Setelah kepergian Miss Della, ada yang memencet bel, itu bisa kutebak kalau yang datang itu Ghina. Karena Ghina memang datang jam segini (jam lima).
" Hai, Ghin." Sapaku, saat sudah di depan pagar rumahku.
"Hai, mana Mama kamu?" Tanya Ghina saat di halaman rumahku.
"Ada di dalam." Jawabku, Ghina hanya mengangguk.
"Eh, rumah kamu tidak ada yang berubah, ya."
"Maksud kamu?" Tanyaku bingung, menatapnya tidak mengerti.
"Iya, tetap besar. Seperti istana Putri." Jawabnya, balas menatapku.
"Kamu berlebihan Ghin. Mana ada seperti istana." Ucapku kesal, antara malu dan merasa terlalu berlebihan untuk memuji rumahku.
"Hahaha, maaf-maaf. Aaku hanya bercanda," Ghina hanya tertawa melihat ekspresi wajah kesal ku. Dia mencolek pipiku, yang membuatku semakin kesal.
"Eh, Nona Ghina, apa kabar?" Sapa Bi Inah, saat kami sudah di dalam rumah. Yang di sapa hanya tersenyum, mengangguk.
"Mama mana, Bi?" Tanyaku, membiarkan Ghina sibuk sendiri.
"Di dapur." Jawab Bi Inah. Aku langsung menarik tangan Ghina menuju dapur.
"Ma." Panggilku. Mama menoleh, "eh, Ghina." Mama sedikit kaget saat melihat Ghina yang sudah berada di dapur.
"Halo, Mama." Sapa Ghina sopan.
"Hai, apa kabar kamu, sayang?" Tanya Mama mengelus kepala Ghina, dan mengabaikanku. Eh?! Anaknya diabaikan begitu saja?! Apa aku ini sungguhan anaknya?
"Baik, Ma." Jawab Ghina sopan. Mama mengangguk.
"Zella, bawa Ghina ke kamarmu, Mama akan menyiapkan camilan." Ucap Mama, melanjutkan melakukan pekerjaan di dapur. Aku mengangguk sekilas, dan menarik tangan Ghina menuju kamar.
"Eh Zell, tadi itu Miss Della kan?" Tanya Ghina memulai topik pembicaraan, saat kami sudah berada di dalam kamar.
"Iya, memangnya kenapa?" Tanyaku balik. Ghina menggeleng, "bukan apa-apa. Hanya saja, tadi sebelum Miss Della ke rumahmu, Miss Della lebih dulu ke rumahku." Aku yang mendengarnya, refleks teriak.
"Ssst, jangan teriak dong." Ucap Ghina, menutup mulutku dengan telapak tangannya. Aku hanya nyengir, tanpa merasa bersalah.
"Zella, apa yang terjadi? Kenapa kamu berteriak?" Tanya Mama panik, sambil memegang nampan berisi minuman dan kue. Kami saling tatap, "eh. Tidak ada apa-apa kok, Ma." Jawabku nyengir.
"Haduh, kamu ini." Mama menggeleng-geleng kan kepalanya, frustasi.
"Ini camilannya." Ucap Mama memberikan nampan berisi minuman dan kue kepada Ghina.
"Makasih, Ma." Ghina menerima nampan itu, dan meletakkan minuman dan makanan ke atas mejaku yang ada di samping tempat tidur. Mama hanya mengangguk, dan keluar.
"Eh, kenapa Miss Della ke rumah kamu?" Tanyaku penasaran, melanjutkan cerita yang sempat terjeda beberapa menit yang lalu.
"Mana kutahu." Jawabnya mengangkat bahu.
"Aku aja bingung, kenapa Miss Della ke rumahku." Lanjutnya.
"Memangnya Miss Della datang ke rumahmu, seperti apa?" Tanyaku masih penasaran.
"Yeah, seperti Guru berkunjung ke rumah muridnya lah." Jawab Ghina, santai.
"Iya, aku tahu. Yang aku tanya itu, Miss Della datang ke rumah kamu itu mencari siapa?" Tanyaku lebih baik.
