menyebar di media sosial. Dengan judul provokatif seperti “Skandal di Rumah Sakit: Sepupu Penghancur Keluarga!”, video itu menarik perhatian ribuan orang. Banyak yang menyaksikan tanpa tahu cerita sebenarnya, tetapi komentar pedas dan kebencian terus mengalir.Savanah jarang melihat sosial media karena kesibukannya.Salvastone Bar, yang baru saja menjadi milik Savanah, mendadak menjadi sasaran kemarahan mereka yang percaya pada cerita Sarah. Komentar-komentar kasar mulai membanjiri akun media sosial bar itu, dan beberapa orang bahkan memutuskan untuk melampiaskan kebencian mereka di dunia nyata.Pagi itu, Savanah sedang berada di ruang administrasi di lantai atas bar, memeriksa dokumen pembukuan yang tertunda. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya meskipun pikirannya masih berat akibat berbagai masala
Savanah menggeleng, menatap Roni dengan mata penuh kecemasan. “Kenapa semua ini harus terjadi, Roni? Aku hanya ingin menjalani hidupku dengan tenang. Kenapa mereka tidak bisa membiarkan aku sendiri?”Roni tidak menjawab seketika. Ia menatap wanita yang tampak begitu rapuh di depannya, lalu berkata dengan nada tegas, “Karena mereka tidak tahu siapa Anda sebenarnya. Mereka hanya percaya pada kebohongan yang dijual oleh orang-orang seperti Sarah.”Savanah menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun, ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari badai yang lebih besar."Aku akan membantumu membersihkan bar ini," kata Roni sambil lalu.Malam itu, setelah semua kekacauan di Salvastone, Savanah duduk di kursi bar sambil menatap Roni yang membersihkan dinding kaca dari noda telur busuk. Tubuh pria itu basah oleh cairan telur yang dilemparkan massa, dan aroma menyengat membuat Savanah merasa bersalah.
Suzie menghela napas panjang, lalu menatap Roni. “Kau pria yang baik, Roni. Tapi ini bukan waktunya untuk hal seperti ini. Tolong jaga jarak sampai semuanya jelas.”Roni mengangguk patuh. “Saya mengerti, Nyonya. Maafkan saya.”"Baik, kamu boleh pergi," usir Suzie tanpa basa basi."Tapi, dia tidak memiliki pakaian." Savanah berusaha menjelaskan.Suzie mengernyitkan alisnya seolah-olah sedang mengukur tubuh Roni, lalu berkata, "tunggu sebentar."Tidak lama kemudian, Suzie keluar dengan satu stel pakaian. Kaus dan celana pendek karet."Ini milik mendiang Ayahmu, mungkin bisa masuk. Beliau suka memakai pakaian yang ukurannya besar." Suzie menyodorkan pakaian itu kepada Roni seraya mendorongnya agar segera menuju ke kamar mandi untuk memakainya.Tidak lama kemudian, Roni keluar dengan pakaian yang muat di tubuhnya tetapi membuat dia tampak tua.Savanah terkekeh, namun Suzie tidak mengizinkan percakapan lebih lanjut, di
Tapi kenangan itu terasa seperti ilusi sekarang, sesuatu yang tidak pernah benar-benar nyata.“Damian,” Savanah mengelus perutnya sambil menangis tanpa suara, air matanya membasahi bantal.“Kalau saja kau tahu… aku hanya ingin kau ada di sini untukku. Untuk bayi ini. Tapi kau selalu memilih untuk menjauh.”Savanah meremas selimutnya, tubuhnya bergetar karena emosi yang membanjiri dirinya. Ia merasa seperti terperangkap di antara dua dunia.Di satu sisi, ada Roni, pria yang memberinya rasa perlindungan yang belum pernah ia rasakan. Di sisi lain, ada Damian, cinta sejatinya, meskipun cinta itu kini terasa dingin dan jauh.Tangan Savanah kembali menyentuh bibirnya, mengingat ciuman Roni yang penuh gairah. Tapi hatinya menolak untuk menerima kehangatan itu.“Aku mencintai Damian,” bisiknya lagi, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.“Aku
“Nyonya Savanah,” kata dokter itu dengan suara tenang tetapi penuh kewibawaan. “Kami telah melakukan beberapa tes awal pada ibu Anda. Ada tanda-tanda gangguan pada jantungnya.”Savanah merasa tubuhnya lemas mendengar kata-kata itu. “Gangguan jantung?” ulangnya, hampir tidak percaya walau dia sudah pernah menerima informasi ada masalah jantung dalam pemeriksaan sebelumnya, namun sang dokter tidak menganjurkan tindakan lanjut yang mendadak, hanya bertahap untuk menjalani pengobatan dan beberapa latihan untuk menguatkan jantung.Dokter mengangguk. “Ya, ini bukan sesuatu yang baru. Dari riwayat medisnya, tampaknya beliau sudah pernah mengalami gejala serupa sebelumnya. Hanya saja, kali ini kondisinya lebih serius.”“Seberapa serius?” tanya Savanah, suaranya bergetar.“Kami perlu menjalankan lebih banyak tes untuk memastikan, tetapi saya me
