"Yuk ke kantin, aku udah lapar nih." Ajak Ghina, karena katanya perutnya sudah meronta-ronta untuk dikasih makan.
Aku terkekeh geli, mendengar ajakan Ghina. "Ya udah, yuk." Jawabku kasihan. "Yeay, makasih. Yuk cepat!" Katanya, senang
"Oh ya, kamu mau makan apa?" Tanyanya, menatapku
"Makan batagor, yuk." Padahal aku belum sempat menjawab, udah di tariknya aja ke tempat batagor.
Haha, kalau seperti ini, lebih baik tidak usah nanya. Aku tertawa di dalam hati. "Ayo, cepat!" Ghina menarikku, paksa. Aku tertawa melihat tingkah laku sahabat aku satu ini
"Bang, batagornya dua, yah." Pesan Ghina, kepada Abang yang jual batago
"Pakai cabe rawit tidak, Neng?" Tanya Abang jual batagor tadi
"Satu pakai, kamu mau pakai cabe tidak, Zell?" Ghina menatapku, bertanya. Aku mengangguk, "berarti keduanya pakai cabe, bang." Ucap Ghina kepada Abang
jual batagor
"Pakai minum, Neng?" Tanya Abang jual batagor, lagi
"Pakai, es jeruk dua." Jawab Ghina, lagi
"Oke, sebentar ya." Ucap Abang jual batagor, sebelum pergi dari tempat pemesanan
"Eh Zell, itu gadis tadi kan?" Tanya Ghina menatap meja di belakang kami. Aku mengangguk, dan ikut menatap ke belakan
Dia bersama laki-laki ngeselin, yang saat aku bertanya di mana kelasku, dia malah tidak menjawab. Tapi, mereka tidak berdua saja, ada laki-laki berambut berantakan dan satu gadis berambut hitam panjang lurus
"Sepertinya mereka sudah saling kenal deh." Gumam Ghina pelan, yang membuatku menatapnya. "Kenapa?" Tanyanya, balas menatapku
"Tidak ada." Jawabku sekenanya
"Eh, itu Abang jual batagornya sudah datang." Tunjuk Ghina
"Yuk, makan." Ghina sudah menerobos batagornya. Aku terkekeh melihatnya, dan aku juga langsung ikut makan
"Eh, ngomong-ngomong, anak yang berambut berantakan itu kok bisa jadi populer, ya?" Aku menatapnya bingung
"Kenapa kamu tanya seperti itu?" Tanyaku balik
"Yeah, dia itu kan orangnya seperti tidak berpendidikan gitu." Aku terdiam
"Sst, jangan bicara terlalu keras." Aku menyuruhnya diam
"Kenapa? Aku memang sengaja kok." Aku mengacak rambutku, frustasi
"Nanti dia dengar!" Ucapku panik
"Biar aja." Jawab Ghina santai, melambaikan tangan
Aku cepat-cepat menutup mulutnya, dia hanya tertawa
"Habisin aja makanan kamu!" Suruhku ketus. Dia hanya nyengir, tapi tetap kembali makan
Kring!!kring!!kring
"Eh, bel masuk bunyi tuh." Ucap gadis berambut hitam panjang yang ada di belakang kami. Aku yang Sedang mengunyah batagor, hampir tersedak. Ghina pun, juga seperti itu
"Eh iya, yuk ke kelas.
"Rayn, kamu tidak mau kena hukum lagi kan?" Tanya Vina. Aku dan Ghina saling tatap. Vina dekat dengan laki-laki berambut berantakan itu
"Yeah, biarin aja." Jawab laki-laki itu, tidak peduli
"Dasar, kamu ini." Ucap gadis berambut hitam panjang ketus, menatap tajam ke arah anak laki-laki berambut hitam berantakan itu
"Kamu tetap mau di sini, atau ikut?
Tanya gadis berambut hitam panjang, melotot
"Hei, hei. Santai saja dong, jangan emosi. Oke, aku ikut." Jawabnya pasrah
Aku dan Ghina pun, juga ikut bergegas balik ke kelas
***
Pelajaran-pelajaran selanjutnya adalah biologi bersama Bu Cinta.