"Hmm, cari Bundaku." Jawabnya.
"Ngapain?" Tanyaku lagi.
"Entahlah, tapi saat kedatangan Miss Della, Bunda sedikit kaget."
"Bunda teriak, 'eh?! Ghina, ajak masuk Guru kamu itu!' gitu kata Bunda." Aku tertawa kecil melihat Ghina menirukan gaya bicara Bundanya.
"Aku takut Zell, kalau misalnya Miss Della melaporkan nilai fisikaku. Kan nilai fisikaku anjlok, jelek banget." Ucap Ghina cemas.
"Eh, walaupun nilai kamu jelek, Bunda kamu tidak akan marah kok." Ledekku, mencolek pipi meronanya. Ghina hanya mendengus kesal.
"Tapi, sepertinya Miss Della tidak mungkin bicara tentang nilai kita."
"Kok gitu?" Tanya Ghina menatapku, heran. Sekarang dia yang menatapku, dengan tatapan penasaran.
"Yeah, karena tadi saat Mamaku melihat Miss Della, Mamaku tidak terkejut, tapi malah bertanya hal lain. Seperti sudah sejak lama mengenalnya." Jawabku santai.
Ghina manggut-manggut.
"Oh ya, Bundaku pernah bercerita, kalau saat di SMA dulu, Bundaku mempunyai geng."
"Oh, ya?" Tanyaku tertarik.
"Iya, nama gengnya, geng misteri." Jelasnya.
"Hahaha, nama gengnya kok lucu?" Tanyaku tertawa, menyeka ujung mataku yang berair.
"Mana kutahu, Bunda bilangnya begitu. Lagipula di geng itu ada Mama dan Papa kamu, kok." Jawab Ghina mengangkat bahu, lalu mengambil sepotong camilan.
Akumanggut-manggut mendengarkannya.
***
"Eh, Zella. Besok-besok aku ke rumah kamu lagi, ya!" Aku mengangguk."Dengan senang hati." Jawabku, memeluknya. Dia balas memelukku erat."Besok saat hari libur, aku suruh Bunda datang ke sini, bawakan makanan kesukaanmu." Aku tertawa, lalu mengangguk."Dan kita juga harus melanjutkan cerita tadi, nanti aku tanyakan lanjutan ceritanya ke Bunda. Soalnya aku juga penasaran, kenapa Miss Della bisa dekat dengan orang tua kita." Bisik Ghina. Aku mengangguk, tanda setuju."Tapi kita harus menunggu empat hari lagi, baru hari Sabtu." Dia mengeluh."Tidak apa, Ghin." Aku menepuk bahunya pelan, tersenyum.Aku mendengar suara klakson mobil."Eh, sopirnya udah datang tuh, aku pulang dulu ya. Bye!" Ghina melambaikan tangan ke arahku."Hati-hati di jalan, Ghina!" Aku balas melambaikan tangan.Setelah kepulangan Ghina, aku masih menunggu di luar, memikirkan banyak hal."Non Zella, kenapa tidak masuk?" Tanya Kak Reva, salah satu pelayan di rumahku."Eh, nanti saya masuk." Jawabku sedikit kaget. Satu,
Tiba-tiba masa itu berubah..."Anak-anak! Cepat sembunyi!" Seru wanita itu panik."Nyonya Syaffara, bawa putrimu pergi dari sini!" Suruh seorang pria, tubuhnya tidak tinggi dan tidak pula pendek. Tubuhnya pas-pasan.Wanita itu mengangguk, menarik tangan kedua anaknya."Dasar kalian para pengkhianat!" Teriak seorang pria, aku berseru kaget. Yang membuatku kaget adalah, pria yang barusan berteriak tadi itu adalah Ayah mereka yang ada di tempat