Percakapan berubah menjadi adu argumen. Mereka menaikkan suara masing-masing, saling melontarkan tuduhan dan pembelaan. Damian merasa diserang, sementara Savanah merasa dikhianati.
Di tengah pertengkaran itu, Savanah tiba-tiba tertawa. Damian menghentikan kalimatnya dan memandangnya dengan bingung. “Kenapa kau tertawa?”
Savanah menunjuk foto itu di layar ponsel Damian. “Pria tua ini,” katanya dengan nada mengejek, “adalah Jason, ayahmu sendiri! Kami sedang membahas rencana perceraian kita! Aku bahkan tidak percaya kau tidak mengenali ayahmu sendiri.”
"Perceraian?"
"Ayah?"
Damian terdiam, wajahnya memucat. Ia memandang foto itu lagi, kali ini dengan perhatian lebih. Benar saja, pria di foto itu adalah ayahnya.
Sosok yang ada di dalam foto itu memang hanya terlihat sisi punggung sang Ayah.
"Ini, Dad?" Damian mulai melepas leher Savanah lalu memegang layar ponselnya dan membuka layar lebih lebar
Damian memasuki kamar dengan langkah ragu. Ia menemukan Savanah sedang memasukkan pakaian ke dalam koper besar. Hatinya mencelos melihat pemandangan itu—Savanah benar-benar bersiap untuk pergi. Suasana kamar yang hangat semalam, kini berubah dingin dan penuh jarak.Damian baru menyadari bahwa dirinya selalu membeli pakaian dan tas mewah kepada Keisha sementara untuk Savanah, dia tidak pernah membelikan apa pun.“Savanah…” Damian memanggil dengan suara rendah, mencoba menarik perhatian istrinya.Savanah berhenti sejenak, tetapi tidak menoleh. “Kalau kamu memeriksa isi koperku, mungkin sekarang adalah waktu yang tepat, Damian, aku tidak akan mengambil barang yang bukan milikku,” ujarnya dengan nada lelah sambil melanjutkan menyusun pakaiannya.Damian mendekat, menahan dirinya untuk tidak menyentuh Savanah. “Aku tahu aku salah,” katanya pelan. “Aku
Savanah hanya diam dan merasa sedikit curiga dengan apa yang Damian utarakan. Sifat pria itu tiba-tiba berubah. Tiba-tiba dia seperti melihat bayangan Keisha seolah-olah lewat di mata bening Damian.Sesaat kemudian, Savanah tertawa kecil dan berkata dalam bathinnya, menyadari bahwa pria itu tidak pernah mencintainya.“Bagaimana aku tahu kamu serius kali ini, Damian? Kamu... bukankah kamu akan pergi mencari Keisha. Setelah aku pergi, kalian tidak perlu bersembunyi lagi dari publik."Damian menundukkan kepala. Menyadari bahwa dia memang tidak memiliki alasan untuk menyingkirkan Keisha dalam kehidupannya."Jangan libatkan Keisha di sini," kata Damian dengan nada tinggi."Maksudku, aku tidak punya jawaban lain selain tindakan. Aku akan mulai sekarang. Aku akan menemui Mila, menguatkan kasus kita terhadap Sarah. Aku akan melakukan apa saja untuk membuktikan bahwa kamu adalah korban di sini. Aku hanya minta satu hal dari
Keisha mengangguk, lalu memegang perutnya yang rata. “Aku tidak punya alasan untuk berbohong, Damian. Tapi aku juga tidak akan memaksamu. Jika kau tidak benar-benar menginginkan aku... atau anak ini, aku akan menyelesaikannya sendiri.”Keisha menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu menangis kuat-kuat.“Keisha, jangan bicara seperti itu,” kata Damian cepat. “Itu bukan solusinya.” Damian segera meraih tubuh Keisha yang terisak ke dalam pelukannya.“Tapi aku tidak mau anak ini lahir tanpa seorang ayah,” rengeknya sambil mulai terisak.“Jika kau tidak mau bertanggung jawab, aku akan membuangnya. Aku tidak bisa melakukannya sendirian, Damian!” rengek Keisha dengan suara parau. Kedua pipinya sudah basah.Keisha terus menangis, dan Damian merasa terpojok. Ia tahu Keisha mungkin sedang memanfaatkannya aytau menjebaknya, tapi ia tidak bisa mengambil risiko. Jik
