"Pagi, Ma, Pa." Sapaku kepada Mama dan Papa.
"Pagi, sayang." Balas Mama, tersenyum lembut.
"Gimana tidurnya, nyenyak?" Tanya Papa, ikut tersenyum. Aku hanya mengangguk, balas tersenyum.
Aku langsung menarik kursi dan duduk bersama Mama dan Papaku.
"Non Zella mau makan apa?" Tanya Bi Inah.
"Nasi goreng spesial pakai sosis, Bi." Jawabku.
"Baiklah, saya buatkan dulu ya, Non." Aku mengangguk.
Sambil menunggu nasi gorengku, aku mencoba membuka topik pembicaraan.
"Ma, Pa." Panggilku. Mama dan Papa langsung menoleh ke arahku.
"Iya, kenapa sayang?" Tanya Papa.
"Mama dan Papa kenal Miss Della?" Pertanyaan itu terus memenuhi pikiranku semalaman, membuatku harus bertanya pagi ini. Mama dan Papa terdiam. Bi Inah yang sedang membuat nasi goreng, sedikit terkejut mendengar pertanyaanku.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Tanya Mama menatapku.
Aku menggeleng. "Tidak ada, hanya ingin tahu saja." Jawabku.
"Hmm, gimana ya ngejelasinnya." Mama terlihat berpikir keras.
"Hmm, gini..." Ucapan Mama terputus, karena disela lebih dulu oleh Bi Inah.
"Maaf Nyonya, saya memotong pembicaraan Nyonya dan Non Zella, karena makanan Non Zella sudah jadi."
"Iya, tidak apa Bi Inah." Jawab Mama, tersenyum.
"Nanti sore Mama kasih tahu kamu jawabannya, sekarang kamu makan, nanti kamu telat." Ucap Mama kepadaku. Aku hanya mengangguk pelan, dan menyendok makanan ke mulutku.
"Zella, cepat, kita udah telat." Aku buru-buru mengambil tas, takut ditinggal oleh Papa.
"Bentar Pa, Zella udah siap nih." Aku berlari menghampiri Mama dan mencium tangannya, dan kembali berlari secepat kilat.
"Ayo, Zella." Papa udah berjalan ke arah mobil.
"Papa tunggu!!" Teriakku, takut ditinggal oleh Papa.
Papa hanya tertawa melihat tingkahku.
Saat aku sudah sampai di depan mobil, aku hanya cemberut.
"Anak Papa kalau cemberut, seperti burung pelikan." Ledek Papa, sambil mengacak rambutku.
"Apaan sih, Papa." Ketusku, menjauhi tangan Papa dari kepalaku.
Papa hanya tertawa semakin keras.
Aku yang di tertawakan, hanya bersungut-sungut kesal.
"Udah, ayo masuk." Aku masih bersungut-sungut, tapi aku tetap masuk.
Di jalan aku tidak banyak bicara, moodku hari ini hancur gara-gara Papa.
"Hei, kok putri Papa diam aja pagi ini?" Tanya Papa memecah keheningan. Aku hanya menggeleng tidak menjawab.
"Masih marah ya sama Papa?" Aku masih tidak menjawab.
"Udah dong marahnya." Bujuk Papa sambil mencolek pipiku, sambil terus menyetir.
Aku menepis tangan Papa, kesal.
"Kan, udah Papa duga kamu masih marah sama Papa." Papa tertawa sambil fokus menyetir mobil.
Aku tetap diam, tidak menanggapi gurauan Papa.
"Hati-hati ya, sayang." Aku hanya tersenyum tipis, dan mencium tangan Papa.
"Dah, sayang." Papa melambaikan tangan, aku hanya membalasnya dengan senyuman.
Aku terus berjalan menuju gerbang sekolah.
"Pagi, Neng Zella." Sapa penjaga gerbang sekolah.
"Pagi, Pak Bujang." Balasku, mengangguk.
"Saya salut dengan Neng Zella, selalu datang cepat." Aku hanya tersenyum, mengangguk.
"Saya masuk dulu ya, Pak." Ucapku sopan, sebelum Pak Bujang bicara sampai ke mana-mana.
"Eh, baik Neng, silahkan masuk." Pak Bujang yang sadar atas kesalahannya, akhirnya membukakan gerbangnya.
"Terimakasih." Ucapku.
"Iya, sama-sama." Balasnya.