sebelumnya."Cukup, Barr!" Seru wanita yang lain."Diam kalian!" Dia menyerang siapa saja yang ada di hadapannya, dengan brutal."Kalian semua mengkhianatiku!" Teriaknya, terus menyerang tanpa ampun."Kami tidak pernah mengkhianatimu, Barr." Ucap pria yang lain, menggeleng."Ayah! Bunda!" Teriak seorang remaja perempuan."Syerra!" Balas wanita tadi panik."Anakmu ini akan menjadi korban dari pengkhianatan kalian!" Seru Ayah anak yang tadi kutemui di tempat sebelumnya. Aku bergidik ngeri saat pria itu memenggal kepala gadis itu."Tidaaaak!" Teriak
Tempatnya kembali berganti..."Kak, aku lapar." Keluh Adiknya."Sabar ya, Derra." Kakaknya mencoba menyemangati Adiknya."Uhuk! Uhuk!" Kakaknya menoleh ke belakang, menatap Adiknya."Derrra, kamu sakit?" Tanya Kakaknya khawatir."Tidak." Adiknya menggeleng. Kakaknya Menurunkan Adiknya, dari gendongannya, lalu memeriksa kening Adiknya."Tidak apanya?!" Kakaknya mengomel."Ayo, kita cari obat!" Seru Kakaknya, kembali menggendong Adiknya."Tapi kita tidak punya uang, Kak." Langkah kaki Kakaknya terhenti.Adiknya benar, dia tidak memiliki uang sedikit pun.Sudah lima hari mereka berjalan mencari Tabib terdekat. "Kak, sudah lima hari Kakak berjalan mencari Tabib. Sudahlah, jangan terlalu Kakak paksakan untuk berjalan.""Aku tidak apa-apa. Kakak lebih baik istirahat." Adiknya tersenyum, menyentuh bahu Kakaknya, pelan.Walau, sebenarnya, tubuh adiknya semakin panas."Tapi, kamu harus bertahan!" Air mata Kakaknya mengalir, menoleh, menatap Adiknya.Adiknya mengangguk, tersenyum."Kalaupun ak
"Pagi, Ma, Pa." Sapaku kepada Mama dan Papa."Pagi, sayang." Balas Mama, tersenyum lembut."Gimana tidurnya, nyenyak?" Tanya Papa, ikut tersenyum. Aku hanya mengangguk, balas tersenyum.Aku langsung menarik kursi dan duduk bersama Mama dan Papaku."Non Zella mau makan apa?" Tanya Bi Inah."Nasi goreng spesial pakai sosis, Bi." Jawabku."Baiklah, saya buatkan dulu ya, Non." Aku mengangguk.Sambil menunggu nasi gorengku, aku mencoba membuka topik pembicaraan."Ma, Pa." Panggilku. Mama dan Papa langsung menoleh ke arahku."Iya, kenapa sayang?" Tanya Papa."Mama dan Papa kenal Miss Della?" Pertanyaan itu terus memenuhi pikiranku semalaman, membuatku harus bertanya pagi ini. Mama dan Papa terdiam. Bi Inah yang sedang membuat nasi goreng, sedikit terkejut mendengar pertanyaanku."Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Tanya Mama menatapku.Aku menggeleng. "Tidak ada, hanya ingin tahu saja." Jawabku."Hmm, gimana ya ngejelasinnya." Mama terlihat berpikir keras."Hmm, gini..." Ucapan Mama terputu