Aku dan teman-temanku menunggu dengan saling bercerita.
"Eh, Bu Cinta udah datang tuh!" Salah satu temanku menunjuk pintu.
Kami menoleh, benar. Ada suara tapak kaki yang berjalan masuk.
"Hai anak-anak! Apa kabar?" Sapa Bu Cinta.
"Baik, Bu!" Seru anak perempuan, antusias.
Bu Cinta guru biologi yang sangat baik, dan banyak di kagumi oleh para murid perempuan.
Aku hanya melamun, memikirkan anak berambut hitam panjang tadi, anak itu seperti ada yang di sembunyikannya. Anak itu terlihat seperti Bidadari?
Selintas, aku seperti melihat sayap putih besar di punggungnya. Kalau aku tidak salah, namanya Angel bukan?
Entahlah, mungkin aku hanya salah lihat.
Ghina menyenggolku, membuat lamunanku buyar.
"Kamu kenapa?" Tanyanya, berbisik.
"Tidak kenapa-napa, kok." Jawabku, menggeleng. Dia mengangguk, mengerti.
"Ayo fokus, Zella!" Seru Bu Cinta, aku mengangguk pelan.
Aku kembali mendengarkan penjelasan dari Bu Cinta.
"Oke, anak-anak, kita sudahi pelajaran kita kali ini, dan jangan lupa kerjakan pr kalian! Terutama kamu, Rayn!" Kami mengangguk, hanya anak berambut berantakan itu saja yang mendengus kesal.
"Pekan depan di kumpulkan! Sampai jumpa lagi pekan depan!" Bu Cinta melambaikan tangan, bergegas berjalan menuju pintu keluar. Kami balas melambaikan tangan ke arahnya.
"Hoaaam.." Aku menoleh ke arah Ghina. Tampaknya dia bosan dengan pelajaran matematika."Oke, anak-anak pelajaran kali ini kita cukupi sampai di sini!" Ucap Pak Anton sedikit berteriak, mengalahkan suara bel pulang.Ghina yang tadinya mengantuk, kembali cerah."Zell, yuk pulang." Aku menatap ke arah Ghina, dia dengan semangatnya membereskan buku-bukunya. Aku tertawa kecil, melihat tingkah lucunya.Kami berlari ke arah angkot yang hampir penuh oleh murid-murid seusia kami."Bentar, Pak!" Teriak Ghina, saat hampir sampai di depan pintu angkot."Ayo nak, masuk." Kami mengangguk, dan masuk ke dalam angkot. "Ahh, akhirnya," aku tertawa kecil melihat Ghina menghapus peluh di wajah."Zell, nanti aku ke rumahmu, yah?","Hmm, boleh tidak, yah?""Boleh lah, boleh lah." Ghina memegang lenganku memohon, manja."Iya, iya, sahabat kyuu." Kataku, meledeknya."Ih, apaan sih." Balasnya menyenggol lenganku, malu."Hahaha." Tawaku meledak.Saat itu, aku tidak sadar orang-orang yang ada di dalam angkot, p
Setelah kepergian Miss Della, ada yang memencet bel, itu bisa kutebak kalau yang datang itu Ghina. Karena Ghina memang datang jam segini (jam lima)." Hai, Ghin." Sapaku, saat sudah di depan pagar rumahku."Hai, mana Mama kamu?" Tanya Ghina saat di halaman rumahku."Ada di dalam." Jawabku, Ghina hanya mengangguk."Eh, rumah kamu tidak ada yang berubah, ya.""Maksud kamu?" Tanyaku bingung, menatapnya tidak mengerti."Iya, tetap besar. Seperti istana Putri." Jawabnya, balas menatapku."Kamu berlebihan Ghin. Mana ada seperti istana." Ucapku kesal, antara malu dan merasa terlalu berlebihan untuk memuji rumahku."Hahaha, maaf-maaf. Aaku hanya bercanda," Ghina hanya tertawa melihat ekspresi wajah kesal ku. Dia mencolek pipiku, yang membuatku semakin kesal."Eh, Nona Ghina, apa kabar?" Sapa Bi Inah, saat kami sudah di dalam rumah. Yang di sapa hanya tersenyum, mengangguk."Mama mana, Bi?" Tanyaku, membiarkan Ghina sibuk sendiri."Di dapur." Jawab Bi Inah. Aku langsung menarik tangan Ghina me