Damian mendekatkan tubuhnya, memeluk Savanah dari belakang. Ia menempelkan wajahnya di bahu wanita itu, seolah ingin menyerap kehangatannya. “Diam dan tidurlah,” katanya dengan suara serak. “Begitu saja sudah cukup.”Savanah ingin protes, tetapi ada sesuatu dalam nada suara Damian yang membuatnya terdiam. Ia bisa merasakan beban yang berat dalam pelukan suaminya. Dengan enggan, ia membiarkan Damian tetap memeluknya meskipun tubuh pria itu masih terasa dingin.Pelukan Damian semakin erat, seolah ia takut kehilangan Savanah. Dan tanpa kata-kata lagi, mereka akhirnya tertidur dalam keheningan, dengan tubuh yang saling menyentuh, saling memberi kehangatan.Saat pagi datang, matahari perlahan menyinari kamar mereka. Savanah membuka matanya, merasakan tangan Damian masih melingkari tubuhnya. Tubuh Damian kini hangat, dan wajahnya terlihat damai dalam tidur.Savanah memutar tubuhnya
Damian hanya menatapnya, seolah ingin mengungkapkan segalanya tetapi takut akan reaksi yang akan ia terima. Ia tahu bahwa jika ia mengatakan tentang Keisha dan janji yang telah ia buat, hubungan mereka mungkin akan benar-benar berakhir, bahkan sebelum esok hari. Namun, ia juga tahu bahwa terus berbohong hanya akan membuat luka itu semakin dalam.Damian ingin memiliki Savanah walau tersisa sehari lagi!“Aku hanya ingin kita… bisa kembali seperti dulu,” jawab Damian akhirnya, menghindari pertanyaan Savanah. Ia menariknya lebih dekat, memeluknya seolah takut kehilangan.Savanah tidak menjawab. Dalam pelukan Damian, ia merasakan kehangatan dan keamanan yang tidak pernah terjadi selama pernikahan mereka.Damian menatap Savanah yang masih terdiam dalam pelukannya. Wajah wanita itu masih menunjukkan tanda-tanda bingung, tetapi Damian tidak ingin memberinya kesempatan untuk pergi lagi. Den
Damian terdiam, menyadari kesalahan besar yang baru saja ia ucapkan. “Savanah, maaf. Aku tidak bermaksud begitu—”“Tidak bermaksud?!” Savanah memotong dengan suara meninggi. Ia duduk di tepi ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang kini terasa terpapar bukan hanya oleh dinginnya udara, tetapi juga penghinaan dari pria yang seharusnya menghargaiya. “Kau berani-beraninya mengatakan hal seperti itu setelah semua yang terjadi?! Kamu baru saja...”Damian mencoba mendekat, tetapi Savanah mengangkat tangannya, menghentikannya. Tatapannya penuh luka. “Selama ini aku bertahan, Damian. Aku bertahan meskipun aku tahu hubungan kita tidak sempurna. Tapi ucapanmu barusan? Itu membuktikan apa yang sebenarnya kau pikirkan tentangku.”“Tidak, bukan itu maksudku,” jawab Damian dengan nada penuh penyesalan. “Aku hanya—aku hanya tergelincir dengan per
Damian memanggilnya tetapi Savanah membalas dengan wajah dingin dan ketus. Ia mengenakan pakaian seadanya dengan cepat, mengambil tasnya, dan berjalan keluar tanpa sepatah kata pun."Savanah, kamu mau ke mana?"Damian hanya menatap punggungnya dengan ekspresi penuh penyesalan, tetapi ia tahu bahwa apapun yang ia katakan saat itu tidak akan bisa menghentikan Savanah.Savanah melangkah dengan cepat keluar dari rumah, dan masuk ke dalam bus yang mengarah menuju penjara tempat ibunya ditahan.Damian mengejarnya dari belakang dengan motor, tetapi Savanah tidak menghiraukannya.Savanah malah memerintahkan sang supir bus untuk tidak berhenti."Pak, jangan pernah berhenti atau saya akan diganggu oleh suami yang tidak layak itu lagi!""Baik, Nyonya."Sang supir yang tidak mengerti permasalahan namun dia juga tidak tertarik untuk bertanya lebih lanjut, hanya bisa tetap fokus menjalankan busnya.