Aku mencari bilik pakaian yang tertulis namaku."Huh, Mister James itu sungguh sangat galak, memang cocok dengan Miss Della." Gerutu Ghina, kesal. Aku tertawa mendengarnya.Murid-murid di sini kalau sedang kesal dengan Mister James atau Miss Della, biasanya mengumpat dengan menjodoh-jodohkan mereka berdua."Sudahlah Ghin, ayo ganti pakaian kita." Dia menghela nafas panjang, dan masuk ke dalam biliknya, aku juga ikut masuk ke dalam bilikku."Oke, kita akan belajar di lapangan biasa, karena ruang olahraga kita sedang ada renovasi. Saya tidak akan basa-basi lagi. Baik, sekarang kita akan bermain voli, saya akan membagikan tiga kelompok, saya akan mengumumkan kelompok kalian masing-masing.Kelompok yang pertama, Zella, Vino, Ghina, Rayn, Angela, Vina, Sean, Lian, Nia, dan Reska. Empat orang akan menjadi pemain cadangan, yaitu Angela, Vina, Sean dan Nia.Oke, kelompok selanjutnya..."Aku terdiam. Memang menyenangkan sekelompok dengan Ghina, tapi aku tidak menyangka akan sekelompok dengan m
Aku terus berjalan melewati kelas-kelas. Celingak-celinguk mencari kelasku, kelas X A."Permisi, apa saya boleh tanya? Kelas X A ada di mana, ya?" Tanyaku tanpa basa-basi, ke anak laki-laki berambut cokelat.Orang yang kutanya, hanya melirikku sekilas. Huh, cuek amat sih?! Batinku."Eh, Zella?" Sapa seseorang kepadaku.Suara ini, sepertinya aku kenal deh. Pikirku. "Udah lama ya, kita tidak bertemu. Ternyata kamu sekolah di sini?" Tanyanya lagi. Aku langsung menoleh ke belakang, dan melihat perempuan berambut hitam sebahu."Ghina!?!" Tanyaku tidak percaya.Namaku Anzella Griselda Putri. Umurku enam belas tahun. Mamaku seorang ilmuwan dan Papaku seorang pengusaha, aku mempunyai rahasia kecil, yaitu aku mempunyai kekuatan penyembuhan, mengendalikan tanah dan bisa memanipulasi seseorang dan barang elektronik, aku juga bisa membuka portal.Dan yang menyapaku tadi adalah sahabat kecilku, namanya Tressa Yaghina. Dia seumuran denganku, kami selalu bersama, bersekolah yang sama. Tapi, saat hen
"Eh, itu dia Zella dan Ghina. Hei!" Panggil Nia."Eh, Nia, ngapain?" Tanyaku, saat berpapasan dengannya."Aku mau ke kantin." Jawabnya. Aku menatap bingung ke arah laki-laki yang berdiri di sampingnya."Itu siapa?" Bisikku."Oh iya, aku lupa!" Dia menepuk jidatnya pelan."Kenalin, ini yang namanya Lian." Jawabnya memperkenalkan orang yang di sampingnya."Hai!" Sapa Ghina antusias."Hai!" Balasnya malu."Waah, ternyata laki-laki ada juga yang pemalu, ya?" Lian hanya menunduk malu.Aku menyenggol lengan Ghina. Tidak sopan bicara seperti itu. Ghina hanya nyengir, tanpa merasa bersalah."Eh, lebih baik kita ngobrolnya di kantin aja." Usul Nia."Ide yang bagus!" Ghina mengacungkan jempol. Aku dan Lian mengangguk setuju."Ayo!" Saru Ghina memimpin. Kami berjalan beriringan menuju kantin."Kamu mau pesan apa?" Tanya Nia kepadaku, saat kami sudah mendapatkan tempat duduk masing-masing."Aku mau mie ayam." Jawabku."Kalau kamu, Ghina?" Tanya Nia lagi."Aku batagor." Jawab Ghina."Kalau kamu?"