Bab 238Saat bulan-bulan berlalu, Damian dan Savanah semakin mantap menghadapi masa depan bersama. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi dengan cinta dan komitmen yang telah mereka bangun, mereka merasa siap untuk menghadapi apa pun yang datang.Pada akhirnya, cinta mereka yang diuji oleh waktu dan rintangan akhirnya menemukan jalannya kembali. Mereka tidak hanya menjadi pasangan suami istri, tetapi juga menjadi keluarga yang utuh, siap menyambut anggota baru yang akan membawa kebahagiaan lebih besar dalam hidup mereka.Malam itu, mereka berdua tertidur dalam pelukan yang tenang tetapi penuh dengan emosi yang belum sepenuhnya terselesaikan.Damian merasa lebih yakin bahwa ia harus melindungi keluarga kecilnya, sementara Savanah berusaha menguatkan dirinya untuk menghadapi masa depan bersama pria yang ia cintai, meskipun penuh dengan tantangan dan keraguan.Dalam keheningan malam, hanya s
"Dia mengandung anakku, dia istriku dan tidak ada bagian darimu di sana! Kau paham?!" Damian mengatakan semua gundahan hatinya dengan suara keras dan tegas.Roni menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Damian, aku tidak ingin membuat masalah. Jika itu yang kau inginkan, aku akan menjauh. Tapi bukan karena aku takut padamu. Aku melakukannya karena aku peduli pada Savanah, dan aku ingin yang terbaik untuknya.”Cuih!Damian membuang salivanya ke samping dengan rasa jijik. "Akhirnya kau paham!""Ingat ucapanmu! Jangan pernah dekat dengannya lagi!"Roni mengangguk perlahan dengan perasaan terpuruk.“Bagus!" lanjut Damian. "Tapi ingat, jika aku melihatmu mendekati istriku lagi, kau tidak akan mendapatkan peringatan kedua.”Dengan itu, Damian berbalik dan meninggalkan gym, meninggalkan Roni dengan wajah penuh kekecewaan dan rasa sakit yang mendalam. Ke
Damian tidak terpengaruh. “Kau bebas mencoba, Keisha. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan keluargaku lagi.”Keisha meninggalkan lokasi pertemuan dengan wajah penuh amarah, tetapi Damian merasa lega. Untuk pertama kalinya, ia merasa telah mengambil kendali penuh atas hidupnya.***Setelah mengetahui kebenaran tentang malam di Salvastone, Damian masih merasakan amarah yang tertahan di dalam dirinya. Ia tidak hanya marah kepada Keisha yang mencoba memanipulasi kenyataan, tetapi juga kepada Roni, pria yang berani mendekati istrinya dan bahkan mengklaim hubungan yang tidak pernah ada.Damian memutuskan untuk menghadapi Roni secara langsung. Ia tahu di mana pria itu biasanya berada—gym kecil di pinggiran kota tempat Roni melatih tubuhnya.Dengan langkah cepat, Damian melajukan motornya ke sana, wajahnya mencerminkan ketegasan dan kemarahan yang ia rasakan.Ketika
Savanah tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih memerah. “Ya, Damian. Kau tidak melepaskanku bahkan sesudah berulang kali kamu mendapatkan pelepasan, dan aku… aku tidak bisa mengatakan tidak. Aku tanpa sadar sudah mencintaimu, bahkan saat itu.”Damian menarik napas panjang, rasa bersalah yang selama ini menghantui dirinya perlahan menghilang, digantikan oleh kelegaan dan kebahagiaan yang tak terkira.“Aku bodoh,” katanya dengan suara rendah. “Aku membiarkan Keisha memanipulasiku dengan kebohongannya, sementara wanita yang aku cari selama ini adalah kamu, istriku sendiri.”Savanah menggeleng. “Semua sudah berlalu, Damian. Yang penting sekarang adalah kita tahu kebenarannya.”Damian kembali memeluk Savanah, membiarkan air mata kecil jatuh di pipinya. “Aku mencintaimu, Savanah. Aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan kita lagi. Kamu ad
Damian menyebut tanggalnya, dan Savanah membekap mulutnya sendiri. Hatinya berdebar keras."Damian… itu aku. Aku juga berada di sana malam itu. Aku… aku merasa semuanya begitu aneh, tapi aku ingat. Aku mengalami pelecehan. Lalu Roni mengaku bahwa dia yang melakukannya. Tanggal dan harinya sama! Itu aku.""Kau?""Keisha tidak hadir di malam itu, dia mengambil shift pagi!" pekik Savanah tak percaya.Damian menatapnya dengan penuh kebingungan. "Apa? Savanah, maksudmu…""Ya," potong Savanah dengan tegas. "Wanita itu adalah aku. Aku bahkan memiliki bukti. Petugas sekuriti yang berjaga malam itu melihat kita. Dia mencatat bahwa aku masuk ke ruang ganti untuk mengambil sesuatu. Selain itu, aku menemukan cincin di kantung kemeja kerjaku. Lalu Keisha merampasnya dan saat itu kamu datang lalu...""Astaga!" Savanah menutup bibirnya dengan tangan, dia baru mengerti bahwa Damian mengira Keisha adalah wanit
