Namun, dalam Kitab Sembilan Matahari yang dipelajari Xander dari manual saat liburan di Shanghai, terdapat banyak hal menarik. Kitab ini bukan sekadar kumpulan pengetahuan; isinya adalah seni bela diri tingkat tinggi yang berasal dari zaman kuno—sebuah warisan budaya yang sarat dengan misteri.Selain itu, di dalamnya juga terkandung banyak teknik alkimia dan seni penyembuhan, termasuk teknik tusuk jarum yang digunakan oleh para tabib.Dalam momen yang penuh ketegangan ini, tanpa menimbulkan kecurigaan sedikit pun, tangan Xander tiba-tiba muncul dengan tiga jarum perak yang berkilau. Ketiga jarum ini disembunyikannya dalam tinjunya yang terkatup, mengarah ke tanah, seolah-olah tak ada yang mencurigakan.“Lihat jarum perak!” teriak Xander dengan suara yang menggema, mengejutkan Tuan Liang dan dua pengawal di sampingnya.“Apa itu?” seru Tuan Liang, matanya melebar saat tiga garis cahaya putih berkelap-kelip meluncur sangat cepat dari tangan Xander.Dalam seni pengobatan tusuk jarum yang
Ketika Xander berjalan di dalam ruangan dengan lantai batu-batu dingin, ia mengikuti suara ribut yang semakin keras terdengar.Setiap langkahnya terdengar tenang, tetapi jam tangan pintarnya bergetar semakin intens. Lampu merah pada jam tersebut berkedip-kedip, mengeluarkan sinyal peringatan yang mendesak.Dengan nada tegas, Xander memperingatkan kawan-kawannya.“Sebaiknya kalian berhati-hati. Pastikan pelindung Hazmat kalian tidak bolong, dan kenakan helm pelindung. Alat pendetektorku menunjukkan ada radiasi tinggi di dalam sana. Jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan!”Mendengar penjelasan Xander yang serius, Clara dan Shen langsung berhenti melangkah. Tanpa perlu diperintah, mereka saling melakukan pengecekan silang atas pakaian pelindung yang mereka kenakan.“Aman!” kata Clara dengan suara yang terdengar lega.“Aman!” balas Shen, diiringi napasnya yang samar.Dengan meredanya sedikit ketegangan, saat itulah Xander memberi izin untuk melanjutkan perjalanan. “Ayo teruskan p
Setelah berhasil mengalahkan dua pria bertubuh tinggi besar hanya dengan jarum perak, Xander berbicara dengan santai, tak peduli pada tatapan kekaguman yang terpancar dari dua kawannya, Clara dan Shen.“Mari kita lanjutkan perjalanan ini,” bisik Xander percaya diri. “Aku yakin, di balik pintu ini, semua misteri Gunung Kunlun akan terkuak!” tambahnya dengan nada tegas.Saat mendengar itu, semangat Clara dan Shen kembali menyala. Sebelumnya, mereka merasa putus asa menghadapi para penjaga yang memiliki ilmu bela diri tinggi dan keahlian dalam mengoperasikan senjata mesin. Rasa tidak berdaya itu semakin mengganggu mereka, hingga mereka merasa tidak mampu memberikan bantuan yang berarti bagi Xander.Kini, rasa percaya diri mulai tumbuh dalam hati mereka. Clara, yang tak dapat menahan rasa kagumnya, segera memuji Xander.“Xander... tak kusangka kamu sungguh lihai dalam seni bela diri. Bahkan sangat istimewa, memanfaatkan jarum akupunktur untuk bertarung!” Pancaran sinar mata Clara tidak da