Kring!!! Kring!!! Kring!!!"Eh Zell, udah istirahat tuh.""Kamu ikut, tidak?" Tanya Ghina kepadaku. "Kamu duluan aja, aku tidak lapar." Jawabku singkat. "Kamu kenapa?" Tanya Ghina, menatapku. "Tidak kenapa-napa, kok." Jawabku pendek. "Ya, sudahlah. kalau begitu aku juga tidak ke kantin lah." Kata Ghina, seraya duduk kembali."Eh, kamu tahu tidak?" Ghina memulai percakapan, mengusir rasa bosan."Tidak, kan belum kamu kasih tahu." Potongku sekenanya. "Iih, makanya dengerin dulu." Kata Ghina gregetan melihat tingkahku. "Oke, apa? Apa?" Tanyaku pura-pura serius."Anak laki-laki yang kamu tanyai waktu itu, nyebelin banget ya." Katanya, memulai topik. "Maksudnya?" Tanyaku lebih serius. "Tadi, waktu pas aku datang, dia nabrak aku tanpa rasa bersalah." Aku yang mendengarkan hampir tertawa melihat ekspresinya, tapi urung karena kasihan."Sabar ya, Ghin." Kataku prihatin."Hahaha, makasih." Balasnya, tersenyum. "Kamu tidak ada berubah, ya." Ghina menatapku jahil. Aku hanya tersenyum sekilas me
Aku mencari bilik pakaian yang tertulis namaku."Huh, Mister James itu sungguh sangat galak, memang cocok dengan Miss Della." Gerutu Ghina, kesal. Aku tertawa mendengarnya.Murid-murid di sini kalau sedang kesal dengan Mister James atau Miss Della, biasanya mengumpat dengan menjodoh-jodohkan mereka berdua."Sudahlah Ghin, ayo ganti pakaian kita." Dia menghela nafas panjang, dan masuk ke dalam biliknya, aku juga ikut masuk ke dalam bilikku."Oke, kita akan belajar di lapangan biasa, karena ruang olahraga kita sedang ada renovasi. Saya tidak akan basa-basi lagi. Baik, sekarang kita akan bermain voli, saya akan membagikan tiga kelompok, saya akan mengumumkan kelompok kalian masing-masing.Kelompok yang pertama, Zella, Vino, Ghina, Rayn, Angela, Vina, Sean, Lian, Nia, dan Reska. Empat orang akan menjadi pemain cadangan, yaitu Angela, Vina, Sean dan Nia.Oke, kelompok selanjutnya..."Aku terdiam. Memang menyenangkan sekelompok dengan Ghina, tapi aku tidak menyangka akan sekelompok dengan m
"Pagi, Ma, Pa." Sapaku kepada Mama dan Papa."Pagi, sayang." Balas Mama, tersenyum lembut."Gimana tidurnya, nyenyak?" Tanya Papa, ikut tersenyum. Aku hanya mengangguk, balas tersenyum.Aku langsung menarik kursi dan duduk bersama Mama dan Papaku."Non Zella mau makan apa?" Tanya Bi Inah."Nasi goreng spesial pakai sosis, Bi." Jawabku."Baiklah, saya buatkan dulu ya, Non." Aku mengangguk.Sambil menunggu nasi gorengku, aku mencoba membuka topik pembicaraan."Ma, Pa." Panggilku. Mama dan Papa langsung menoleh ke arahku."Iya, kenapa sayang?" Tanya Papa."Mama dan Papa kenal Miss Della?" Pertanyaan itu terus memenuhi pikiranku semalaman, membuatku harus bertanya pagi ini. Mama dan Papa terdiam. Bi Inah yang sedang membuat nasi goreng, sedikit terkejut mendengar pertanyaanku."Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Tanya Mama menatapku.Aku menggeleng. "Tidak ada, hanya ingin tahu saja." Jawabku."Hmm, gimana ya ngejelasinnya." Mama terlihat berpikir keras."Hmm, gini..." Ucapan Mama terputu
