Setelah beberapa helaan napas dengan berat hati, Damian akhirnya memutuskan pergi meninggalkan Savanah bersama ibunya.Sementara di tempat kediaman Keisha, wanita itu melempar ponselnya ke lantai sehingga ponsel itu hancur seketika. Bagian-bagiannya tercerai berai."Kau tidak menginginkan anak ini? Aarghh!" jerit Keisha dengan marah lalu mulai membanting berbagai barang yang ada di sekitarnya dengan emosi yang sangat tinggi.Tangannya meraih vas bunga di dekat meja, lalu membantingnya ke lantai. Suara kaca pecah semakin memenuhi ruangan, seolah mencerminkan hancurnya perasaannya. Tidak puas, Keisha mulai membanting barang-barang lain—kursi, bingkai foto, bahkan lampu di sudut ruangan.Ibu Keisha, yang sedang berada di dapur, tersentak mendengar keributan itu. Dengan langkah cepat, ia berlari ke ruang tamu, menemukan putrinya yang sedang berdiri di tengah ruangan yang berantakan, napasnya memburu dan wajahnya merah karena amarah.“Keisha!” teriak ibunya. “Apa-apaan ini? Apa yang kau la
Keisha mengangguk pelan, pikirannya mulai memutar rencana. Ia tahu perkataan ibunya adalah benar, bahwa Jason adalah kunci dari segalanya.“Baik, Bu,” katanya akhirnya, suaranya lebih tenang tetapi tetap dipenuhi determinasi. “Aku tahu dia sering pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan kesehatan. Aku akan mencari tahu jadwalnya dan memastikan kita bertemu di sana.”Keesokkan harinya, rumah sakit tampak lebih sibuk dari biasanya. Lorong-lorong dipenuhi oleh pasien dan staf medis yang bergerak cepat. Keisha melangkah dengan langkah terukur menuju meja resepsionis untuk mengambil laporan laboratorium kehamilannya. Ia mengenakan gaun berwarna pastel yang sederhana, wajahnya sengaja dibuat pucat dengan riasan minimal sehingga bibirnya terlihat sedikit pucat.Air mata buatan masih membekas di pipinya, sengaja dibuatnya agar memberi kesan bahwa ia adalah wanita yang berada di ambang keputusasaan.Dia sudah membayar informasi untuk mencari tahu keberadaan Jason dan pada saat yang tepat, hari i
Keisha segera menghapus air mata yang mengalir karena kedua kelopak matanya sudah dilumuri air cabe sebelum melakonkan dramanya.Jason mengambil napas dalam, mencoba menenangkan dirinya meskipun dadanya terasa sesak. “Keisha, apa Damian tahu kau hamil?”"Damian tahu soal ini, tapi dia… dia tidak mau bertanggung jawab. Dia bilang dia tidak bisa meninggalkan istrinya.”Jason menatap wanita yang berdiri dengan gugup itu tanpa berkedip, seolah sedang mencari titik kesungguhan dan titik kebohongan yang tipis di sana.“Saya sudah memberitahunya,” jawab Keisha sambil terisak. “Tapi dia bilang saya harus mengurus semuanya sendiri. Saya tidak sanggup, Pak. Saya benar-benar tidak sanggup!”"Apa maksudmu?" tanya Jason.Keisha segera berlutut di hadapan pria tua itu, tangannya memegang perutnya seolah-olah ia ingin melindungi bayinya.Jason terkejut, meskipun merasa bingung dan marah, segera berlutut di sampingnya untuk membantu.“Tenang, Keisha,” katanya dengan nada tegas namun penuh perhatian.