"Eh, Zella. Besok-besok aku ke rumah kamu lagi, ya!" Aku mengangguk."Dengan senang hati." Jawabku, memeluknya. Dia balas memelukku erat."Besok saat hari libur, aku suruh Bunda datang ke sini, bawakan makanan kesukaanmu." Aku tertawa, lalu mengangguk."Dan kita juga harus melanjutkan cerita tadi, nanti aku tanyakan lanjutan ceritanya ke Bunda. Soalnya aku juga penasaran, kenapa Miss Della bisa dekat dengan orang tua kita." Bisik Ghina. Aku mengangguk, tanda setuju."Tapi kita harus menunggu empat hari lagi, baru hari Sabtu." Dia mengeluh."Tidak apa, Ghin." Aku menepuk bahunya pelan, tersenyum.Aku mendengar suara klakson mobil."Eh, sopirnya udah datang tuh, aku pulang dulu ya. Bye!" Ghina melambaikan tangan ke arahku."Hati-hati di jalan, Ghina!" Aku balas melambaikan tangan.Setelah kepulangan Ghina, aku masih menunggu di luar, memikirkan banyak hal."Non Zella, kenapa tidak masuk?" Tanya Kak Reva, salah satu pelayan di rumahku."Eh, nanti saya masuk." Jawabku sedikit kaget. Satu,
Tiba-tiba masa itu berubah..."Anak-anak! Cepat sembunyi!" Seru wanita itu panik."Nyonya Syaffara, bawa putrimu pergi dari sini!" Suruh seorang pria, tubuhnya tidak tinggi dan tidak pula pendek. Tubuhnya pas-pasan.Wanita itu mengangguk, menarik tangan kedua anaknya."Dasar kalian para pengkhianat!" Teriak seorang pria, aku berseru kaget. Yang membuatku kaget adalah, pria yang barusan berteriak tadi itu adalah Ayah mereka yang ada di tempat sebelumnya."Cukup, Barr!" Seru wanita yang lain."Diam kalian!" Dia menyerang siapa saja yang ada di hadapannya, dengan brutal."Kalian semua mengkhianatiku!" Teriaknya, terus menyerang tanpa ampun."Kami tidak pernah mengkhianatimu, Barr." Ucap pria yang lain, menggeleng."Ayah! Bunda!" Teriak seorang remaja perempuan."Syerra!" Balas wanita tadi panik."Anakmu ini akan menjadi korban dari pengkhianatan kalian!" Seru Ayah anak yang tadi kutemui di tempat sebelumnya. Aku bergidik ngeri saat pria itu memenggal kepala gadis itu."Tidaaaak!" Teriak
Tempatnya kembali berganti..."Kak, aku lapar." Keluh Adiknya."Sabar ya, Derra." Kakaknya mencoba menyemangati Adiknya."Uhuk! Uhuk!" Kakaknya menoleh ke belakang, menatap Adiknya."Derrra, kamu sakit?" Tanya Kakaknya khawatir."Tidak." Adiknya menggeleng. Kakaknya Menurunkan Adiknya, dari gendongannya, lalu memeriksa kening Adiknya."Tidak apanya?!" Kakaknya mengomel."Ayo, kita cari obat!" Seru Kakaknya, kembali menggendong Adiknya."Tapi kita tidak punya uang, Kak." Langkah kaki Kakaknya terhenti.Adiknya benar, dia tidak memiliki uang sedikit pun.Sudah lima hari mereka berjalan mencari Tabib terdekat. "Kak, sudah lima hari Kakak berjalan mencari Tabib. Sudahlah, jangan terlalu Kakak paksakan untuk berjalan.""Aku tidak apa-apa. Kakak lebih baik istirahat." Adiknya tersenyum, menyentuh bahu Kakaknya, pelan.Walau, sebenarnya, tubuh adiknya semakin panas."Tapi, kamu harus bertahan!" Air mata Kakaknya mengalir, menoleh, menatap Adiknya.Adiknya mengangguk, tersenyum."Kalaupun ak