Suara derap langkah kaki menggema seperti gelombang di laut, mendekat dari sebuah lorong dan menciptakan rasa waspada di dalam diri mereka.“Hati-hati... sepertinya orang-orang di balkon sudah turun. Mereka pasti akan menyerang kita. Apakah kalian berdua siap bertempur?” tanya Xander, nada suaranya tegas dan serius.“Kami siap,” jawab Clara dan Shen bersamaan, ketegangan terpancar di wajah mereka.Melihat tindakan heroik Xander yang berhasil mengalahkan semua kawanan jahat membuat Clara dan Shen merasa lebih berani.“Mereka ini jahat, kan? Mereka mengeksploitasi penduduk Desa Pengasin, membuat mereka tampak sebagai orang sakit dan dijauhi oleh seluruh kampung!” kata Shen dengan kemarahan yang tidak tersembunyi.“Aku juga harus membela hak orang-orang malang itu,” tambah Clara, semangatnya ikut bergelora.Dengan cepat, mereka berdua bersembunyi di sisi kanan dan kiri lorong, siap melakukan serangan mendadak pada sosok pertama yang muncul dari sana. Napas mereka tercekat, dan jantung be
Kita fokus pada Xander, setelah adegan laga Clara dan Shen selesai.Saat itu, Xander sudah dikerubungi oleh tiga orang berbaju hitam futuristik, senapan mesin otomatis terhunus dengan sigap di tangan mereka. Suasana di sekelilingnya terasa tegang, seolah setiap detak jantungnya bergema dalam keheningan yang mencekam.Di belakang ketiga pria itu, Nathan Wijaya berdiri dengan busana futuristik berwarna putih yang mencolok, mudah dikenali dari jarak jauh.Dia tampak menakutkan dan berbahaya, memberi instruksi kepada para bawahannya dengan nada perkasa. Suara Nathan, yang menggema seperti petir di tengah kesunyian, memecah ketegangan.“Perjalananmu akan berakhir sampai di sini, manusia dungu,” teriaknya sambil menunjuk Xander dengan jari telunjuk yang tegas.“Keberuntungan demi keberuntungan selalu bersamamu, membawamu melewati semua rintangan hingga ke tempat ini!” ia melanjutkan, tatapannya tajam dan penuh penekanan. “Namun, semua itu akan berakhir di bawah senapan mesin ini!” Suara Nat
Dalam adegan perebutan senjata yang menegangkan antara Xander dan Nathan Wijaya, situasi berujung pada kemenangan Nathan.Dengan tubuh yang lebih tinggi dan langkah yang lebih cepat, Nathan lebih dekat ke senapan otomatis yang tergeletak di lantai. Dengan refleks tajam, dia menggenggam senjata itu lebih dulu.Nathan melakukan aksi akrobatik, berguling dan segera menstabilkan posisinya. Senapan otomatis di tangannya bergetar, seolah penuh energi, lalu ia mengarahkan larasnya tepat ke Xander, yang kini tertegun, tak percaya dengan apa yang terjadi.Nathan mendengus dingin, senyum sinis terukir di wajahnya. Sementara jari telunjuknya sudah siap menekan pelatuk, kapan saja akan melepaskan peluru yang bisa merobek perut Xander.“Haha... aku sudah pernah melihatmu, manusia bodoh! Kamu si orang kaya baru, yang terlalu penuh rasa ingin tahu!” ejek Nathan, suaranya sarat dengan nada menghina. “Bukankah kamu yang menguping semua percakapanku dengan Felicia Tjiang di bawah Super Yacht di Dermaga
Setelah kejadian menegangkan di kedalaman perut bumi di Gunung Kunlun, pihak pemerintah segera mengambil alih tambang Aetherium yang kaya dan sangat menguntungkan.Keputusan ini diambil setelah mereka menyadari potensi besar sumber daya alam tersebut, yang tidak hanya bermanfaat bagi perekonomian nasional, tetapi juga untuk kesejahteraan masyarakat setempat.Nathan Wijaya ditahan oleh pihak berwajib atas tindakan eksploitasi tenaga kerja di Desa Pengasin. Praktik jahat yang dilakukannya telah menyebabkan banyak penduduk desa mengalami penurunan kesehatan yang serius akibat paparan radiasi dari kegiatan pertambangan yang sembarangan.Berita tentang Nathan dan tindakan kejamnya, termasuk penghabisan gadis model Anna, telah menyebar luas, dan banyak masyarakat di Pengasin yang menderita kini berhasil ditolong setelah mereka dikirim ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis yang layak.Sejak saat itu, teror hantu yang selama ini menghantui Desa Pengasin pun lenyap. Hantu fiktif yan
