Pada kenyataannya, Cendana Bay Club benar-benar begitu luas, sebuah kompleks resort mewah yang seolah menyatu dengan alam.Jarak antara Private Villa eksklusif tempat Xander menginap dan lobi utama—yang juga merupakan pusat dari bangunan-bangunan fasilitas seperti ruang meeting berkelas, pusat kebugaran, tempat olahraga, dan tentu saja, lokasi Titania Auction yang menggelar pelelangan hari ini—ternyata cukup jauh.Sebagai salah satu club berstandar internasional, Cendana Bay mengutamakan privasi dan kenyamanan kelas atas. Para tamu di sini tidak sekadar menikmati kemewahan, mereka juga disuguhi suasana yang seolah memisahkan mereka dari hiruk-pikuk dunia luar.Private Villa tempat Xander menginap didesain untuk memberikan perasaan eksklusif. Tidak mengherankan jika lokasinya jauh dari keramaian Beachfront Cottages, apalagi Deluxe Rooms yang bergabung dengan bangunan utama.Villa-villa pribadi ini memang terletak di area yang lebih terpencil, dirancang sesuai agar para tamu bisa menikm
Belati itu melesat dengan cepat, memantulkan sinar matahari yang menembus celah dedaunan. Meski gerakannya begitu gesit, pikiran Xander tetap tenang.Ia langsung teringat pada seni pernapasan dan teknik bertarung yang ia pelajari dari buku kuno Sembilan Matahari.Fokusnya mulai menguat. Xander menghirup napas dalam-dalam, menajamkan pendengarannya. Satu kedipan mata, satu tarikan napas panjang.Semua yang terjadi seakan selaras dengan ajaran dalam kitab kuno itu. Teknik pernapasan yang baru saja ia kuasai telah membantunya untuk berkonsentrasi penuh—sebuah teknik yang dulunya terasa asing, kini bekerja sempurna.Dan kemudian, sesuatu yang aneh terjadi.Dunia di sekitarnya terasa melambat, seolah ia tiba-tiba menjadi tokoh utama dalam adegan film laga.Suara kicauan burung yang biasanya ramai, deburan ombak dari kejauhan, hingga deru angin yang berhembus lembut—semuanya berubah menjadi samar dan nyaris tak terdengar.Xander kini sepenuhnya menyadari kekuatan Kitab Sembilan Matahari.“A
“Nona Clara,” kata Xander dengan ekspresi serius, menahan napas sejenak sebelum melanjutkan. “Tolong, jangan mempermainkanku.”Tatapan Xander tertuju pada wajah Clara yang semakin dekat, membuat mereka tampak seperti sepasang kekasih yang hampir berciuman, jika dilihat dari kejauhan.Padahal, mereka sedang membahas sesuatu yang jauh dari romantis.“Untuk apa aku berbohong?” Clara menjawab dengan santai, menyesap sampanye dari gelasnya. “Bukankah Tuan Muda Xander tahu? Aku ini tipe gadis yang suka bertualang.”Ia melanjutkan sambil tersenyum penuh misteri, seolah tengah merencanakan sesuatu yang luar biasa.“Semuanya dimulai ketika aku melihat betapa tertariknya kamu pada peta harta karun itu. Keinginan untuk bersenang-senang langsung muncul begitu peta itu mulai dilelang...”Clara berhenti sejenak, mengaduk sampanye di gelasnya, lalu berkata dengan nada sedikit lebih rendah,“Meski aku tak bisa memastikan apakah ini peta asli atau hanya permainan tua yang usang, bukankah akan sangat m
Xander dan Clara, dua sosok muda yang sepakat dalam pertemuan eksklusif di Titania Auction dua minggu lalu di Pulau Para Dewa, kini duduk terguncang di dalam pesawat kargo yang berderak di udara.Malam sudah semakin larut, sekitar pukul delapan. Kegelapan di luar terasa pekat, hanya dipecah oleh kilatan samar cahaya lampu pesawat. Suara mesin bergetar konstan, mengisi kabin dengan deru yang menambah tekanan suasana.Wajah Clara terlihat tegang, bibirnya terkatup rapat, sementara Xander menatap lurus ke depan, namun sorot matanya terlihat waspada.“Apakah kamu takut?” suara Xander memecah keheningan, nada suaranya tenang.Clara yang sejak tadi tenggelam dalam diam, melirik ke arahnya, dan kemudian balik bertanya dengan nada sinis,“Apa aku terlihat takut? Bukankah aku yang melatihmu terbang?” Senyum mengejek muncul di bibirnya, meskipun sorot matanya tetap tajam. “Justru aku yang harus bertanya padamu. Apa kamu benar-benar akan melakukan aksi terjun payung ini?”Keraguan jelas tampak d