"Pagi, Ma, Pa." Sapaku kepada Mama dan Papa."Pagi, sayang." Balas Mama, tersenyum lembut."Gimana tidurnya, nyenyak?" Tanya Papa, ikut tersenyum. Aku hanya mengangguk, balas tersenyum.Aku langsung menarik kursi dan duduk bersama Mama dan Papaku."Non Zella mau makan apa?" Tanya Bi Inah."Nasi goreng spesial pakai sosis, Bi." Jawabku."Baiklah, saya buatkan dulu ya, Non." Aku mengangguk.Sambil menunggu nasi gorengku, aku mencoba membuka topik pembicaraan."Ma, Pa." Panggilku. Mama dan Papa langsung menoleh ke arahku."Iya, kenapa sayang?" Tanya Papa."Mama dan Papa kenal Miss Della?" Pertanyaan itu terus memenuhi pikiranku semalaman, membuatku harus bertanya pagi ini. Mama dan Papa terdiam. Bi Inah yang sedang membuat nasi goreng, sedikit terkejut mendengar pertanyaanku."Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Tanya Mama menatapku.Aku menggeleng. "Tidak ada, hanya ingin tahu saja." Jawabku."Hmm, gimana ya ngejelasinnya." Mama terlihat berpikir keras."Hmm, gini..." Ucapan Mama terputu
Aku mencari bilik pakaian yang tertulis namaku."Huh, Mister James itu sungguh sangat galak, memang cocok dengan Miss Della." Gerutu Ghina, kesal. Aku tertawa mendengarnya.Murid-murid di sini kalau sedang kesal dengan Mister James atau Miss Della, biasanya mengumpat dengan menjodoh-jodohkan mereka berdua."Sudahlah Ghin, ayo ganti pakaian kita." Dia menghela nafas panjang, dan masuk ke dalam biliknya, aku juga ikut masuk ke dalam bilikku."Oke, kita akan belajar di lapangan biasa, karena ruang olahraga kita sedang ada renovasi. Saya tidak akan basa-basi lagi. Baik, sekarang kita akan bermain voli, saya akan membagikan tiga kelompok, saya akan mengumumkan kelompok kalian masing-masing.Kelompok yang pertama, Zella, Vino, Ghina, Rayn, Angela, Vina, Sean, Lian, Nia, dan Reska. Empat orang akan menjadi pemain cadangan, yaitu Angela, Vina, Sean dan Nia.Oke, kelompok selanjutnya..."Aku terdiam. Memang menyenangkan sekelompok dengan Ghina, tapi aku tidak menyangka akan sekelompok dengan m
Aku terus berjalan melewati kelas-kelas. Celingak-celinguk mencari kelasku, kelas X A."Permisi, apa saya boleh tanya? Kelas X A ada di mana, ya?" Tanyaku tanpa basa-basi, ke anak laki-laki berambut cokelat.Orang yang kutanya, hanya melirikku sekilas. Huh, cuek amat sih?! Batinku."Eh, Zella?" Sapa seseorang kepadaku.Suara ini, sepertinya aku kenal deh. Pikirku. "Udah lama ya, kita tidak bertemu. Ternyata kamu sekolah di sini?" Tanyanya lagi. Aku langsung menoleh ke belakang, dan melihat perempuan berambut hitam sebahu."Ghina!?!" Tanyaku tidak percaya.Namaku Anzella Griselda Putri. Umurku enam belas tahun. Mamaku seorang ilmuwan dan Papaku seorang pengusaha, aku mempunyai rahasia kecil, yaitu aku mempunyai kekuatan penyembuhan, mengendalikan tanah dan bisa memanipulasi seseorang dan barang elektronik, aku juga bisa membuka portal.Dan yang menyapaku tadi adalah sahabat kecilku, namanya Tressa Yaghina. Dia seumuran denganku, kami selalu bersama, bersekolah yang sama. Tapi, saat hen