Ku kira moodku sebentar saja memburuk, rupanya seharian moodku buruk. Dan aku juga baru mengetahui sesuatu rahasia dari teman-temanku.
"Hai." Sapa Ghina. Aku sedikit terkejut, karena di dorong tiba-tiba.
"Kamu ini, aku hampir jatuh tau!" Aku mengaduh, karena aku hampir tersungkur dibuatnya.
"Maaf ya, Zella." Ghina hanya nyengir lebar, tanpa rasa bersalah.
"Hm." Jawabku tidak peduli. Aku terus berjalan menuju kelas.
"Zella, tunggu!" Ghina berlari, agar menyejajari langkahku.
"Kamu kenapa?" Tanya Ghina saat jalannya telah sejajar denganku.
"Tidak ada." Jawabku tak peduli.
"Kamu lagi bad mood, ya?" Tebak Ghina. Aku tidak menjawab.
"Zella, kok kamu nge cuekin aku?" Tanya Ghina kesal.
"Aku lagi malas jawab." Jawabku datar.
"Oke, aku tidak akan bicara dengan kamu!" Ucap Ghina ketus. Dia berjalan mendahuluiku sambil bersungut-sungut. Aku tetap tidak peduli.
Aku melihat kelas, masih sepi. Hanya Ada beberapa temanku di kelas yang masih bisa di hitung jumlahnya.
"Hai Zell! Selamat ya, kamu jadi juara kelas lagi saat ulangan harian kita kemarin."
"Eh, emangnya udah keluar ya, siapa yang juara?" Tanyaku sedikit terkejut.
"Udah, ada di Mading depan kelas." Jawab salah satu temanku. Aku berlari ke luar kelas, disusul dengan Ghina di belakangku. Dia juga terkejut mendengar pernyataan salah satu temanku.
Aku melihat urutan juara kelas di sekolah kami.
Urutan pertama : Anzella Griselda Putri.
Urutan kedua: Adrian Devino.
Urutan ketiga: Al fisya Natasya.
Urutan keempat: Tressa Yaghina.
Urutan kelima:. Adriana Devina.
Urutan keenam: Angela Nadhira Zaura.
Dan seterusnya hingga urutan terakhir Rayn Alvino.
Aku menelan ludah, karena tidak menyangka bisa menjadi juara kelas lagi.
"Selamat ya, Zell." Ucap Gea tersenyum.
"Katanya kamu marah sama aku?" Tanyaku meledeknya.
"Eh, itu. Aku hanya bercanda." Jawabnya nyengir, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Aku tertawa sambil memeluk Ghina.
Aku berharap hari ini menyenangkan, setelah Papa membuatku kesal saat berangkat sekolah tadi.
Kami tidak menyadari sebentar lagi masuk, dan para murid sudah banyak yang berdatangan.
"Zell, masuk yuk." Ajak Ghina menarik tanganku. Aku hanya tertawa membiarkan Ghina membawaku ke kelas.
***
Ternyata aku keliru, kekesalanku belum berakhir hingga pulang sekolah.
"Anak-anak, ayo ganti pakaiannya, sekarang!!" Teriak Mister James, saat kelas sudah mulai.
Aku dan teman-teman sekelasku berlari menuju ruang ganti pakaian.
Kami memang memiliki ruang ganti pakaian masing-masing.
Jadi, lebih mudah untuk mengganti pakaian.