Tempatnya kembali berganti..."Kak, aku lapar." Keluh Adiknya."Sabar ya, Derra." Kakaknya mencoba menyemangati Adiknya."Uhuk! Uhuk!" Kakaknya menoleh ke belakang, menatap Adiknya."Derrra, kamu sakit?" Tanya Kakaknya khawatir."Tidak." Adiknya menggeleng. Kakaknya Menurunkan Adiknya, dari gendongannya, lalu memeriksa kening Adiknya."Tidak apanya?!" Kakaknya mengomel."Ayo, kita cari obat!" Seru Kakaknya, kembali menggendong Adiknya."Tapi kita tidak punya uang, Kak." Langkah kaki Kakaknya terhenti.Adiknya benar, dia tidak memiliki uang sedikit pun.Sudah lima hari mereka berjalan mencari Tabib terdekat. "Kak, sudah lima hari Kakak berjalan mencari Tabib. Sudahlah, jangan terlalu Kakak paksakan untuk berjalan.""Aku tidak apa-apa. Kakak lebih baik istirahat." Adiknya tersenyum, menyentuh bahu Kakaknya, pelan.Walau, sebenarnya, tubuh adiknya semakin panas."Tapi, kamu harus bertahan!" Air mata Kakaknya mengalir, menoleh, menatap Adiknya.Adiknya mengangguk, tersenyum."Kalaupun ak
Tiba-tiba masa itu berubah..."Anak-anak! Cepat sembunyi!" Seru wanita itu panik."Nyonya Syaffara, bawa putrimu pergi dari sini!" Suruh seorang pria, tubuhnya tidak tinggi dan tidak pula pendek. Tubuhnya pas-pasan.Wanita itu mengangguk, menarik tangan kedua anaknya."Dasar kalian para pengkhianat!" Teriak seorang pria, aku berseru kaget. Yang membuatku kaget adalah, pria yang barusan berteriak tadi itu adalah Ayah mereka yang ada di tempat sebelumnya."Cukup, Barr!" Seru wanita yang lain."Diam kalian!" Dia menyerang siapa saja yang ada di hadapannya, dengan brutal."Kalian semua mengkhianatiku!" Teriaknya, terus menyerang tanpa ampun."Kami tidak pernah mengkhianatimu, Barr." Ucap pria yang lain, menggeleng."Ayah! Bunda!" Teriak seorang remaja perempuan."Syerra!" Balas wanita tadi panik."Anakmu ini akan menjadi korban dari pengkhianatan kalian!" Seru Ayah anak yang tadi kutemui di tempat sebelumnya. Aku bergidik ngeri saat pria itu memenggal kepala gadis itu."Tidaaaak!" Teriak
"Eh, Zella. Besok-besok aku ke rumah kamu lagi, ya!" Aku mengangguk."Dengan senang hati." Jawabku, memeluknya. Dia balas memelukku erat."Besok saat hari libur, aku suruh Bunda datang ke sini, bawakan makanan kesukaanmu." Aku tertawa, lalu mengangguk."Dan kita juga harus melanjutkan cerita tadi, nanti aku tanyakan lanjutan ceritanya ke Bunda. Soalnya aku juga penasaran, kenapa Miss Della bisa dekat dengan orang tua kita." Bisik Ghina. Aku mengangguk, tanda setuju."Tapi kita harus menunggu empat hari lagi, baru hari Sabtu." Dia mengeluh."Tidak apa, Ghin." Aku menepuk bahunya pelan, tersenyum.Aku mendengar suara klakson mobil."Eh, sopirnya udah datang tuh, aku pulang dulu ya. Bye!" Ghina melambaikan tangan ke arahku."Hati-hati di jalan, Ghina!" Aku balas melambaikan tangan.Setelah kepulangan Ghina, aku masih menunggu di luar, memikirkan banyak hal."Non Zella, kenapa tidak masuk?" Tanya Kak Reva, salah satu pelayan di rumahku."Eh, nanti saya masuk." Jawabku sedikit kaget. Satu,
Setelah kepergian Miss Della, ada yang memencet bel, itu bisa kutebak kalau yang datang itu Ghina. Karena Ghina memang datang jam segini (jam lima)." Hai, Ghin." Sapaku, saat sudah di depan pagar rumahku."Hai, mana Mama kamu?" Tanya Ghina saat di halaman rumahku."Ada di dalam." Jawabku, Ghina hanya mengangguk."Eh, rumah kamu tidak ada yang berubah, ya.""Maksud kamu?" Tanyaku bingung, menatapnya tidak mengerti."Iya, tetap besar. Seperti istana Putri." Jawabnya, balas menatapku."Kamu berlebihan Ghin. Mana ada seperti istana." Ucapku kesal, antara malu dan merasa terlalu berlebihan untuk memuji rumahku."Hahaha, maaf-maaf. Aaku hanya bercanda," Ghina hanya tertawa melihat ekspresi wajah kesal ku. Dia mencolek pipiku, yang membuatku semakin kesal."Eh, Nona Ghina, apa kabar?" Sapa Bi Inah, saat kami sudah di dalam rumah. Yang di sapa hanya tersenyum, mengangguk."Mama mana, Bi?" Tanyaku, membiarkan Ghina sibuk sendiri."Di dapur." Jawab Bi Inah. Aku langsung menarik tangan Ghina me
