Damian memasuki kamar dengan langkah ragu. Ia menemukan Savanah sedang memasukkan pakaian ke dalam koper besar. Hatinya mencelos melihat pemandangan itu—Savanah benar-benar bersiap untuk pergi. Suasana kamar yang hangat semalam, kini berubah dingin dan penuh jarak.
Damian baru menyadari bahwa dirinya selalu membeli pakaian dan tas mewah kepada Keisha sementara untuk Savanah, dia tidak pernah membelikan apa pun.
“Savanah…” Damian memanggil dengan suara rendah, mencoba menarik perhatian istrinya.
Savanah berhenti sejenak, tetapi tidak menoleh. “Kalau kamu memeriksa isi koperku, mungkin sekarang adalah waktu yang tepat, Damian, aku tidak akan mengambil barang yang bukan milikku,” ujarnya dengan nada lelah sambil melanjutkan menyusun pakaiannya.
Damian mendekat, menahan dirinya untuk tidak menyentuh Savanah. “Aku tahu aku salah,” katanya pelan. “Aku
Savanah hanya diam dan merasa sedikit curiga dengan apa yang Damian utarakan. Sifat pria itu tiba-tiba berubah. Tiba-tiba dia seperti melihat bayangan Keisha seolah-olah lewat di mata bening Damian.Sesaat kemudian, Savanah tertawa kecil dan berkata dalam bathinnya, menyadari bahwa pria itu tidak pernah mencintainya.“Bagaimana aku tahu kamu serius kali ini, Damian? Kamu... bukankah kamu akan pergi mencari Keisha. Setelah aku pergi, kalian tidak perlu bersembunyi lagi dari publik."Damian menundukkan kepala. Menyadari bahwa dia memang tidak memiliki alasan untuk menyingkirkan Keisha dalam kehidupannya."Jangan libatkan Keisha di sini," kata Damian dengan nada tinggi."Maksudku, aku tidak punya jawaban lain selain tindakan. Aku akan mulai sekarang. Aku akan menemui Mila, menguatkan kasus kita terhadap Sarah. Aku akan melakukan apa saja untuk membuktikan bahwa kamu adalah korban di sini. Aku hanya minta satu hal dari
Keisha mengangguk, lalu memegang perutnya yang rata. “Aku tidak punya alasan untuk berbohong, Damian. Tapi aku juga tidak akan memaksamu. Jika kau tidak benar-benar menginginkan aku... atau anak ini, aku akan menyelesaikannya sendiri.”Keisha menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu menangis kuat-kuat.“Keisha, jangan bicara seperti itu,” kata Damian cepat. “Itu bukan solusinya.” Damian segera meraih tubuh Keisha yang terisak ke dalam pelukannya.“Tapi aku tidak mau anak ini lahir tanpa seorang ayah,” rengeknya sambil mulai terisak.“Jika kau tidak mau bertanggung jawab, aku akan membuangnya. Aku tidak bisa melakukannya sendirian, Damian!” rengek Keisha dengan suara parau. Kedua pipinya sudah basah.Keisha terus menangis, dan Damian merasa terpojok. Ia tahu Keisha mungkin sedang memanfaatkannya aytau menjebaknya, tapi ia tidak bisa mengambil risiko. Jik