Aku mencari bilik pakaian yang tertulis namaku."Huh, Mister James itu sungguh sangat galak, memang cocok dengan Miss Della." Gerutu Ghina, kesal. Aku tertawa mendengarnya.Murid-murid di sini kalau sedang kesal dengan Mister James atau Miss Della, biasanya mengumpat dengan menjodoh-jodohkan mereka berdua."Sudahlah Ghin, ayo ganti pakaian kita." Dia menghela nafas panjang, dan masuk ke dalam biliknya, aku juga ikut masuk ke dalam bilikku."Oke, kita akan belajar di lapangan biasa, karena ruang olahraga kita sedang ada renovasi. Saya tidak akan basa-basi lagi. Baik, sekarang kita akan bermain voli, saya akan membagikan tiga kelompok, saya akan mengumumkan kelompok kalian masing-masing.Kelompok yang pertama, Zella, Vino, Ghina, Rayn, Angela, Vina, Sean, Lian, Nia, dan Reska. Empat orang akan menjadi pemain cadangan, yaitu Angela, Vina, Sean dan Nia.Oke, kelompok selanjutnya..."Aku terdiam. Memang menyenangkan sekelompok dengan Ghina, tapi aku tidak menyangka akan sekelompok dengan m
Aku terus berjalan melewati kelas-kelas. Celingak-celinguk mencari kelasku, kelas X A."Permisi, apa saya boleh tanya? Kelas X A ada di mana, ya?" Tanyaku tanpa basa-basi, ke anak laki-laki berambut cokelat.Orang yang kutanya, hanya melirikku sekilas. Huh, cuek amat sih?! Batinku."Eh, Zella?" Sapa seseorang kepadaku.Suara ini, sepertinya aku kenal deh. Pikirku. "Udah lama ya, kita tidak bertemu. Ternyata kamu sekolah di sini?" Tanyanya lagi. Aku langsung menoleh ke belakang, dan melihat perempuan berambut hitam sebahu."Ghina!?!" Tanyaku tidak percaya.Namaku Anzella Griselda Putri. Umurku enam belas tahun. Mamaku seorang ilmuwan dan Papaku seorang pengusaha, aku mempunyai rahasia kecil, yaitu aku mempunyai kekuatan penyembuhan, mengendalikan tanah dan bisa memanipulasi seseorang dan barang elektronik, aku juga bisa membuka portal.Dan yang menyapaku tadi adalah sahabat kecilku, namanya Tressa Yaghina. Dia seumuran denganku, kami selalu bersama, bersekolah yang sama. Tapi, saat hen
"Eh, itu dia Zella dan Ghina. Hei!" Panggil Nia."Eh, Nia, ngapain?" Tanyaku, saat berpapasan dengannya."Aku mau ke kantin." Jawabnya. Aku menatap bingung ke arah laki-laki yang berdiri di sampingnya."Itu siapa?" Bisikku."Oh iya, aku lupa!" Dia menepuk jidatnya pelan."Kenalin, ini yang namanya Lian." Jawabnya memperkenalkan orang yang di sampingnya."Hai!" Sapa Ghina antusias."Hai!" Balasnya malu."Waah, ternyata laki-laki ada juga yang pemalu, ya?" Lian hanya menunduk malu.Aku menyenggol lengan Ghina. Tidak sopan bicara seperti itu. Ghina hanya nyengir, tanpa merasa bersalah."Eh, lebih baik kita ngobrolnya di kantin aja." Usul Nia."Ide yang bagus!" Ghina mengacungkan jempol. Aku dan Lian mengangguk setuju."Ayo!" Saru Ghina memimpin. Kami berjalan beriringan menuju kantin."Kamu mau pesan apa?" Tanya Nia kepadaku, saat kami sudah mendapatkan tempat duduk masing-masing."Aku mau mie ayam." Jawabku."Kalau kamu, Ghina?" Tanya Nia lagi."Aku batagor." Jawab Ghina."Kalau kamu?"