Sejak kepulangannya dari Gunung Kunlun, saldo Xander terus bertambah. Hal ini seperti kita ketahui, adalah akibat hadiah jackpot dari sistem, membuat Kekayaannya kini terasa tak berbatas."Satu kuadriliun, ini jumlah yang sangat banyak, hampir tak masuk akal untuk sosok seorang barista sepertiku..." Batin Xander sambil kesulitan memejam mata.Namun setelah ia memutar musik terapi tidur di kamar mewahnya, Xander langsung terlelap. Aromaterapi Lavender kental tercium, membuatnya relaks.Keesokan harinya, Xander masih bermalas-malasan di kamar mewah apartemennya. Pandangannya menerawang, pikirannya sibuk mencari ide untuk lini bisnis baru. Berkutat dengan bisnis keuangan, mall dan gerai kopi, membuat Xander ingin merambah bisnis baru."Apa lagi yang harus kucoba?" gumamnya. "Kekayaanku terus bertambah. Haruskah aku membuka maskapai penerbangan baru? Atau mungkin..."Sebuah ide lama tiba-tiba melintas di benaknya."Pesawat pribadi! Kenapa tidak? Aku sudah punya lisensi penerbangan. Tingg
Sandy Setiawan memukul meja dengan keras. Dentuman kayu itu memenuhi ruangan, membuat dua petugas di hadapannya terkejut. Wajah Sandy memerah, sorot matanya menyala seperti bara api, siap membakar apa pun."Hanya untuk menggusur anak-anak kecil, seorang nenek tua, dan seorang gadis lemah, kalian gagal?!" bentaknya. Ia tidak percaya bahwa tugas sesederhana itu tidak bisa mereka selesaikan.Salah satu petugas, pria bertubuh kekar, berusaha menjawab meski suaranya terdengar gemetar. "Bos, ada seorang pemuda di sana. Dia menguasai ilmu bela diri, sepertinya seorang kultivator. Dia bahkan meninggalkan pesan untuk Anda."Sandy mengangkat alis, matanya menyipit. "Pesan apa?"Petugas itu menelan ludah. "Dia bilang namanya Xander dan yakin Anda tahu siapa dia."Ekspresi Sandy berubah drastis, wajahnya sekaku patung marmer. Napasnya tertahan, dan ruangan itu sunyi sementara kedua petugas saling pandang, bingung."Apakah Anda mengenalnya? Dia... orang dalam?" seorang petugas memberanikan diri be
"Kamu meminta untuk tidak mematahkan tangan, bukan? Baiklah. Anggap saja aku sedang berbelas kasih," ujar Xander sambil mencibir, sudut bibirnya terangkat tipis seperti menikmati permainan sederhana.Petarung itu tampak lega sesaat, seperti menerima hadiah yang tak diduga. Namun, jauh di dalam hati, ia justru menertawakan Xander."Dasar bocah bodoh. Mau saja percaya mulut berbisa seperti milikku. Ini akan jadi hiburan memuaskan," pikirnya penuh kepuasan.Wajahnya ia poles dengan senyuman palsu, berharap akting penuh rasa terima kasihnya mampu menyentuh simpati penonton.Namun, sebelum rencananya berjalan sesuai harapan, sesuatu yang tak terduga terjadi.PLAK – PLAK – PLAK!Tiga tamparan keras mendarat di pipinya. Suara tamparan itu menggema seperti cambuk yang menyayat udara. Matanya membelalak, rasa perih menjalar panas ke wajahnya. Ia tertegun, sulit percaya Xander benar-benar melakukannya."Ini… ini…" gumamnya terbata-bata, suaranya serak karena syok. Kedua pipinya memerah menyala