Damian mendekatkan tubuhnya, memeluk Savanah dari belakang. Ia menempelkan wajahnya di bahu wanita itu, seolah ingin menyerap kehangatannya. “Diam dan tidurlah,” katanya dengan suara serak. “Begitu saja sudah cukup.”Savanah ingin protes, tetapi ada sesuatu dalam nada suara Damian yang membuatnya terdiam. Ia bisa merasakan beban yang berat dalam pelukan suaminya. Dengan enggan, ia membiarkan Damian tetap memeluknya meskipun tubuh pria itu masih terasa dingin.Pelukan Damian semakin erat, seolah ia takut kehilangan Savanah. Dan tanpa kata-kata lagi, mereka akhirnya tertidur dalam keheningan, dengan tubuh yang saling menyentuh, saling memberi kehangatan.Saat pagi datang, matahari perlahan menyinari kamar mereka. Savanah membuka matanya, merasakan tangan Damian masih melingkari tubuhnya. Tubuh Damian kini hangat, dan wajahnya terlihat damai dalam tidur.Savanah memutar tubuhnya
Damian hanya menatapnya, seolah ingin mengungkapkan segalanya tetapi takut akan reaksi yang akan ia terima. Ia tahu bahwa jika ia mengatakan tentang Keisha dan janji yang telah ia buat, hubungan mereka mungkin akan benar-benar berakhir, bahkan sebelum esok hari. Namun, ia juga tahu bahwa terus berbohong hanya akan membuat luka itu semakin dalam.Damian ingin memiliki Savanah walau tersisa sehari lagi!“Aku hanya ingin kita… bisa kembali seperti dulu,” jawab Damian akhirnya, menghindari pertanyaan Savanah. Ia menariknya lebih dekat, memeluknya seolah takut kehilangan.Savanah tidak menjawab. Dalam pelukan Damian, ia merasakan kehangatan dan keamanan yang tidak pernah terjadi selama pernikahan mereka.Damian menatap Savanah yang masih terdiam dalam pelukannya. Wajah wanita itu masih menunjukkan tanda-tanda bingung, tetapi Damian tidak ingin memberinya kesempatan untuk pergi lagi. Den
Damian terdiam, menyadari kesalahan besar yang baru saja ia ucapkan. “Savanah, maaf. Aku tidak bermaksud begitu—”“Tidak bermaksud?!” Savanah memotong dengan suara meninggi. Ia duduk di tepi ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang kini terasa terpapar bukan hanya oleh dinginnya udara, tetapi juga penghinaan dari pria yang seharusnya menghargaiya. “Kau berani-beraninya mengatakan hal seperti itu setelah semua yang terjadi?! Kamu baru saja...”Damian mencoba mendekat, tetapi Savanah mengangkat tangannya, menghentikannya. Tatapannya penuh luka. “Selama ini aku bertahan, Damian. Aku bertahan meskipun aku tahu hubungan kita tidak sempurna. Tapi ucapanmu barusan? Itu membuktikan apa yang sebenarnya kau pikirkan tentangku.”“Tidak, bukan itu maksudku,” jawab Damian dengan nada penuh penyesalan. “Aku hanya—aku hanya tergelincir dengan per
Damian memanggilnya tetapi Savanah membalas dengan wajah dingin dan ketus. Ia mengenakan pakaian seadanya dengan cepat, mengambil tasnya, dan berjalan keluar tanpa sepatah kata pun."Savanah, kamu mau ke mana?"Damian hanya menatap punggungnya dengan ekspresi penuh penyesalan, tetapi ia tahu bahwa apapun yang ia katakan saat itu tidak akan bisa menghentikan Savanah.Savanah melangkah dengan cepat keluar dari rumah, dan masuk ke dalam bus yang mengarah menuju penjara tempat ibunya ditahan.Damian mengejarnya dari belakang dengan motor, tetapi Savanah tidak menghiraukannya.Savanah malah memerintahkan sang supir bus untuk tidak berhenti."Pak, jangan pernah berhenti atau saya akan diganggu oleh suami yang tidak layak itu lagi!""Baik, Nyonya."Sang supir yang tidak mengerti permasalahan namun dia juga tidak tertarik untuk bertanya lebih lanjut, hanya bisa tetap fokus menjalankan busnya.