Savanah terkejut. Ia berbalik dengan cepat, menemukan Damian berdiri di sana, basah oleh keringat dan napasnya tersengal, seolah-olah ia berlari untuk mengejar Savanah. Tatapan matanya penuh dengan tekad yang jarang ia tunjukkan.“Damian?” ujar Savanah, suaranya tercekat antara keterkejutan dan kebingungan. “Apa yang kau lakukan di sini?”"Bagaimana petugas itu masih juga membiarkan kau masuk?" Savanah bertanya dengan kesal, lebih kepada dirinya sendiri karena tidak ada yang bisa menjawabnya.Damian melangkah mendekat, mengabaikan tatapan heran para petugas penjara di sekitar mereka. “Aku mengikuti hatiku,” katanya sambil memandang Savanah lurus ke mata. “Dan hatiku membawaku ke sini, untuk menghentikanmu sebelum kau mengambil keputusan yang akan menghancurkan kita.”"Cuih!"Savanah menggeleng, mencoba menahan emosi yang kembali bergolak di dalam dirinya. &ldq
Sore harinya, Damian memutuskan untuk menghadapi Sarah secara langsung. Ia mengatur pertemuan di salah satu restoran mewah di pusat kota, tempat yang cukup terbuka untuk mencegah Sarah mencoba sesuatu yang berlebihan, tetapi cukup pribadi untuk berbicara serius.Ketika Damian tiba, Sarah sudah duduk di meja, mengenakan gaun merah yang mencolok. Ia terlihat santai, bahkan tersenyum lebar seolah-olah tidak ada masalah besar yang sedang mereka hadapi.“Damian,” katanya sambil melambaikan tangan. “Aku tahu kau akan menghubungiku. Kau pasti ingin membicarakan sesuatu yang penting.”Damian duduk di kursi di seberangnya, matanya dingin. “Sarah, kau tahu kenapa aku ingin bertemu.”Sarah mengangkat bahu dengan santai. “Kalau ini tentang video itu, aku hanya mengatakan kebenaran. Kau seharusnya lebih marah pada istrimu yang tidak tahu malu daripada padaku.”