Kring!!! Kring!!! Kring!!!"Eh Zell, udah istirahat tuh.""Kamu ikut, tidak?" Tanya Ghina kepadaku. "Kamu duluan aja, aku tidak lapar." Jawabku singkat. "Kamu kenapa?" Tanya Ghina, menatapku. "Tidak kenapa-napa, kok." Jawabku pendek. "Ya, sudahlah. kalau begitu aku juga tidak ke kantin lah." Kata Ghina, seraya duduk kembali."Eh, kamu tahu tidak?" Ghina memulai percakapan, mengusir rasa bosan."Tidak, kan belum kamu kasih tahu." Potongku sekenanya. "Iih, makanya dengerin dulu." Kata Ghina gregetan melihat tingkahku. "Oke, apa? Apa?" Tanyaku pura-pura serius."Anak laki-laki yang kamu tanyai waktu itu, nyebelin banget ya." Katanya, memulai topik. "Maksudnya?" Tanyaku lebih serius. "Tadi, waktu pas aku datang, dia nabrak aku tanpa rasa bersalah." Aku yang mendengarkan hampir tertawa melihat ekspresinya, tapi urung karena kasihan."Sabar ya, Ghin." Kataku prihatin."Hahaha, makasih." Balasnya, tersenyum. "Kamu tidak ada berubah, ya." Ghina menatapku jahil. Aku hanya tersenyum sekilas me
"Yuk ke kantin, aku udah lapar nih." Ajak Ghina, karena katanya perutnya sudah meronta-ronta untuk dikasih makan.Aku terkekeh geli, mendengar ajakan Ghina. "Ya udah, yuk." Jawabku kasihan. "Yeay, makasih. Yuk cepat!" Katanya, senang"Oh ya, kamu mau makan apa?" Tanyanya, menatapku"Makan batagor, yuk." Padahal aku belum sempat menjawab, udah di tariknya aja ke tempat batagor.Haha, kalau seperti ini, lebih baik tidak usah nanya. Aku tertawa di dalam hati. "Ayo, cepat!" Ghina menarikku, paksa. Aku tertawa melihat tingkah laku sahabat aku satu ini"Bang, batagornya dua, yah." Pesan Ghina, kepada Abang yang jual batago"Pakai cabe rawit tidak, Neng?" Tanya Abang jual batagor tadi"Satu pakai, kamu mau pakai cabe tidak, Zell?" Ghina menatapku, bertanya. Aku mengangguk, "berarti keduanya pakai cabe, bang." Ucap Ghina kepada Abangjual batagor"Pakai minum, Neng?" Tanya Abang jual batagor, lagi"Pakai, es jeruk dua." Jawab Ghina, lagi"Oke, sebentar ya." Ucap Abang jual batagor, sebelum pe
"Hoaaam.." Aku menoleh ke arah Ghina. Tampaknya dia bosan dengan pelajaran matematika."Oke, anak-anak pelajaran kali ini kita cukupi sampai di sini!" Ucap Pak Anton sedikit berteriak, mengalahkan suara bel pulang.Ghina yang tadinya mengantuk, kembali cerah."Zell, yuk pulang." Aku menatap ke arah Ghina, dia dengan semangatnya membereskan buku-bukunya. Aku tertawa kecil, melihat tingkah lucunya.Kami berlari ke arah angkot yang hampir penuh oleh murid-murid seusia kami."Bentar, Pak!" Teriak Ghina, saat hampir sampai di depan pintu angkot."Ayo nak, masuk." Kami mengangguk, dan masuk ke dalam angkot. "Ahh, akhirnya," aku tertawa kecil melihat Ghina menghapus peluh di wajah."Zell, nanti aku ke rumahmu, yah?","Hmm, boleh tidak, yah?""Boleh lah, boleh lah." Ghina memegang lenganku memohon, manja."Iya, iya, sahabat kyuu." Kataku, meledeknya."Ih, apaan sih." Balasnya menyenggol lenganku, malu."Hahaha." Tawaku meledak.Saat itu, aku tidak sadar orang-orang yang ada di dalam angkot, p
Setelah kepergian Miss Della, ada yang memencet bel, itu bisa kutebak kalau yang datang itu Ghina. Karena Ghina memang datang jam segini (jam lima)." Hai, Ghin." Sapaku, saat sudah di depan pagar rumahku."Hai, mana Mama kamu?" Tanya Ghina saat di halaman rumahku."Ada di dalam." Jawabku, Ghina hanya mengangguk."Eh, rumah kamu tidak ada yang berubah, ya.""Maksud kamu?" Tanyaku bingung, menatapnya tidak mengerti."Iya, tetap besar. Seperti istana Putri." Jawabnya, balas menatapku."Kamu berlebihan Ghin. Mana ada seperti istana." Ucapku kesal, antara malu dan merasa terlalu berlebihan untuk memuji rumahku."Hahaha, maaf-maaf. Aaku hanya bercanda," Ghina hanya tertawa melihat ekspresi wajah kesal ku. Dia mencolek pipiku, yang membuatku semakin kesal."Eh, Nona Ghina, apa kabar?" Sapa Bi Inah, saat kami sudah di dalam rumah. Yang di sapa hanya tersenyum, mengangguk."Mama mana, Bi?" Tanyaku, membiarkan Ghina sibuk sendiri."Di dapur." Jawab Bi Inah. Aku langsung menarik tangan Ghina me