Savanah terkejut. Ia berbalik dengan cepat, menemukan Damian berdiri di sana, basah oleh keringat dan napasnya tersengal, seolah-olah ia berlari untuk mengejar Savanah. Tatapan matanya penuh dengan tekad yang jarang ia tunjukkan.“Damian?” ujar Savanah, suaranya tercekat antara keterkejutan dan kebingungan. “Apa yang kau lakukan di sini?”"Bagaimana petugas itu masih juga membiarkan kau masuk?" Savanah bertanya dengan kesal, lebih kepada dirinya sendiri karena tidak ada yang bisa menjawabnya.Damian melangkah mendekat, mengabaikan tatapan heran para petugas penjara di sekitar mereka. “Aku mengikuti hatiku,” katanya sambil memandang Savanah lurus ke mata. “Dan hatiku membawaku ke sini, untuk menghentikanmu sebelum kau mengambil keputusan yang akan menghancurkan kita.”"Cuih!"Savanah menggeleng, mencoba menahan emosi yang kembali bergolak di dalam dirinya. &ldq
Damian ragu sejenak, namun setelah menarik napas dalam-dalam, dia menekan nomor Keisha, hatinya sedikit berdegup lebih cepat. Situasi dengan Keisha lebih rumit, tetapi ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus ia ambil jika ingin menyelamatkan pernikahannya.Panggilan tersambung, dan suara Keisha yang lembut namun licik segera terdengar.“Damian, kau akhirnya menghubungiku. Apa kau sudah membuat keputusan? Aku tahu kau akan memilih aku dan bayi kita.”"Jadi kapan kamu akan membawaku menemui Jason?"Damian menutup matanya sesaat, merasa sakit kepala mendengar nada manipulatif itu. Ia berbicara dengan nada tegas. “Keisha, aku ingin ini jelas. Aku tidak akan menikahimu. Hubungan kita sudah berakhir sejak awal, dan aku tidak akan membiarkanmu menggunakan kebohongan ini untuk menghancurkan pernikahanku.”Nada suara Keisha berubah dingin. “Kebohongan? Damian, kau tahu ini bukan kebohongan. Anak ini adalah anakmu.”“Aku akan memastikan semua ini jelas dengan tes DNA begitu bayi lahir,” jaw
Bab 238Saat bulan-bulan berlalu, Damian dan Savanah semakin mantap menghadapi masa depan bersama. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi dengan cinta dan komitmen yang telah mereka bangun, mereka merasa siap untuk menghadapi apa pun yang datang.Pada akhirnya, cinta mereka yang diuji oleh waktu dan rintangan akhirnya menemukan jalannya kembali. Mereka tidak hanya menjadi pasangan suami istri, tetapi juga menjadi keluarga yang utuh, siap menyambut anggota baru yang akan membawa kebahagiaan lebih besar dalam hidup mereka.Malam itu, mereka berdua tertidur dalam pelukan yang tenang tetapi penuh dengan emosi yang belum sepenuhnya terselesaikan.Damian merasa lebih yakin bahwa ia harus melindungi keluarga kecilnya, sementara Savanah berusaha menguatkan dirinya untuk menghadapi masa depan bersama pria yang ia cintai, meskipun penuh dengan tantangan dan keraguan.Dalam keheningan malam, hanya s
"Dia mengandung anakku, dia istriku dan tidak ada bagian darimu di sana! Kau paham?!" Damian mengatakan semua gundahan hatinya dengan suara keras dan tegas.Roni menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Damian, aku tidak ingin membuat masalah. Jika itu yang kau inginkan, aku akan menjauh. Tapi bukan karena aku takut padamu. Aku melakukannya karena aku peduli pada Savanah, dan aku ingin yang terbaik untuknya.”Cuih!Damian membuang salivanya ke samping dengan rasa jijik. "Akhirnya kau paham!""Ingat ucapanmu! Jangan pernah dekat dengannya lagi!"Roni mengangguk perlahan dengan perasaan terpuruk.“Bagus!" lanjut Damian. "Tapi ingat, jika aku melihatmu mendekati istriku lagi, kau tidak akan mendapatkan peringatan kedua.”Dengan itu, Damian berbalik dan meninggalkan gym, meninggalkan Roni dengan wajah penuh kekecewaan dan rasa sakit yang mendalam. Ke