“Xander?” desis Dimas tak percaya. Wajahnya yang bulat dengan mulut terbuka lebar tampak lucu. Rasanya, jika ada telur ayam dilempar ke sana, pasti lolos tanpa hambatan masuk ke lambungnya.“Xander!” teriak Hannah, nyaris melompat dari tempatnya. “Mengapa aku merasa seperti sedang menonton adegan di drama Xianxia? Kamu masuk ke buldozer seperti pahlawan dalam cerita di film!”Xander turun dari ruang kemudi buldozer dengan tenang.Wajahnya berseri-seri, seolah-olah diselimuti cahaya pagi yang membuatnya tampak seperti tokoh abadi dari kisah fantasi Xianxia atau Wuxia di televisi Tiongkok.Anak-anak panti asuhan, yang sejak tadi menonton dengan penuh ketegangan, langsung bersorak gembira tanpa perlu dikomando. Tepuk tangan mereka riuh, bercampur dengan suara tawa kecil.“Hore! Pendekar Rajawali Sakti – Guo Jing!” teriak seorang anak dengan suara penuh semangat.“Ah, tapi wajahnya setampan Yang Kang!” sahut yang lain, sambil menunjuk Xander dengan penuh antusias.Serial Pendekar Rajawali
“Pak Conan, ayo maju! Ini kesempatan yang bagus untuk merubuhkan bangunan tua itu!” teriak seorang pemuda yang duduk di atas salah satu buldozer. Wajahnya penuh semangat, berbeda dengan pria paruh baya bernama Pak Conan yang masih ragu-ragu.“Aku... aku tidak tega,” gumam Pak Conan. Tangannya yang gemetar menggenggam tuas kendali, tetapi hati kecilnya tak mampu memerintah dirinya untuk melanjutkan.“Ah, masa bodoh!” teriak si pemuda muda itu kesal. “Kalau Anda tidak mau melakukannya, biarkan aku yang menyelesaikan pekerjaan ini!”Dengan gesit, pemuda itu melompat dari buldozernya ke arah buldozer Pak Conan. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin. Suara alat berat itu meraung, dan buldozer mulai bergerak maju dengan kecepatan yang semakin bertambah.“Berhenti!” teriak Hannah Laksa, suaranya penuh kepanikan.“Tolong jangan hancurkan tempat tinggal kami!” ratap Ibu Mary, tangannya bergetar sambil menahan tangis.Anak-anak kecil pun menangis sejadi-jadinya, memohon agar tempat yang mereka sebut
Pagi itu, matahari baru saja terbit, namun suara getaran ponsel Xander membangunkannya.Semalam, ia tidur agak larut, bisa dibilang hampir dini hari. Namun pagi ini, ia sudah terbangun oleh panggilan yang datang tiba-tiba.“Siapa yang mengganggu pagi-pagi begini?” pikir Xander, matanya masih menyipit, jelas terlihat ia masih mengantuk.Namun, matanya langsung terbuka lebar ketika ia membaca nama yang muncul di layar ponselnya: "Dimas – Memanggil."“Ada apa?” gumamnya pelan, suara Dimas mulai terdengar samar, diselingi suara hiruk-pikuk di latar belakang. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak.“Xander, kamu harus datang ke Panti Asuhan Penuh Kasih. Ada yang terjadi!” Suara Dimas terdengar gugup dan terburu-buru. Teriakan anak-anak dan suara mesin buldozer yang menggema semakin jelas, membuat bulu kuduk Xander merinding.“Tunggu sebentar! Aku akan kesana!” jawab Xander dengan nada tegas, meskipun baru saja terbangun.Tak perlu seorang jenius untuk menebak apa yang sedang terjadi. Suara a
Beberapa saat sebelum kejadian Hannah dijegal para preman, Xander tanpa sengaja bertemu dengan Dimas saat ia lewat di depan Gorilla’s Café. Malam itu, lampu kota berpendar di atas jalan yang basah oleh hujan ringan, memantulkan bayangan mobil mewah Xander yang berhenti perlahan.“Dimas? Sudah jam segini, dan Anda belum pulang? Apakah lembur?” tanya Xander sambil keluar dari mobilnya. Jas kasualnya tetap terlihat mahal meskipun tidak mencolok, seolah hanya kebetulan melekat pada pemiliknya.Dimas, yang sedang menutup pintu kafe, tampak sedikit terkejut. Namun, senyumnya segera merekah saat mengenali siapa yang menyapa. “Ah, sobat. Rupanya kamu,” katanya sambil menepuk ringan pintu kaca kafe. “Sesungguhnya tidak ada lembur. Namun, ini terkesan terlambat pulang karena harus menunggu Hannah Laksa menyelesaikan beberapa hal. Aku tak tega mengusirnya pergi. Dia terlihat seperti sedang menanggung beban berat.”Bayangan wajah Hannah Laksa yang ceria, dengan tawa ringan yang dulu sering menolo