"Eh, Zella. Besok-besok aku ke rumah kamu lagi, ya!" Aku mengangguk."Dengan senang hati." Jawabku, memeluknya. Dia balas memelukku erat."Besok saat hari libur, aku suruh Bunda datang ke sini, bawakan makanan kesukaanmu." Aku tertawa, lalu mengangguk."Dan kita juga harus melanjutkan cerita tadi, nanti aku tanyakan lanjutan ceritanya ke Bunda. Soalnya aku juga penasaran, kenapa Miss Della bisa dekat dengan orang tua kita." Bisik Ghina. Aku mengangguk, tanda setuju."Tapi kita harus menunggu empat hari lagi, baru hari Sabtu." Dia mengeluh."Tidak apa, Ghin." Aku menepuk bahunya pelan, tersenyum.Aku mendengar suara klakson mobil."Eh, sopirnya udah datang tuh, aku pulang dulu ya. Bye!" Ghina melambaikan tangan ke arahku."Hati-hati di jalan, Ghina!" Aku balas melambaikan tangan.Setelah kepulangan Ghina, aku masih menunggu di luar, memikirkan banyak hal."Non Zella, kenapa tidak masuk?" Tanya Kak Reva, salah satu pelayan di rumahku."Eh, nanti saya masuk." Jawabku sedikit kaget. Satu,
Aku mencari bilik pakaian yang tertulis namaku."Huh, Mister James itu sungguh sangat galak, memang cocok dengan Miss Della." Gerutu Ghina, kesal. Aku tertawa mendengarnya.Murid-murid di sini kalau sedang kesal dengan Mister James atau Miss Della, biasanya mengumpat dengan menjodoh-jodohkan mereka berdua."Sudahlah Ghin, ayo ganti pakaian kita." Dia menghela nafas panjang, dan masuk ke dalam biliknya, aku juga ikut masuk ke dalam bilikku."Oke, kita akan belajar di lapangan biasa, karena ruang olahraga kita sedang ada renovasi. Saya tidak akan basa-basi lagi. Baik, sekarang kita akan bermain voli, saya akan membagikan tiga kelompok, saya akan mengumumkan kelompok kalian masing-masing.Kelompok yang pertama, Zella, Vino, Ghina, Rayn, Angela, Vina, Sean, Lian, Nia, dan Reska. Empat orang akan menjadi pemain cadangan, yaitu Angela, Vina, Sean dan Nia.Oke, kelompok selanjutnya..."Aku terdiam. Memang menyenangkan sekelompok dengan Ghina, tapi aku tidak menyangka akan sekelompok dengan m
"Pagi, Ma, Pa." Sapaku kepada Mama dan Papa."Pagi, sayang." Balas Mama, tersenyum lembut."Gimana tidurnya, nyenyak?" Tanya Papa, ikut tersenyum. Aku hanya mengangguk, balas tersenyum.Aku langsung menarik kursi dan duduk bersama Mama dan Papaku."Non Zella mau makan apa?" Tanya Bi Inah."Nasi goreng spesial pakai sosis, Bi." Jawabku."Baiklah, saya buatkan dulu ya, Non." Aku mengangguk.Sambil menunggu nasi gorengku, aku mencoba membuka topik pembicaraan."Ma, Pa." Panggilku. Mama dan Papa langsung menoleh ke arahku."Iya, kenapa sayang?" Tanya Papa."Mama dan Papa kenal Miss Della?" Pertanyaan itu terus memenuhi pikiranku semalaman, membuatku harus bertanya pagi ini. Mama dan Papa terdiam. Bi Inah yang sedang membuat nasi goreng, sedikit terkejut mendengar pertanyaanku."Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Tanya Mama menatapku.Aku menggeleng. "Tidak ada, hanya ingin tahu saja." Jawabku."Hmm, gimana ya ngejelasinnya." Mama terlihat berpikir keras."Hmm, gini..." Ucapan Mama terputu