Aku mencari bilik pakaian yang tertulis namaku."Huh, Mister James itu sungguh sangat galak, memang cocok dengan Miss Della." Gerutu Ghina, kesal. Aku tertawa mendengarnya.Murid-murid di sini kalau sedang kesal dengan Mister James atau Miss Della, biasanya mengumpat dengan menjodoh-jodohkan mereka berdua."Sudahlah Ghin, ayo ganti pakaian kita." Dia menghela nafas panjang, dan masuk ke dalam biliknya, aku juga ikut masuk ke dalam bilikku."Oke, kita akan belajar di lapangan biasa, karena ruang olahraga kita sedang ada renovasi. Saya tidak akan basa-basi lagi. Baik, sekarang kita akan bermain voli, saya akan membagikan tiga kelompok, saya akan mengumumkan kelompok kalian masing-masing.Kelompok yang pertama, Zella, Vino, Ghina, Rayn, Angela, Vina, Sean, Lian, Nia, dan Reska. Empat orang akan menjadi pemain cadangan, yaitu Angela, Vina, Sean dan Nia.Oke, kelompok selanjutnya..."Aku terdiam. Memang menyenangkan sekelompok dengan Ghina, tapi aku tidak menyangka akan sekelompok dengan m
"Pagi, Ma, Pa." Sapaku kepada Mama dan Papa."Pagi, sayang." Balas Mama, tersenyum lembut."Gimana tidurnya, nyenyak?" Tanya Papa, ikut tersenyum. Aku hanya mengangguk, balas tersenyum.Aku langsung menarik kursi dan duduk bersama Mama dan Papaku."Non Zella mau makan apa?" Tanya Bi Inah."Nasi goreng spesial pakai sosis, Bi." Jawabku."Baiklah, saya buatkan dulu ya, Non." Aku mengangguk.Sambil menunggu nasi gorengku, aku mencoba membuka topik pembicaraan."Ma, Pa." Panggilku. Mama dan Papa langsung menoleh ke arahku."Iya, kenapa sayang?" Tanya Papa."Mama dan Papa kenal Miss Della?" Pertanyaan itu terus memenuhi pikiranku semalaman, membuatku harus bertanya pagi ini. Mama dan Papa terdiam. Bi Inah yang sedang membuat nasi goreng, sedikit terkejut mendengar pertanyaanku."Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Tanya Mama menatapku.Aku menggeleng. "Tidak ada, hanya ingin tahu saja." Jawabku."Hmm, gimana ya ngejelasinnya." Mama terlihat berpikir keras."Hmm, gini..." Ucapan Mama terputu
Tempatnya kembali berganti..."Kak, aku lapar." Keluh Adiknya."Sabar ya, Derra." Kakaknya mencoba menyemangati Adiknya."Uhuk! Uhuk!" Kakaknya menoleh ke belakang, menatap Adiknya."Derrra, kamu sakit?" Tanya Kakaknya khawatir."Tidak." Adiknya menggeleng. Kakaknya Menurunkan Adiknya, dari gendongannya, lalu memeriksa kening Adiknya."Tidak apanya?!" Kakaknya mengomel."Ayo, kita cari obat!" Seru Kakaknya, kembali menggendong Adiknya."Tapi kita tidak punya uang, Kak." Langkah kaki Kakaknya terhenti.Adiknya benar, dia tidak memiliki uang sedikit pun.Sudah lima hari mereka berjalan mencari Tabib terdekat. "Kak, sudah lima hari Kakak berjalan mencari Tabib. Sudahlah, jangan terlalu Kakak paksakan untuk berjalan.""Aku tidak apa-apa. Kakak lebih baik istirahat." Adiknya tersenyum, menyentuh bahu Kakaknya, pelan.Walau, sebenarnya, tubuh adiknya semakin panas."Tapi, kamu harus bertahan!" Air mata Kakaknya mengalir, menoleh, menatap Adiknya.Adiknya mengangguk, tersenyum."Kalaupun ak