"Hoaaam.." Aku menoleh ke arah Ghina. Tampaknya dia bosan dengan pelajaran matematika."Oke, anak-anak pelajaran kali ini kita cukupi sampai di sini!" Ucap Pak Anton sedikit berteriak, mengalahkan suara bel pulang.Ghina yang tadinya mengantuk, kembali cerah."Zell, yuk pulang." Aku menatap ke arah Ghina, dia dengan semangatnya membereskan buku-bukunya. Aku tertawa kecil, melihat tingkah lucunya.Kami berlari ke arah angkot yang hampir penuh oleh murid-murid seusia kami."Bentar, Pak!" Teriak Ghina, saat hampir sampai di depan pintu angkot."Ayo nak, masuk." Kami mengangguk, dan masuk ke dalam angkot. "Ahh, akhirnya," aku tertawa kecil melihat Ghina menghapus peluh di wajah."Zell, nanti aku ke rumahmu, yah?","Hmm, boleh tidak, yah?""Boleh lah, boleh lah." Ghina memegang lenganku memohon, manja."Iya, iya, sahabat kyuu." Kataku, meledeknya."Ih, apaan sih." Balasnya menyenggol lenganku, malu."Hahaha." Tawaku meledak.Saat itu, aku tidak sadar orang-orang yang ada di dalam angkot, p
"Yuk ke kantin, aku udah lapar nih." Ajak Ghina, karena katanya perutnya sudah meronta-ronta untuk dikasih makan.Aku terkekeh geli, mendengar ajakan Ghina. "Ya udah, yuk." Jawabku kasihan. "Yeay, makasih. Yuk cepat!" Katanya, senang"Oh ya, kamu mau makan apa?" Tanyanya, menatapku"Makan batagor, yuk." Padahal aku belum sempat menjawab, udah di tariknya aja ke tempat batagor.Haha, kalau seperti ini, lebih baik tidak usah nanya. Aku tertawa di dalam hati. "Ayo, cepat!" Ghina menarikku, paksa. Aku tertawa melihat tingkah laku sahabat aku satu ini"Bang, batagornya dua, yah." Pesan Ghina, kepada Abang yang jual batago"Pakai cabe rawit tidak, Neng?" Tanya Abang jual batagor tadi"Satu pakai, kamu mau pakai cabe tidak, Zell?" Ghina menatapku, bertanya. Aku mengangguk, "berarti keduanya pakai cabe, bang." Ucap Ghina kepada Abangjual batagor"Pakai minum, Neng?" Tanya Abang jual batagor, lagi"Pakai, es jeruk dua." Jawab Ghina, lagi"Oke, sebentar ya." Ucap Abang jual batagor, sebelum pe
Kring!!! Kring!!! Kring!!!"Eh Zell, udah istirahat tuh.""Kamu ikut, tidak?" Tanya Ghina kepadaku. "Kamu duluan aja, aku tidak lapar." Jawabku singkat. "Kamu kenapa?" Tanya Ghina, menatapku. "Tidak kenapa-napa, kok." Jawabku pendek. "Ya, sudahlah. kalau begitu aku juga tidak ke kantin lah." Kata Ghina, seraya duduk kembali."Eh, kamu tahu tidak?" Ghina memulai percakapan, mengusir rasa bosan."Tidak, kan belum kamu kasih tahu." Potongku sekenanya. "Iih, makanya dengerin dulu." Kata Ghina gregetan melihat tingkahku. "Oke, apa? Apa?" Tanyaku pura-pura serius."Anak laki-laki yang kamu tanyai waktu itu, nyebelin banget ya." Katanya, memulai topik. "Maksudnya?" Tanyaku lebih serius. "Tadi, waktu pas aku datang, dia nabrak aku tanpa rasa bersalah." Aku yang mendengarkan hampir tertawa melihat ekspresinya, tapi urung karena kasihan."Sabar ya, Ghin." Kataku prihatin."Hahaha, makasih." Balasnya, tersenyum. "Kamu tidak ada berubah, ya." Ghina menatapku jahil. Aku hanya tersenyum sekilas me