Savanah mencoba melawan, tetapi kekuatan Damian terlalu besar. Bibir pria itu sudah mencium lehernya dengan rakus, kembali lagi meninggalkan jejak merah yang tidak mungkin disembunyikan.Gigitannya yang intens terasa seperti tanda kepemilikan yang ingin ia tunjukkan kepada dunia. Tangannya memeras bagian depan Savanah dengan kuat sehingga Savanah merasa kesakitan.“Damian, berhenti!” Savanah memohon, suaranya gemetar. “Ini terlalu banyak. Cukup!”Namun, Damian tidak mendengarkan. Tubuhnya terus menekan tubuh Savanah, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa wanita itu tidak pernah lupa siapa yang memiliki dirinya sepenuhnya."Damian, ini menyakitkanku!" teriak Savanah, berusaha melepaskan diri dari tangan Damian yang menyakiti beberapa bagian sensitif miliknya.Dengan cepat, Damian membuka kemeja tidurnya sehingga bagian depannya terekspos dengan indah dan Damian segera melahapnya denga
Tanpa tujuan yang jelas, Roni berjalan hingga sampai di sebuah taman kecil yang sepi. Ia duduk di bangku kayu yang teduh di bawah pohon besar, menundukkan kepala sambil memandangi tanah.Seorang ibu dengan anak kecil lewat di depannya, suara tawa anak itu membuat hati Roni terasa semakin hancur. Ia membayangkan seperti apa rasanya jika ia yang berada di tempat Damian—memiliki Savanah dan seorang anak bersama, membangun keluarga kecil yang bahagia.Namun, bayangan itu hanya membuatnya semakin sadar bahwa semua itu adalah mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan."Itu bukan anakku juga, Roni... kamu hanya terlalu berharap," gumamnya sambil tertawa lepas.Roni meraih sebotol air yang ia bawa, meneguknya dengan cepat. Tangannya bergetar, dan tanpa sadar, ia memukul bangku kayu di sebelahnya dengan keras.“Bodoh,” gumamnya."Sungguh bodoh!"“Bodoh karena berpikir aku punya kesempatan.”Roni menunduk, kedua tangannya menutupi wajahnya. Air mata yang selama ini ia tahan mulai mengalir,
Roni mengepalkan tangannya, tetapi ia tetap diam, meskipun tubuhnya jelas menunjukkan ketegangan yang luar biasa.“Savanah masih sehebat dulu,” lanjut Damian dengan nada yang dibuat seolah-olah ia hanya sedang bercakap-cakap santai. “Kami bahkan mengulangnya beberapa kali sampai dia minta ampun. Tubuhnya semakin montok sekarang, mungkin karena dia sedang hamil anakku. Tapi kau tahu? Itu justru membuatnya semakin nikmat.”Roni terdiam dan mengetatkan rahangnya.Kata-kata Damian menghantam Roni seperti pukulan bertubi-tubi. Ia menatap Savanah dengan mata yang penuh luka, tetapi wanita itu hanya bisa menunduk, tidak mampu menghadapi tatapannya.“Kau tahu tentang kehamilannya?” tanya Roni akhirnya, suaranya rendah tetapi penuh dengan rasa kecewa.Damian tersenyum kecil. “Tentu saja. Anak ini milikku, dan aku akan memastikan bahwa dia tumbuh dengan kedua orang tuanya yang lengkap. Jadi, apa yang tersisa untukmu, Roni?”Roni terdiam. Pertanyaan itu menusuk hatinya lebih dalam daripada yang
Damian menatap tubuh Savanah dengan tatapan penuh kekaguman. “Kamu semakin padat, Savanah,” bisiknya dengan suara rendah yang menggoda. “Itu membuatku semakin ingin menempel terus padamu.”Savanah mencoba menghindar, tetapi Damian sudah mendekapnya erat, membuatnya tidak memiliki ruang untuk bergerak. Ia mencium leher Savanah perlahan, meninggalkan jejak kecil yang membuat wanita itu merasa tubuhnya memanas lagi.“Damian, sudahlah,” rengek Savanah dengan suara bergetar. “Kita sudah melakukannya berkali-kali. Aku lapar…”Namun, Damian tidak berhenti. Bibirnya terus menjelajahi tubuh Savanah, memberikan tanda-tanda percintaan yang ia tahu tidak akan mudah hilang. Setiap jejak yang ia tinggalkan terasa seperti pernyataan kepemilikan, seolah-olah ia ingin dunia tahu bahwa Savanah adalah miliknya, tidak ada yang lain.“Damian,” desah Savanah, mencoba menarik diri, tetapi tubuhnya sendiri mulai menyerah pada kehangatan yang diberikan pria itu.“Aku hanya ingin memastikan,” bisik Damian samb