“Nyonya Savanah,” kata dokter itu dengan suara tenang tetapi penuh kewibawaan. “Kami telah melakukan beberapa tes awal pada ibu Anda. Ada tanda-tanda gangguan pada jantungnya.”Savanah merasa tubuhnya lemas mendengar kata-kata itu. “Gangguan jantung?” ulangnya, hampir tidak percaya walau dia sudah pernah menerima informasi ada masalah jantung dalam pemeriksaan sebelumnya, namun sang dokter tidak menganjurkan tindakan lanjut yang mendadak, hanya bertahap untuk menjalani pengobatan dan beberapa latihan untuk menguatkan jantung.Dokter mengangguk. “Ya, ini bukan sesuatu yang baru. Dari riwayat medisnya, tampaknya beliau sudah pernah mengalami gejala serupa sebelumnya. Hanya saja, kali ini kondisinya lebih serius.”“Seberapa serius?” tanya Savanah, suaranya bergetar.“Kami perlu menjalankan lebih banyak tes untuk memastikan, tetapi saya me
Tapi kenangan itu terasa seperti ilusi sekarang, sesuatu yang tidak pernah benar-benar nyata.“Damian,” Savanah mengelus perutnya sambil menangis tanpa suara, air matanya membasahi bantal.“Kalau saja kau tahu… aku hanya ingin kau ada di sini untukku. Untuk bayi ini. Tapi kau selalu memilih untuk menjauh.”Savanah meremas selimutnya, tubuhnya bergetar karena emosi yang membanjiri dirinya. Ia merasa seperti terperangkap di antara dua dunia.Di satu sisi, ada Roni, pria yang memberinya rasa perlindungan yang belum pernah ia rasakan. Di sisi lain, ada Damian, cinta sejatinya, meskipun cinta itu kini terasa dingin dan jauh.Tangan Savanah kembali menyentuh bibirnya, mengingat ciuman Roni yang penuh gairah. Tapi hatinya menolak untuk menerima kehangatan itu.“Aku mencintai Damian,” bisiknya lagi, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.“Aku
Suzie menghela napas panjang, lalu menatap Roni. “Kau pria yang baik, Roni. Tapi ini bukan waktunya untuk hal seperti ini. Tolong jaga jarak sampai semuanya jelas.”Roni mengangguk patuh. “Saya mengerti, Nyonya. Maafkan saya.”"Baik, kamu boleh pergi," usir Suzie tanpa basa basi."Tapi, dia tidak memiliki pakaian." Savanah berusaha menjelaskan.Suzie mengernyitkan alisnya seolah-olah sedang mengukur tubuh Roni, lalu berkata, "tunggu sebentar."Tidak lama kemudian, Suzie keluar dengan satu stel pakaian. Kaus dan celana pendek karet."Ini milik mendiang Ayahmu, mungkin bisa masuk. Beliau suka memakai pakaian yang ukurannya besar." Suzie menyodorkan pakaian itu kepada Roni seraya mendorongnya agar segera menuju ke kamar mandi untuk memakainya.Tidak lama kemudian, Roni keluar dengan pakaian yang muat di tubuhnya tetapi membuat dia tampak tua.Savanah terkekeh, namun Suzie tidak mengizinkan percakapan lebih lanjut, di
Savanah menggeleng, menatap Roni dengan mata penuh kecemasan. “Kenapa semua ini harus terjadi, Roni? Aku hanya ingin menjalani hidupku dengan tenang. Kenapa mereka tidak bisa membiarkan aku sendiri?”Roni tidak menjawab seketika. Ia menatap wanita yang tampak begitu rapuh di depannya, lalu berkata dengan nada tegas, “Karena mereka tidak tahu siapa Anda sebenarnya. Mereka hanya percaya pada kebohongan yang dijual oleh orang-orang seperti Sarah.”Savanah menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun, ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari badai yang lebih besar."Aku akan membantumu membersihkan bar ini," kata Roni sambil lalu.Malam itu, setelah semua kekacauan di Salvastone, Savanah duduk di kursi bar sambil menatap Roni yang membersihkan dinding kaca dari noda telur busuk. Tubuh pria itu basah oleh cairan telur yang dilemparkan massa, dan aroma menyengat membuat Savanah merasa bersalah.