Damian tidak terpengaruh. “Kau bebas mencoba, Keisha. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan keluargaku lagi.”Keisha meninggalkan lokasi pertemuan dengan wajah penuh amarah, tetapi Damian merasa lega. Untuk pertama kalinya, ia merasa telah mengambil kendali penuh atas hidupnya.***Setelah mengetahui kebenaran tentang malam di Salvastone, Damian masih merasakan amarah yang tertahan di dalam dirinya. Ia tidak hanya marah kepada Keisha yang mencoba memanipulasi kenyataan, tetapi juga kepada Roni, pria yang berani mendekati istrinya dan bahkan mengklaim hubungan yang tidak pernah ada.Damian memutuskan untuk menghadapi Roni secara langsung. Ia tahu di mana pria itu biasanya berada—gym kecil di pinggiran kota tempat Roni melatih tubuhnya.Dengan langkah cepat, Damian melajukan motornya ke sana, wajahnya mencerminkan ketegasan dan kemarahan yang ia rasakan.Ketika
Savanah tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih memerah. “Ya, Damian. Kau tidak melepaskanku bahkan sesudah berulang kali kamu mendapatkan pelepasan, dan aku… aku tidak bisa mengatakan tidak. Aku tanpa sadar sudah mencintaimu, bahkan saat itu.”Damian menarik napas panjang, rasa bersalah yang selama ini menghantui dirinya perlahan menghilang, digantikan oleh kelegaan dan kebahagiaan yang tak terkira.“Aku bodoh,” katanya dengan suara rendah. “Aku membiarkan Keisha memanipulasiku dengan kebohongannya, sementara wanita yang aku cari selama ini adalah kamu, istriku sendiri.”Savanah menggeleng. “Semua sudah berlalu, Damian. Yang penting sekarang adalah kita tahu kebenarannya.”Damian kembali memeluk Savanah, membiarkan air mata kecil jatuh di pipinya. “Aku mencintaimu, Savanah. Aku tidak akan membiarkan siapa pun memisahkan kita lagi. Kamu ad
Damian menyebut tanggalnya, dan Savanah membekap mulutnya sendiri. Hatinya berdebar keras."Damian… itu aku. Aku juga berada di sana malam itu. Aku… aku merasa semuanya begitu aneh, tapi aku ingat. Aku mengalami pelecehan. Lalu Roni mengaku bahwa dia yang melakukannya. Tanggal dan harinya sama! Itu aku.""Kau?""Keisha tidak hadir di malam itu, dia mengambil shift pagi!" pekik Savanah tak percaya.Damian menatapnya dengan penuh kebingungan. "Apa? Savanah, maksudmu…""Ya," potong Savanah dengan tegas. "Wanita itu adalah aku. Aku bahkan memiliki bukti. Petugas sekuriti yang berjaga malam itu melihat kita. Dia mencatat bahwa aku masuk ke ruang ganti untuk mengambil sesuatu. Selain itu, aku menemukan cincin di kantung kemeja kerjaku. Lalu Keisha merampasnya dan saat itu kamu datang lalu...""Astaga!" Savanah menutup bibirnya dengan tangan, dia baru mengerti bahwa Damian mengira Keisha adalah wanit
Savanah mencoba melawan, tetapi kekuatan Damian terlalu besar. Bibir pria itu sudah mencium lehernya dengan rakus, kembali lagi meninggalkan jejak merah yang tidak mungkin disembunyikan.Gigitannya yang intens terasa seperti tanda kepemilikan yang ingin ia tunjukkan kepada dunia. Tangannya memeras bagian depan Savanah dengan kuat sehingga Savanah merasa kesakitan.“Damian, berhenti!” Savanah memohon, suaranya gemetar. “Ini terlalu banyak. Cukup!”Namun, Damian tidak mendengarkan. Tubuhnya terus menekan tubuh Savanah, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa wanita itu tidak pernah lupa siapa yang memiliki dirinya sepenuhnya."Damian, ini menyakitkanku!" teriak Savanah, berusaha melepaskan diri dari tangan Damian yang menyakiti beberapa bagian sensitif miliknya.Dengan cepat, Damian membuka kemeja tidurnya sehingga bagian depannya terekspos dengan indah dan Damian segera melahapnya denga