Sopir membukakan pintu, dan Keisha masuk dengan gerakan halus, menyandarkan tubuhnya di jok kulit yang empuk. Setelah memastikan dirinya nyaman, ia berkata dengan nada penuh percaya diri, “Bawa aku ke kantor Damian sekarang. Aku ingin berbicara langsung dengannya.”“Baik, Nyonya,” jawab sopir itu tanpa banyak bertanya.Mobil meluncur dengan mulus di jalanan, menarik perhatian setiap orang yang melihatnya. Keisha tersenyum kecil, merasa puas dengan drama yang ia ciptakan di rumah sakit tadi. Dalam benaknya, ia membayangkan ekspresi Damian ketika ia muncul di kantornya. Damian mungkin mencoba menghindar, tetapi dengan Jason yang sekarang di pihaknya, Keisha tahu bahwa posisinya lebih kuat dari sebelumnya.Satu jam kemudian, ,obil berhenti di depan gedung perkantoran mewah tempat Damian bekerja. Keisha turun dari mobil dengan percaya diri, tumit tingginya beradu dengan lantai marmer di pintu masuk. Tatapan pegawai yang melihatnya bercampur antara kekaguman dan rasa penasaran.Seorang rese
Jason melangkah masuk, tubuhnya tegap dan langkahnya berat. “Aku datang karena aku mendengar sesuatu yang menjijikkan,” katanya dengan nada rendah namun penuh kemarahan. “Keisha mengatakan bahwa kau menolak bertanggung jawab atas kehamilannya. Apa itu benar?”Damian menghela napas panjang, mencoba menjelaskan. “Dad, dengarkan aku. Ini tidak seperti yang—”Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, tangan Jason melayang dengan cepat.Plak!!Suara tamparan itu bergema di ruangan, membuat Damian terhuyung mundur.Keisha menutup bibirnya dengan sebelah telapak tangan, sedikit terkejut tetapi hati wanita itu berbunga-bunga.“Ini bukan bagaimana aku membesarkanmu!” bentak Jason. “Aku tidak peduli apa alasanmu, Damian. Jika dia mengandung anakmu, maka kau harus bertanggung jawab!”"Itu adalah cucu kelu
"Ya, Tuan. Savanah yang bertugas di malam itu. Dari bekas gigitan pada bahu Anda semalam, saya sudah mengirim foto perbandingan gigi dan itu adalah sama persis.""Tidak bisa diragukan lagi bahwa Nona Savanah adalah wanita yang ada malam itu. Sementara Nona Keisha baru datang pagi harinya. Saya sudah memeriksa semua catatan dan jadwal kerja kedua wanita itu. Rekan kerja yang hadir pada malam itu juga yakin bahwa wanita yang bertugas malam itu adalah Savanah.""Apakah Savanah mengenalku?" tanya Damian."Sayang sekali, sepertinya Nyonya muda tidak tahu apa-apa, itulah kenapa Keisha memanfaatkan kesempatan itu. Saat Savanah menemukan cincin Anda, Keisha merebutnya dan di saat yang sama, Anda muncul. Saya memiliki bukti CCTV akan hal itu, Tuan."Penjelasan dari peneliti itu membuat tubuh Damian bergetar hebat. Perasaan bersalah teramat menusuk dan membuat hatinya berat seketika."Tuan?""Ada lagi?" Damian mulai merasa kepalanya terasa berputar.
Savanah duduk di atas ranjang periksa dengan wajah lelah dan sedikit pucat. Hari ini dia akan pergi menjemput Ibunya yang dibebaskan pada hari ini. Dia tidak boleh sakit karena juga harus mengurus pemindahan.Dia akan pergi keluar negeri sesudah ini. Jauh dari Damian.Tangannya memegangi perut yang terasa mulas sejak pagi. Ia berpikir bahwa rasa sakit ini hanyalah akibat kebiasaannya melewatkan waktu makan di tengah semua tekanan emosional yang ia alami."Asam lambung saya kambuh 'kan, Dok? Berikan saya obat anti nyeri saja, aku tidak bisa istirahat saja hari ini, banyak yang harus kukerjakan. Saya sangat sibuk," ucap Savanah tanpa memperhatikan mimik wajah sang dokter.Dokter wanita yang memeriksanya, seorang perempuan paruh baya dengan wajah ramah, mencatat sesuatu di clipboardnya sebelum berbalik menatap Savanah dengan ekspresi serius namun lembut.“Nyonya Savanah,” kata dokter itu akhirnya, “saya tahu Anda mengir
Savanah mengelus perutnya datarnya seraya berkata dengan kedua masa sembab, "kamu tidak bersalah, Nak. Hanya hadir di waktu yang tidak tepat."Savanah tidak tahu apakah ia memiliki kekuatan untuk memperjuangkan hal ini. Tetapi satu hal yang ia tahu, keputusan ini tidak bisa diambil dengan terburu-buru.Ia menghela napas panjang, mengambil tasnya, dan berjalan keluar dari klinik dengan langkah berat. Pikiran tentang Damian, Keisha, dan bayi yang kini tumbuh di dalam dirinya terus menghantui setiap langkahnya."Aku akan pergi dulu dan berpikir untuk langkah yang harus kulakukan. Pertama mengisi perutku lalu pergi menjemput Ibu!"Savanah baru saja mengeluarkan ponselnya untuk memesan taksi ketika panggilan masuk menghentikan jari-jarinya yang hendak mengetik. Nama Jason terpampang di layar, membuat alisnya berkerut dalam kebingungan. Ia ragu sejenak sebelum menggeser tombol hijau.“Halo, Tuan Jason?&rdqu
Sore harinya, Damian memutuskan untuk menghadapi Sarah secara langsung. Ia mengatur pertemuan di salah satu restoran mewah di pusat kota, tempat yang cukup terbuka untuk mencegah Sarah mencoba sesuatu yang berlebihan, tetapi cukup pribadi untuk berbicara serius.Ketika Damian tiba, Sarah sudah duduk di meja, mengenakan gaun merah yang mencolok. Ia terlihat santai, bahkan tersenyum lebar seolah-olah tidak ada masalah besar yang sedang mereka hadapi.“Damian,” katanya sambil melambaikan tangan. “Aku tahu kau akan menghubungiku. Kau pasti ingin membicarakan sesuatu yang penting.”Damian duduk di kursi di seberangnya, matanya dingin. “Sarah, kau tahu kenapa aku ingin bertemu.”Sarah mengangkat bahu dengan santai. “Kalau ini tentang video itu, aku hanya mengatakan kebenaran. Kau seharusnya lebih marah pada istrimu yang tidak tahu malu daripada padaku.”