Beberapa hari kemudian, Savanah tidak menyadari masalah baru mulai mengincarnya lagi.Video siaran langsung Sarah terus menyebar di media sosial. Dengan judul provokatif seperti “Skandal di Rumah Sakit: Sepupu Penghancur Keluarga!”, video itu menarik perhatian ribuan orang. Banyak yang menyaksikan tanpa tahu cerita sebenarnya, tetapi komentar pedas dan kebencian terus mengalir.Savanah jarang melihat sosial media karena kesibukannya.Salvastone Bar, yang baru saja menjadi milik Savanah, mendadak menjadi sasaran kemarahan mereka yang percaya pada cerita Sarah. Komentar-komentar kasar mulai membanjiri akun media sosial bar itu, dan beberapa orang bahkan memutuskan untuk melampiaskan kebencian mereka di dunia nyata.Pagi itu, Savanah sedang berada di ruang administrasi di lantai atas bar, memeriksa dokumen pembukuan yang tertunda. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya meskipun pikirannya masih berat akibat berbagai masala
“Dengar,” potong Roni dengan nada lembut. “Aku tahu ini bukan keputusan yang bisa kau buat dengan mudah. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak menawarkan ini karena rasa kasihan. Aku menawarkan ini karena aku tulus. Karena aku ingin menjadi pria yang bisa kau andalkan.”Savanah menarik napas panjang, mencoba mengatur pikirannya yang berantakan. Ia tahu bahwa Roni adalah pria yang baik, pria yang selalu ada untuknya di saat ia merasa paling terpuruk. Tetapi tawarannya begitu besar, begitu mendadak, hingga ia merasa seolah dunia di sekelilingnya berputar.“Aku tidak tahu apakah aku bisa menerima itu, Roni,” katanya akhirnya dengan suara bergetar. “Aku bahkan belum tahu apa yang harus kulakukan dengan hidupku sendiri. Bagaimana aku bisa membuat keputusan sebesar ini?”Roni menatapnya dengan lembut, tetapi tegas. “Kau tidak perlu memutuskan sekarang, Savanah. Aku hanya ingin kau tahu
Roni menatap Savanah dengan ekspresi lembut, tetapi juga penuh tekad. Ia tahu bahwa ketakutan wanita itu bukanlah sesuatu yang mudah dihapuskan.“Aku mengerti,” katanya pelan. “Baiklah, aku tidak akan mengatakan apa-apa kepada Damian. Ini adalah rahasiamu, dan aku akan menghormatinya.”"Belum saatnya, maksudku, belum saatnya Damian tahu, dia akan tahu nanti, tetapi setelah aku melahirkan anak ini dan mencantumkan nama keluargaku!" tegas Savanah dalam isak tangisnya.Tubuhnya berguncang dalam pelukan Roni."Diamlah, jangan terlalu terbawa emosi. Rahasiamu aman bersamaku, Savanah," hibur Roni.Savanah mengangguk pelan, merasa lega mendengar kata-kata itu. Namun, perasaan bersalah tetap menghantuinya. Ia tahu bahwa Damian, dengan segala kekurangannya, tetap memiliki hak untuk tahu tentang anak mereka. Tetapi rasa takutnya lebih besar daripada rasa bersalah itu.“Terima kasih, Roni,” bisiknya. “Aku tahu aku egois. Tapi ini yang terbaik untuk sekarang.”Roni menepuk bahunya dengan lembut.
“Bu,” kata Savanah lembut, duduk di tepi tempat tidur ibunya. “Ibu harus menjaga diri. Saya tidak bisa kehilangan Ibu. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang saya miliki.”Suzie tersenyum lemah. “Sayang, aku sudah menjalani hidup yang penuh liku. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja.”Mata Savanah memanas mendengar itu. Ia menggenggam tangan ibunya dengan erat, seolah-olah itu bisa mencegah waktu merenggutnya.“Bu, saya akan melakukan apa saja untuk memastikan Ibu sehat kembali,” kata Savanah, suaranya penuh tekad.Suzie memandang putrinya dengan mata lembutlalu menoleh ke arah Roni. Roni mengangguk kecil seolah-olah menjawab tatapan penuh arti dari sang ibu. “Aku tahu kau akan melakukan segalanya untukku, Savanah. Tapi jangan lupa, kau juga harus menjaga dirimu sendiri. Kau memiliki sesuatu yang sangat berharga untuk diperjuangkan.”Savanah menunduk, menyadari apa yang dimaksud ibunya—bayi yang kini tumbuh di dalam kandungannya.“Saya akan melindungi bayi