Tempatnya kembali berganti..."Kak, aku lapar." Keluh Adiknya."Sabar ya, Derra." Kakaknya mencoba menyemangati Adiknya."Uhuk! Uhuk!" Kakaknya menoleh ke belakang, menatap Adiknya."Derrra, kamu sakit?" Tanya Kakaknya khawatir."Tidak." Adiknya menggeleng. Kakaknya Menurunkan Adiknya, dari gendongannya, lalu memeriksa kening Adiknya."Tidak apanya?!" Kakaknya mengomel."Ayo, kita cari obat!" Seru Kakaknya, kembali menggendong Adiknya."Tapi kita tidak punya uang, Kak." Langkah kaki Kakaknya terhenti.Adiknya benar, dia tidak memiliki uang sedikit pun.Sudah lima hari mereka berjalan mencari Tabib terdekat. "Kak, sudah lima hari Kakak berjalan mencari Tabib. Sudahlah, jangan terlalu Kakak paksakan untuk berjalan.""Aku tidak apa-apa. Kakak lebih baik istirahat." Adiknya tersenyum, menyentuh bahu Kakaknya, pelan.Walau, sebenarnya, tubuh adiknya semakin panas."Tapi, kamu harus bertahan!" Air mata Kakaknya mengalir, menoleh, menatap Adiknya.Adiknya mengangguk, tersenyum."Kalaupun ak
Tiba-tiba masa itu berubah..."Anak-anak! Cepat sembunyi!" Seru wanita itu panik."Nyonya Syaffara, bawa putrimu pergi dari sini!" Suruh seorang pria, tubuhnya tidak tinggi dan tidak pula pendek. Tubuhnya pas-pasan.Wanita itu mengangguk, menarik tangan kedua anaknya."Dasar kalian para pengkhianat!" Teriak seorang pria, aku berseru kaget. Yang membuatku kaget adalah, pria yang barusan berteriak tadi itu adalah Ayah mereka yang ada di tempat sebelumnya."Cukup, Barr!" Seru wanita yang lain."Diam kalian!" Dia menyerang siapa saja yang ada di hadapannya, dengan brutal."Kalian semua mengkhianatiku!" Teriaknya, terus menyerang tanpa ampun."Kami tidak pernah mengkhianatimu, Barr." Ucap pria yang lain, menggeleng."Ayah! Bunda!" Teriak seorang remaja perempuan."Syerra!" Balas wanita tadi panik."Anakmu ini akan menjadi korban dari pengkhianatan kalian!" Seru Ayah anak yang tadi kutemui di tempat sebelumnya. Aku bergidik ngeri saat pria itu memenggal kepala gadis itu."Tidaaaak!" Teriak
"Eh, Zella. Besok-besok aku ke rumah kamu lagi, ya!" Aku mengangguk."Dengan senang hati." Jawabku, memeluknya. Dia balas memelukku erat."Besok saat hari libur, aku suruh Bunda datang ke sini, bawakan makanan kesukaanmu." Aku tertawa, lalu mengangguk."Dan kita juga harus melanjutkan cerita tadi, nanti aku tanyakan lanjutan ceritanya ke Bunda. Soalnya aku juga penasaran, kenapa Miss Della bisa dekat dengan orang tua kita." Bisik Ghina. Aku mengangguk, tanda setuju."Tapi kita harus menunggu empat hari lagi, baru hari Sabtu." Dia mengeluh."Tidak apa, Ghin." Aku menepuk bahunya pelan, tersenyum.Aku mendengar suara klakson mobil."Eh, sopirnya udah datang tuh, aku pulang dulu ya. Bye!" Ghina melambaikan tangan ke arahku."Hati-hati di jalan, Ghina!" Aku balas melambaikan tangan.Setelah kepulangan Ghina, aku masih menunggu di luar, memikirkan banyak hal."Non Zella, kenapa tidak masuk?" Tanya Kak Reva, salah satu pelayan di rumahku."Eh, nanti saya masuk." Jawabku sedikit kaget. Satu,
Setelah kepergian Miss Della, ada yang memencet bel, itu bisa kutebak kalau yang datang itu Ghina. Karena Ghina memang datang jam segini (jam lima)." Hai, Ghin." Sapaku, saat sudah di depan pagar rumahku."Hai, mana Mama kamu?" Tanya Ghina saat di halaman rumahku."Ada di dalam." Jawabku, Ghina hanya mengangguk."Eh, rumah kamu tidak ada yang berubah, ya.""Maksud kamu?" Tanyaku bingung, menatapnya tidak mengerti."Iya, tetap besar. Seperti istana Putri." Jawabnya, balas menatapku."Kamu berlebihan Ghin. Mana ada seperti istana." Ucapku kesal, antara malu dan merasa terlalu berlebihan untuk memuji rumahku."Hahaha, maaf-maaf. Aaku hanya bercanda," Ghina hanya tertawa melihat ekspresi wajah kesal ku. Dia mencolek pipiku, yang membuatku semakin kesal."Eh, Nona Ghina, apa kabar?" Sapa Bi Inah, saat kami sudah di dalam rumah. Yang di sapa hanya tersenyum, mengangguk."Mama mana, Bi?" Tanyaku, membiarkan Ghina sibuk sendiri."Di dapur." Jawab Bi Inah. Aku langsung menarik tangan Ghina me