Tiba-tiba masa itu berubah..."Anak-anak! Cepat sembunyi!" Seru wanita itu panik."Nyonya Syaffara, bawa putrimu pergi dari sini!" Suruh seorang pria, tubuhnya tidak tinggi dan tidak pula pendek. Tubuhnya pas-pasan.Wanita itu mengangguk, menarik tangan kedua anaknya."Dasar kalian para pengkhianat!" Teriak seorang pria, aku berseru kaget. Yang membuatku kaget adalah, pria yang barusan berteriak tadi itu adalah Ayah mereka yang ada di tempat sebelumnya."Cukup, Barr!" Seru wanita yang lain."Diam kalian!" Dia menyerang siapa saja yang ada di hadapannya, dengan brutal."Kalian semua mengkhianatiku!" Teriaknya, terus menyerang tanpa ampun."Kami tidak pernah mengkhianatimu, Barr." Ucap pria yang lain, menggeleng."Ayah! Bunda!" Teriak seorang remaja perempuan."Syerra!" Balas wanita tadi panik."Anakmu ini akan menjadi korban dari pengkhianatan kalian!" Seru Ayah anak yang tadi kutemui di tempat sebelumnya. Aku bergidik ngeri saat pria itu memenggal kepala gadis itu."Tidaaaak!" Teriak
"Eh, Zella. Besok-besok aku ke rumah kamu lagi, ya!" Aku mengangguk."Dengan senang hati." Jawabku, memeluknya. Dia balas memelukku erat."Besok saat hari libur, aku suruh Bunda datang ke sini, bawakan makanan kesukaanmu." Aku tertawa, lalu mengangguk."Dan kita juga harus melanjutkan cerita tadi, nanti aku tanyakan lanjutan ceritanya ke Bunda. Soalnya aku juga penasaran, kenapa Miss Della bisa dekat dengan orang tua kita." Bisik Ghina. Aku mengangguk, tanda setuju."Tapi kita harus menunggu empat hari lagi, baru hari Sabtu." Dia mengeluh."Tidak apa, Ghin." Aku menepuk bahunya pelan, tersenyum.Aku mendengar suara klakson mobil."Eh, sopirnya udah datang tuh, aku pulang dulu ya. Bye!" Ghina melambaikan tangan ke arahku."Hati-hati di jalan, Ghina!" Aku balas melambaikan tangan.Setelah kepulangan Ghina, aku masih menunggu di luar, memikirkan banyak hal."Non Zella, kenapa tidak masuk?" Tanya Kak Reva, salah satu pelayan di rumahku."Eh, nanti saya masuk." Jawabku sedikit kaget. Satu,
Setelah kepergian Miss Della, ada yang memencet bel, itu bisa kutebak kalau yang datang itu Ghina. Karena Ghina memang datang jam segini (jam lima)." Hai, Ghin." Sapaku, saat sudah di depan pagar rumahku."Hai, mana Mama kamu?" Tanya Ghina saat di halaman rumahku."Ada di dalam." Jawabku, Ghina hanya mengangguk."Eh, rumah kamu tidak ada yang berubah, ya.""Maksud kamu?" Tanyaku bingung, menatapnya tidak mengerti."Iya, tetap besar. Seperti istana Putri." Jawabnya, balas menatapku."Kamu berlebihan Ghin. Mana ada seperti istana." Ucapku kesal, antara malu dan merasa terlalu berlebihan untuk memuji rumahku."Hahaha, maaf-maaf. Aaku hanya bercanda," Ghina hanya tertawa melihat ekspresi wajah kesal ku. Dia mencolek pipiku, yang membuatku semakin kesal."Eh, Nona Ghina, apa kabar?" Sapa Bi Inah, saat kami sudah di dalam rumah. Yang di sapa hanya tersenyum, mengangguk."Mama mana, Bi?" Tanyaku, membiarkan Ghina sibuk sendiri."Di dapur." Jawab Bi Inah. Aku langsung menarik tangan Ghina me