Tanpa tujuan yang jelas, Roni berjalan hingga sampai di sebuah taman kecil yang sepi. Ia duduk di bangku kayu yang teduh di bawah pohon besar, menundukkan kepala sambil memandangi tanah.Seorang ibu dengan anak kecil lewat di depannya, suara tawa anak itu membuat hati Roni terasa semakin hancur. Ia membayangkan seperti apa rasanya jika ia yang berada di tempat Damian—memiliki Savanah dan seorang anak bersama, membangun keluarga kecil yang bahagia.Namun, bayangan itu hanya membuatnya semakin sadar bahwa semua itu adalah mimpi yang tidak akan pernah menjadi kenyataan."Itu bukan anakku juga, Roni... kamu hanya terlalu berharap," gumamnya sambil tertawa lepas.Roni meraih sebotol air yang ia bawa, meneguknya dengan cepat. Tangannya bergetar, dan tanpa sadar, ia memukul bangku kayu di sebelahnya dengan keras.“Bodoh,” gumamnya."Sungguh bodoh!"“Bodoh karena berpikir aku punya kesempatan.”Roni menunduk, kedua tangannya menutupi wajahnya. Air mata yang selama ini ia tahan mulai mengalir,
Roni mengepalkan tangannya, tetapi ia tetap diam, meskipun tubuhnya jelas menunjukkan ketegangan yang luar biasa.“Savanah masih sehebat dulu,” lanjut Damian dengan nada yang dibuat seolah-olah ia hanya sedang bercakap-cakap santai. “Kami bahkan mengulangnya beberapa kali sampai dia minta ampun. Tubuhnya semakin montok sekarang, mungkin karena dia sedang hamil anakku. Tapi kau tahu? Itu justru membuatnya semakin nikmat.”Roni terdiam dan mengetatkan rahangnya.Kata-kata Damian menghantam Roni seperti pukulan bertubi-tubi. Ia menatap Savanah dengan mata yang penuh luka, tetapi wanita itu hanya bisa menunduk, tidak mampu menghadapi tatapannya.“Kau tahu tentang kehamilannya?” tanya Roni akhirnya, suaranya rendah tetapi penuh dengan rasa kecewa.Damian tersenyum kecil. “Tentu saja. Anak ini milikku, dan aku akan memastikan bahwa dia tumbuh dengan kedua orang tuanya yang lengkap. Jadi, apa yang tersisa untukmu, Roni?”Roni terdiam. Pertanyaan itu menusuk hatinya lebih dalam daripada yang
Damian menatap tubuh Savanah dengan tatapan penuh kekaguman. “Kamu semakin padat, Savanah,” bisiknya dengan suara rendah yang menggoda. “Itu membuatku semakin ingin menempel terus padamu.”Savanah mencoba menghindar, tetapi Damian sudah mendekapnya erat, membuatnya tidak memiliki ruang untuk bergerak. Ia mencium leher Savanah perlahan, meninggalkan jejak kecil yang membuat wanita itu merasa tubuhnya memanas lagi.“Damian, sudahlah,” rengek Savanah dengan suara bergetar. “Kita sudah melakukannya berkali-kali. Aku lapar…”Namun, Damian tidak berhenti. Bibirnya terus menjelajahi tubuh Savanah, memberikan tanda-tanda percintaan yang ia tahu tidak akan mudah hilang. Setiap jejak yang ia tinggalkan terasa seperti pernyataan kepemilikan, seolah-olah ia ingin dunia tahu bahwa Savanah adalah miliknya, tidak ada yang lain.“Damian,” desah Savanah, mencoba menarik diri, tetapi tubuhnya sendiri mulai menyerah pada kehangatan yang diberikan pria itu.“Aku hanya ingin memastikan,” bisik Damian samb