“Nyonya Savanah,” kata dokter itu dengan suara tenang tetapi penuh kewibawaan. “Kami telah melakukan beberapa tes awal pada ibu Anda. Ada tanda-tanda gangguan pada jantungnya.”Savanah merasa tubuhnya lemas mendengar kata-kata itu. “Gangguan jantung?” ulangnya, hampir tidak percaya walau dia sudah pernah menerima informasi ada masalah jantung dalam pemeriksaan sebelumnya, namun sang dokter tidak menganjurkan tindakan lanjut yang mendadak, hanya bertahap untuk menjalani pengobatan dan beberapa latihan untuk menguatkan jantung.Dokter mengangguk. “Ya, ini bukan sesuatu yang baru. Dari riwayat medisnya, tampaknya beliau sudah pernah mengalami gejala serupa sebelumnya. Hanya saja, kali ini kondisinya lebih serius.”“Seberapa serius?” tanya Savanah, suaranya bergetar.“Kami perlu menjalankan lebih banyak tes untuk memastikan, tetapi saya me
Tapi kenangan itu terasa seperti ilusi sekarang, sesuatu yang tidak pernah benar-benar nyata.“Damian,” Savanah mengelus perutnya sambil menangis tanpa suara, air matanya membasahi bantal.“Kalau saja kau tahu… aku hanya ingin kau ada di sini untukku. Untuk bayi ini. Tapi kau selalu memilih untuk menjauh.”Savanah meremas selimutnya, tubuhnya bergetar karena emosi yang membanjiri dirinya. Ia merasa seperti terperangkap di antara dua dunia.Di satu sisi, ada Roni, pria yang memberinya rasa perlindungan yang belum pernah ia rasakan. Di sisi lain, ada Damian, cinta sejatinya, meskipun cinta itu kini terasa dingin dan jauh.Tangan Savanah kembali menyentuh bibirnya, mengingat ciuman Roni yang penuh gairah. Tapi hatinya menolak untuk menerima kehangatan itu.“Aku mencintai Damian,” bisiknya lagi, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.“Aku
Suzie menghela napas panjang, lalu menatap Roni. “Kau pria yang baik, Roni. Tapi ini bukan waktunya untuk hal seperti ini. Tolong jaga jarak sampai semuanya jelas.”Roni mengangguk patuh. “Saya mengerti, Nyonya. Maafkan saya.”"Baik, kamu boleh pergi," usir Suzie tanpa basa basi."Tapi, dia tidak memiliki pakaian." Savanah berusaha menjelaskan.Suzie mengernyitkan alisnya seolah-olah sedang mengukur tubuh Roni, lalu berkata, "tunggu sebentar."Tidak lama kemudian, Suzie keluar dengan satu stel pakaian. Kaus dan celana pendek karet."Ini milik mendiang Ayahmu, mungkin bisa masuk. Beliau suka memakai pakaian yang ukurannya besar." Suzie menyodorkan pakaian itu kepada Roni seraya mendorongnya agar segera menuju ke kamar mandi untuk memakainya.Tidak lama kemudian, Roni keluar dengan pakaian yang muat di tubuhnya tetapi membuat dia tampak tua.Savanah terkekeh, namun Suzie tidak mengizinkan percakapan lebih lanjut, di
Savanah menggeleng, menatap Roni dengan mata penuh kecemasan. “Kenapa semua ini harus terjadi, Roni? Aku hanya ingin menjalani hidupku dengan tenang. Kenapa mereka tidak bisa membiarkan aku sendiri?”Roni tidak menjawab seketika. Ia menatap wanita yang tampak begitu rapuh di depannya, lalu berkata dengan nada tegas, “Karena mereka tidak tahu siapa Anda sebenarnya. Mereka hanya percaya pada kebohongan yang dijual oleh orang-orang seperti Sarah.”Savanah menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun, ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari badai yang lebih besar."Aku akan membantumu membersihkan bar ini," kata Roni sambil lalu.Malam itu, setelah semua kekacauan di Salvastone, Savanah duduk di kursi bar sambil menatap Roni yang membersihkan dinding kaca dari noda telur busuk. Tubuh pria itu basah oleh cairan telur yang dilemparkan massa, dan aroma menyengat membuat Savanah merasa bersalah.