"Hoaaam.." Aku menoleh ke arah Ghina. Tampaknya dia bosan dengan pelajaran matematika."Oke, anak-anak pelajaran kali ini kita cukupi sampai di sini!" Ucap Pak Anton sedikit berteriak, mengalahkan suara bel pulang.Ghina yang tadinya mengantuk, kembali cerah."Zell, yuk pulang." Aku menatap ke arah Ghina, dia dengan semangatnya membereskan buku-bukunya. Aku tertawa kecil, melihat tingkah lucunya.Kami berlari ke arah angkot yang hampir penuh oleh murid-murid seusia kami."Bentar, Pak!" Teriak Ghina, saat hampir sampai di depan pintu angkot."Ayo nak, masuk." Kami mengangguk, dan masuk ke dalam angkot. "Ahh, akhirnya," aku tertawa kecil melihat Ghina menghapus peluh di wajah."Zell, nanti aku ke rumahmu, yah?","Hmm, boleh tidak, yah?""Boleh lah, boleh lah." Ghina memegang lenganku memohon, manja."Iya, iya, sahabat kyuu." Kataku, meledeknya."Ih, apaan sih." Balasnya menyenggol lenganku, malu."Hahaha." Tawaku meledak.Saat itu, aku tidak sadar orang-orang yang ada di dalam angkot, p
"Yuk ke kantin, aku udah lapar nih." Ajak Ghina, karena katanya perutnya sudah meronta-ronta untuk dikasih makan.Aku terkekeh geli, mendengar ajakan Ghina. "Ya udah, yuk." Jawabku kasihan. "Yeay, makasih. Yuk cepat!" Katanya, senang"Oh ya, kamu mau makan apa?" Tanyanya, menatapku"Makan batagor, yuk." Padahal aku belum sempat menjawab, udah di tariknya aja ke tempat batagor.Haha, kalau seperti ini, lebih baik tidak usah nanya. Aku tertawa di dalam hati. "Ayo, cepat!" Ghina menarikku, paksa. Aku tertawa melihat tingkah laku sahabat aku satu ini"Bang, batagornya dua, yah." Pesan Ghina, kepada Abang yang jual batago"Pakai cabe rawit tidak, Neng?" Tanya Abang jual batagor tadi"Satu pakai, kamu mau pakai cabe tidak, Zell?" Ghina menatapku, bertanya. Aku mengangguk, "berarti keduanya pakai cabe, bang." Ucap Ghina kepada Abangjual batagor"Pakai minum, Neng?" Tanya Abang jual batagor, lagi"Pakai, es jeruk dua." Jawab Ghina, lagi"Oke, sebentar ya." Ucap Abang jual batagor, sebelum pe
Kring!!! Kring!!! Kring!!!"Eh Zell, udah istirahat tuh.""Kamu ikut, tidak?" Tanya Ghina kepadaku. "Kamu duluan aja, aku tidak lapar." Jawabku singkat. "Kamu kenapa?" Tanya Ghina, menatapku. "Tidak kenapa-napa, kok." Jawabku pendek. "Ya, sudahlah. kalau begitu aku juga tidak ke kantin lah." Kata Ghina, seraya duduk kembali."Eh, kamu tahu tidak?" Ghina memulai percakapan, mengusir rasa bosan."Tidak, kan belum kamu kasih tahu." Potongku sekenanya. "Iih, makanya dengerin dulu." Kata Ghina gregetan melihat tingkahku. "Oke, apa? Apa?" Tanyaku pura-pura serius."Anak laki-laki yang kamu tanyai waktu itu, nyebelin banget ya." Katanya, memulai topik. "Maksudnya?" Tanyaku lebih serius. "Tadi, waktu pas aku datang, dia nabrak aku tanpa rasa bersalah." Aku yang mendengarkan hampir tertawa melihat ekspresinya, tapi urung karena kasihan."Sabar ya, Ghin." Kataku prihatin."Hahaha, makasih." Balasnya, tersenyum. "Kamu tidak ada berubah, ya." Ghina menatapku jahil. Aku hanya tersenyum sekilas me