Sayangnya... meski tekad Hannah Laksa sekuat baja, dan batu bata di tangannya menambah percaya diri, itu semua tak banyak membantu.Dalam sekejap, ia kehilangan kendali ketika salah satu pria bertubuh tinggi dan gempal menangkapnya dalam pelukan erat, membuat napasnya terenggut seolah ditelan udara malam yang dingin."Lepaskan aku! Kalian akan menyesal kalau berbuat sesuatu yang menjijikkan!" seru Hannah lantang, suaranya bergetar di antara keberanian dan rasa takut yang menggelegak.Namun, ejekan segera menyambar."Jangan mengada-ada," jawab pria itu, Ale, pemimpin kelompok berandal yang terkenal kejam di daerah itu. Senyum miringnya memamerkan gigi kuning yang tak terawat. "Kamu ini gadis yatim piatu, tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan membelamu?""Dengar, bos Ale!" seru salah satu anak buahnya, memanas-manasi suasana. "Telanjangi saja dia. Nikmati sepuasnya. Sisanya, kami yang urus!"Hannah gemetar. Ketakutan merayap, menekan keberaniannya yang tersisa. Namun, ia tak akan men
Hannah Laksa baru saja menyelesaikan rutinitasnya di Gorilla’s Café. Dengan telaten, ia membersihkan meja barista, menyusun kembali semua peralatan mesin pembuat kopi setelah menyelesaikan perawatan rutin.Setiap sudut mesin ia lap cermat, memastikan semuanya mengilap—siap melayani para pelanggan esok hari.Jam dinding di sudut ruangan menunjukkan pukul 22.00. Di jantung kota, seperti kawasan tempat kafe ini berdiri, waktu itu masih terbilang awal malam. Lampu-lampu kota berkelip bagaikan bintang buatan, sementara lalu lintas masih dipenuhi kendaraan yang sibuk berlalu-lalang.Namun, suasana berbeda di pelosok kota, tempat di mana Hannah tinggal. Di sana, jam segini sudah dianggap larut malam, dengan jalanan sepi dan sunyi. Bagi seorang gadis yang pulang sendirian, suasana itu terasa rawan.“Hannah, sudah malam. Kamu belum pulang?” tegur suara familiar. Dimas, manajer kafe tersebut, berdiri di dekat pintu masuk, menatapnya dengan alis sedikit terangkat.Hannah mengangkat wajahnya dari
Ternyata, proyek satu miliar yang diberikan oleh Tijian Global Corporation adalah pembangunan sebuah mall yang sangat modern. Mall ini dirancang untuk berdiri di tengah pemukiman kelas menengah ke atas, menjadi landmark baru yang mengundang perhatian.Semua orang di kediaman Setiawan menatap dengan rasa iri saat Nyonya Ouyang menyebutkan nama yang akan dipilih sebagai direktur pelaksana.“Sandy Setiawan, kurasa dia layak untuk memimpin proyek besar ini. Selain berpengalaman, dia juga cukup akrab dengan Nona Felicia Tijiang, pelaksana langsung proyek dari grup itu!” pungkas Nyonya Ouyang dengan senyum puas, seolah mengunci keputusan yang telah diambilnya.Namun, tak lama setelah itu, Jonah mencoba untuk merusak nuansa gembira tersebut.“Tapi, Nyonya... bukankah Sandy gagal pada pertemuan sebelumnya? Apakah Anda ingin kekacauan terjadi lagi?” tanyanya dengan nada menantang, sambil menyembunyikan rasa cemburu yang mencuat dari wajahnya yang tampak penuh kalkulasi.“Benar itu, Nyonya tua.