Dalam keadaan panik akibat parasut yang tidak mau terbuka—mungkin karena mekanismenya gagal berfungsi—Xander jatuh pingsan.Udara dingin yang menyapu tubuhnya, ditambah angin kencang yang menampar wajahnya, membuat kesadarannya lenyap dengan cepat.Sementara itu, jaraknya ke daratan semakin dekat, dan waktu semakin mendesak.Xander tidak ingat apa pun setelahnya. Semua gelap. Ia benar-benar tak sadar, tanpa mimpi atau ingatan apa pun tentang apa yang terjadi berikutnya.Ketika dia terbangun keesokan harinya, tubuhnya dalam keadaan sehat, tanpa luka sedikit pun. Fajar telah menyingsing, dan suara ayam hutan berkokok nyaring—begitu keras hingga menggema di telinganya, membangunkannya dari kegelapan.Cahaya matahari pagi langsung menyilaukan matanya, membuatnya tersentak. Ia menyipitkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan sinar terang yang menyilaukan.“Di mana aku?” batinnya sambil melihat sekeliling. Ia tersadar sedang berbaring di atas kerikil kasar. Namun ada matras empuk yang men
Desa Pengasin masih berkabut meskipun jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Kabut tebal menyelimuti, membuat suasana desa tampak misterius dan sunyi.Suara desau angin yang sesekali lewat di antara pepohonan, sepertinya setia menemani desa yang suram itu.“Kita berhenti di sini dulu, di Desa Pengasin ini,” ujar Clara. Ia menggeser kacamatanya dan memandang ke sekeliling.“Aku akan mencari penduduk lokal untuk jadi penunjuk jalan. Gunung ini penuh jebakan, dan tanpa pemandu, kita bisa celaka.”Land Cruiser perlahan berhenti di depan sebuah rumah yang juga berfungsi sebagai warung kecil.Di dalamnya, hanya ada dua pria berpakaian lusuh, duduk sambil minum kopi hitam. Satu di antaranya tengah sarapan nasi dengan tempe goreng, tampak sangat sederhana, selaras dengan suasana desa yang terlihat tenang namun penuh misteri.Xander memperhatikan dari balik kaca mobil yang terbuka setengah. "Apakah kami sedang jadi tontonan di sini?" pikirnya.Rasa canggung mulai merayap di hatinya. Tatapan pen
Seperti rumah-rumah pedesaan pada umumnya, penginapan Nyonya Ciak tidak memiliki kamar mandi dan toilet yang tergabung dalam bangunan utama.Jika ingin buang air kecil, apalagi buang air besar, seseorang harus keluar dari rumah dan berjalan ke sisi samping, sekitar dua meter jauhnya, di mana terdapat kamar mandi dan toilet yang sederhana.Di dekatnya, sumur tua dengan pompa tangan berdiri sunyi, berderit sesekali tertiup angin malam.Tok-tok-tok.Ketukan di pintu kamar Xander terdengar tepat pukul 22.00."Siapa?" Xander bertanya pelan, suaranya serak oleh kantuk.“Ini aku… Clara.”Pintu kayu itu berderit saat Xander membukanya. Clara berdiri di depannya, wajahnya tampak pucat, gelisah menyelimuti sorot matanya yang biasanya tenang.“Ada apa, Nona Clara yang terhormat? Mengetuk pintu kamarku tengah malam begini?” tanya Xander sambil menyembunyikan senyum nakalnya. Tapi ia segera menyadari, Clara malam ini tidak seperti biasanya.Ada sesuatu yang membuat wanita tangguh itu goyah.“Sudah
Rupanya, itu adalah sekelompok orang yang sedang mengusung tandu. Kain panjang berwarna kelam menutupi tandu tersebut, dengan motif rumit yang tampak berasal dari masa lalu, membawa nuansa kuno yang menutupi atmosfer malam itu.Tangisan lirih yang terdengar di antara para pengiring semakin membuat suasana kian suram.Xander dan Clara berdiri terpaku di balik pagar perdu, membiarkan pemandangan aneh itu mengalir di depan mata mereka tanpa sepatah kata pun.“Semua orang di sana... mereka terlihat pucat, seperti orang yang sudah kehilangan harapan hidup,” batin Xander, matanya menyapu wajah-wajah lelah dan lunglai yang mengiringi tandu.Kebisuan menguasai malam itu, hanya diisi oleh suara langkah kaki yang memecah kerikil di jalanan, pelan tapi pasti. Prosesi terus bergerak, melewati rumah Nyonya Ciak, dan seiring waktu, cahaya obor pun perlahan menghilang, meninggalkan kesan misterius yang samar di balik kegelapan.Clara dan Xander masih terdiam, nyaris tak bernapas, hingga sesuatu yang