"Hoaaam.." Aku menoleh ke arah Ghina. Tampaknya dia bosan dengan pelajaran matematika."Oke, anak-anak pelajaran kali ini kita cukupi sampai di sini!" Ucap Pak Anton sedikit berteriak, mengalahkan suara bel pulang.Ghina yang tadinya mengantuk, kembali cerah."Zell, yuk pulang." Aku menatap ke arah Ghina, dia dengan semangatnya membereskan buku-bukunya. Aku tertawa kecil, melihat tingkah lucunya.Kami berlari ke arah angkot yang hampir penuh oleh murid-murid seusia kami."Bentar, Pak!" Teriak Ghina, saat hampir sampai di depan pintu angkot."Ayo nak, masuk." Kami mengangguk, dan masuk ke dalam angkot. "Ahh, akhirnya," aku tertawa kecil melihat Ghina menghapus peluh di wajah."Zell, nanti aku ke rumahmu, yah?","Hmm, boleh tidak, yah?""Boleh lah, boleh lah." Ghina memegang lenganku memohon, manja."Iya, iya, sahabat kyuu." Kataku, meledeknya."Ih, apaan sih." Balasnya menyenggol lenganku, malu."Hahaha." Tawaku meledak.Saat itu, aku tidak sadar orang-orang yang ada di dalam angkot, p
"Yuk ke kantin, aku udah lapar nih." Ajak Ghina, karena katanya perutnya sudah meronta-ronta untuk dikasih makan.Aku terkekeh geli, mendengar ajakan Ghina. "Ya udah, yuk." Jawabku kasihan. "Yeay, makasih. Yuk cepat!" Katanya, senang"Oh ya, kamu mau makan apa?" Tanyanya, menatapku"Makan batagor, yuk." Padahal aku belum sempat menjawab, udah di tariknya aja ke tempat batagor.Haha, kalau seperti ini, lebih baik tidak usah nanya. Aku tertawa di dalam hati. "Ayo, cepat!" Ghina menarikku, paksa. Aku tertawa melihat tingkah laku sahabat aku satu ini"Bang, batagornya dua, yah." Pesan Ghina, kepada Abang yang jual batago"Pakai cabe rawit tidak, Neng?" Tanya Abang jual batagor tadi"Satu pakai, kamu mau pakai cabe tidak, Zell?" Ghina menatapku, bertanya. Aku mengangguk, "berarti keduanya pakai cabe, bang." Ucap Ghina kepada Abangjual batagor"Pakai minum, Neng?" Tanya Abang jual batagor, lagi"Pakai, es jeruk dua." Jawab Ghina, lagi"Oke, sebentar ya." Ucap Abang jual batagor, sebelum pe
Kring!!! Kring!!! Kring!!!"Eh Zell, udah istirahat tuh.""Kamu ikut, tidak?" Tanya Ghina kepadaku. "Kamu duluan aja, aku tidak lapar." Jawabku singkat. "Kamu kenapa?" Tanya Ghina, menatapku. "Tidak kenapa-napa, kok." Jawabku pendek. "Ya, sudahlah. kalau begitu aku juga tidak ke kantin lah." Kata Ghina, seraya duduk kembali."Eh, kamu tahu tidak?" Ghina memulai percakapan, mengusir rasa bosan."Tidak, kan belum kamu kasih tahu." Potongku sekenanya. "Iih, makanya dengerin dulu." Kata Ghina gregetan melihat tingkahku. "Oke, apa? Apa?" Tanyaku pura-pura serius."Anak laki-laki yang kamu tanyai waktu itu, nyebelin banget ya." Katanya, memulai topik. "Maksudnya?" Tanyaku lebih serius. "Tadi, waktu pas aku datang, dia nabrak aku tanpa rasa bersalah." Aku yang mendengarkan hampir tertawa melihat ekspresinya, tapi urung karena kasihan."Sabar ya, Ghin." Kataku prihatin."Hahaha, makasih." Balasnya, tersenyum. "Kamu tidak ada berubah, ya." Ghina menatapku jahil. Aku hanya tersenyum sekilas me