Beberapa hari kemudian, Savanah tidak menyadari masalah baru mulai mengincarnya lagi.Video siaran langsung Sarah terus menyebar di media sosial. Dengan judul provokatif seperti “Skandal di Rumah Sakit: Sepupu Penghancur Keluarga!”, video itu menarik perhatian ribuan orang. Banyak yang menyaksikan tanpa tahu cerita sebenarnya, tetapi komentar pedas dan kebencian terus mengalir.Savanah jarang melihat sosial media karena kesibukannya.Salvastone Bar, yang baru saja menjadi milik Savanah, mendadak menjadi sasaran kemarahan mereka yang percaya pada cerita Sarah. Komentar-komentar kasar mulai membanjiri akun media sosial bar itu, dan beberapa orang bahkan memutuskan untuk melampiaskan kebencian mereka di dunia nyata.Pagi itu, Savanah sedang berada di ruang administrasi di lantai atas bar, memeriksa dokumen pembukuan yang tertunda. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya meskipun pikirannya masih berat akibat berbagai masala
“Dengar,” potong Roni dengan nada lembut. “Aku tahu ini bukan keputusan yang bisa kau buat dengan mudah. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak menawarkan ini karena rasa kasihan. Aku menawarkan ini karena aku tulus. Karena aku ingin menjadi pria yang bisa kau andalkan.”Savanah menarik napas panjang, mencoba mengatur pikirannya yang berantakan. Ia tahu bahwa Roni adalah pria yang baik, pria yang selalu ada untuknya di saat ia merasa paling terpuruk. Tetapi tawarannya begitu besar, begitu mendadak, hingga ia merasa seolah dunia di sekelilingnya berputar.“Aku tidak tahu apakah aku bisa menerima itu, Roni,” katanya akhirnya dengan suara bergetar. “Aku bahkan belum tahu apa yang harus kulakukan dengan hidupku sendiri. Bagaimana aku bisa membuat keputusan sebesar ini?”Roni menatapnya dengan lembut, tetapi tegas. “Kau tidak perlu memutuskan sekarang, Savanah. Aku hanya ingin kau tahu
Roni menatap Savanah dengan ekspresi lembut, tetapi juga penuh tekad. Ia tahu bahwa ketakutan wanita itu bukanlah sesuatu yang mudah dihapuskan.“Aku mengerti,” katanya pelan. “Baiklah, aku tidak akan mengatakan apa-apa kepada Damian. Ini adalah rahasiamu, dan aku akan menghormatinya.”"Belum saatnya, maksudku, belum saatnya Damian tahu, dia akan tahu nanti, tetapi setelah aku melahirkan anak ini dan mencantumkan nama keluargaku!" tegas Savanah dalam isak tangisnya.Tubuhnya berguncang dalam pelukan Roni."Diamlah, jangan terlalu terbawa emosi. Rahasiamu aman bersamaku, Savanah," hibur Roni.Savanah mengangguk pelan, merasa lega mendengar kata-kata itu. Namun, perasaan bersalah tetap menghantuinya. Ia tahu bahwa Damian, dengan segala kekurangannya, tetap memiliki hak untuk tahu tentang anak mereka. Tetapi rasa takutnya lebih besar daripada rasa bersalah itu.“Terima kasih, Roni,” bisiknya. “Aku tahu aku egois. Tapi ini yang terbaik untuk sekarang.”Roni menepuk bahunya dengan lembut.
“Bu,” kata Savanah lembut, duduk di tepi tempat tidur ibunya. “Ibu harus menjaga diri. Saya tidak bisa kehilangan Ibu. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang saya miliki.”Suzie tersenyum lemah. “Sayang, aku sudah menjalani hidup yang penuh liku. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja.”Mata Savanah memanas mendengar itu. Ia menggenggam tangan ibunya dengan erat, seolah-olah itu bisa mencegah waktu merenggutnya.“Bu, saya akan melakukan apa saja untuk memastikan Ibu sehat kembali,” kata Savanah, suaranya penuh tekad.Suzie memandang putrinya dengan mata lembutlalu menoleh ke arah Roni. Roni mengangguk kecil seolah-olah menjawab tatapan penuh arti dari sang ibu. “Aku tahu kau akan melakukan segalanya untukku, Savanah. Tapi jangan lupa, kau juga harus menjaga dirimu sendiri. Kau memiliki sesuatu yang sangat berharga untuk diperjuangkan.”Savanah menunduk, menyadari apa yang dimaksud ibunya—bayi yang kini tumbuh di dalam kandungannya.“Saya akan melindungi bayi